Bab 11

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Ter.. Aster.. Ter.."

Sayup-sayup suara-suara itu kembali terdengar setelah serasa tenggelam lalu muncul ke permukaan. Kesadaran Aster akhirnya kembali. Tubuhnya serasa baru saja tertindih beban berat. Kaku, lemas, bahkan untuk sekedar bangkit saja, Aster benar-benar payah sekarang. Kenapa sih ini? Pikirnya yang hanya bisa menggema dalam hati

"Kenapa bisa pingsan sih? Gak biasanya lu kayak gini?" Gio tentu heran sambil membantu Aster bangun. Saking paniknya dia sampai menghubungi Bayu karena tak tau harus berbuat apa.

"Butuh ini?" Tanya Bayu sambil menyodorkan sebuah coklat karamel seperti biasanya. Namun Aster menyingkirkan itu dengan enggan, lalu berusaha menyadarkan diri dan mengusap-usap wajahnya sendiri berharap kesadarannya segera terkumpul kembali sepenuhnya. Keduanya memperhatikan gerak-gerik halus Aster saking khawatirnya.

"Kayaknya bener. Dia punya darah emas Yu.." Ungkap Aster tiba-tiba. Kali ini ia merasa  Lovelyn mulai menyerangnya secara langsung. Ini pertama kalinya Aster merasa yakin seperti ini. Yang ia tau dari Ayahnya Erlangga, darah emas dan kekuatannya benar-benar bertentangan. Bagai dua kutub magnet yang tak bisa bersatu bahkan saling mendorong satu sama lain. Jika Aster sampai bertemu dengan darah emas, artinya ma**ti.

"Nih.." Gio memberikan sebuah kertas bioaktif yang bahkan masih terdapat cairan-cairan bercampur darah yang belum kering. "Itu darah Lovelyn. Gue bilang aja lu lagi butuh donor darah dan lagi cari darah tipe langka makannya dia harus cek darah lagi. Kayaknya dia mau gara-gara lu pingsan." Ungkap Gio.

"Golongan darahnya B.." Bayu melihat hasilnya dan memastikannya bersama Aster.

"Lu gini amat ngurusin Lovelyn Ter?" Gio heran. Ini kali pertama Aster terlihat payah hanya karena berurusan dengan cewek.

"Lu yakin ini darah dia?" Tanya Aster masih juga meragukan temannya.

"Gue liat darahnya di ambil depan mata gue Ter!" Gio tentu meninggi saking kesalnya.

"Ter.." Bayu mulai menengahi. Lagi pula, Bayu tidak tau menahu soal ini. Ia bahkan baru datang ketika dokter itu sudah pergi. "Kalau lu ragu terus kayak gini, lu menghindar aja dulu dari Lovelyn." Solusi Bayu terdengar masuk akal memang. Aster kembali tertegun selagi berfikir keras. Ia kembali melihat kertas kecil itu lalu melemparnya sembarang. Aster merasa keseimbangan hidupnya mulai terganggu semenjak kedatangan Lovelyn.

Tapi, masuk akal jika memang harus menghindarinya dulu. Setidaknya sugesti tentang darah emas Lovelyn harus hilang. Biar Aster tidak terus-menerus terusik dengan keanehan-keanehan itu.

.
.
.
.
.
.

Aster ada janji dengan Kiyai Zidan yang kala itu ribut sekali memaksa ingin bertemu. Kiyai gadungan itu terus-menerus menghubungi Tomi, Gio, bahkan Bayu. Aster sejak awal enggan direcoki dengan hal-hal seperti itu. Jadi kontaknya selalu aman dan di halau oleh teman-temannya. Tapi jika Kiyai Zidan sudah mengancam akan melibatkan media, Aster berpikir untuk kembali bernegosiasi lagi. Bukankah selama ini Aster bersembunyi? Ancaman ini memang selalu mempan untuk Aster.

"Abis pingsan gini masih kuat memang? Besok aja deh.." Tanya Gio ketika mereka keluar dari gerbang sekolah menghampiri Tomi yang sudah bersiap dengan mobilnya.

