#1


Not wanting to sound cunning, but his woman looks the most beautiful in a situation like this: flushed face, sweat dripping down the temple, eyes closed, lips parted and occasionally uttering his name. And of course ... getting under him.

Sudah tak terhitung berapa kali Jeff memuji parasnya malam ini, meski tak dihiraukan karena yang dipuji sibuk meracau sendiri.

Not that he's complaining.

She can do anything in bed and he will still adore her unconditionally. Termasuk meremas pundaknya secara tiba-tiba, seiring Jeff merasakan cengkeraman pada miliknya di bawah sana ... seperti yang terjadi sekarang.

"Babe." Jeff memanggil kekasihnya itu, memintanya membuka mata. "Look at me."

Sayangnya, permohonan itu hanya dibalas dengan gelengan, kening yang mengkerut, serta remasan yang semakin erat di kedua pundak.

"Are you close already? 'Cause I haven't even started." Dia menahan senyum geli, tanpa sedikitpun mengendurkan usahanya membawa mereka berdua merasakan ekstasi.

Ketika lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, baginya sama sekali bukan masalah.

Sedikit pengabaian tidak akan merusak malam yang panas ini.

Dengan sayang, dia merendahkan tubuhnya sedikit, demi bisa mendaratkan ciuman di bibir yang merah merekah di hadapannya itu. Lembut tapi dalam. Pelan tapi menuntut. Berpacu dengan ketegangan yang dia rasakan pada tubuh di bawahnya, sebelum perempuan itu bergetar hebat dalam hitungan detik.

Jeff hampir berpuas diri, jika saja ciumannya tidak diputus dengan tiba-tiba.

"Please, stop!" Begitu kata perempuan dalam kungkungan kedua lengannya, agak kurang jelas di antara napasnya yang terengah.

Tentu saja hal itu membingungkan.

"Pardon?" Jeff mengernyitkan dahi, curiga telah salah dengar.

Tapi, sebelum mendapatkan jawaban, tubuhnya telah lebih dulu didorong mundur.

Lalu, secepat kilat perempuan itu berlari menerjang pintu kamar mandi.

Selama sekian detik, Jeff berusaha memproses apa yang terjadi. Berusaha menahan rasa tidak nyaman pada sekujur tubuh karena ditinggalkan pada saat paling tidak diharapkan. Hingga kemudian suara muntah-muntah yang terdengar membuat otaknya kembali bekerja.

Shit.

Menyadari bukan saatnya menertawakan nasibnya sendiri, segera dia melompat turun dari ranjang, menyambar celana di lantai dan mengenakannya dengan cepat. Lalu menyusul ke ruangan yang pintunya tidak sempat tertutup di sisi lain kamar tidur.

Saat ia tiba, kekasihnya sudah berjongkok di depan kloset, tengah menguras apapun yang ada dalam perut.

Melihat tubuh kecil itu bergelung dan gemetaran, refleks tangannya menyambar tumpukan teratas handuk di kabinet samping lavatory, lalu dia kibarkan benda itu menutupi punggung sang wanita, sebelum turut berjongkok di sisinya.

Dia urut perlahan belakang lehernya dengan rasa bersalah yang mulai timbul, berharap bisa sedikit mengurangi sakit yang dirasakan perempuan itu ketika muntahnya tak kunjung terhenti, meski jelas-jelas tak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

Tak lama kemudian perempuan itu menangis.

Terlihat begitu kecil dan tak berdaya, sehingga membuat Jeff kian terkoyak oleh rasa cemas.

"It's okay. It's okay to let it out," bisiknya, mencoba menenangkan, meski dia sendiri tidak merasa tenang. "Take your time, and I'll take care of you."

Sang perempuan menggeleng-geleng, semakin tergugu dalam tangisnya. "I'm sorry ...." Dia merintih.

Jeff tidak mengerti. "Buat apa? There's nothing to be sorry for."

"I promise I didn't vomit purposely."

"Of course you didn't." Jeff masih mengurut pelan selama beberapa saat, menunggu sampai tidak tampak tanda-tanda perempuannya akan muntah lagi. "Feeling better?"

Kekasihnya mengangguk.

"Udah nggak pengen muntah lagi?"

Sekali lagi ia mendapat anggukan sebagai jawaban.

