#4
"Tadi Anda bangun jam berapa?" Jeff mendudukkan bokongnya ke jok belakang coupe yang dikendarai Roman, sudah nyaris tengah malam.
"Nggak lama setelah Mas berangkat." Roman menjawab, kemudian mulai melajukan kendaraan meninggalkan kompleks perkantoran Jeff yang masih saja menampakkan lalu lalang manusia. "Terus siangnya minta dianter Fanny lunch ke Le Coucou."
"Dia yang ngajak?" Satu alis Jeff terangkat, agak sangsi.
"Iya. Mas Adnan aja nggak ikut."
"Le Coucou, di mana tuh?"
"SoHo. Restaurant Perancis itu, Mas. Abis dari sana, udah, nggak ke mana-mana lagi. Dari sore di rumah doang."
"Nggak ada masalah kan, tapi? Does she look good?"
Roman mengangguk. "Kalau ada apa-apa, pasti Fanny udah lapor."
Jeff manggut-manggut.
Sepuluh menit perjalanan pulang terasa lambat karena ia ingin segera melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kekasihnya itu tak apa. Meninggalkannya ke kantor dalam keadaan tak sadarkan diri seperti tadi pagi sungguh membuat Jeff merasa brengsek dan tak bisa berhenti mengutuk diri sendiri sepanjang hari.
Ketika akhirnya sampai di depan gedung condominium yang dia tinggali, tampak coffee shop di seberang jalan sedang bersiap-siap tutup, sedikit terlambat dibanding biasanya.
Jeff langsung masuk, menghampiri elevator dengan langkah cepat, melakukan tap pada tombol lantai teratas dengan kartu aksesnya. Syukurlah, karena gedungnya tidak seberapa tinggi, cepat saja dia tiba di lantai yang hanya berisi unitnya.
Saat hendak berjalan melewati foyer, sesaat langkah Jeff terhenti.
He knew this song.
And clearly it's not a love song.
Dada Jeff mencelos. Susah payah dia membawa kakinya melangkah.
Saat kemudian melihat kekasihnya duduk di balik baby grand piano di sudut living room, sosoknya yang sudah ramping itu entah bagaimana jadi terlihat sangat kecil tatkala membungkuk di atas tuts-tuts yang dia mainkan. Duka yang terpancar di wajahnya membuat Jeff makin terkungkung rasa bersalah.
Mendengar langkah mendekat, perempuan itu menghentikan permainannya.
Sesaat, tatapannya terpaku pada Jeff.
"You're home." Revanda mengulas senyum tipis.
Meletakkan tasnya di lantai, Jeff berjalan menghampiri, kemudian berjongkok di sisinya.
"I'm sorry I left you this morning," katanya, sembari menggenggam kedua tangan sang perempuan di pangkuannya yang kecil. "Kamu pasti shock banget tadi pagi. Maafin aku, ya?" Dia mencium kedua tangan dalam genggamannya itu. Menatap sang perempuan dalam-dalam. "Tapi, sebenernya yang tadi pagi itu cuma salah paham. Kamu salah tangkep dari sepotong-sepotong info yang kamu nggak sengaja denger."
Jeff kembali mencium tangannya lagi dan lagi.
"Jakarta has never been home for me. Rumahku itu kamu. Di manapun kamu berada, itu rumahku. Aku nggak akan pulang ke mana-mana, selain ke kamu."
Anda menarik satu tangannya demi mengucek mata yang terasa pedih. "You said that seven years ago."
Jeff mengangguk-angguk. "I did. And it never changed."
~
Jeff mendekap perempuan yang berbaring di sisinya erat-erat, menciumi rambutnya yang terasa halus dan wangi.
Mereka berdua sama-sama sulit tidur, dan Revanda terus-terusan memaksanya untuk bercerita mengenai hal-hal yang tidak sempat ia dengar tadi pagi.
"My father got into a situation." Jeff terpaksa memulai. "He is currently dating a girl. They're expecting to get married soon, but it's not that easy. He needs to protect this girl. From the family, from the press. He needs to protect the business as well. And the most possible way is to do a succession ASAP."
Mendengar kata suksesi keluar dari bibirnya, tubuh yang dia dekap agak menegang, hingga Jeff buru-buru melanjutkan, "However, I am not his only potential successor. No need to worry."
