#3


Rasa tak nyaman di lengan membuat Revanda terjaga, dan mendapati seperangkat IV drip yang cairannya tinggal sisa sedikit, telah menggantung di sisi tempat tidur.

Samar-samar, terdengar suara Adnan mengobrol dengan perempuan di rooftop terrace melalui pintu yang tidak tertutup.

Anda ingin memanggil, tapi tidak punya tenaga. Alhasil dia sabar menunggu hingga kedua orang itu masuk tepat saat cairan infusnya habis.

"Jeff udah berangkat?" Anda bertanya ketika tak lama kemudian Adnan kembali ke kamarnya sesudah mengantar tamu mereka—yang telah menyelesaikan tugasnya itu—keluar.

Adnan mengangguk. "Sarapan, yuk. Kalau nggak mau, terpaksa gue bawa ke rumah sakit."

Tidak ada pilihan lain, Anda terpaksa setuju. "Boleh makan di sini aja, nggak?"

"Yeah, sure. Pengen makan apa?"

"Yang tadi dimasakin Jeff buat aku."

Adnan mengangguk, dan segera keluar lagi.

Kira-kira sepuluh menit Anda menanti, temannya itu kembali dengan meja lipat dan tray berisi sayur-sayuran panggang di atasnya.

Anda makan di tempat tidur. Berusaha menelan sebanyak yang dia bisa walau semuanya terasa hambar. "Kerjaanku hari ini apa?" tanyanya.

Adnan menggeleng, konsisten tidak terlalu ekspresif sejak tadi. "Nggak ada."

"Kok ...?"

"Lo habis pingsan. Jeffrey bisa bunuh gue kalau lo masih kerja juga."

"Managerku kamu apa Jeffrey?"

"I guess I'm just a puppet." Adnan mendengus pelan. "Lagian, kemarin lo udah menghasilkan banyak duit, now you deserve some rest. Bilang, mau apa? Mau ngapain? Spa? Shopping? Nonton?"

Anda menggeleng. "Fanny udah dateng?"

"Udah?"

"Dia capek, nggak?"

"Enggak." Adnan menjawab cepat. "Abisin makanan lo, gue telpon dia biar siapin mobil. Oke?"


~


"Ta."

Aprinta menoleh dari antreannya di sebuah gerai kopi di West Lobby Area Kedatangan Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, mendapati koko-koko dengan rambut gondrong dicepol berantakan dan sebuah kacamata hitam nangkring di hidung, sudah berdiri di sisinya.

Batal membeli kopi, sembari keluar dari antrean, perempuan itu menghela napas panjang. Menahan omelan yang sudah ada di ujung lidah, dia men-dial sebuah nomor. "Pak Rahman, kita keluar sekarang."

Saat orang di seberang sambungan menyanggupi, perempuan itu kembali mendongak menatap si koko yang menjulang jauh di atasnya. "Gera, mana?"

Yang ditanya, mengedikkan bahu ke arah tiga pria lain, yang berdiri tak jauh di depan, dengan koper masing-masing di tangan.

The VIP—Gera, putra tunggal Ardhinata Soekarno, yang akan menggantikan posisi ayahnya dalam sepuluh hari ke depan—ada di antara mereka.

Dengan langkah-langkah panjang, Aprinta menghampiri. Lalu mengedik ke arah pintu keluar tanpa repot-repot membuka mulut.

Seorang perempuan bertubuh mungil, berjalan diikuti empat pria berperawakan tinggi-besar mirip perompak, mau tak mau membuat beberapa orang yang melihat jadi menoleh minimal dua kali.

Sekilas, memang justru Aprintalah yang tampak seperti VIP. Padahal, dia cuma pembantu yang lagi pusing mengurusi majikan yang mendadak tantrum.

Tidak menghiraukan orang-orang yang menatapnya takjub, dia memelototi Thomas, si koko-koko gondrong tadi, yang kebetulan berdiri paling dekat dengannya.

