#2
"What ...? Who ...? Siapa yang notice kalau bodyguard-ku sama Jeff orang yang sama?" Seketika rona di wajah Revanda berubah cemas, hingga Jeff harus cepat memberi kode pada Adnan supaya tutup mulut.
Sebenarnya, perempuan itu tidak paranoid. Sepanjang satu dekade berkarir, sudah tak terhitung rumor-rumor yang beredar tentangnya.
Tapi tentu saja, karena semuanya hanya sebatas rumor. Akan lain ceritanya jika yang tersebar adalah kenyataan yang sengaja disembunyikan.
Revanda tidak akan peduli jika gosip buruk tentangnya tersebar di seluruh belahan dunia, asal tidak ada hubungannya dengan Indonesia ataupun orang-orang yang berasal dari sana—termasuk Jeffrey.
Dia belum sanggup. Membayangkan orang-orang mulai menggali asal-usulnya, masa lalunya, terlalu mengerikan. Dia tahu di mana titik lemahnya, dan sadar betul bahwa orang-orang dari tempatnya berasal adalah justru yang bisa berbuat paling kejam.
"Beberapa orang pakai jasa bodyguard yang sama, it's just a normal thing, Darl. I promise there won't be any dating rumors. My name will not be mentioned anywhere until we're both one hundred percent sure about going public." Jeff merengkuh kekasihnya itu. Mengelus pelan belakang kepalanya berhati-hati, agar rambutnya yang sudah tertata rapi tidak menjadi berantakan.
She's not in a good state.
Kesehatannya belum pulih pasca collapse setelah mengikuti rangkaian fashion week sepanjang Januari hingga Maret kemarin. Jeff tidak akan membiarkannya stress memikirkan hal yang tidak perlu.
"Ya udah, berangkat, gih. Aku juga udah harus cabut."
Sebenarnya, ucapan Jeffrey tidak lantas membuat sang perempuan merasa tenang. Tapi melihat jarum jam di tangan terus bergulir, ia sadar tidak ada lagi waktu baginya untuk memperpanjang urusan. "Waktu nanti malam aku pulang, kamu masih di sini, kan?" tanyanya lagi sebelum beranjak.
Jeff mengangguk. "I'll be here at least for two weeks. Santai aja. Kalau capek, just stay at the hotel for tonight. Kita masih bakal ketemu besok dan seterusnya."
Jeff mengantar sampai ke pintu, setelah sebelumnya memastikan Adnan akan membuat pacarnya makan lima kali sehari, sesuai meal plan, bagaimanapun caranya.
~
Adnan berdecih pelan.
Padahal, tanpa diingatkan pun, sudah pasti dia akan memperhatikan Revanda dengan sukarela.
Secara, kalau perempuan itu sakit dan nggak bisa kerja, Adnan mau makan apa??
"Semalem tidur nyenyak?" tanyanya sambil mengambil alih handbag di tangan perempuan yang berjalan di sisinya.
Yang ditanya mengangguk tipis. "Kamu nggak mau cerita soal yang tadi?"
"Enggak, nanti gue dibunuh sama pacar lo." Adnan mengangguk mantap. "Lagian, apa gunanya ada publicist? Sekali-sekali nggak apa-apalah mereka kerja keras."
Mereka berdua kemudian melewati doorman dan tiba di pedestrian.
Angin semilir menyambut.
Helaian rambut perempuan di samping Adnan sedikit berkibar, membuatnya jadi berkali-kali lipat lebih mempesona.
What a perfect moment to take a portrait.
Kurang totalitas apa Adnan sebagai manager Revanda? Kalau ada kejuaraan fans nomor satu, bahkan sepertinya dia yakin akan mendapatkan penghargaan.
Sembari melangkah, pandangan Adnan sejenak teralih pada coffee shop di seberang jalan.
Jika ada satu orang mengendus hubungan asmara Revanda dari tempat itu, maka tidak menutup kemungkinan ada orang lain lagi yang tahu. Apalagi, sepanjang jalan, terdapat banyak gedung apartemen mewah yang dihuni orang-orang penting dan selebritis. Tentu tidak mengherankan jika banyak paparazi berseliweran, dari yang terlihat jelas hingga yang berlagak seperti residen di kawasan itu.
