#5


Begitu sesi pengambilan gambar terakhir dinyatakan selesai, salah seorang asisten segera mengibarkan selimut ke tubuh Revanda.

Sementara para model lain mendapat perlakuan serupa dari crew atau asisten masing-masing, mereka semua diberikan briefing singkat mengenai jadwal esok hari, sebelum kemudian dipersilakan untuk beristirahat.

"Yakin, mau di sini aja? Nggak perlu ke hotel?" Adnan mengulang pertanyaannya, entah untuk keberapa kali.

Bukannya berlebihan.

Pasalnya, pekerjaan hari ini memang cukup ekstrem. Sejak tadi siang, barangkali sudah belasan sesi pemotretan yang Anda lakukan. Mulai dari berpose cantik di pinggir pantai, bermacam olahraga air, hingga pemotretan underwater yang menguras tenaga dan beresiko tinggi. Dari yang mulanya mengenakan sun dress yang nyaman, lalu berbikini, hingga akhirnya topless dengan sunset sebagai background. Malamnya, masih ada konsep party di yacht, dengan backless nightgown, berhadapan dengan angin pantai yang lebih mirip angin ribut. Belum lagi, summer masih sebulan lagi, jadi bisa dibilang Ibiza masih cukup dingin pada malam hari.

"Nggak apa-apa, di sini aja. Ribet kalau besok pagi mesti bolak-balik." Seperti biasa, Anda tidak ingin terlalu picky dan menyusahkan. Terutama saat jam istirahatnya masih termasuk dalam bill yang harus dibayarkan klien. Dengan hourly rate cukup tinggi pula. "Lagian, ad shoot yacth, masa nginepnya di hotel?"

"Udah gue bilang, nggak usah nggak enakan. Your comfort comes first." Adnan berdecak, ingat repotnya membatalkan dan menjadwalkan ulang segala macam agenda setiap kali Anda mendadak sakit karena kurang istirahat.

"Iya, tau." Anda mengangguk.

Tapi, tidak mungkin semudah itu juga dia meminta diistimewakan.

Bekerja bersama-sama dengan banyak model lain seperti sekarang, sudah pasti terasa gap masing-masing personil. Dan dia tidak ingin semakin memperjelas hal tersebut.

Tidak menunggu bosnya menggigil kedinginan, Adnan segera menggiringnya masuk VIP suite di upper deck.

Karena yacht yang digunakan untuk shooting sekaligus tempat menginap malam ini masih relatif baru, Anda tidak menemukan apapun yang mungkin membuatnya tidak nyaman.

"See? You worry for nothing." Perempuan itu berkomentar ketika melewati pintu dan mendapati lounge area yang lebih dari proper di suite-nya, sebelum ia lanjut menuju kamar mandi untuk menghapus makeup.

Sebagaimana lounge-nya, kamar mandi dan bedroom-nya pun nyaman. Sama sekali tidak ada yang perlu dikeluhkan. Tapi ketika akhirnya bisa meluruskan punggung di tempat tidur, entah mengapa dia merasa seluruh tubuhnya masih tetap mati rasa.

"Aku nggak butuh apa-apa lagi, Nan. Kamu bisa istirahat sekarang." Melihat Adnan tidak kunjung beranjak, masih berdiri bersedekap di pintu yang memisahkan bedroom dengan lounge, Anda pun bersuara.

Tapi ucapannya sama sekali tidak selaras dengan keningnya yang mengernyit.

"Gue udah istirahat pas lo kerja tadi," jawab temannya itu. "Yakin nggak butuh apa-apa? Jangan sampe ada yang nangis tengah malem sambil mijitin kakinya sendiri."

Tidak bisa mengelak, Anda pun tertawa getir.

Selanjutnya, ia biarkan saja temannya itu melangkah ke tempat tidurnya, menjangkau telapak kakinya yang terjulur.

"Aku nggak pengen ngeluh, tapi malem ini beneran capek banget." Anda meracau dengan wajah merana.

Adnan mendengus pelan, kemudian nyerocos, "Emang iya. Gue kalau disuruh nyelam pake bikini doang seharian juga udah pasti nggak sanggup. Malemnya masih harus pake heels pula. Masuk angin, iya. Badan pegel, iya."