"Alright." Dengan napas lega, Jeff bangkit lebih dulu. Ia mengulurkan tangan untuk membantu berdiri, sementara closet di depan mereka melakukan flush otomatis.

Dia lalu membimbing perempuan itu duduk di sofa kamar, berjongkok di depannya, menangkup kedua pipinya lembut.

"Look at me," pintanya, lagi.

Dengan kecemasan yang masih jelas terpampang di wajah di antara tangisannya, perempuan itu menatap balik.

"I know it's overwhelming. Just focus on taking slow breaths. I'll take care of everything else."

Jeff membantunya mengatur napas hingga perlahan-lahan isakan itu berhenti.

"Good job. Tunggu di sini sebentar. Aku bikinin teh hangat."

Tidak menunggu sahutan, dia berjalan cepat ke dapur, lalu segera kembali dengan secangkir teh dengan sepiring biskuit.

Perempuan itu menerima tehnya, Jeff duduk di sisinya, menunggunya sampai selesai minum dengan sabar. Dia sibakkan rambut yang menempel di dahi perempuan di sisinya itu ke belakang telinga supaya tidak ikut masuk ke dalam cangkir.

It's okay, batinnya menenangkan diri sendiri. She's okay.

Dia lalu mengambil alih cangkir di tangan sang perempuan setelah isinya hanya tertinggal setengah.

"I'm sorry." Kekasihnya itu masih saja menggumamkan permohonan maaf beberapa kali lagi. "Aku bikin kacau, padahal udah dua bulan kita nggak ketemu. I'm really sorry."

Jeff tersenyum geli untuk mencairkan ketegangan. "Dibilangin nggak ada yang perlu dimaafin. Emang ada orang yang pengen sakit? It's okay, nggak usah dipikirin. Yang tadi bisa dilanjutin lagi kapan-kapan."

Jeff lalu mengulurkan satu biskuit ke tangannya.

Dia meragu, as always.

"Ini nggak terlalu manis. Ada rasa jahenya dikit. Nggak bikin mual." Jeff mendekatkannya ke mulut kecil itu, dan sang perempuan mau tak mau terpaksa mencoba menggigitnya sedikit. "Good girl."

Jeff bangkit sebentar untuk mengambilkan selimut guna mengganti handuk yang tidak cukup membungkus tubuh.

"Mau dibacain buku biar cepet ngantuk?" tanyanya tatkala kembali ke tempat dia meninggalkan pacarnya.

"I am not a kid." Yang ditanya mencebikkan bibir, tampak menggemaskan hingga Jeff tertawa pelan melihatnya.

"You hate books, so I'm suggesting it." Jeff mengangkat bahu santai. "Kalau nonton TV, nanti malah nggak bisa tidur."

"Audiobook then. I'd rather listen to you talk than read a book."

Jeff sepakat.

Dia lalu mencari ponsel dan menyalakan audiobook pengantar tidur. Lalu beringsut ke ujung sofa, merentangkan tangan untuk memeluk pacarnya yang masih belum ingin kembali ke tempat tidur. Sembari saling merengkuh, mereka mengobrolkan apa saja.

"Jujur aja, kamu pasti kesel, kan?" Sang perempuan mencicit pelan, kembali membahas insiden beberapa saat lalu di tengah-tengah obrolan.

Jeff menggeleng pelan, jujur. "Kalau yang tadi itu pertama kali kita ngelakuinnya, maybe yes. Aku bakal ngutuk kamu yang nggak bilang dari awal kalau perut lagi nggak enak. But we've been together for seven years, Darl. It's impossible for things to always go our way."

Perempuan itu menoleh melewati pundak, memandang Jeff yang melingkarkan lengan ke pinggangnya dari belakang. Senyum yang terlukis di wajah itu, berani sumpah, bisa membuat Jeff tahan melihatnya seumur hidup.

"I promise next time will be great." Janji yang manis itu meluncur begitu saja dari bibir orang yang paling dia cintai, membuat Jeff merasa wajahnya memanas.

"Wow." Sang pria lalu mengangguk-angguk, menyentuh ujung hidung sang wanita dengan ujung hidungnya sendiri dengan rasa hangat mengembang di dada. "You've got me grinning from ear to ear, Babe."


~


Perempuan di belakang entrance menatap dengan mata menyipit.

Yeah, she's the rudest woman on Earth, but he has come here a thousand times, so no biggie.

Lied.

