#7

Lanjut, gak? Vote & comments juseyoooo


"Serius, anak bungsu nggak pernah ke sini?" Seolah tidak mempercayai informasi yang diberikan Ibel, Jeffrey bertanya langsung pada sang ayah begitu pelukan singkat mereka terurai.

Roger Abram mengangguk pasrah. Bahkan sudah lupa kapan terakhir kali bertemu dengan sang putra bungsu, yang lagaknya lebih sibuk dibanding bapaknya. "Takut ditanya, kapan ngambil magister."

"Lho, dia nggak minat S2?" Ibel, yang sudah mengenakan kembali celemeknya, nimbrung bertanya.

Setahunya, tahun lalu Zane hanya belum beruntung masuk kampus tujuan. Lalu, biar nggak nganggur-nganggur amat, dia dan teman-temannya membuat Event Planner kecil-kecilan, yang kemarin—berdasarkan paksaan dari Sabrina—dia rekomendasikan untuk mengurusi pernikahan Raline dan Christian.

Sebenarnya, nggak kecil-kecil amat, mengingat gedung kantornya lebih dari proper, serta jumlah karyawannya cukup banyak. Tapi karena hampir semua kliennya adalah kenalan Roger, sudah bisa diprediksi bahwa bisnis bocah-bocah yang nggak pernah hidup susah ini akan sulit bersaing. Dan Ibel hanya bisa menghela napas panjang mendapati adiknya mendapat pengalaman magang pertama di tempat yang kurang meyakinkan.

"I've told you, he's the one who doesn't get the brain in the family." Jeffrey menjawab pertanyaan Ibel. Terlihat puas saat mengatakannya. Membuat sang ayah memberinya lirikan tajam.

"Coffee?" Roger menawari putranya.

Jeffrey menggeleng. "It's too late for coffee. Lagian, aku cuma mampir sebentar."

Dia lalu mendorong punggung ayahnya sampai duduk di sofa ruang tengah, sementara Ibel melanjutkan kembali aktivitasnya sembari sesekali memperhatikan interaksi bapak-anak itu.

They really do look similar to each other—only Jeffrey is taller and bigger.

Keduanya sama-sama memiliki fisik yang mencolok dan berwibawa. Tinggi, kekar, tampak jelas berdedikasi untuk menjaga kebugaran.

Fitur wajah nyaris serupa. Garis rahang kuat, tampak maskulin. Warna mata gelap, sepasang alis tegas, terlihat dalam dan intens ketika memandang.

Sama-sama bersuara bariton yang terdengar berwibawa dan menenangkan, dengan suara sang ayah sedikit lebih kalem.

Tapi di antaranya semuanya, yang paling menonjol adalah senyum mereka.

Menawan. Memancarkan kehangatan dan karisma. Saat mereka tersenyum, wajah mereka bersinar, mata mereka berbinar tulus, hingga bisa menular ke siapapun yang melihat.

Bedanya, ketika tersenyum, Jeffrey memiliki lesung pipi halus di sebelah kanan sebagai sentuhan ekstra, meningkatkan daya tariknya secara keseluruhan, menjadikannya lebih menawan dan mudah diingat.

Dan tentu, Roger Abram punya lebih banyak kerutan di sudut mata saat tersenyum dan tertawa.

Overall, kedua pria itu indah untuk dilihat.

Kemudian, baru saja Ibel hendak memasukkan apapun yang dia buat itu ke dalam oven, Jeffrey tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, berpamitan.

Seketika Ibel bingung. "Aku belum selesai bikin makan malem," katanya, memprotes.

"Jam segini baru mau makan malem?" Malah Jeffrey jadi ikut bingung. "Kirain baking sekarang, buat besok pagi."

"Enggak, buat malem ini. Baru sempet makan sekarang." Ibel lesu. Padahal, dilihat dari pakaian kerja di balik celemeknya, sudah jelas dia langsung mampir kemari sepulang kerja.

Tapi Jeffrey tetap menggeleng. "Sorry. Kalian berdua aja, ya. I can't eat after eight pm. Lain kali aja kita agendain family lunch, gimana? Sekalian nunggu calon mantu nyampe Jakarta."

Ibel pun mengangguk.

Setelah sekali lagi berpamitan dengan ayahnya, pria itu berlalu diantar Roger ke depan.

Ketika kemudian Roger kembali masuk, Ibel mendesah.

"Kamu kasih tau dia kalau aku masih newbie, ya?" tuduhnya.