"Kalian ngapain sih, bolak-balik ke Thailand? Ngeganja?" Begitu semprotnya, membuat Thomas seketika menoleh ke sekeliling, takut ada yang mendengar.

"Astaghfirullah, Ta." Faiz, yang berjalan di belakang Thomas—yang beberapa bulan lalu bapaknya baru saja dilantik menjadi Gubernur DKI—berlagak terkejut. "Perlu tes urine?"

"Males." Aprinta berdecih, kemudian menghentikan langkah ketika telah tiba di pickup point.

Verdian, yang dari tadi berdiri paling jauh karena malas ikut disembur, kemudian terpaksa bersuara, "Ta, kamu jemput kita semua, kan? Bukan bosmu doang?"

Aprinta mendengus lagi, ogah menjawab. Saat itulah sebuah kendaraan yang ditunggu-tunggu tiba.

"Waaah, ini sih kita semua muat. Boleh ya, Ta?"

Tanpa menunggu jawaban, para pria itu segera memasukkan koper mereka ke bagasi, dibantu Pak Rahman. Sementara itu, Aprinta langsung mengambil duduk di kursi penumpang depan.

Gera menyusul masuk setelahnya.

"Udah cukup ya, Ger. Nggak ada cabut-cabutan ke manapun tanpa sepengetahuanku, mau itu weekend atau tanggal merah sekalipun. Pak Ardhi bilang, kamu standby aja di Jakarta sampai hari H."

Gera yang sudah memasang seatbelt, kemudian memejamkan mata. Kedua tangannya terlipat di dada. Mode masa bodo. "Kamu balik jadi asisten bapakku lagi aja, Ta. Dikit-dikit kata Pak Ardhi."

Kalimat itu diucapkan dengan nada rendah, tapi tajam menusuk. Sayangnya, Aprinta sudah kebal.

"Bukannya masih lama ya, Ta?" Thomas duduk di sebelah Gera. "Masih sepuluh hari lagi, kan? Terus kenapa kita disuruh balik sekarang?"

"Kalian ini semua pengangguran apa gimana?" Aprinta mendengus sebal, mengabaikan Pak Rahman yang baru masuk jadi terkaget-kaget.

"Nggak gitu, Ibu Aprinta yang terhormat. Kayak kita udah pasti bisa ngumpul setahun sekali aja! Ke sawadikap tiga hari doang udah disembur-sembur, disuruh pulang cepet. Padahal, nggak diburu-buruin juga kita udah berencana balik nanti malem. Malem ini, Ta, bukan malem besok atau lusa."

Setelah semua masuk dan kendaraan mulai melaju menuju pintu keluar parkiran bandara, Aprinta bersuara lagi. Kali ini kembali ditujukan untuk Gera.

"Sepupu kamu, si Baby, anaknya Bu Alethia, kemarin udah nyampe dari US. Nanti sore kamu ke Bogor, ke rumah Oma. Semua orang ngumpul di sana."

Tidak mendengar jawaban, sang perempuan melirik tajam ke belakang.

Gera masih memejamkan mata. Sedang Thomas yang duduk tepat di belakang Aprinta langsung mengkerut di kursinya.

"Capek, Ta." Dan kemudian, menyadari semua orang berharap dia memberikan jawaban, akhirnya desahan pelan itu keluar juga dari bibir sang pria.

"Pak Rahman yang nyetir! Kamu bisa tidur di jalan."

Merasa sia-sia, Gera memutuskan tidak menyahut.

"Dia bakal kerja sama kamu nantinya, Ger. You should be good to her. Sepupumu sendiri, susah-susah sekolah di UPenn, terus pulang demi bantuin kamu, at least you should show her your gratitude."

"Siapa yang minta dia pulang? Pak Ardhi?"

Aura ketegangan jadi makin kental terasa, membuat semuanya mulai menyesali keputusan untuk nebeng kendaraan Gera. Padahal, ongkos taksi murah!