Bukan karena Adnan Hamid sudah terlalu sering kemari, karena hal itu tidak berpengaruh, melainkan karena ia pernah datang bersama Revanda.

Iya, Revanda yang itu.

Bagusnya, selain punya setumpuk uang untuk dihambur-hamburkan sebagai tip, perempuan itu secara tidak sengaja mengenal Cosima Frances Vesey, istrinya André Balazs, setelah menghadiri sebuah social event.

Nggak tahu siapa mereka? Yeah, nggak penting juga, kecuali warga NYC, dan butuh akses mudah ke Le Bain setiap akhir pekan, macam Adnan ini.

Karena datang sendirian, impulsif pula, malam ini dia tidak melakukan reservasi. Beruntung, ada satu kursi kosong di meja bar berbentuk bundar di tengah ruangan.

Dia duduk di sana, menyerap energi yang dihadirkan oleh musik yang hingar bingar dan para muda-mudi yang sibuk menghentak-hentakkan kaki mengikuti irama musik.

Jauh di belakang, hot tub and pool di area rooftop terlihat sama penuhnya.

Di belakangnya lagi, kontras dengan suasana energetic di dalam club, tampaklah the unholy panoramic views of the Manhattan skyline, berikut The High Line dan sungai Hudson didalamnya, menyajikan background dengan atmosfer yang relaxed and stylish.

What a perfect place to just chill and enjoy life, no?

Adnan tersenyum tipis, baru menyadari sejauh mana dia pergi. Karena, well, sepuluh tahun lalu tak mungkin terbesit dalam kepalanya, bahwa suatu saat nanti dia akan hidup nyaman di lingkungan paling bergengsi di salah satu megapolis di ujung terjauh dari tempat kelahirannya.

Sabar menunggu, sekian belas menit kemudian akhirnya keberadaanya disadari oleh salah seorang bartender.

"B for Love," katanya, memesan salah satu cocktail berbahan dasar Vodka.

Fuck yeah, that's the correct name.

Kontras dengan judulnya yang terkesan desperate, it is just a lively and citrus-forward cocktail, sesuai dengan mood Adnan yang tidak ingin terlalu menggila malam ini. Tidak lain tidak bukan karena besok Met Gala, dan pekerjaannya sudah pasti banyak.

Setengah jam di duduk di situ, kursi sebelahnya kosong ditinggalkan pria berbadan tambun, berganti dengan orang lain dalam sekejap.

Wangi parfumnya mau tak mau mengusik penciuman.

Adnan menoleh demi mendapati perempuan Chinese yang kira-kira seusia dengannya.

She's hot. Fitur wajahnya bukan yang bisa dihafal sekali lihat, tapi posturnya 10/10.

Adnan tertawa pelan saat kembali fokus pada minumannya sendiri sementara sosok di sebelahnya memanggil bartender untuk memesan.

Jangan tanya apa maksudnya 10/10. Yang jelas, dengan bralette dan rok mini seperti itu, Adnan akan betah memandangnya sepanjang malam kalau tidak ingat dia punya nama belakang yang harus dijaga.

Si perempuan memesan Get Down, and that's heavier than his.

Perhatian Adnan perlahan teralihkan dari sang tetangga, berganti ke kerumunan orang-orang yang sedang ditegur—read: diusir—oleh bouncer tidak jauh dari tempat duduknya. Cukup lama. Hingga kemudian percakapan sang perempuan di telepon membuat telinganya siaga.

She's Indonesian.

Well, mungkin sekarang ini ada belasan ribu WNI yang berdomisili di NYC. Tapi itu jumlah yang kecil mengingat padatnya kota ini. Jadi masih sangat wajar jika Adnan cukup excited mendengar bahasa ibu nyantol di telinga.

Adnan pun menunggunya selesai bertelepon sebelum kemudian menyapa, "Sendirian, atau nunggu temen?"

Yang ditanya menoleh. Terkejut selama sepersekian detik. "Nunggu suami."

No ring. Tapi bukan itu yang membuat Adnan yakin dia belum menikah, melainkan gestur dan nada bicaranya. "Sama suaminya dibolehin ngobrol sama stranger, nggak?"

"Boleh, tapi belum tentu aku mau juga, sih." Dengan anggun yang dibuat-buat, dia menyesap Get Down-nya yang baru saja tiba.

Adnan mengangguk-angguk sambil tertawa getir.