Seketika Roger membuat gestur defensif untuk membela diri. "Enggak, kok."

"Tapi itu dia kayak ngeri banget diajakin makan bareng. Padahal, belum juga jam sembilan."

"Maybe he's on a diet. Why would I tell him? We don't really talk about each other's girlfriends tho." Segera Roger berjalan menghampiri. "Kamu masak apa, sih, kok kayaknya heboh bener? Perlu dibantuin?"

"Udah selesai. Udah masuk oven. Tinggal tunggu mateng doang."

"Then let me help you with the dishes."

Tanpa menunggu persetujuan, Roger sudah lebih dulu menggulung kedua lengan kemejanya sampai siku, memandang kekacauan yang dibuat oleh perempuan kesayangannya itu, bingung mau mulai berberes dari mana.


~


Perjalanan dari kediaman ayahnya di Teuku Umar menuju kediaman barunya di Kertanegara memakan waktu kurang dari lima belas menit.

Begitu Jeffrey memasuki rumah, ketiga asisten rumah tangganya langsung menyambut di dalam.

"Mas Jeffrey." Seseorang menyebut namanya.

Jeffrey mengulas senyum, mengenali salah satu di antara ketiga ART perempuan tersebut sebagai seseorang yang biasa mengurus rumah Oma.

"Bu Yani, kan?" Jeffrey mengulurkan tangan untuk berjabatan. "Tadi saya udah kenalan sama Pak Yanto, yang jaga di depan."

"Iya, bener, Mas." Yang bernama Bu Yani tersenyum bangga karena dikenali majikannya, walau jarang bertemu. Kemudian beliau memperkenalkan kedua rekannya, yang terlihat lebih muda. "Ini Mbak Susi sama Mbak Ning, pindahan dari rumah Oma juga."

Jeffrey menyalami satu per satu. "Ya udah, pada istirahat, gih. Udah malem. Besok pagi aja kita briefing."

"Baik, Mas. Selamat istirahat. Kopernya sebentar lagi diantar ke atas sama Pak Yanto."

Sepeninggal ketiga asistennya, Jeffrey menyempatkan diri untuk melihat-lihat.

Bangunannya tidak begitu luas, mungkin tidak lebih dari tiga ratus meter persegi. Interior dan eksteriornya sederhana saja, dengan gaya eklektik yang mengingatkan Jeffrey dengan rumah Oma di Bogor.

Layout ruangnya tidak ada yang istimewa. Open space lantai satu berisi sofa-sofa besar dan kursi-kursi yang tidak match dari model dan warna; meja makan dari jati kuno yang tebal dan mungkin butuh belasan orang untuk menggesernya; dapur berukuran grande di salah satu sisi, berseberangan dengan satu kamar tamu dan home office.

Karpet-karpet besar, lukisan berbagai gaya, guci-guci, pajangan benda antik, dan pot-pot tanaman besar menghiasi berbagai sudut, memberi kesan homey meski Jeffrey baru memasuki rumah itu untuk pertama kali.

Di belakang ada halaman berumput dengan beberapa pepohonan rimbun, lapangan tenis, serta kolam renang kecil. Beberapa alat fitness berjajar begitu saja di teras, karena tidak ada ruangan lain untuk gym.

Garasi dan area servis berada di basement. Sedang di lantai atas hanya terdiri dari satu kamar dan studio tempat Revanda bisa melakukan apapun sesukanya.

Jeffrey lalu menghampiri baby grand piano milik Revanda yang belum lama tiba dari NYC. Sekilas menyentuh permukaannya yang bersih mengkilat.

Merasa puas, pria itu kemudian menaiki tangga menuju kamar tidur.


~


Esok paginya, Jeffrey turun dan mendapati lima orang yang akan membantunya di rumah sudah berbaris rapi di antara dapur dan living room.

"Duduk lah. Emang nggak capek, berdiri?" Jeffrey tertawa pelan. "Udah pada sarapan?"

"Sudah, Mas. Tadi Ibu masakin sop iga kayak di rumah Oma buat Mas Jeffrey." Bu Yani yang menjawab.

Jeffrey mengangguk dan menempati salah satu kursi di meja makan, mempersilakan semuanya duduk.

"Oma udah ngasih tau pasti, nanti saya tinggal di sini sama Revanda, calon istri saya. Dia nyampe hari Minggu siang."

Binar, supirnya, mengangguk, diiringi wajah-wajah antusias seisi meja. Saking antusias, semua orang memegang notes di tangan masing-masing.