"Tolak Angin nggak ada, Nan?"

"Ada. Tumben, mau? Masih inget tanah air lo ya?" Pria itu terkekeh geli, lalu bangkit berdiri menuju tempatnya meletakkan tas di meja lounge. "Bentar, gue ambilin."

Bukan cuma Tolak Angin. Adnan hampir selalu nyetok koyo, balsem, dan segala macam hal dalam tasnya, mengingat mobilitasnya cukup tinggi, antar musim, ditambah umur yang sudah tidak lagi muda.

Tidak sampai semenit, dia kembali. Menyerahkan sekotak kecil Tolak Angin ke Revanda, sebelum kemudian kembali memijit kakinya.

Agak kasihan melihat muka sendu di depannya itu, tapi tidak punya cara untuk menyemangati.

Pasalnya, tadi pagi Anda melewatkan kesempatan bertelepon dengan pacarnya. Sekarang, di saat dia sudah santai, perbedaan zona waktu Ibiza-Seattle tidak memungkinkan, sehingga harus kembali menunggu esok pagi.

"Besok malem, kelar pemotretan, mau di-booking-in tempat makan, nggak?" Adnan menawarkan.

Sudah bisa ditebak, Anda menggeleng. "Buat kamu sama yang lain aja."

Lalu perlahan-lahan, perempuan itu memejamkan mata, walau Adnan tahu tidak semudah itu dia bisa tertidur.


~


Setelah melakukan satu hal dalam kurun waktu lama, sangat mungkin bagi seseorang untuk melupakan alasan mereka melakukan hal tersebut pada mulanya.

Dalam kasus Revanda, malam ini dia lupa mengapa pernah memimpikan profesi yang dia jalani kini.

"You've been hiding your whole life. You wanna be seen." Adnanlah yang kemudian mengingatkannya.

Yeah, right.

She wanna be seen.

Sebagai yang kelahirannya disembunyikan, identitasnya dimanipulasi, sejak kecil hingga lulus sekolah dia terpaksa hidup jauh dari hingar bingar Jakarta. Tidak terlihat.

Selama belasan tahun, dia diharapkan hidup tenang, tanpa mengundang perhatian.

Tapi, apa dosanya? Kenapa harus dia yang bersembunyi?

Alhasil, tanpa dukungan siapapun, dia kemudian mencoba menunjukkan diri. Mulai dari langkah terkecil dulu, menjadi model lokal untuk para bridal MUA di lingkungan rumahnya. Menjajal segala macam media sosial. Mengikuti semua kompetisi yang masih bisa dilakukan di sela-sela jadwal sekolah. Hingga nekat pergi ke NYC setelah lulus SMA.

Ironisnya, sekarang ketika seluruh dunia sudah melihatnya, dia kembali bersembunyi.

"Siapa bilang elo lagi sembunyi? Kalau sembunyi, nggak mungkin minggu kemarin lo ada di Met Gala. Terus sekarang di sini." Adnan kembali menangkis ucapannya, yang sempat Anda kira hanya dia ucapkan dalam hati.

Tanpa membuka mata, perempuan itu mendesah, "You know what I mean, Nan."

"Apa? Soal pulang ke Indo, yang sempet lo omongin sama Fanny?" Adnan balik bertanya cepat. Karena tidak ada sahutan, selanjutnya terdengar suara helaan napas panjangnya, tidak menutup-nutupi frustasi yang dia rasakan. "Gue setuju, stressor itu ada buat dihadapi, bukan dihindari. Makin lama dihindari, makin bikin anxious. Bikin hidup nggak pernah tenang. Tapi lo tau lebih dari siapapun, Nda. Kapasitas orang buat ngadepinnya, beda-beda. Makanya kudu pelan-pelan, dikit-dikit. Bertahap. Nggak ujug-ujug. Bayangin aja, lo udah tujuh tahun nggak ke Indo, terus tiba-tiba mau pindah permanen ke sana. Nggak tahu kondisi di sana, nggak tahu lo bakal survive atau enggak, tapi udah pede mau ninggalin semua yang lo punya sekarang. Yakin, mau kayak gitu?" Adnan mendesah. "Nggak bermaksud pesimis, tapi emang nggak masuk akal aja. Pelan-pelan, lah. Coba lo ke sana, misal buat liburan aja dulu, coba stay beberapa hari. Coba biasain dulu sambil dikit-dikit shifting kerjaan. Jeffrey udah harus bikin keputusan cepet? Ya udah, biarin dia ke sana sendiri duluan sembari lo aklimatisasi. Harusnya, nggak perlu jadi masalah. Toh selama ini udah lebih sering LDR juga. Pelan-pelan, Nda. Jadi apa lo kalau anak yang belum bisa jalan disuruh lari?"