Setelah memperhatikannya sedikit lebih lama, Adnan tahu apa yang mencolok dari perempuan ini—selain dadanya. Her long hair. It's a colorful peek-a-boo. Dicatok beach wave.

Perempuan itu menerima telepon sekali lagi.

Kali ini, meski tak berniat menguping, cukup sulit bagi Adnan untuk tidak mendengarkan.

Dan sudah pasti yang ada di ujung sana bukan suami. A friend. Maybe. Bahasanya kasar banget. Medok pula, campur-campur English, Indo, Jawa. Kalau bukan Surabaya, ya Malang. Adnan orang Malang, jadi langsung ngeh ketika ada jancuk-jancuk meluncur santai dari bibir bergincu hot pink itu.

Seperti sebelumnya, telepon itu tidak berlangsung lama.

Adnan fokus menyesap minumannya sampai habis sebelum kemudian memesan yang lain.

"Santuy banget, udah kayak akamsi. Di sini keja, Mas? Atau kuliah?" Terdengar suara-suara.

Adnan menoleh. "Gue?"

"Bukan. Bouncer yang lewat barusan, tuh."

Adnan mesem. "Kerja. Elo?"

"Baru lulus kuliah. Masih nganggur sambil morotin duit suami."

"Magister?"

Perempuan itu mengangguk.

"Beneran udah married?"

"Emang bakal beda perlakuan, ke strangers yang udah married sama yang belum?"

Adnan mengangkat bahu santai. "Cuma nggak nolak tau aja, misal tebakan gue bener."

"Emang yang di depanmu ini nggak kayak udah married?"

"Enggak. Auranya beda."

"Njir. Udah jauh-jauh hijrah ke sini, yang diomongin masih aura-aura?"

Adnan ketawa.

"Kerja apa, Mas? Bukan nginterogasi ya ini. Siapa tau bikin terinspirasi."

"Manager artis."

"Oh." Si perempuan manggut-manggut tidak excited. "Dari Indo juga artisnya?"

"Yoi."

Lagi, dia manggut-manggut walau tidak mau susah-susah berlagak antusias.

Egonya sedikit tersentil, Adnan pun sesumbar. "Kalau gue sebut namanya, lo pasti kenal." Sadar ada yang perlu dikoreksi dari ucapannya, ia segera menggeleng. "Ralat. Tau. Lo pasti tau kalau gue sebut namanya."

"Who?" Si perempuan yang belum ia tahu namanya itu menantang.

"Tebak. Inisial RS."

"Hmm ... aku taunya seleb inisial RS laki doang. Ranveer Singh, tapi India." Tapi setelah beberapa saat merenung, kemudian sepasang matanya yang bersoftlens hazel dan berbingkai fake lashes itu berbinar. "Tau, tau. Rosa Salazar? Rosa—Bianca—Salazar? Eh, tapi masa dia dari Indo, sih?"

Adnan menggeleng.

"Rhea Seehorn? Tapi nggak ada muka-muka campuran Indo juga."

Sekali lagi Adnan menggeleng, agak gemas karena sebenarnya jawabannya sangat amat mudah ditebak. "Another clue, a supermodel."

"Pass."

"Dih. Gampang banget nyerah, heran. Nggak punya daya juang." Adnan berdecih. "Tebak lagi. Supermodel dari Indo yang bisa eksis banget di sini ada berapa orang, sih?"

"Pass." Si cewek tetap keukeuh pada pendiriannya bahkan sebelum kembali mencoba.

Adnan menghela napas panjang. "Revanda Saab."

"Ngaco." Perempuan itu langsung terlihat kehilangan minat untuk lanjut berbincang dengannya. "Nggak sekalian ngaku-ngaku jadi managernya Bella Hadid?"

"I said, she's from Indo. Bella, Indo di mananya?"

Tetap saja perempuan itu menggeleng. "Iya sih, aku tau dia ada darah Indo. But we talk about the same Revanda, no?"

"Iya, dia. Nggak percaya?"

"Mana buktinya??"

Dengan napas berat, lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Selama beberapa saat, dia menimbang-nimbang apa kiranya yang bisa dijadikan bukti, sebelum tangannya secara natural membuka aplikasi Instagram. "I run her account," sesumbarnya sembari menunjukkan layar ponselnya ke teman ngobrolnya yang kini makin melotot itu.