"Mau kopi? Atau sarapan?" Adnan bertanya ke Revanda ketika menyadari perempuan itu menatap ke arah yang sama.
"Aku udah sarapan."
Adnan berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu mobil, memastikan VIP merasa nyaman di dalam, sebelum menginstruksikan Roman supaya mulai melajukan kendaraan.
"Beneran? Nggak bohong? Tumben?" Belum lupa pada pertanyaannya tadi, Adnan masih lanjut mencecar.
Anda mendesah pelan. "He wouldn't let me leave without eating."
Tentu jawaban itu membuat ego Adnan terusik. "Kalau Jeff yang bilang aja, mau nurut. Giliran gue sampai mulut berbusa, nggak didengerin. Coba kasih tau, gimana cara Jeff ngebujuk lo, biar gue tiru!"
Anda diam, sementara Roman terbatuk-batuk.
"Gimana?" Adnan mengulang pertanyaannya.
"Mas." Roman memberi kode lewat gelengan kepala, tapi dasar Adnan bahlul, tetap saja nggak ngerti maksudnya, hingga harus diperjelas. "It's a romance thing, and maybe, NSFW."
Sontak Adnan tersedak, sementara perempuan di sebelahnya memilih sibuk menatap keluar jendela, seolah tidak ada yang sedang membicarakan dirinya.
"Panteslah Jeff sombong. Dia bisa ngelakuin yang gue nggak bisa!" Adnan menggerutu.
"Sebelum jadi pacarnya Mbak Anda juga Mas Jeff bisa ngelakuin banyak hal yang Mas Adnan nggak bisa." Roman membela bosnya, membuat Adnan meradang.
"Udahlah, Man! Please, nggak usah pura-pura loyal gitu. Orangnya juga nggak di sini."
Roman hanya bisa mengangguk pelan.
~
Jeff melangkah keluar dari cab yang dia tumpangi di depan sebuah kawasan gedung perkantoran berarsitek modern di Financial District.
Biasanya jika Roman maupun Fanny—kedua supirnya—sedang bersama Revanda, maka dia akan berangkat dengan berjalan kaki.
Jarak antara condo yang ditempati Revanda dengan kantor yang dia tuju ini kurang dari satu mil, jadi itung-itung olahraga.
Tetapi pagi ini, meski Roman mengantar Revanda, sedangkan Fanny masih tertinggal di Seattle untuk mengurus perpanjangan visa, karena agak terburu-buru, tadi dia putuskan naik cab saja.
Begitu memasuki ke tower-nya, sebuah grand lobby berlantai marmer dengan meja resepsionis besar di ujung langsung menyambut.
Orang-orang dengan sharp business attire tampak lalu lalang. Sambil berbicara atau berjalan cepat. Suara sepatu beradu dengan lantai, ditambah dengungan aktivitas orang-orang, menciptakan suasana yang sangat khas: hussle.
Jeff berjalan dengan langkah panjang ke elevator bank, bergabung bersama serombongan kecil koleganya, lalu menekan tombol 57 ke tempat ruangannya berada.
Dalam lima belas menit perjalanan cab tadi, dia sudah mengulas email, hingga bisa langsung mulai bekerja.
Begitu duduk di kursinya dan PC telah menyala, dia sempatkan membuka WhatsApp web, sehingga pop-up report Adnan dari Mark Hotel dan Metropolitan Museum of Art tetap bisa terbaca olehnya sepanjang hari meski sambil bekerja.
Selanjutnya, dia membuka project dashboard yang sedang dikerjakan sekarang.
Kliennya adalah sebuah investment bank, dengan goal mengoptimalkan trading operation.
Angka dan chart yang terpampang di layar menunjukkan sejauh mana progress berjalan. Dan mau tak mau wajah sang pria jadi semringah melihat trade processing time telah meningkat hingga dua puluh persen sejak klien mengimplementasikan rekomendasi yang timnya berikan.