Entah sebuah keberuntungan atau malah celaka, karena setelahnya tidak ada kesempatan melanjutkan obrolan lagi karena mendadak sebuah kejutan telepon masuk dari Jeffrey membuat perhatian Anda teralih sepenuhnya.


~


"Shit! Gue lupa ganjil-genap." Christian merutuk di ujung sambungan telepon, diikuti segala macam sumpah serapah dari berbagai bahasa.

Jeffrey berdecih mendengarnya. "Tolol. Mobil dua, gunanya buat apa?"

"Tolol. Nyetir sendiri, gunanya supir buat apa? Kayak masih inget jalan Jakarta aja." Andrew, di ujung sambungan yang lain, tidak mau kalah mengatai.

Kemudian, Christian hanya bisa tertawa-tawa. Mungkin menyadari bahwa omongan temannya ada benarnya.

Temannya itu sekarang sedang berada di Jakarta. Mengurus beberapa hal sebelum pindah secara permanen ke sana.

Kalau tidak salah, pernikahannya akan berlangsung dalam tiga bulan ke depan—waktu tercepat berdasarkan ketersediaan venue.

Terus terang, sampai sekarang kabar tersebut masih terasa surreal. Tapi Jeffrey bangga. Deciding to get married means unlocking a new stage, which even he himself has yet to reach.

"By the way, ini gue mau lunch sama calon mama tiri lo, Jeff." Christian membuat pengumuman setelah obrolan soal lalu lintas Jakarta berakhir.

"Bukannya sama calon istri sendiri, malah sama calon istri orang lain!" Andrew menimpali.

Kadang-kadang, yang keluar dari mulutnya memang sampah semua. Sampai-sampai Jeffrey seringkali mendapati tatapan ragu dari cewek-cewek saat memperkenalkan Andrew sebagai dokter gigi anak.

"She's my lawyer, damn it!" Christian masih sempat-sempatnya menimpali.

Bersamaan dengan itu, Jeffrey mendengar langkah dari arah foyer, yang berarti orang yang dia tunggu-tunggu telah tiba.

"Oke, deh. Titip salam, ya." Segera dia berpamitan, sebelum kemudian menyentuh end call button, kemudian keluar dari ruang kerjanya.

Seperti yang dia duga, Revanda telah ada di lounge. Tampak lelah tapi senyum lebar segera terkembang begitu melihatnya.

Bukannya menunggu Jeffrey menghampiri, dia justru lebih dulu bangkit dari sofa dan setengah berlari menuju pelukannya.

"Kangen kamu. Kirain masih di Seattle," katanya lirih, ketika Jeffrey balas merengkuh erat. Mencium puncak kepalanya. Menghirup wangi helai-helai rambutnya.

"Me too, darl. Me too."


~


"I've made a decision." Sambil memperhatikan Jeffrey yang sedang membantu mengeringkan rambut panjangnya melalui pantulan di cermin, Revanda berujar kalem. "I'll ... go home with you."

Alis Jeff terangkat sebelah. Gerakan tangannya terhenti. Tidak yakin pada makna 'pulang' yang dimaksud kekasihnya—karena jelas dia tidak akan berani bermimpi bisa meyakinkan wanita itu untuk pulang ke Jakarta dengan mudah, setelah tujuh tahun pelariannya.

Tidak mendapat sahutan setelah menunggu cukup lama, Revanda menoleh ke belakang. Ke tempat Jeffrey duduk dengan hairdryer di tangan. "I said, I'll go home with you, Jeff."