"Bisa aja kamu bajak akunnya!"

"Anjrit." Adnan ketawa seraya memasukkan kembali ponsel itu ke saku. "Ngebajak akun yang followers-nya nyaris lima puluh juta tuh nyali butuh segede apa?? Ya terserah lah kalau nggak percaya."

Minuman si cewek habis dan Adnan menawarkan diri untuk mentraktir minuman keduanya.

"Dari kapan kerja sama dia?" Akhirnya, setelah agak lama pendekatan, lawan ngobrol mulai menampakkan sedikit antusiasme.

"Sejak sebelum debut."

"Berarti udah lama banget dong, di sini? Berapa puluh tahun?"

"Puluh tahun banget? Emang dia udah tua renta, apa?"

"Yeah, udah lama banget, kan tapi?"

Adnan kemudian dengan latah menceritakan awal mula kisah pertemanannya dengan Revanda di SMP. Juga jatuh bangun mereka berdua berkolaborasi merintis karir modelling sang cewek sambil membuat konten YouTube ecek-ecek.

Karena sama-sama berasal dari Jawa Timur, menceritakan kisah masa remajanya dengan sang stranger ini serasa seperti bernostalgia bersama. Banyak nyambungnya. Apalagi Adnan cukup ekspresif dalam memilih kata-kata hingga yang diajak bicara tidak mudah merasa bosan.

"Sebenernya, banyak yang ngelirik gue. Sultan-sultan yang mau anak gadisnya diorbitin jadi model juga. But I can't leave her. Dia udah kayak adik bayi gue. Jadi apa dia kalau nggak ada gue?"

Si rambut peek-a-boo tertawa. "Bukannya kalian seumuran ya? Tadi katanya temen SMP?"

"Iyaaa, but she's half the size of my body. She's literally a baby. Udah gitu, kebiasaan disayang, jadi nggak bisa ngapa-ngapain sendiri. Ibaratnya kalau ada yang mau ngunyahin pas makan, dia nggak bakal nolak, tinggal nelen aja. Di kamera doang badannya kelihatan bongsor, berotot, strong. Aslinya mah keciiil, fragile. Kayak kalau disentil dikit bisa roboh. She's literally my baby."

Lawan bicaranya mengangguk-angguk, mulai terlihat tipsy.

Adnan ngomong lagi, "And her boyfriend is even bigger and taller than me. NBA size. NBA dick size as well."

Kalimat terakhirnya nyaris bikin temannya menyemburkan cocktail di mulut. "Emang pernah liat?"

"Pernah." Adnan ngakak goblok. Mukanya makin memerah, bukan karena kesengsem memikirkannya—no way, he's straight—melainkan karena emosi. "You know, sebagai manager, udah seyogyanya gue nyamperin talent gue pagi-pagi ke rumahnya kalau ada agenda, kan? Nah ini nggak tau siapa yang goblok, pintu kamar terbentang lebar, ya gue masuk aja. Eh, si anying, kayaknya mereka habis naena, tapi pas mau tidur mager pake baju dulu. Tercemarlah mata gue yang suci ini ngelihat morning wood."

Perempuan di sebelahnya sampai terpingkal-pingkal dan memegangi perut yang mulai sakit kebanyakan tertawa. "Biasanya laki nggak mau muji properti laki lain lho."

"Itu bukan pujian!" Adnan melotot. "Anyway, ukuran bukan segalanya."

"Ya, ya, ya. Ujar si kecil."

Adnan melotot makin lebar, tapi enggan berkomentar lagi. Nanti makin jelas ketahuan kalau miliknya memang minimalis.

"By the way, kayaknya aku tau siapa si 'NBA size dick' ini." Perempuan itu menggumam.

Sebelah mata Adnan menyipit. "Tau dari? I'm pretty sure the media hasn't caught wind of him yet."

"Emang." Si perempuan mengangguk. "Aku lihat dengan mata kepala sendiri. Mereka masuk bareng ke apart di Tribeca, waktu aku lagi nongkrong di coffee shop di seberang jalan. Pas masuk, rapet banget pakaian mereka kayak seleb. Pakai masker, pakai kacamata, pakai topi. Nah, giliran cowoknya keluar sendirian nggak lama kemudian, cuma pake topi aja. Jaketnya udah dilepas, tinggal kaos doang, tapi aku yakin itu orang yang sama."