"Artis terkenal ya, Mas? Kita-kita udah follow Instagramnya. Cantik-cantik banget fotonya. Jadi nggak sabar pengen ketemu." Mbak Ning, yang paling muda, seperti sudah sangat siap menyambut majikan baru.

Sementara itu, Mbak Susi punya kekhawatiran lain, "Mbaknya asli Indo kan, Mas? Bisa ngomong bahasa Indonesia? Saya Bahasa Inggris bisanya yes-no doang."

"Iya, bisa. Dari kecil sampai SMA dia tinggal di Jatim, kok." Jeffrey mengangguk. "Oma udah kasih tau belum, ya? Dia lagi sakit. Jadi maaf aja kalau nanti agak sensitif."

Bu Yani menunjukkan ekspresi penuh pengertian. "Udah, Mas. Kita pastiin bakal hati-hati banget."

"Good." Jeffrey tersenyum puas. "Saya nggak ada preferensi aneh-aneh soal tugas rumah tangga. Kerjain seperti biasa aja. Soal pembagian tugas, juga saya nggak ngerti. Terserah, senyamannya kalian. Yang penting rumah selalu bersih."

Semuanya mengangguk.

Jeffrey melanjutkan, "Usahain pagi-pagi udah selesai berberes, jadi waktu Mbak Anda bangun dan mulai aktivitas di lantai ini, udah nggak banyak mobilisasi. Dia nggak gitu suka lihat orang seliweran.

"Tolong jaga privasi, ya. Jangan bikin konten medsos di rumah. Di New York udah diikutin wartawan terus, biarin di Jakarta dia istirahat.

"Terus, sebisa mungkin jangan berisik. Kalau mau bersih-bersih pake vacuum, pas dia lagi nggak di rumah aja. Kalau ada apa-apa yang perlu reparasi dan ngedatengin orang, kabarin saya dulu.

"Soal masak-memasak, saya biasa bikin sarapan sendiri, jadi nggak perlu repot nyiapin makanan buat saya pagi-pagi. Anda juga bakal ada langganan catering sendiri. Paling, saya minta tolong bantu ingetin dia aja, kalau lihat jatah makannya belum kesentuh. Jadwal makannya lima kali sehari. Porsinya kecil-kecil. Repot emang. Tapi namanya juga masih recovery. Doain aja supaya bisa cepet makan normal.

"Kalau dia bosen sama menu catering dan request sesuatu, bikinin aja sesuai maunya. Hampir nggak pernah, sih, tapi ya buat jaga-jaga aja. Pada bisa masak, kan?"

Bu Yani mengangguk. "Mbak Susi jago bikin masakan kebarat-baratan gitu, Mas."

Jeffrey melanjutkan lagi, "Dia alergi gluten, susu sapi, sama sebagian besar seafood. Nggak makan pedes, santan, gorengan, daging mentah, rempah-rempah yang rasa dan baunya medok, sama minuman manis-manis. Ikan sama daging merah nggak gitu doyan. Yang aman dan gampang, ya kasih ayam sama sayur aja, dipanggang atau ditumis. Selalu stok sayur buat salad, sama buah, yang variatif. Mungkin besok atau kapan, saya temenin belanja yang sekiranya cocok sama selera saya sama Mbak Anda, biar selanjutnya mbak-mbak bisa belanja sendiri."

Para mbak-mbak agak ternganga mendengar penjelasan Jeffrey yang cukup panjang dan detail itu. Tapi segera mengangguk-angguk, mulai bisa menarik benang lurus, mengapa calon istri majikannya terlihat agak memprihatinkan di foto. Lha wong makan aja susah, kayak balita lagi GTM.

"Minggu-minggu pertama dateng, mungkin dia nggak keluar kamar sama sekali, biarin aja. Namanya tujuh tahun nggak ke Jakarta, pasti butuh nyesuaiin diri.

"Selain susah makan, dia juga susah tidur. Jadi kalau udah ketiduran, di mana aja, jam berapa aja, biarin. Kalau ada tamu dateng pas dia tidur, Bu Fero, Pak Richard, atau Oma sekalipun, bilang aja, kata Mas Jeffrey, kalau Mbak Anda lagi tidur, nggak boleh diganggu." Melihat keraguan di wajah-wajah di hadapannya, Jeffrey segera menambahkan, "Tentu, saya bakal bilang duluan ke Oma dan lain-lain, nggak usah khawatir. Mbak-mbak tinggal ngingetin aja, siapa tau mereka lupa."