Seketika Jeffrey menelan ludah. Menyentuh tombol off sejenak karena sulit membagi fokus pada tangan dan kepala.

"Maksud kamu, ke ... Jakarta?" tanyanya memastikan, khawatir ada kesalahpahaman.

"Hmm." Tapi ternyata Revanda mengangguk. Tanpa terlihat sedikitpun keraguan.

Jeffrey jadi ternganga tanpa sadar. "Kamu ... yakin?"

Sekali lagi, sang wanita mengangguk. "Kecuali kamu punya rumah di tempat lain."

Jeffrey menggeleng. Tertawa kecil. Lalu terpaku.

Bukannya dia tidak senang mendengarnya.

Selama ini, yang ada dalam bayangan Jeffrey ketika memikirkan masa depan, adalah hidup berkeluarga dengan Revanda, di Jakarta. Dia menggantikan posisi ayahnya, sementara Revanda dapat melakukan pekerjaan atau hobi apapun sesukanya. Tapi bukan berarti dia tidak bersedia tinggal selamanya di NYC, mendampingi kekasihnya bersinar sebagaimana yang telah dia lakukan selama ini. Bagaimanapun juga, Revanda pindah dari NYC sama sulitnya dengan Jeffrey meninggalkan semua yang dia punya di Jakarta. Tidak ada garansi bahwa kehidupan di Jakarta lebih baik dibanding yang mereka jalani sekarang. Sehingga, membiarkan kekasihnya itu mengalah, membuatnya merasa brengsek.

"Aku sebenernya takut." Beberapa saat hening, perempuan itu membuat pengakuan. Jeffrey bisa melihat jelas rasa takut dan cemas itu di kedua matanya. "What will happen if we move there? Aku takut nggak bisa survive. But I don't want to give up on you."

Jeff menangkup kedua sisi wajah perempuan kesayangannya itu, menatap dalam-dalam.

"Me too." Dia cium kening sang perempuan. "I don't want to give up on you. So as long as you feel safe and we can be together, that's where we'll stay. Going home is not mandatory."

Sang perempuan mengangguk terharu. Mengusap sudut matanya sendiri yang mendadak terasa basah. "But I don't want you to be a selfish prick. Kasihan papa kamu. Udah kerja keras banget dari dulu. Sendirian. He's a human too. Wajar kalau udah mulai burnout. So let's just go home so your dad can retire and get married. He deserves to be happy too."

This is it.

Akhirnya, Jeffrey mendapatkan hal yang membuatnya yakin dan percaya pada diri sendiri.

Dia layak mendapatkan perempuan yang menjadikannya prioritas. Dan sebagai balasannya, dia berjanji tidak akan membuat perempuan itu menyesali keputusannya.

Perlahan, senyum bahagia terulas di bibir Jeffrey. Serta merta dia menarik tubuh sang wanita ke dekapan. Menciumi puncak kepalanya bertubi-tubi. "I love you, Nda. I love you so much."


~


"Anda sama gue mau pulang ke Jakarta. Paling cepet tiga bulan lagi, paling lama enam bulan." Jeffrey tidak menunda-nunda mengabarkan berita baik itu begitu bertemu Adnan keesokan siangnya.

Seketika Adnan bergeming di tempat duduknya di meja makan.

Jeffrey melanjutkan, "Minggu depan Zach balik ke sini, lo bikin janji ketemu dia. Buat nge-review kontrak kerja Anda yang masih jalan. Kalau masih mungkin dilanjut, ya lanjut aja. Yang harus terminated dan bayar penalti, berapapun, nggak masalah. Dia nggak pensiun sepenuhnya, cuma pindah base dan ngurangin job aja. Nggak perlu banyak drama."

Tidak banyak berkomentar, genggaman Adnan pada garpu dan pisaunya mengetat. "Anda di mana?"

"Terrace."

Tidak bernafsu melanjutkan makan, pria itu bangkit berdiri.

"Don't." Sebelum Adnan melangkah lebih jauh, Jeff mencegahnya. "She's sleeping."

Rahang Adnan mengeras.