"Siapa yang pingsan?" Tomi bertanya heran dengan celetukkan Gio. Bayu dan Aster tentu saja sedikit melotot karena jika sampai Tomi tau, artinya Erlangga akan tau juga dan akan semakin rumit.

"Ah.. Gue.." Gio ngeles kemudian berakting sendiri memegangi kepalanya. Dia rajanya ngeles sih.

"Oh.. Kalau gitu, biar saya dengan Bayu saja. Kamu boleh pulang." Ungkap Tomi.

"Ah.. Enggak! Gue gak papa kok. Sehat!" Gio langsung berubah kembali karena memang ingin menemani Aster juga. Tau kan, apa artinya jika Gio tidak ikut?

Ya.

Dia tidak di gaji. Uang tetap nomor satu.

Tomi sekilas memandangi Gio tak suka kemudian mempersilahkan Aster masuk ke dalam mobil untuk segera bergegas. Mereka sudah memiliki tempat masing-masing di dalam mobil itu.

Lovelyn yang kebetulan melihat mereka masuk ke dalam mobil mewah itu sempat memperhatikan dari jauh.

Oh? Ternyata pegawai resepsionis itu teman Aster juga? Pantas waktu itu terlihat begitu mengenali Aster. Gue beneran di manfaatkan. Jangan-jangan tadi pingsan pun bohongan? Pikir Lovelyn.

"Woy!" Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Lovelyn ketika matanya masih juga memperhatikan laju kendaraan yang Aster naiki tadi.

"Paan si?" Tanya Lovelyn ketus.

"Judes amat lu.." Keluh Evan yang juga memperhatikan siapa yang Lovelyn lihat. "Mereka punya dinding tinggi yang gak bisa kita jangkau." Evan kembali mengomentari soal Aster dan teman-temannya.

"Si Aster sakit?" Tanya Lovelyn penasaran.

"Sakit jiwa?" Ujar Evan. "Kayaknya iya." Lanjutnya.

"Ahz.." Sudahlah. Evan pun sepertinya tidak tau apa-apa.

Mereka berjalan bersama pada akhirnya. Evan mengikuti kemana langkah Lovelyn.

"Waktu itu kenapa lu berurusan sama si Aster?" Tanya Lovelyn.

"Mm.. Gue pengen dia masuk club futsal. Tiga bulan lagi ada kejuaraan dan gue butuh orang kayak Aster buat mimpin tim kita." Jawab Evan jujur.

"Dia mau?" Tanya Lovelyn penasaran.

"Gue kalah taruhan. Aster mau masuk kalau gue ngalahin dia tanding game."

"Ya lu kenapa game si? Harusnya lu ajak lari kek.."

"Dih.. Ngajak anaknya elite global lari panas-panasan bisa-bisa mat***i gue." Evan terkekeh sendiri ketika menyadari hal itu.

"Emang seberapa kaya dia?" Lovelyn masih juga mengumpulkan informasi. Buat jaga-jaga ya kan? Siapa tau berguna kalau lagi bermasalah sama dia. Tapi gak usah juga sih, harusnya mulai sekarang Lovelyn tak lagi berurusan dengannya. Meski gantengnya gak ngotak banget, tapi ya gimana? Dia sin**ting. Pikir Lovelyn.

"Mm.. Yang punya perusahaan market place terbesar di sini bokapnya dia. Yang punya perusahaan ojek online yang kuning-kuning itu juga punya bokapnya. Terus lu tau gak brand ban motor atau mobil namanya SAK?"

Lovelyn menggeleng karena memang belum pernah dengar. Ya kali dia tau onderdil motor atau mobil. Yang pasti-pasti aja Lovelyn sepertinya hanya tau soal fashion, make up, atau market place dan ojek online yang Evan sebutkan tadi Lovelyn juga sedikit tau.

"Ya.. Itu juga punya perusahaan bokapnya Aster. Namanya Pak Erlangga. Dia punya beberapa yayasan khusus buat penderita kanker, Yayasan SLB, Yayasan atlet, pokoknya banyak deh. Gue juga gak tau semua. Yang jelas Pak Erlangga punya power di negara ini. Kalau di jelasin mah masih panjang Lyn. Perusahaan dia dan cabang-cabangnya masih banyak. Belum lagi dia bikin resto-resto western di sana sini. Pokoknya crazy rich lah.." Penjelasan Evan membuat Lovelyn makin meriang sendiri.