"Who?" Adnan sedikit tegang. Bingung memilih antara ingin memastikan apakah dugaan si cewek ini benar atau tidak, atau berlagak bego dan membiarkannya berasumsi sesukanya.

"I promise I won't be loud." Sahutan perempuan itu membuat Adnan makin tegang.

"Iya, siapa?"

"Inisial JA."

Walau tidak bisa melihat, Adnan yakin mukanya pasti sudah pucat pasi sekarang.

How did she knew?

Emang goblok si Jeffrey! Dibilangin jangan sampai kelihatan keluar masuk apart barengan, dalam keadaan apapun juga. Jangan sampai satu kendaraan kalau mau pergi ke mana-mana!

Dia yang sering mengancam Adnan untuk berhati-hati menjaga pacarnya, sementara dia sendiri bikin perkara!

"You know, dia beberapa kali trending di Twitter Indo. Foto-fotonya sering seliweran. Duluuu banget, pernah ketemu langsung di komunitas juga. Makanya aku lumayan familier sama posturnya, dan langsung bisa nebak. Yeah, of course, you'd think I'm being ridiculous by jumping to conclusions based solely on that, but no. I've done some research on them, dan nemu titik temunya. Oh iya, jangan lupa, ada yang super duper obvious. Supir slash bodyguard mereka kadang ganti-gantian. Nggak kepikiran kan, orang-orang bakal hafal muka bodyguard? Hellow, Mas? Apa sih yang luput dari mata netizen?"

Mencoba tak gentar, Adnan menanyakan apa saja yang nyantol di kepala. "Kenapa JA bisa trending?"

"Are you kidding? All the 'A' family is trending nowadays. Isunya sih mau suksesi. 'RA Number One' denger-denger mau nikah dan pensiun."

"'RA Number One' is an old man." Adnan geleng-geleng, mulai menyangsikan informasi yang didengarnya.

"Ngaco. Orang masih ganteng juga! Kalau ada yang bilang dia tuh sebenernya abangnya JA, kayaknya semua orang bakal percaya. Lagian, he's a divorcee since decades ago. Biarpun tua, ya biar aja sih nikah lagi." Sebuah decakan duka cita terdengar dari bibir si perempuan melihat ekspresi kaget Adnan. "Isunya lagi, JA ini bakal gantiin bapaknya, jadi mungkin setahun-dua tahun lagi talent-mu bakal kawin, supaya statusnya udah berubah sebelum suksesi. Aku kasih tau, supaya kamu siap-siap cari talent baru sebelum tau-tau didepak. Karena agak sulit ya bayangin mereka LDM—long distance marriage. Udah hampir pasti setelah nikah, talent-mu bakal pulang ke Indo. Pensiun dari runway, banting setir jadi ibu-ibu pengurus yayasan kayak di drakor-drakor. Yeah, ini asumsi dangkal aja sih. Bisa jadi JA rela-rela aja LDM demi istri bisa tetap mempertahankan karir? Tapi apa salahnya kamu siapin mental, Mas?"

"Okay ...."

Adnan sudah lemas. Dia meneguk gelas kesekiannya sampai tandas, sudah tidak terlalu fokus saat selanjutnya ditanyai hal lain.

"By the way, kamu sama RS kan ketemu di Indo, temen dari lama. Kalau RS bisa berujung pacaran sama JA gimana ceritanya? Bukannya mereka sepupuan, walau nggak ada hubungan darah, sih."

Napas Adnan mulai terasa pendek-pendek. "How did you know that too?"

"I've told you, I've done some research. Aku cukup tahu lah silsilah keluarganya."

"Are you a journalist or what?"

Perempuan itu tertawa pelan. "Ngapain sih jauh-jauh ke NYC cuma buat bikin liputan soal JA doang? Kalau beneran journalist, ya mending geser dikit ke Toronto, mangkal di depan rumahnya Prince Harry."

Adnan memijit kepala.

Tuhaan ... dia pening.

"Ceritain, ih." Sang perempuan demanding.

"Ya gitu." Adnan mendadak ingin muntah.

"Ya gitu gimana, Mas??"

Astaga.