"Ya Tuhan ..." Tidak tahan, tiba-tiba Thomas memecah kekakuan. "Mohon jauhkanlah kami dari pertikaian rumah tangga orang."

Pria itu segera memasang earphone, sementara Faiz dan Verdian di belakang serempak berlagak tidur.

Aprinta mendesah. Asli, sangat nggak menyenangkan berada di tengah-tengah pertikaian bapak dan anak begini.

Padahal, sebelum menjadi asistennya, dia dan Gera berhubungan baik. Bahkan, kalau boleh mengungkit-ungkit masalalu, mereka adalah mantan cinta monyet di SMA. Setelah putus, Gera konsisten bersikap baik padanya, memberinya pekerjaan di kantor Pak Ardhi ketika di-PHK, menemaninya selama masa berkabung saat ayahnya meninggal dunia ... yang jelas pria itu menjalankan peran sebagai teman yang baik.

Tapi, begitu Pak Ardhinata berencana lengser dan memindah-tugaskan dia sebagai asisten putra yang akan meneruskannya, memastikan proses suksesi berjalan lancar ... seharusnya Aprinta tahu hal itu tidak akan berakhir mulus.

"Nanti habis suksesi, aku nggak mau ada acara keluarga apapun masuk ke agendaku tanpa persetujuan, ya, Ta. Stop telling me to do something I don't like. I don't know them anyway."

Kalimat penutup itu diucapkan Gera dengan pilu, membuat Aprinta bertanya-tanya, apakah selama ini dia berada di pihak yang salah?


~


Begitu memasuki rumahnya yang kosong dan lengang, sang pria segera menjatuhkan tubuh di sofa living room.

Kepalanya terbenam di bantal.

Suara napasnya yang panjang-panjang terdengar.

Aprinta sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia pergi sekarang atau memastikan sekali lagi bahwa nanti sore Gera bersedia berangkat ke Bogor sesuai rencana, ketika sebuah suara terdengar.

"Badan sakit semua, Ta." Pria itu merintih, menimbulkan sensasi tidak nyaman pada siapapun yang mendengarnya, terutama jika orang itu lebih sering menyampaikan tugas ini itu dari sang bos besar tanpa menanyakan pendapat bosnya yang satu ini terlebih dahulu.

"Aku panggilin therapist, mau?" Aprinta segera mencari kontak therapist yang biasa dia panggil untuk Pak Ardhinata jika sedang di Jakarta. Tapi sebelum ia sempat mengetik pesan ataupun menelepon, Gera sudah bersuara lagi.

"Kamu aja."

"Nggak mau." Tentu saja Aprinta menolak.

Dia bersedia memijit temannya atas dasar kasih sayang sesama teman, tapi dia jelas ogah memijit bos yang tidak menyenangkan. Dia tidak dibayar cukup mahal untuk hal itu!

"Aku nggak mau ada orang lain masuk rumahku."

Klasik!

Yeah, he's antisocial. Tapi menjadikan hal itu alasan untuk memperbudak Aprinta, maaf saja, Aprinta nggak sudi!

Tapi sialnya, melihat teman yang dulu waras tetapi belakangan jadi tampak menderita penyakit mematikan seperti itu, entah mengapa sisi Aprinta yang nggak tegaan perlahan luluh begitu saja.

Aprinta menghela napas panjang, sangat paham bahwa EQ yang ketinggian memang bukanlah sebuah kelebihan.

Dengan berat hati, dia melangkah mendekat ke sofa. Kemudian melepaskan sepatu dan kaos kaki sang pria.

Dia duduk di dekatnya. Lalu memijit pelan betisnya.

"Not my leg."

Masih aja bacot! Aprinta yang biasanya lemah lembut dan sangat menjaga manner, rasa-rasanya bisa berubah menjadi jelmaan setan jika berhadapan dengan pria satu ini.

Tapi lagi-lagi anggota tubuhnya saling mengkhianati satu sama lain, karena kemudian dia malah bertanya, "Terus yang mana? Bahu? Punggung?"