Tak lama berselang, seorang kolega perempuan, Lia, satu-satunya selain dirinya yang berasal dari Indonesia, memunculkan muka di depan pintu dengan muka tak kalah semringah. "Have you seen the latest performance metrics, Mas? We've made significant strides in reducing trade errors."
Jeff mesem dan menanyakan persentasenya.
"Fifteen percent, within just two weeks!"
"Wow." Jeff manggut-manggut, impressed.
Lumayanlah, untuk memulai hari Senin. Meski tidak berarti mereka bisa berleha-leha, karena goal masih jauh, yaitu 30% penurunan trade processing time dan 25% trade errors.
"By the way, Mas ... Please tell me that this is just a rumor that you will be returning to Indo soon, since I haven't seen your name in any new projects. Please ... I haven't learned much from you." Perempuan itu mengiba, dan Jeff tidak bisa tidak tertawa geli melihatnya.
"Enggak kok. Bukan ke Indo. Paling ke Seattle doang," katanya menjelaskan. "Lagi ada project gede di sana."
Lia mengepalkan tangan dan menggumamkan yes, sebelum kemudian berlalu.
~
Dengan penerangan seadanya, cukup sulit menemukan meja yang disebutkan Christian di outdoor seating salah satu restoran Mediterania tak jauh dari kantor Jeff, di tepi sungai Hudson.
Apalagi, restorannya penuh malam itu. As always.
Ditambah banyaknya lalu lalang orang-orang, plus binatang peliharaan masing-masing, makin tumpah ruah saja.
Untung, tawa Andrew yang terputus-putus per suku kata itu cukup khas, hingga kemudian Jeff berhasil menavigasi asal suaranya.
Ternyata, kedua temannya nyempil di belakang, tertutup payung-payung!
Jeff berdecih, memasukkan ponsel ke saku jas.
"Has he said anything yet?" tanyanya sembari menepuk bahu Andrew, kemudian dengan cekatan menarik sebuah kursi, meletakkan tas kerjanya di sana, lalu menarik kursi lain untuk diduduki.
"What?" Andrew nggak paham maksud pertanyaan temannya yang baru datang itu.
Jeff berdecih lagi. "This asshole is getting married."
Sementara yang sedang diomongin cuma pringas-pringis, Andrew menatap dua temannya bergantian. Marah. "Lha itu lo udah tau duluan! Cuma gue yang dikucilin?" gerutunya, sensi.
Padahal, nyatanya memang bukan Christian sendiri yang memberitahu kabar mengejutkan itu ke Jeff. "Isabelle told me."
"And who the hell is Isabelle?"
"Ck." Jeff berdecak pada ingatan Andrew yang mengenaskan. "My father's girlfriend."
"Tau ih. Padahal udah pernah ketemu!" Christian ikut-ikutan berdecak, padahal dia yang sedang jadi musuh bersama.
"Oalah, Ibel? Jangan gonta-ganti nama sebutan, dong!" Andrew nggak terima disalahkan, kemudian menoleh kembali ke sang tersangka. "Gimana ceritanya?"
"Bukannya gue udah bilang berencana married dari lama?" Christian mengangkat bahu, seolah-olah nggak ada yang perlu dijelaskan. Padahal, di antara mereka bertiga, lebih masuk akal jika dialah yang menjadi orang terakhir yang memutuskan mengakhiri masa lajang.
Jeff sudah berpacaran serius bertahun-tahun. Andrew punya pacar juga. Sedang Christian? For God's sake, he's hopeless. He could barely remember the name of the woman he hooked up with yesterday.
Iya memang, dia pernah bilang ingin mendirikan venture capital di Jakarta. Untuk itu, menikah adalah salah satu hal yang ada dalam daftarnya, demi membuat namanya lebih kredibel.
Nggak ada hubungannya? Ada, lah. Kan di sana dibanding menjadi bujang lapuk, menjadi pria beristri jauh mempermudah dalam berbisnis. Secara, pria yang sudah berkeluarga dianggap lebih bertanggung jawab, dan lebih segala-galanya.
