#AC10
Kok masih ada komentar 'Next' ya? Apakah enggak tau kalau cerita ini Insya Allah akan dipublish setiap sahur selama bulan Ramadhan?
####
Suara monitor EKG terdengar seperti lagu pilu ditelinga, sudahlah pasti. Bernapas dibantu Ventilator yang dihubungkan dengan selang yang dimasukkan lewat hidung, kakek Abraham terlihat pucat pasi.
Ily mengusap wajahnya setelah berkali-kali menyusut air disudut matanya. Tak tega melihat keadaan kakek Abraham saat ini. Kalaupun ada yang harus disyukuri, karna kakek masih hidup meskipun dalam keadaan yang tidak sadar saat ini.
Perasaan bersalah pada kakek Abraham menyelimuti hati. Ia merasa karnanya beliau mendapat serangan jantung. Kalau ia tidak ceroboh pasti ia akan baik-baik saja, dan kakekpun demikian. Ia yang telah membuat situasi menjadi kacau.
"Maafkan aku, kek!" Isaknya menggema diruang sunyi.
Kakek Abraham memang pria yang baru dikenalnya. Namun ia sudah merasa beliau seperti orangtuanya sendiri. Kakek Abraham begitu baik dan perhatian padanya. Mungkin karna ia sudah yatim piatu sejak masih remaja, dimana masa remajanya hanya dilalui sendirian, hingga ketika bertemu dengan kakek Abraham yang baik, ia seolah menemukan sosok ayah.
"Yaa Allah, berikan kesadaran dan kesembuhan kakek Abraham, kakek Abraham sangat baik dan masih dibutuhkan keluarganya, ini bukan tentang aku yaa Allah, ini tentang beliau yang berhak mengisi hari tuanya dengan bahagia bersama keluarga yang dicintainya...."
Ily berdoa didalam pedih yang melanda teringat apa yang pernah diucapkan kakek Abraham padanya.
"Kakek berharap Tuhan masih memberikan waktu yang panjang untuk mendampingi Ali, cucu kakek satu-satunya setelah ayahnya tiada!" Tutur kakek Abraham waktu itu.
"Kakek, akan tenang meninggalkannya kalau dia sudah benar-benar handal dan mandiri sebagai pengusaha!" Lanjut beliau lagi.
"Ayahnya meninggal saat ia masih sekolah menengah pertama, masa remaja yang sebetulnya membutuhkan perhatian dan arahan dari orangtua!" Kakek melanjutkan lagi sementara ia mendengarkan penuh perhatian.
"Sejak ayahnya tiada, ibunya pun sibuk diluar rumah, sebenarnya kakek tidak pernah melarangnya menikah jika ingin mengganti putra kakek dengan yang lain, namun sampai saat ini, Bonita tidak juga mengakhiri masa kesendiriannya!" Cerita kakek Abraham tanpa jeda.
Ily saat itu hanya menjadi pendengar. Ia merasa cucu kakek teramat sangat beruntung memiliki beliau. Ia saja tidak punya siapa-siapa setelah ditinggal orangtuanya. Hal itu ia ceritakan kepada kakek Abraham saat beliau bertanya tentang keluarganya.
"Miss Brainly!"
Terjengit, Ily merasa bahunya disentuh. Lamunannya tentang kakek Abraham memudar. Ia menyingkirkan tangannya yang sedari tadi menutup wajah dengan menekukkan siku dipermukaan ranjang untuk menoleh.
Ia melihat tatapan yang tidak biasa dari sorot lentik yang seolah memberinya kode untuk keluar dari ruangan itu.
Miss Brainly tidak menolaknya saat ia dituntun untuk berdiri dan melepas kain biru yang harus dikenakan ketika berada diruangan ICU. Ruang Intensive Care Unit, ruangan khusus di rumah sakit yang memberikan perawatan dan pemantauan bagi orang-orang yang mengalami sakit parah.
Bagaimanapun ia perlu mengerti bahwa ia memang tidak bisa berada di dalam ruangan setiap saat. Namun, ia tidak akan pulang dan akan terus berada di luar ruangan. Ia berpikir, segala sesuatu yang terjadi di ruang ICU biasanya membutuhkan keputusan yang cepat dan membutuhkan keputusan keluarga segera. Ia tidak ingin terlambat dan harus mendampingi kakek semampunya meskipun mister Abraham juga tidak beranjak sejak mereka sampai disana.
"Kau belum makan, ada aku yang menjaga kakek, kau bisa..."
"Saya tidak lapar!" Potong miss Brainly cepat saat mister Abraham berkata setelah mereka sudah berada diluar ruang ICU. Ia benar-benar tidak berselera untuk memenuhi perutnya yang belum diisi sedikitpun sejak siang tadi.
"Tidak lapar bukan berarti tubuhmu tidak membutuhkan asupan!" Ucap mister Abraham datar.