"Tapi ... kamu anak pertama. Dan adikmu sama sekali nggak ngerti bisnis." Revanda sudah ingin menangis lagi, sampai harus membenamkan wajahnya ke dada sang pria supaya muka jeleknya tidak bisa dilihat.
Jeff pun tertawa, mau tak mau sepakat pada fakta yang diucapkan pacarnya.
Sial, memang. Adiknya hanya satu. Tolol, pula. Sudah mengambil S-1 hanya di dalam negeri, jurusannya tidak lain tidak bukan adalah IT. Lalu, di saat semua orang berharap dia bisa melanjutkan MBA, sudah dua tahun ini aplikasinya tidak ada yang nyantol satu pun. Entah dia menurun genetik siapa, karena seingat Jeffrey, semua leluhurnya, baik dari garis ayah maupun garis ibu, tidak ada yang mengalami kendala serupa, terlihat dari almamater mereka yang mentereng semua.
"Kan nggak harus dilanjutin anak sendiri. Sepupu masih banyak. Keponakan juga. Mau pakai profesional, lebih baik." Jeff berusaha menenangkan, di saat ucapannya itu justru mengkhianati isi hatinya sendiri.
Yeah, yang sedang dia peluk sekarang ini adalah yang paling penting dalam hidupnya, dan Jeff bersedia meninggalkan semuanya demi bisa bersamanya. Tapi jika harus melakukan tes poligraf sekarang, mungkin hasilnya sudah jelas.
Dia, bagaimanapun juga, ingin menjadi anak yang baik. Ingin membanggakan orang tuanya. Ingin menikmati kerja keras yang diusahakan ayahnya sejak ia kecil untuk kesejahteraannya, dan bukannya malah mengabaikan itu semua dengan dalih bisa sukses di jalannya sendiri, dan sudah bisa mencukupi kehidupannya.
Dia, bagaimanapun juga, ingin mengetahui apakah rumah yang dipersiapkan sang ayah untuknya sungguh terasa seperti rumah yang seharusnya.
Setelah hampir seumur hidup tinggal di belahan benua yang berjauhan dengan keluarga, Jeff tak bisa menjelaskan ada rongga yang minta diisi dalam dirinya.
Walaupun tentu saja, hal itu semua tidak sebanding jika dia harus merelakan perempuan dalam dekapannya ini.
"Kamu ... punya fotonya nggak? Aku mau lihat." Tiba-tiba sang perempuan menggumam.
"Siapa?" Jeff tak mengerti.
"The woman your father is seeing."
"Ooh." Jeff kemudian meraba-raba nakas untuk mencari ponsel yang tadi dia letakkan di sana. "Her name is Isabelle."
Jeff mencari-cari kontaknya. Kemudian menyentuh profil picture-nya.
Revanda memperhatikannya cukup lama. "She's pretty. And seems like a nice woman."
Jeff mengangguk. "She is. He won't fall for a woman half his age if she doesn't have the qualifications."
"How old?"
"Just like you. Twenty seven."
"Her family?"
Jeff mengangkat bahu ringan. "Just a regular family. Her father runs a small Chinese restaurant in Surabaya. Her lil sister is still in university. The same university with the idiot Zane Abram."
"You know her a lot."
"I've met her a couple times." Jeff kemudian mengambil ponselnya dari tangan sang perempuan. "Udah, ya. Nggak usah ngomongin mereka lagi. Nggak usah dipikirin. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku nggak mau ke mana-mana. Aku nggak bisa hidup jauh dari kamu. Kamu jangan pingsan lagi kayak tadi pagi."
Yang diajak bicara kembali tampak sendu, susah payah menahan tangis. Kemudian kembali memilih membenamkan muka ke dada kekasihnya. "Tadi ... dibantuin Fanny, aku coba ngitung-itung, kira-kira berapa penalty yang harus kubayar misal aku harus pulang ke Jakarta sama kamu. Kayaknya aku bakal jatuh miskin, harus jual semua asetku di sini, termasuk condo ini juga. Gimana? Kamu masih mau sama cewek miskin?"
Perempuan itu mendongak menatap Jeffrey. Kedua matanya sudah banjir. Dan Jeffrey paling tidak tahan melihatnya seperti itu.