"My head, Ta. It feels like it almost exploded."

God damn it!

Aprinta paling nggak bisa mendengar suara yang mengiba itu.

Please deh, dia cuma pura-pura sakit, kan? Dia cuma lagi badmood karena tiba-tiba disuruh pulang menemui sepupu yang tidak dikenal di saat sedang santai dengan gadis-gadis seksi di antah berantah negara tetangga, kan?

Menyadari pria di dekatnya ini tidak mungkin melakukan hal-hal tolol seperti yang ada di pikirannya barusan, Aprinta kembali menghela napas panjang.

Sekali lagi dia beringsut ke sisi lain sofa, ke dekat kepalanya. Agak ragu, sesaat kemudian dia telah mulai memijit lembut di sana.

Cukup lama dia melakukannya tanpa bersuara.

Cukup lama pula sang pria tidak meluncurkan protes atau permintaan yang lain-lain, hingga Aprinta bingung sendiri.

"Mumpung ke Bogor-nya masih nanti, sekarang creambath dulu aja, gimana? Pijitan tukang creambath tuh enak, nggak kayak pijitanku. Hmm?"

Tapi, tanya itu tak pernah terjawab.


~


Jujur, Isabelle agak terkejut saat kesediaannya diperkenalkan pada keluarga besar Roger akan terealisasi secepat ini.

Baru beberapa hari yang lalu dia mencoba meyakinkan diri, bahwa jika pun mereka berdua tidak bisa menikah dalam waktu dekat, at least, keluarga calon suaminya itu berhak tahu siapa perempuan yang sedang dikencani sang pria. Lalu kemudian, tahu-tahu ucapannya itu ditanggapi dengan sangat serius.

"Just an informal gathering. Putrinya adikku yang paling kecil, Alethia, baru lulus dan balik ke Indo. Terus semuanya pada mau ngumpul di rumah Oma—rumah ibuku di Bogor. Kalau kamu bersedia, aku mau ajak kamu ke sana." Begitu kata Roger lewat telepon, dua malam yang lalu. Sangat optimis.

Tentu, Ibel bebas menolak. Tetapi entah mengapa dia iyakan saja tanpa pikir panjang.

Memangnya, sampai kapan dia mau bersembunyi? Yes, it's hard for her to show up with all the background and age gap, but obviously it's hard for him too if she is constantly hiding.

Maka dari itu, seharian ini, dia sibuk berkeliling mall, mencari buah tangan yang pantas dibawa. Lanjut melakukan make over pada dirinya sendiri, supaya tidak tampak buruk rupa bersanding dengan pacarnya nanti.

"Beautiful." Roger, yang baru saja tiba, memuji kekasihnya yang baru keluar dari lobi apartemennya, dengan paperbag besar di tangan.

Selagi Ibel bingung dan salah tingkah, sang pria mengambil alih barang bawaannya, merangkul pinggangnya, kemudian membukakan pintu kendaraan untuknya.

"Kirain Mas Andre yang jemput." Ibel menyuarakan keheranannya, sementara Roger menyempatkan diri memperhatikan penampilan pacarnya beberapa saat lagi sebelum menutup pintu di tangan.

Padahal, Isabelle ya gini-gini aja. Malah, sore ini dia mencoba terlihat santai, sangat jauh berbeda dengan penampilan ngantor sehari-harinya yang sangat on point.

"Lagi pengen nyetir sendiri. I haven't done it in a while." Roger memasukkan paperbag Ibel ke jok belakang, sebelum kemudian berputar ke pintu pengemudi.

"'A while' ini seberapa lama?" Ibel mulai curiga.

Roger tidak langsung menjawab.

Sudah bisa menebak, Ibel sontak melotot. "Kalau gitu, aku aja yang nyetir."

"Nooo. Masa udah dandan cantik-cantik disuruh nyetir? Trust me. I drive better than you."

"You never witnessed me driving!"

"You drive for my friend a lot. He told me everything."