Ya boleh-boleh saja, sih, membuat rencana seperti itu. Tapi tetap saja, Andrew tidak menyangka Christian serius dengan ucapannya yang cuma selintas itu.
"I met a woman. We share the same vision. That's it. End of the story." Christian menjawab pertanyaan Andrew singkat.
"Woman-nya ini siapa??" Andrew emosi.
"Kenalannya Isabelle, kan tadi gue udah bawa-bawa namanya." Jeff nggak tahu dia lebih emosi ke Andrew atau ke Christian. Atau ke dirinya sendiri yang mau-maunya bergabung dengan teman-temannya di sini, di saat dia sudah berjanji akan ada di rumah ketika pacarnya pulang malam ini.
"Anj—" Andrew batal misuh, pilih nyebut saja, daripada nambah dosa. "Lo nggak bilang ke calon mama tiri lo itu, kalau ni orang lebih baik dibawa ke kebun binatang daripada ke pelaminan?"
"Bukannya udah jelas?" Jeff mengangkat bahu. "For the record, gue ngenalin ni orang ke Isabelle bukan sebagai eligible bachelor yang boleh dikenalin ke temen-temennya, but as her client. She's a lawyer. Pretty sure she can read people."
Tidak ada yang menyahut.
Ketiga pria lewat kepala tiga itu masing-masing sibuk saling menatap dan geleng-geleng kepala selama beberapa saat. Sesekali sambil meneguk bir masing-masing sembari menunggu pesanan makanan tiba.
"Tapi, dude ... lo nggak diam-diam membawa misi untuk nambah-nambahin angka positif HIV di Indo, kan?" Andrew bertanya dengan mimik serius, membuat Christian geram dan menyepak kakinya, menyesal telah mendengarkan.
Jeff juga kesal dan pilih menenggak bisnya lagi.
Kemudian, Andrew kembali merenung. "Gue tau ini marriage of convenience, nggak pake cinta-cintaa, but it's still marriage, no? Lo sama dia bakal tinggal serumah, bakal melakukan banyak hal selayaknya pasangan lain, no? So please, jangan bilang calon istri lo perempuan baik-baik kayak Ibel? Gue takut dia baper sama penjahat kelamin."
"She is." Jeff menjawab. "Gue pernah ketemu."
"Anjiiiing, anjiiiiing." Andrew menyerah untuk tidak mengumpat, tak habis pikir dengan kelakuan laknat teman-temannya. "Lo nggak ada rencana nge-warning si woman ini?"
"She knows. And she still wants it." Christian membela diri dengan cepat.
Kening Andrew mengerut. "Kenapa? Diburu-buruin umur sama orang tuanya?"
"Sort of."
Entah kenapa, Andrew masih tetap merasa prihatin walau telah ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Padahal, dia juga tidak mengenal siapa perempuan ini. Tidak mengerti juga seperti apa tepatnya 'pernikahan' yang temannya maksudkan.
"Terus, terus?" Andrew masih belum bisa menerawang kelanjutannya.
"Apanya yang terus? Ya secepatnya gue transfer ke Jakarta, lah."
"Jangan ngaco!" Andrew melotot. "Bukannya memperlebar bisnis ke sono, tapi transfer? Gila apa?"
"Ngaco gimana?" Christian nggak ngerti bagian mana dari rencananya yang tidak temannya pahami. "Emang lo berencana selamanya tinggal di sini?"
"Iya, lah." Andrew bersedekap. "No way would I choose Jakarta over NYC! Pindah ke sana, mau makan apa? Gaji dokter gigi kecil. Apart—apalagi rumah—harganya nggak ngotak. Gue bisa jadi gelandangan lama-lama kalau gaji minus mulu." Lelaki itu kemudian ganti menatap Jeffrey. "Lo nggak akan mendadak ngabarin mau pulang juga, kan? Baginda Steve Roger belum bersabda, kan?"