"Terus, misal aku ikut kamu ke Jakarta, kamu gantiin papa kamu, mungkin aku juga nggak akan berani diajak keluar rumah ke acara-acara penting. I would probably spend my whole life going through therapy, and you would be tired of taking care of me." Tidak bisa menahan lagi, dia menangis tersedu-sedu, dan Jeff kehabisan cara untuk menenangkannya. "Actually, I don't know which one is better. Whether I ask you to stay, or I go there with you, it just seems like a lose-lose. This relationship is hard to work out."
"Hey, hey, stop ...." Jeffrey menciumi kening kekasihnya bertubi-tubi, merasa seperti akan ikut menangis juga jika dia tidak segera diam. "Thank you so much for considering going to Jakarta with me, but I don't think I ever want to go there. We live just fine here. Yeah, agak mengganjal sedikit, but we can't have it all. It is normal to sacrifice something to choose another thing. And I already chose you."
~
Ibel menghentikan kendaraannya ke depan sebuah rumah yang pagarnya tertutup, tapi tidak terkunci. Honda City di carport menjelaskan bahwa sang penghuni rumah ada di dalam, dan Ibel bersyukur karena bahkan tadi dia tidak terpikir untuk menelepon dulu sebelum memutuskan datang.
"Hello, sister!" Sang adik perempuan satu-satunya, Sabrina, segera memunculkan muka konyolnya di pojokan jendela. "Gue bisa mencium bau iga bakar!"
Ibel mendengus pelan.
Tentu saja tidak ada radar apa pun. Melainkan, ucapan itu sudah menjadi cara jitu adiknya biar Ibel merasa bersalah jika sampai datang dengan tangan hampa.
Setelah parkir dengan aman, Ibel pun turun membawa bungkusan makanan yang dia bawa—yang kebetulan adalah iga bakar yang rencananya ingin ia datangi bersama Roger tapi batal—tepat saat sang adik telah membukakan daun pintu lebar-lebar.
"Punya Pak Sony?" Adiknya melirik Bentley Continental yang dia kendarai tadi dengan tatapan curiga.
"Punya temennya." Ibel menjawab jujur, kemudian masuk duluan ke dalam rumah, yang sampai beberapa bulan lalu masih dia tempati, sebelum kemudian memutuskan pindah ke apartemen yang lebih dekat dengan kantor.
"Kok bisa lo bawa?" Adiknya mencecar.
"Tadi gue nyupirin dia."
"Dandan secakep ini?"
"Emang gue pernah nggak cakep?"
Sabrina berdecak. Tapi muka sebalnya hanya bertahan sebentar karena kemudian dia sibuk merebut bungkusan makanan di tangan sang kakak, dan kemudian mulai mempersiapkan ritual makan malamnya sendiri.
"How's the house?" tanya Ibel tatkala adiknya sudah mulai makan dengan bersemangat.
"Lumayan." Adiknya menjawab acuh.
"Nggak ada yang nggak beres, kan? Perlengkapan dapur, aman?"
"Aman. Dulu lo nggak pernah make, ya?"
Ibel mengedikkan bahu.
Jangankan memakai perlengkapan dapur, dia pulang hanya untuk menumpang tidur!
"By the way, gue udah dapet kerjaan."
Pengumuman yang diucapkan oleh adiknya itu tentu saja membuat Ibel terkejut.
Memang, dia meminta Sabrina tinggal di Jakarta—alih-alih melanjutkan kontrak sewa kosnya di Depok—biar lebih gampang aksesnya mencari-cari tempat internship sebelum harus kembali fokus apply S-2. Tetapi dia tidak berharap akan secepat ini.
"Kerjaan apa? Yudisium kan belum. SKL juga belum keluar."
Adiknya itu berdecak. "Ya itu, buat nunggu yudisium sama wisuda, gue nyari kesibukan yang dibayar."
"Di mana?"
"Ada, laaah."
"Di mana?" Isabelle mengulangi pertanyaannya, lebih tegas.
Adiknya mencebikkan bibir. "Senior di BEM dulu ada yang bikin EO. Udah jalan hampir dua tahun. Lagi recruitment, ya udah, gue sama Akmal masuk."
"Bagian apa?"