Seketika semuanya menarik napas lega.

"Pak Richard adik sepupunya Pak Roger, kan ya? Kalau Bu Fero tuh ...." Pak Yanto tampak kesulitan menyampaikan maksud pertanyaannya.

"Istrinya Pak Richard." Jeffrey kemudian menjawab. "Bu Yani udah sering ketemu Bu Fero sama Pak Richard di rumah Oma, kan?"

Bu Yani mengangguk.

"Bu Fero itu mamanya Anda." Jeffrey menambahkan.

Sesuai prediksi, segera tampak ekspresi terkejut yang coba disembunyikan pada wajah-wajah di depannya, kecuali Bu Yani yang tentunya sudah tahu.

"Iya, bener, kami sepupu. Nggak apa-apa, kan?" Jeffrey mengiyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berani diucapkan orang-orang, kemudian terkekeh pelan. "Nggak ada hubungan darah dan hukum, sih. Mbak Anda itu putrinya Bu Fero sebelum nikah sama Pak Richard. Bukan WNI juga, nggak ikut KK-nya Pak Richard."

Akhirnya, semua merasa lega, walau bukan urusan mereka.

"Terus apa lagi, ya?" Jeffrey mencoba mengingat-ingat lagi. "Nanti kalau ada yang kurang, biar ditambahin sama Adnan, Fanny, atau asisten Anda yang lain. Oh, ya, barang dia banyak, tapi nggak usah khawatir, nanti ada sendiri yang tugasnya ngurus walk in closet. Biasa lah, kayak di rumah Oma. Mungkin seminggu atau dua minggu sekali, ada yang dateng buat ngerapi-rapiin, mbak-mbak bantu bersihin ruangannya aja."

Semua terlihat mengerti.

"Oh, ya ... kalau denger dia nangis, nggak berhenti-berhenti, nggak apa-apa, nggak usah ditegur, biarin aja. Paling saya minta tolong sering-sering cek CCTV, takutnya pingsan atau gimana." Jeffrey menutup ucapannya. "Pusing, ya?"

Pria itu menahan tawa melihat muka-muka tegang di hadapannya.

"Kalau udah dijalanin, enggak kok. Dia nggak suka nyuruh-nyuruh orang, nggak minta dilayani juga. Jadi kalau udah pada selesai bersih-bersih dan pastiin stok kulkas aman, ya udah, bisa santai-santai."

Semuanya mengangguk-angguk meski pikiran masih agak ngambang. Belum terlalu bisa membayangkan, bakal dapat majikan perempuan macam apa.

"Betewe, Mas Jeffrey keren banget." Mbak Ning tiba-tiba memuji dengan tatapan terpukau. "Kayak suami siaga. Tau sampai detail. Nggak kayak cowok-cowok lain."

Mbak Susi menyikut pelan rusuknya, sementara Jeffrey kembali tertawa pelan.

"Saya yang suka dia duluan. Udah tau ceweknya high maintenance, ya harus mau usaha lebih dong? Masa mau enaknya doang, ribetnya nggak mau?"

Semuanya makin terkesima.

Udah ganteng, kaya raya, sukses, ramah, sopan, ngerti caranya ngurus pasangan—bukan cuma mau diurus doang. Sumpah, sempurna banget majikan mereka ini.

"Oh, terakhir, saya lupa. Sprei di kamar, singkirin aja, ya. Nanti tolong cariin sprei yang polos-polos aja, jangan yang bermotif, bikin susah tidur."

"Baik, siap, Mas."


~


Sepulang dari rangkaian fashion week terakhirnya sebelum pindah ke Jakarta, Anda bergeming cukup lama di lounge. Menatap tempat tinggalnya itu seolah ada sesuatu yang menarik perhatian.

Beberapa minggu tidak ditempati, malam ini condo terlihat kosong. Padahal, hanya piano saja yang menghilang dari situ. Sisanya masih sama.

Tapi mungkin, bukan piano yang membuat suasana jadi kosong? Melainkan tidak adanya keberadaan Jeffrey. Tidak ada suaranya. Tidak ada hangat pelukannya. Tidak ada wangi masakannya.

"Sedih ya, mau ninggalin tempat yang udah tujuh tahun ditinggali?" Setelah memasukkan trolley berisi enam koper besar, Adnan berdiri di sebelahnya, membuat Anda menoleh.

Perempuan itu tidak langsung menjawab.

Apakah dia merasa sedih?

Ya.