Ibel mendesah pelan.

Roger mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan pacarnya itu, mencium punggung tangannya sesaat.

"Bilang aja mau berduaan, nggak mau diganggu Mas Andre." Ibel berdecih.

Roger cuma mesam-mesem.

Kemudian, tanpa Roger sangka-sangka, perempuan yang baru saja mengomel itu bergerak cepat untuk menjatuhkan sebuah ciuman di pipi.

Yang lebih menggemaskan, kemudian Ibel mengenakan seatbelt dan mengembalikan pandangan lurus ke depan, seolah tidak habis melakukan apa pun.

Tentu saja hal itu membuat Roger jadi makin kesulitan untuk menahan senyum sepanjang jalan.

How long has it been since the last time he dated? Ugh, he doesn't even remember.

Setelah bercerai dengan ibunya anak-anak, mungkin dia pernah mencoba berkencan sekali-dua kali, tapi tidak ada yang bertahan lama. Itu pun saat anak-anaknya masih sekolah dulu. Sekarang, putra keduanya saja sudah lama lulus S-1!

"Jangan senyum-senyum gitu. Bucinnya yang subtle-subtle aja. Sesuai umur." Ibel menggoda.

Tapi saat kemudian tangannya kembali ditarik untuk digenggam dan dipeluk di dada sang pria, Ibel sama sekali tidak menolak.

Ibel sendiri jelas sudah punya pengalaman kencan dengan beberapa orang, dari berbagai background dan usia. Tapi, jujur saja dia tidak mengerti mengapa justru merasa paling yakin untuk menambatkan hatinya pada pria yang dua kali lebih tua darinya ini.

Mari sisihkan fakta bahwa Roger Abram adalah pemilik salah satu kerajaan bisnis cukup besar di tanah air. Karena sejujurnya ketika socio-economic gap-nya terlalu jauh, hal itu justru menjadi salah satu disadvantage. Walau tidak menampik, Ibel nggak akan menolak diajak hidup enak.

Lalu, bahkan setelah segala titel tadi dilepaskan dari dirinya, Roger Abram adalah pria dengan kepribadian paling baik yang pernah Ibel kenal. Semua kualifikasi yang dia inginkan untuk dijadikan teman hidup, ada pada pria itu.

Dengannya, akhirnya Ibel bisa mengalami yang namanya dicintai dan mencintai dengan seimbang. He loves her, and she loves him back. With the exact same amount, the same effort.

Oh, tentu. Hubungan asmara bukan perhitungan matematis. Dan kalaupun dikalkulasi dengan besaran tertentu, mungkin akan ada ketimpangan. But as long as both of them feel the balance, then it is the balance.

He's just perfect. They become together ... just perfect.

Karenanya, jika suatu saat nanti mereka gagal, dan kemudian Roger meninggalkannya, Ibel ragu apakah dia masih bisa mempercayai yang namanya cinta tidak.

"Waktu kamu sakit dan nggak doyan makan bulan lalu, yang kubeliin iga bakar, terus abis, belinya di situ, tuh." Ibel menunjuk sebuah tempat yang mereka lewati. "Belum buka. Malem doang bukanya, dan biasanya baru beberapa jam udah ludes."

"Di situ?" Roger tampak tertarik. "Bisa tolong save lokasinya dan kirim ke Andre? Beberapa hari yang lalu pengen makan itu lagi, tapi nggak ada yang tahu belinya di mana."

"Kenapa nggak tanya aku?"

Roger menggeleng. "Nggak mungkin kamu jawab doang. Yang ada kamu bakal repot beliin, walaupun malem-malem udah capek sepulang kerja."

"Ya iya, lah." Ibel tidak mengelak. "You're the most important to me."

"I know, right?"

Ibel terkekeh-kekeh. "Nanti malem aja, pulangnya mampir ke situ gimana? Jadi jangan makan banyak-banyak di Bogor."

"Sounds like a plan." Roger langsung setuju. "Sekali-kali ngerasain pacaran di warung pinggir jalan."