"Kalau bersabda mah udah." Malah Christian yang menjawab duluan. "Kan Baginda juga udah lama pengen pensiun dan nikahin pacarnya. Cuma yang ditunggu-tunggu buat gantiin posisinya ini masih berat di Reva aja."
Jeff mendesah.
Andrew masih setengah berharap Jeff tidak perlu pulang. "Reva ... nggak bakal bisa dibawa ke Jakarta, kan?"
~
Pukul satu malam, akhirnya Anda bisa menginjakkan kaki di rumah.
Acara semacam ini, yang memakan waktu sejak pagi hingga larut malam, sesungguhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hectic-nya fashion week. Di mana dalam satu hari, dia bisa berlarian dari satu venue ke venue lain tiada henti. Hanya bisa tidur dalam kendaraan. Makan sesempatnya, tapi sekaligus tidak bisa pada jam sembarangan, karena ukuran tubuh dilarang mengalami perubahan.
Yang membuat hari ini berat adalah cocktail yang tadi dia minum. Juga menu makanan yang sebenarnya tidak akan dia makan sehari-hari.
Tubuhnya seperti langsung ingin memberontak.
"Kenapa nggak stay di hotel aja?" Jeff yang mendengar suara langkahnya kemudian berjalan menghampiri dari ruang kerjanya.
Sang perempuan mengulas senyum. "I'm afraid I can't sleep without you by my side."
Jeff tertawa pelan, mencium keningnya, kemudian merangkul perempuan itu naik ke kamar.
"Kamu udah selesai kerjaannya? Nggak apa-apa kalau mau ditinggal." Sang perempuan bertanya ketika kekasihnya kemudian ikut berbaring di sisinya, dan bukannya kembali lagi ke ruang kerja.
"No way I choose my laptop over you." Jeff menjawab santai.
Seketika pacarnya mengerang. "Jangan gitu. Aku nggak mau gangguin kerjaanmu."
"Kidding, Darl. It's time to sleep anyway."
Jeff mencium kening perempuan itu lagi, meminta yang dipeluk supaya segera memejamkan mata.
Selama beberapa saat, Jeff masih terjaga, kembali terusik oleh pertanyaan terakhir Andrew tadi.
Dengan hati-hati, dia meraih tangan kekasihnya, dia sentuh lembut jemarinya yang kurus.
No ring.
She hasn't worn the ring he gave her yet.
Jeff menghela napas berat, menyisipkan jari-jari miliknya sendiri di sela-sela kelima jari tersebut.
Kemudian, dia cium punggung tangan sang perempuan, sembari menggumamkan rasa sayangnya berkali-kali.
~
Sudah tak terhitung berapa kali Isabelle Tanjung mengunjungi headquarter Abram Holdings di MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Tentu semuanya untuk urusan pekerjaan.
Ke kantor Roger Abram juga pernah. Satu kali. Tiga tahun lalu. Kalau itu, hanya mampir saja, menemani Pak Sony, bosnya di Stevanus Setiawan and Partners, menyapa teman lamanya yang waktu itu baru kembali ke Jakarta setelah menempuh perjalanan bisnis ke Massachusetts.
Tentu, waktu itu Ibel belum menjalin hubungan dengan sang pemilik CEO suite tersebut.
Jangan terpikir untuk berpacaran dengannya, waktu itu hal pertama yang Ibel harapkan adalah sang tuan rumah tiba-tiba memiliki kepentingan lain sehingga dia dan bosnya bisa segera pulang.
Kali ini, ketika dirinya berada dalam elevator menuju lantai teratas tower dengan status yang seratus delapan puluh derajat berbeda, entah bagaimana rasa canggungnya masih tetap sama. Hanya saja kali ini bukan oleh keinginan untuk cepat pulang.
Dengan gelisah yang tersembunyi sempurna melalui pembawaannya yang tenang, Ibel mengerling pria di sisinya.
"Nanti kamu masuk duluan aja. Saya mau ke kamar kecil." Pria yang seusia dengan ayahnya sendiri itu berkata lebih dulu dengan wajah iseng, namun tatapannya tetap lurus ke depan.