"Apa pedulimu?" Sinis ucap miss Brainly. Seketika ia merasa mister Abraham sok perhatian.
"Ini bukan soal peduli atau tidak, kakek belum sadar, kau tidak mau makan, kalau kau sakit memangnya saya sanggup jaga dua orang?" Sergah mister Abraham lagi.
"Memangnya siapa yang butuh penjagaanmu?" Miss Brainly mencelos.
"Meski kau tak butuh, jika kau masih berada disini, mau tidak mau siapa yang repot hah?"
Mister Abraham menahan geram. Sesungguhnya tadinya melihat miss Brainly menangisi kakeknya dan tidak mau beranjak pergi ia merasa tertampar. Ia saja yang cucunya mungkin tidak seperhatian itu pada kakeknya. Karna miss Brainly juga ia menetap disana. Tidak mungkin oranglain saja berempati kenapa ia yang sudah hidup bersama kakeknya sejak lahir tidak ada rasa empati? Tapi sikap miss Brainly yang seperti mengajak perang padanya membuat egonya bangkit kembali.
"Dikasih hati minta jantung!" Sungut mister Abraham dan setelahnya membalik badan sebelum berlalu dari hadapan miss Brainly yang terpaku menatap kepergiannya.
'Kau mau kemana?'
Pertanyaan itu hanya sampai ditenggorokan Ily saja. Sudah terlambat. Sebenarnya ia kesal, kenapa mister Abraham tidak memaksa? Ia baru sadar kalau laki-laki memang sulit memahami perempuan. Apalagi selevel mister Abraham yang pasti masih menganggapnya bawahan. Padahal ia sudah tidak merasa bawahannya lagi. Ia sudah mengundurkan diri, kalau bukan karna permintaan kakek Abraham, ia tidak akan sudi menemuinya lagi.
"Kalau untuk ditinggal, kenapa tadi diajak keluar? Dasar!" Sungut miss Brainly.
Ily duduk dibangku didepan ruangan itu. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya yang sedikit terangkat sambil memejamkan mata. Lelah. Apa yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya tidak melelahkan jika mister Abraham tidak macam-macam.
Apa katanya? Ia adalah cctv bergerak? Miss Brainly teringat ucapan mister Abraham saat mereka berada diruangan kakeknya. Salah sendiri kenapa seperti bayi besar padahal brewokan. Huh. Miss Brainly membatin. Ia bergirik teringat brewok. Kenapa seketika ada yang panas ditelapak tangannya? Bahkan setelah itu ia meraba bibir dan sekitarnya. Teringat mister Abraham juga berkata bahwa ia memaksa mencium dengan rakus.
Astagfirullah.
Ia tak dapat membayangkan bagaimana kejadiannya. Padahal hanya bayangan dan ia tak sadar, kenapa mengingat brewok ia merinding? Untung saja rekamannya tidak dilihat kakek. Ia juga tidak menyangka kakek akan mencelupkan memory kamera itu kedalam gelas berisi air.
Uhh. Mengingat air ia tiba-tiba merasa tenggorokannya sangat kering.
Kriukk!
Ily memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi. Cacing dalam perutnya sepertinya baru saja protes. Sebenarnya kata dokter perut berbunyi bukan karna cacing, tapi karna pergerakan usus dan angin yang ada ditubuh.
Ternyata, mister Abraham benar, tidak merasa lapar bukan berarti ia tidak butuh asupan.
Miss Brainly celingukan seakan mencari sesuatu. Tempat itu sangat sepi. Bahkan petugas saja tidak ada yang lewat. Kalau ia tinggalkan, tidak ada yang menjaga kakek.
"Ly, kali ini sikapmu salah, kenapa tadi tidak pergi makan saja dulu dan dia yang menjaga kakek!" Bisik Ily pada dirinya sendiri.
Kenapa aku jadi labil begini? Batin Ily sambil menghempas napasnya. Perutnya makin keroncongan saja. Rupanya usus dan angin didalam perutnya berkolaborasi menimbulkan keributan karna minta diisi.
Miss Brainly berdiri dengan terpaksa. Bagaimanapun ia harus mencari makanan karna sesungguhnya mister Abraham benar, kalau ia sakit, ia akan merepotkan saja. Bukankah ia ingin kakek pulih lalu kenapa ia yang cari penyakit?
"Maaf ya, kek, aku tinggal sebentar!"
Miss Brainly mulai melangkah dengan berat. Namun langkahnya terhenti karna diujung jalan sosok yang ia rutuki dari teringat ucapannya dirumah sampai dirumah sakit muncul dan melangkah kearahnya.
"Nih, makan! Awas kalau ego!"
Seolah ingin melempar, Ali menyerahkan sekantong belanjaan.
"Ego apa?" Ily bertanya sambil melihat kedalam kantong dimana ada sekotak makanan disana beserta sebotol air mineral.