Adnan mulai menyesali inisiatifnya mengajak perempuan ini bicara tadi. "Ya gitu. Duluuu banget, tujuh tahun lalu, ada situasi traumatis yang bikin RS terpaksa lari dari Indo dan menutup diri di sini. Nggak ada yang bisa nembus bentengnya. Even keluarga A yang kata orang nggak ada yang nggak bisa mereka lakuin itu. Tapi, si JA ini beda sama anggota keluarganya yang lain. Dia demanding kayak lo, bikin RS capek banget berurusan sama dia. Tapi, emang kayaknya udah begitu takdirnya, yang putus asa, nggak ada jiwa, ngerasa kehilangan arah, diketemuin sama manusia setengah otoriter yang hobi ngatur—slash maksa. Mau nggak mau, RS nerima gandengan tangan JA buat bertahan hidup. JA yang ngatur RS supaya bangkit, bahkan bikin karirnya melejit, di saat RS sebenernya udah nggak mau ngapa-ngapain. RS bisa sampai di titik ini, all thanks to JA. Ya intinya JA nempel mulu, clingy, kayak guru PB galak yang lagi ingin meluruskan jalan hidup murid bermasalah. Sampe sekarang. Praktis JA jadi satu-satunya orang yang deket sama RS selain gue. Soal mereka bisa pacaran ... I don't even wanna know if his dick has anything to do with it."


~


Berjam-jam kemudian, Adnan terbangun di sebuah sofa dengan keadaan masih agak teler, terkaget-kaget merasakan tepukan keras di pipi.

"Anj—"

JA, Jeffrey Abram, tau-tau sudah berdiri menjulang di sisinya. Sekilas mirip raksasa jahat yang siap mendeportasi dia ke Indonesia kalau sampai ketahuan semalam nyerocos panjang lebar dengan stranger di club saat mabuk.

Selain itu, kenapa pula dia bisa ketiduran di lounge apartemen Revanda, alih-alih di apartemennya sendiri di sebelah??

"HP lo berisik dari tadi." Jeff mencela dirinya. Tidak ada ramah-ramahnya, seperti biasa. "Gue tebak, semua tim lo udah nungguin di Mark Hotel. Kenapa? Kewalahan? Butuh assistant manager?"

Well, actually that's a great idea, tapi belum sempat Adnan mengutarakannya dengan jujur, Jeff sudah kembali bersuara.

"Then thanks to me, I did some of your assignments this morning," katanya, sangat amat dingin menusuk. "Gue udah siapin mobil. Udah panggil Roman. Udah pastiin artis lo siap berangkat on time dan nggak kekurangan suatu apa pun."

Dengan gelagapan, Adnan meraba-raba saku, mencari ponsel.

Sial, benar kata Jeffrey, sebagian besar timnya sudah standby di Mark Hotel.

"Anda ... udah mandi? Udah siap berangkat?" tanyanya panik, dengan muka tolol.

Jeff mendesah, seolah Adnan habis melakukan dosa besar, padahal Adnan baru saja bangun semenit yang lalu, dan masih berada di persimpangan antara dunia nyata dan dunia mimpi. "Didn't you hear what I said?"

Tak perlu ada sahutan, karena tidak berselang lama kemudian, yang dibicarakan telah muncul di antara mereka. Sudah cantik, sudah wangi.

Adnan seketika merasa bersalah—oleh banyak hal secara bersamaan.

"Roman udah di depan." Perempuan paling cantik sedunia versi Adnan itu bersuara sehalus sutra, menyebut salah satu nama bodyguard yang diekspor keluarga Abram dari tanah air.

Dan tentu saja, mendengar satu nama itu membuat Adnan seketika bergidik—thanks to his sharp memory.

"Jangan Roman!" serunya cepat. "Gue telponin agen lo bentar. Pake bodyguard dari mereka aja."

"Nggak keburu, Nan. Interview-nya banyak. Macet juga jam segini." Revanda menolak.

Tentu saja Adnan jadi harus berusaha memperjuangkan suaranya lebih keras lagi. "Pokoknya jangan Roman! Bahaya! Elo sih, Jep, sok-sokan minjemin orang lo ke Anda! Ada fans yang notice kalau bodyguard kalian sama, tau?!"

Dan kemudian, Adnan sadar, persiapan Met Gala tahun ini bakal membuat kepalanya pecah, walau bukan dia yang bakal ketemu Anna Wintour.


#TBC

W bertekad akan rutin update setiap Senin dan Kamis, jam sekelarnya aja.

Tolong bantu teror komen tiap hari biar eike merasa punya hutang update yaaah. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top