Yeah, it's his idea.
Ibel mengiyakan, dan elevator berdenting sekian detik kemudian.
Pintu terbuka menuju sebuah hall, dengan meja resepsionis dan lounge area di sebelah kiri, dan penunjuk arah conference room di sebelah kanan.
"Trinity, nggak usah bikinin minum, ya. Associate saya udah bawa sendiri." Ucapan Pak Sony pada salah seorang staf di situ lagi-lagi membuat Ibel menahan diri untuk memutar mata.
Kalau saat pensiun nanti beliau ini tiba-tiba membuka usaha matchmaking, Ibel tidak akan terkejut.
"Baik, Pak." Yang bernama Trinity menjawab sopan. Setelah Pak Sony izin ke restroom, perempuan yang tampak seusia dengan tamunya itu menoleh ke Ibel. "Mari, Mbak. Saya antar."
Ibel pun mengikuti langkahnya melewati pintu meeting room, menuju pintu lain di ujung.
Ketika Trinity mengetuk dan meminta izin membawa sang tamu masuk, sesaat dada Ibel bergemuruh.
Dan kemudian terdengarlah sahutan dari dalam.
It's his voice.
Ibel baru mendengarnya lewat telepon tadi pagi. Tapi setelah dua minggu tidak mendengarnya secara langsung, mendadak dia merasa lemah.
Trinity mempersilakan masuk, sebelum kemudian berpamitan.
Sejenak Ibel berdiri mematung di dekat pintu meski sudah dipersilakan duduk, memperhatikan pria di ujung ruangan yang masih membutuhkan beberapa detik lebih lama untuk mengalihkan fokus dari lembaran dokumen di tangannya sebelum kemudian mengangkat pandangan.
Menyadari siapa yang berdiri di hadapannya, seketika dia bangkit dari meja kerjanya.
Pria itu mengenakan kemeja panjang biru telur asin yang kancing teratasnya terbuka. Dengan vest dan setelan celana hijau gelap. Tanpa dasi.
Rapi. Tapi tidak serapi Roger Abram biasanya.
"Hey, you're here." Dengan wajah semringah, sang pria berjalan dengan langkah-langkah panjang menghampiri. Kedua tangannya terbuka.
Setelah dekat, tampak sekali guratan-guratan lelah di wajah tampan itu, membuat hati Ibel makin mencelos.
Ibel menerima sebuah pelukan singkat dan sentuhan lembut di punggung, yang jujur saja terlalu singkat untuk menebus rindu.
Tapi sebagai gantinya, Roger menggenggam tangannya erat.
"You look awful. Have you had enough sleep?" Ibel merasa pilu.
Jelas-jelas ini periode yang berat bagi pacarnya, tapi dia sendiri masih sempat-sempatnya merasa sebal karena sang pria tidak kunjung menemuinya selama dua minggu ini.
Perlahan kemudian Roger menarik tangan dalam genggamannya itu untuk menangkup wajahnya. Sejenak dia memejamkan mata. Napasnya tenang, seolah menemukan sedikit kedamaian terpancar dari hangatnya telapak tangan pacarnya, di tengah-tengah kesibukannya yang menggila. "I'm hungry."
Sialan. Ibel jadi tertawa.
"I brought you lunch." Perempuan itu mengacungkan paperbag di tangan.
Roger mengambil alih, kemudian membawa mereka berdua duduk.
"Thank you for coming." Pria itu mencium punggung tangan pacarnya, tidak ingin segera melepaskan. "Sampai kamu yang harus bela-belain kesini supaya bisa ketemu, what a terrible boyfriend I am. Maaf, ya. I haven't done it in ages. I'm lacking in so many ways."
Ibel menggeleng.
Dia tidak akan menerima ajakan pacaran pria sibuk di sebelahnya ini tanpa mengetahui resikonya. She knows how crazy his workload is.
"No need to be sorry for. I never know how to date a CEO either."