"Mentang-mentang benci padaku, memilih menyakiti diri sendiri!"
Miss Brainly memutar bola matanya. Benci. Memang iya, tapi dalam situasi saat ini sebenarnya ia lupa pada bencinya. Ia lebih fokus mengkhawatirkan kakek Abraham.
"Apakah makanan ini aman?" Ily bertanya setelah duduk dan membuka kotak makanan diiringi Ali.
"Maksudmu?" Ali mengeryitkan alisnya.
"Saya tidak pusing lagikan kalau makan makanan ini?" Sindir Ily membuat Ali melebarkan mata.
"Apa? Sini, saya yang makan kalau kau tak percaya pada saya!"
Ali hampir saja merebut kotak makanan yang ada dipangkuan Ily, tapi Ily menjauhkan kotak makanan itu darinya.
"Terima Kasih!" Ucap Ily datar setelahnya.
"Bagus!" Sahut Mister Abraham puas.
Mereka terlihat bukan seperti orang asing, bukan seperti antara bos dengan atasan namun seolah seperti pasangan yang sedang berdebat dan marahan.
"Sini!"
Ali meraih botol air mineral ditangan Ily ketika ia melihat gadis itu kesulitan membukanya dengan sebelah tangan.
"Terima Kasih!"
Miss Brainly mengucapkan terima kasih lagi dan menumpahkan air didalam botol itu langsung kemulutnya.
'Stupid!'
Mister Abraham mengumpat dalam hati saat melihat ulah miss Brainly menumpah air langsung kemulutnya, mister Abraham justru teringat rasa bibir gadis itu saat menciumnya rakus.
Sementara itu, miss Brainly sedang memenuhi tuntutan perutnya dengan nikmat. Lapar dikasih makanan, nikmat mana lagi yang bisa didustakan?
Ali berdiri lalu melangkah melihat kekaca ruang ICU dimana kakeknya berada. Daripada pikirannya kemana-mana melihat miss Brainly, lebih baik ia mengontrol kakeknya.
Tanpa pamit pada Ily, Ali memasuki ruang ICU dan melihat keadaan kakeknya. Suara monitor EKG memang seperti lagu sendu bagi yang mendengarnya. Seperti saat ia melihat dari kaca saat Ily disana menangisi kakeknya. Tentu seharusnya ia yang lebih takut kehilangan kakeknya. Kakek yang merangkap sebagai ayah sejak ayahnya tiada.
"Maafkan aku, kek!" Lirih suaranya terdengar. Ia juga tak tau maaf untuk kesalahan yang mana yang sedang ia minta.
Kesalahannya menggunung. Seperti tidak beradab pada kakeknya. Menghilangkan aset perusahaan dengan kecerobohannya. Kerjasama dilakukan dengan pendekatan yang tidak seharusnya.
"Kek?"
Tidak ada yang kebetulan meskipun Ali merasakan seperti itu saat ia duduk disamping kakeknya, ia melihat kelopaknya mengerjab.
"Kakek!!"
Ali langsung menggenggam tangan kakeknya.
"Ily...."
"Dia ada diluar kek, akan aku panggilkan!"
Mengabaikan siapa yang dicari kakeknya saat pertama kali sadar, Ali berdiri dan menekan tombol merah untuk mengabarkan kalau kakeknya siuman pada para medis dan ia keluar menemui Ily.
"Dicari kakek!" Serunya tanpa intro.
"Hah?" Ily hampir tersedak.
Menaruh makanan dan minuman Ily melesat masuk kedalam ruangan.
"Kakekkk!"
Ily menghampiri ranjang dimana kakek berbaring.
"Kau baik-baik saja?" Kakek Abraham justru mempertanyakan keadaannya.
"Kakek jangan memikirkan aku, aku baik-baik saja, syukurlah kakek sudah sadar, aku menjadi semakin baik, kek!" Miss Brainly menggenggam tangan kakek Abraham dengan linangan airmata.
"Aku juga baik-baik saja, kek!" Sindir Ali merasa kakeknya lebih peduli pada Ily.
Kakek Abraham menoleh kearah mister Abraham lalu menatapnya lekat-lekat.
"Akan lebih baik kalau kau jadi pria yang bertanggung jawab, Li!" Ucap kakeknya, mengulang saat sebelum beliau kena serangan jantung dan dilarikan kerumah sakit itu akibat penolakan Ali.
"Pertanggung jawaban seperti apa yang kakek harapkan dari aku, kek?" Tanya Ali datar.
Ia ingin memastikan maksud kakek, sebenarnya pertanggung jawaban seperti apa yang beliau harapkan setelah berbicara halal haram dan bukan mahrom.
"Nikahi dia!"
#####
Banjarmasin, 12 April 2022, 10 Ramadhan 2022
Eng ing eng!
Selamat menjalankan ibadah puasa dihari ke 10. Masih ada yang gak sabar menunggu hari berikutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top