Jika kehidupan Aster dipenuhi dengan kekayaan yang berlimpah seperti itu, pantas jika dia selalu terkesan seenaknya sendiri. Tapi bukankah seharusnya sejahtera dan bahagia? Kenapa dia keliatannya stress? Bahkan kalau diperhatikan, jarang banget ngomong. Suaranya kayak mahal banget buat di dengar sembarangan. Semakin dipikirkan, Lovelyn malah makin tertarik pada sosok Aster.

"Dia jahat gak si?" Tanya Lovelyn kembali ingin memastikan ini. Evan sebelumnya sempat menceritakan sekilas namun Lovelyn ingin tau yang lebih jelasnya lagi.

"Kebanyakan orang di Utopia si gak mau ambil resiko Lyn. Temen gue juga ada yang tiba-tiba berhenti sekolah gara-gara dia."

"Siapa?" Tanya Lovelyn penasaran.

"Angga.." Jawab Evan dengan raut yang berubah sedih.

"Angga? Angga temen SD kita?" Tanya Lovelyn. "Dia sempat masuk sini?" Lanjutnya memastikan lagi. Evan mengangguk dengan senyuman tipis.

"Van.." Lovelyn menghentikan langkahnya berusaha meminta jawaban lebih jelas. Karena setahunya, "Angga udah meninggal Van.. Gue tau dari grup sekolah." Lovelyn mengerut heran. Adakah cerita di balik ini?

Evan sempat terdiam sejenak kemudian membalas tatapan itu. "Aster bully dia Lyn." Ungkapnya.

"Maksudnya?"

"Dia bunuh diri gara-gara Aster." Lanjut Evan yang sepertinya sudah sejak lama memendam rasa sakit ini.

"Terus lu diem aja?" Lovelyn tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bukankah selama ini dia melihat tatapan Evan pada Aster terlihat normal? Kenapa dia bisa bersikap seperti itu padahal menyimpan hal yang pahit seperti ini? Siapa sebenernya yang gak normal di sini? Lovelyn mulai meragukan keduanya.

"Gue bisa apa Lyn?" Kekeh Evan yang kemudian meneruskan kembali langkahnya.

"Di bully gimana si maksud Lo?" Lovelyn masih ingin kejelasan. Bukankah jika seperti ini, artinya Aster bukan orang baik? Kalau dibiarkan begini, artinya Lovelyn satu kelas dengan kriminal?

"Semua Utopia tau Lyn. Tapi mereka semua bungkam. Gak ada yang berani lapor. Termasuk gue yang emang gak berani. Bisa-bisa bisnis bokap gue abis kalau sampai berani nantang Aster." Ungkap Evan. Lovelyn terlihat masih menunggu penjelasan lain.

"Motor Angga pernah di seret pakai mobil Aster sampai hancur. Mereka juga sempat nimpuk Angga pakai kue di depan banyak orang. Angga juga pernah di keroyok sama temen-temen Aster. Buku-buku, tas, semua di bakar sampai habis. Yang paling bikin sesek, Angga pernah pulang cuma pakai kaos oblong sama celana boxer nyeker ke rumahnya." Lagi-lagi Evan menceritakan semua itu dengan raut sedih bahkan berkaca-kaca.

"Separah itu Van?" Mendengar pertanyaan itu, Evan mengangguk yakin. Lovelyn mulai bingung harus percaya sepenuhnya kah? Atau tidak sama sekali. Entah mengapa, dilihat dari sikap Aster, gerak-geriknya, bahkan tutur katanya, sama sekali tidak ada indikasi ke arah sana. Bullying parah yang Evan ceritakan tadi benarkah Aster otaknya? Haruskah percaya? Gumamnya dalam hati.

"Makannya gue bilang berkali-kali, jangan pernah cari masalah sama dia. Kalau bisa diselesaikan dengan uang, syukur. Jangan ganggu Aster Lyn.." Ujarnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top