Sebuah ketukan pelan terdengar, disusul Sony muncul sedetik kemudian.
"You can kiss, guys. I'll close my eyes," kata pria pertengahan lima puluhan yang juga masih tampan itu, menggoda, membuat Ibel tak sanggup berkata-kata. "Atau gue harus tunggu di luar sebentar? Lima menit cukup?"
Roger berdecak, dan Sony tertawa sebelum kemudian melangkah masuk dan duduk di sofa seberang meja.
"Ada yang galau dua minggu nggak diapeli. Gue suruh ambil cuti, nggak mau. Katanya, 'Cuti mau ngapain, Pak? Mau ke mana? Nggak ada temennya.' Ngenes banget nggak tuh?" Pria itu bercerita. "Gue ajak keluar tadi, mukanya udah datar banget. Kalau diterjemahin mungkin bunyinya, 'Saya lagi bad mood, Pak. Bisa nggak sih dikasih tugas in house aja, lembur juga nggak apa-apa deh, asal jangan ketemu orang!' Eh, sekarang kayak gitu mukanya. Seneng, Bel, akhirnya bisa ketemu?"
Ibel pusing dan malu. "Opsi buat ngisi kesibukan habis pensiun nanti, makin banyak ya, Pak? Matchmaker, bisa. Jadi juru bicara saya juga bisa."
Kasihan pacarnya diolok-olok, Roger meminta Ibel membongkar bawaannya.
"Wow, look good. Tapi kok cuma satu?" Roger mengernyit tatkala melihat hanya ada satu bowl salmon salad yang dikeluarkan Ibel dari dalam paperbag, selain tiga botol jus apel.
"I don't date a woman half my age. I don't need to try that hard to look younger. In short, I don't eat salad." Sony menjelaskan.
Roger hanya mendengus pelan.
Don't get him wrong. Dia membiasakan diri clean eating bukan semata-mata karena mengencani Isabelle. Jauh sebelum perempuan itu datang ke hidupnya, Roger memang tidak pernah berniat untuk menua dengan penyakit menumpuk di tubuh.
"Kita udah makan duluan tadi." Ibel berbisik, kemudian menyerahkan garpu ke pacarnya supaya lekas makan.
"Oh ya, di depan ada yang mirip lo. Who?" Sony kembali bersuara.
Ibel terlihat tertarik. "Di mana, Pak? Saya nggak lihat."
"Iya, lah. Kamu nggak lihat kanan kiri saking excited. Tadi dia keluar elevator, kita masuk. Siapa lagi yang pakai elevatornya Roger kalau bukan tamu sini?"
"Adik." Roger menjawab singkat di sela-sela aktivitasnya mengunyah.
"Oh, I see. Yang tinggal di Bali, ya?" Sony mengonfirmasi.
Roger mengangguk, sementara Ibel gemas pada diri sendiri karena tadi tidak melihat.
"Pak Ardhinata, your half brother?" tanyanya, tidak ingin tertinggal obrolan.
Roger mengangguk sekali lagi. "He is free now. His son took over his business. Padahal, he's much younger than us."
Sony tersenyum getir. "Jeffrey gimana?"
Roger hanya mengedikkan bahu. Mempercepat kegiatannya makan sembari menatap perempuan di sisinya.
He feels bad for her, for sure.
Kalau Jeffrey kembali seperti rencana semula, bersedia menggantikan posisinya, mungkin mereka sudah menikah sekarang. Atau paling tidak, sedang merencanakan pernikahan.
Isabelle tidak ingin menjadi buah bibir dengan menikah sebelum dia lengser dari jabatan, dan Roger sama sekali tidak menganggap remeh kecemasan kekasihnya itu.
"I'll figure out another way." Pria itu berujar meyakinkan.
"Richard?" Mendengar ucapan temannya, Sony menaikkan sebelah alis, kemudian menggeleng. "No, dude. You're not giving away what you build with sweat, blood, and tears!"
"Look who's talking? Kayak Mega minat nerusin firm lo aja?" Roger hanya bisa tertawa pelan. "We already try our best, let the kids decide."