"EO emangnya bisa milih bagian apa sih, Kak? Ya operasional, lah. Nyariin vendor buat klien, bikin rundown acara, mastiin semua persiapan sampai hari H acara lancar."
Ibel sangsi, merasa bahwa pekerjaan sang adik nggak ada bedanya dengan kegiatan BEM. "Kalau mau internship beneran, kakak bisa cariin tempat lain."
"Nggak mau." Adiknya menolak mentah-mentah. "Please deh, anggeplah sekarang ini gue lagi refreshing otak. Otak gue juga bisa burnout dipakai kerja keras melulu. Let my brain rest; now it's my muscle turn. Biar balance. Ih, kakak mah kalau ke sini buat ngomel doang, mending kakak pulang aja. Ngasih iga, tapi sambil ngomel, ikhlas nggak sih?"
Ibel terpaksa menahan diri sampai adiknya selesai makan.
Agak gemas, tapi dia coba usahakan. Bagaimanapun juga, diomeli saat makan itu nggak enak.
"By the way, minggu lalu gue lihat Kak Raline di Pacific Place. Dia ketemuan sama cowok ganteng. Bule. Pacarnya?"
Ibel mengangguk, tidak terlalu antusias. "Calonnya."
"What?" Sabrina heboh sendiri. "Mau nikah? Kapan? Udah pilih WO? Pake kantor gue aja, Kak, please ...."
"Enggak, ah." Ibel lupa kalau adiknya ini adalah oportunis sejati. "Tau sendiri Raline picky, nggak bakal mau dia pakai EO ecek-ecek."
"Dih, menghina!" Sabrina tidak terima. "Coba lo tanya, Kak Raline pengen venue di mana? Kalau WO gue bisa kasih, dia pake jasa gue, deal?"
"Apaan sih, dek?"
"Please ... Help me shine, Kak! Bos gue rada-rada sensi orangnya. Jadi pengen gue kepret pakai prestasi."
"Katanya senior di kampus?"
"Ya kan salah satunya, enggak semuanya rese juga."
"Siapa?" Ibel ketawa. "I know your friend a lot."
"Temennya Bimo."
"Yang mana?"
"Ada lah, nggak penting. Yang ini kakak nggak tau, karena emang dia songong, nggak pernah ikut mau mampir ke restonya Papi kalau lagi pada liburan ke Malang atau Surabaya!"
Ibel pun mendesah, merasa agak terkuras energinya mendengarkan drama bocah-bocah. Tapi tetap, dia sedikit penasan. "Terus dia kesel ke elo kenapa?"
"No reason. He just hates pretty girls." Dengan pedenya, Sabrina memuji diri sendiri. "Terus juga gara-gara gue masuk via orang dalam, kali? Padahal, hellooow? Nggak pake orang dalam juga gue pasti lolos recruitment pake ijazah SMA! Wong cuma kerjaan setengah kasar gitu. Cih. Emang negatif banget tuh orang. Gue berdoa banget, semoga seumur hidup lo dijauhkan dari manusia-manusia negatif macam itu, Kak. Entah di kantor, di lingkungan pergaulan, maupun di kehidupan percintaan lo. Aminin, dong!"
Ocehan remaja perempuan itu terhenti oleh getaran di ponselnya. Dengan cepat, dia membaca deretan pesan masuk dengan muka nggak ngenakin.
"Baru juga diomongin, udah ada kabar duka. Nggak tahu gue harus bersyukur apa gimana ini."
"Kenapa?"
"Dia kecelakaan sama temennya. Nggak parah sih, udah dibawa ke Abdi Waluyo tadi sore. Tapi besok ada persiapan event, jadi terpaksa ada rolling personel gitu."
Mendengar nama rumah sakit yang belum lama tadi sempat dia datangi, Ibel jadi sedikit tertarik. "Kecelakaan di mana?"
"Deket Menteng Park."
Mendadak, Ibel merasa tangannya dingin. "What's his name?"
"Zane." Sabrina menjawab malas. "Zane Abram."
#TBC
Apaqa Sabrinul menyebalkan di siniii?
Apaqa kalian masi sebel sama Revanduul?
Sebenernya ini buat update Senin besok, tapi w gak sabar buat publish.
100 votes 100 komen dong, biar Senin w tetep update, huhuhuuu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top