Tapi apakah dia ingin berubah pikiran dan tetap tinggal di sini?

Tidak.

"Kamu seneng tinggal di sini, Nan? Betah?" Dia lalu bertanya.

Satu alis Adnan terangkat. "Emang lo enggak? Isn't it our dream to live in Tribeca?"

Anda tidak bisa menjawab.

Yeah, dia pernah memimpikannya. Mimpi tinggal di mana saja sesuai keinginan, tanpa merasa khawatir.

Tapi alih-alih rumah, NYC selalu terasa seperti tempat pelarian. Tempat dia selalu merasa berdosa karena hidup nyaman. Tempat dia merasa tidak seharusnya berada.

She's on the run, and she knows that. Betapapun semua orang meyakinkan dia tidak sedang bersembunyi, Anda paling tahu bagaimana kenyataannya.

Dan sebelum matanya makin terasa perih, perempuan itu memejamkan mata, mengatur pernapasan.

"Kamu boleh banget kok, kalau mau tetep di sini," katanya. Sama sekali tidak keberatan jika tempat tinggalnya ini diambil alih dan dimanfaatkan oleh Adnan yang sudah seperti keluarganya sendiri.

Tapi tentu saja Adnan menolak. "Enggak, ah. Masa lo doang yang santai-santai? Di sini biaya hidup terlalu gede, gue harus kerja keras sampe mati. Kalau pulang ke Indo sama kayak lo, pensiun sekarang juga masih tetep bisa flexing tiap hari."

Anda cuma tertawa pelan.

Beranjak dari lounge, Anda kemudian memasuki studionya, yang juga sudah dirapikan. Hanya menyisakan beberapa lukisan terbaru yang masih terpasang pada tripod easel.

Adnan berjalan mengikuti di belakangnya.

Pria itu tidak pernah suka memasuki studio Revanda.

Benar saja, meski sudah rapi semua, suasananya masih mencekam.

Tiga lukisan yang masih tersisa, yang lebih mirip lukisan siksa kubur, Adnan absolutely hate to see it.

Bukan cuma yang ini, Adnan benci semua lukisan Revanda. Alih-alih terlihat indah, sekalipun dia menggambar bunga dan pemandangan dengan gaya expressionism, semuanya terlihat punya emosi negatif. Kesedihan, kesepian, kemarahan, keputusasaan.

Adnan sampai heran, bagaimana bisa seorang manusia yang dari luar terlihat amat baik-baik saja, dalamnya bisa sesengsara itu?

"Yakin, mau ditinggal semua? Nggak mau dibawa aja?" Adnan lalu bertanya, menatap tumpukan kanvas yang sudah ditata aman di rak; tumpukan box berisi surat-surat, puisi, dan lirik lagu ciptaannya; serta seluruh koleksi buku cetakan pertama dari berbagai judul-judul klasik yang teronggok seolah tak berharga, padahal hampir sepuluh tahun lalu, Anda bersusah payah mengumpulkannya.

Anda menggeleng samar. "Buat apa?"

"Siapa tau pengen dipajang di rumah baru?"

Anda tetap menggeleng. "Kalau ada acara amal, buku-bukunya lelang aja, Nan."

That's it.

Anda tidak pernah menarik ucapannya.

Jika dia bilang mau dilelang, maka Adnan akan melelangnya, walaupun sayang.

Merasa iba, Adnan mengulurkan lengan untuk merengkuh bahu temannya. "You sure you'll be okay?"

Anda mengangguk. "Kan ada kamu sama Jeffrey. I know I'll be okay as long as you two are with me."

"Right." Adnan tertawa pelan, mendorong bahu Anda supaya keluar dari ruangan itu. "By the way, nggak pengen ke Le Bain? Menikmati New York city lights for the last time? Biar gue yang izin ke pacar lo."


#TBC

Udah keliatan belom pesona bang jepri? Apa masi kalah sama bapaknya?

ACT 1 cerita ini terlalu gloomy, atau biasa aja?

Harusnya, Gera baru muncul di ACT 2 biar nggak pening kebanyakan tokoh. Tapi takut terlalu angst kalau terlalu banyak scene Anda-Jeffrey dan gak diselang-seling sama cerita tokoh lain-lain. Wkwkwk. Beginilah penulis amatir. Kanan-kiri gak yakin.

Part #8 ntar udah masuk ACT 2, insya Allah udah gak angst lagi. 

Anyway, ini paintings yang katanya Adnan kayak siksa kubur:



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top