Merasa tidak nyaman, Ibel menyuarakan topik lain untuk diobrolkan sampai Roger selesai makan. Untungnya, pria-pria berumur di sekitarnya cukup kooperatif untuk tidak lagi membahas soal bisnis, soal kemungkinan adanya pernikahan ke depan, soal keluarga, dan banyak hal lain yang kiranya tidak ingin Ibel dengar di siang hari kerja.
"Stomach full. Now I'm sleepy."
Selesai makan dan minum, Roger perlahan melemaskan punggung, kemudian menyandarkan kepala di pundak kekasih yang duduk rapat di sisinya.
Melihat tingkah mesra dua orang yang berhasil dia comblangkan itu, Sony berdecih pelan. Kemudian bangkit berdiri.
"One hour, enough, ya, Isabelle? Kalau kurang, ya nikah aja biar bisa ketemu tiap hari."
Isabelle mengangguk dan berterima kasih, memandang punggung bosnya yang kemudian berjalan menuju pintu dan meninggalkannya hanya bersama kekasihnya di ruangan itu.
~
Anda kembali terjaga karena rasa mual tidak terkira.
Cukup lama dia meringkuk sendirian di kamar kecil, menangis karena muntah-muntahnya hanya berhasil mengeluarkan cairan pahit, merasa seperti akan pingsan.
Dia mencoba menenangkan dirinya sendiri, sebelum kemudian berjalan tertatih-tatih kembali ke tempat tidur.
Tapi ternyata, Jeffrey tidak ada di sana.
Tentu saja, matahari sudah terbit. Pria itu mungkin sedang membuat sarapan di bawah.
Tapi ternyata, tidak ada juga di sana.
"Jeff?"
Anda memanggil pelan, berjalan kembali ke arah foyer, ke tempat dua pintu lain—selain pintu yang mengarah ke condonya di atas—yang mengarah ke ruang kerja Jeff, serta ke condo yang ditempati Adnan, Roman, dan Fanny.
Anda memanggil sekali lagi, yang juga tak mendapat jawaban, sebelum kemudian meraih knop.
Baru saja daun pintu terkuak sedikit, pergerakannya terhenti.
Tubuh kecilnya bergeming mendengar pembicaraan dua orang di dalam.
Perlahan, dia merasa dicekik hingga sulit bernapas.
Mati-matian dia mensugesti diri sendiri bahwa dia baik-baik saja. Dia akan selalu baik-baik saja. Seperti sejauh ini.
Iya. Sudah sewajarnya orang-orang datang dan pergi, melanjutkan hidup mereka sendiri-sendiri.
Dia bukan pusat dunia. Dia harus mengurus hidupnya sendiri pula.
Cukup lama perempuan berdiri di balik pintu, mencoba mengembalikan ritme napas dan ekspresi wajahnya menjadi normal kembali, sebelum kemudian dia mendorong gagang pintu di depannya.
Baik Jeffrey maupun Adnan tampak terkejut, tetapi Jeffrey lebih dulu mampu menguasai diri.
"You awake? Let's have breakfast," katanya, berlagak bodoh.
Tapi Anda tidak menyahut, masih mematung dengan tatapan lurus tertuju pada Adnan. "Kamu ... udah waktunya pulang ke Indo, Nan? Kapan?"
Adnan tergeragap. Tampak tidak bisa memikirkan kata apapun untuk diucapkan.
Saat itulah Anda menyadari, dia salah menangkap informasi.
Hingga kemudian perempuan itu ganti menoleh ke pacarnya sendiri. "Jadi ... bukan Adnan? Tapi kamu, Jeff?"
Saat itu juga Anda merasa seluruh dunia menjadi gelap gulita.
#TBC
Anjayy ni cerita, 2 chapter, masing-masing hampir 4rb kata, padahal physical distancing dan cerita w yang lain tuh rata-rata 1rb kata doang per chapter, huhuhuu. So proud of myself, wkwk.
Masih belum bisa rutin Senin-Kamis, but I'll try my best gaissss.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top