Dia tahu, dia tidak bisa apa-apa jika pada akhirnya Revanda memutuskan pulang demi menikah dengan pacarnya. Tapi tiga sampai enam bulan? Ya Tuhan ... Adnan nggak religius, tapi sumpah, ini keputusan gila.

Sudah tujuh tahun berlalu, Anda masih sering menangis sendirian jika Jeffrey tidak ada. Tumpukan kanvas di gudang masih terus bertambah. Begitu juga dengan surat-surat yang hanya dia yang tahu isinya. Dan lagu-lagu sedih yang Adnan masih sering dengar itu?

God, she's not healed yet. And going home to Jakarta is like rubbing salt into an open sore.

"Ini demi lo kan, bukan demi dia?" Adnan mendesis, ingin marah tapi sadar tidak berhak.

"Demi gue sama dia."

"Her life is here."

"I am her life." Jeffrey menandas. "Nggak mungkin juga gue berani bawa dia pulang tanpa persiapan apa-apa. Gue tahu resikonya, dan udah siap mitigasi. Dipikir dulu kalau ngomong. Di di sini juga bukan semata-mata demi dia seorang. Tapi demi lo juga. Kalau nggak ada dia, karir lo tamat. See? Nggak ada manusia yang nggak mikirin dirinya sendiri."

Tidak mendapat tanggapan lagi, Jeffrey menghela napas panjang.

"Mau di sini atau di Jakarta, lo nggak usah khawatir. Kalau ada orang yang paling pengen Anda aman, itu gue orangnya. Dan soal nasib lo, selama hubungan lo sama dia masih baik, nggak mungkin dia telantarin lo. She's still Revanda Saab. Segitu pesimisnya lo, dia bakal tenggelam di Jakarta?"

Lalu, ditepuknya pelan pundak pria yang masih tercenung di depannya itu, sebelum kemudian berbelok ke dapur.


~


"You look bright. Pasti karena kabar bagus dari NYC." Christian tidak menyia-nyiakan kesempatan menggoda Isabelle begitu melihat kedatangannya.

"Zach?" Yang digoda pilih langsung menerima jabatan tangan klien sekaligus kawan barunya itu, bertukar ciuman tipis di pipi kiri-kanan, sebelum kemudian duduk.

"Masih di toilet." Yang ditanya menjawab. Menggeser cangkir kopi yang telah ia pesankan lebih dulu ke hadapan Ibel. Senyumnya menawan dengan dua baris gigi yang bersih dan rapi.

Dengan perawakan dan segala macam fitur setengah kaukasia setengah latin yang dia tampilkan, sulit mengetahui bahwa pria di hadapannya ini lahir dan menghabiskan dua belas tahun pertama hidupnya di Jakarta, kecuali setelah mendengar nama belakangnya: Dhirgantara.

Attitude, oke. Latar belakang keluarga terpandang. Pengusaha muda. Ivy Leaguers.

Terpujilah Isabelle yang telah berhasil menemukan pria all packaged semacam ini, serta dengan ikhlas memperkenalkannya pada sahabatnya sendiri!

"Kalau gitu, tunggu dia sekalian aja, ya? Daripada ngomong dua kali." Ibel membuat penawaran.

Christian mengangguk, menerima uluran map dari Ibel dan membukanya sekilas.

Tapi sembari menunggu pengacara pribadinya kembali dari kamar kecil, alih-alih mengobrolkan hal-hal ringan seputar pekerjaan, Christian justru membicakan yang lain.

"By the way, thank you udah bantuin Raline ngurus persiapan wedding. It's mine, but you get busier taking care of it."

Ibel tersenyum tipis. "Santai. Aku sengaja nggak setengah-setengah bantunya, biar kalian berdua ngerasa berhutang budi."

"Okay. Alright." Christian mengangguk-angguk dan tertawa. "Can't wait to hear Isabelle asking for payback."


#TBC

Abis writer's block luamaaaaa. Please give me mercy, wkwk.
Banyakin inline commentnya biar aku semangat lanjutin juseyo.
100 vote 100 comments masih fair, kan?

Kemarin ada yang minta chapter Jepri persiapan flight ke Jkt? Next chapter yaah.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top