"Aduuuh, tapi nanti aku diliatin orang-orang, disangka ani-ani!"

"Then I'll tell them that you're not stealing someone else's man."

"Duh, sinetron abiiis."

Ibel masih ingin menggodanya lagi, tapi suara getaran ponsel terdengar.

Bukan milik Ibel.

"Sayang, help me take out my phone." Roger membuka center console di mana sebuah zipper pouch tersimpan di dalamnya. "Harusnya kalau nyetir sendiri, handphone ditaruh di luar, ya? My bad."

Ibel mencari-cari ponsel dalam tas yang cukup banyak isinya itu, kemudian membaca nama yang tertera.

"Zane," katanya.

"Loudspeaker, please," pinta sang pria.

Ibel pun menyentuh accept button dan memilih loudspeaker.

"Iya, Nak? Udah sampe Bogor?" Pria itu langsung bertanya begitu telepon tersambung dengan putra bungsunya.

Terdengar suara berisik kendaraan di seberang. Tampak jelas bahwa Zane sedang berada di jalan, bahkan mungkin di luar kendaraan saking bisingnya suara-suara itu.

"Pa ...." Anak lelaki yang sebenarnya hanya tiga tahun lebih muda dari Ibel itu terdengar ragu.

"Yes? Spit it out." Roger memberi instruksi.

Zane masih meragu sesaat. "I ... I got into an accident. Someone crashed into my car."

"You okay? Is everyone okay? Kamu di mana sekarang?"

"Masih di TKP."

"Di mana? Share location, tolong." Roger memberi perintah lagi, sebelum kemudian mengulang pertanyaan sebelumnya. "You okay?"

"Deket Menteng Park. I am okay. Ada Iis di sini. I think I hurt her face. She's bleeding."

"Panggil taksi, segera ke rumah sakit terdekat."

Ibel menggumamkan nama rumah sakit yang dia tahu ada di dekat lokasi yang Zane sebutkan tadi, dan Roger meneruskan informasi itu ke putranya.

"Okay ... But will you come?" Zane masih terdengar gugup.

"Iya, Papa on the way, Nak." Roger meyakinkan.

"Pull over." Cepat tanggap, Ibel menggumam lagi. "Keep talking to your son, gantian aku yang nyetir."

Roger bergeming sesaat. Tapi menyadari adanya guncangan emosi membuatnya terpaksa menyetujui. It is clearly not safe for him to drive.

Mereka kemudian bertukar tempat, sementara Zane di seberang memberitahu bahwa ia dan temannya telah mencegat taksi untuk menuju ke rumah sakit. Setelahnya, Roger ganti menelepon orang lain lagi, yang bisa menghampiri anaknya dan membantu menyelesaikan masalah lebih cepat.

Untung saja, mereka belum terlalu jauh, hingga tak sampai setengah jam kemudian Ibel telah memasukkan kendaraan yang dia setir memasuki Abdi Waluyo.

"Sana." Ibel meyakinkah bahwa perubahan rencana yang mendadak ini sama sekali tidak masalah baginya. Jauh lebih penting Roger memastikan putranya tidak terluka.

"I'm really sorry." Roger sungguh merasa tak enak hati.

"It's okay." Ibel mengangguk-angguk menenangkan. "Go calm your son. We can meet later."

"I'll call you."

Ibel mengiyakan.

Pria itu pun berlalu.

Ibel menghela napas panjang, sebelum kemudian tancap gas dari situ.



#TBC

Yang aku publish bocorannya di IGS tadi, jadinya dimasukin ke chapter #4 karena kepanjangan. Masa w ngetik 5 rb kata ga sadar, huhuuu.


Btw, selamat bertemu kembali dengan Gera!!! Tinggal Ivanov yang belom!!


Terus, aku mau tau, di sini kalian sukanya baca cerita tokoh yang mana? Jawaban kalian gak akan mempengaruhi alur sih, w cuma penasaran doang.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top