9. Shift Malam Perdana

HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA!!! BIASAKAN VOTE DULU SEBELUM BACA! JANGAN PELIT-PELIT AMAT, KENAPA SIDER?😏

AND, HAPPY READING GUYS😘

°°°

Jam 5 sore, adalah waktu pergantian shift. Dari shift pagi, sampai ke shift malam. Ini merupakan shift perdanaku setelah hampir seminggu menjalani masa KOAS. Segala alat tempur aku persiapkan. Tak lupa pula kesiapan mental dan stamina. Karena aku akan 24 jam berada di UGD terus menerus. Memantau kedatangan pasien.

"Zee? Kamu kebagian shift malam ini?" Dokter Milzam yang entah datang dari mana, tiba-tiba melontarkan pertanyaan. Pria itu tampak rapih dengan stelan kemeja berwarna merah maroon. Jas kedokteran juga telah melekat pas di tubuhnya.

"Iya, Dok. Dokter juga, kan?" aku bertanya balik.

Sebenarnya aku sudah tahu, kalau dia kebagiaan jadwal shift malam ini, tetapi pura-pura tak tahu. Anggap saja pertanyaanku tadi adalah sebuah bentuk basa-basi, agar suasana tidak canggung.

Dia mengangguk kecil. Mengiyakan pertanyaanku. Kami sekarang berada tepat di pintu masuk. Belum sempat melangkah masuk ke dalam, di karenakan kehadiran Dokter Milzam yang mendadak barusan.

Pintu masuk yang mengarah langsung ke UGD ini, Dokter Milzam dorong. "Sana, masuk. Tulis absen, terus ganti baju perangnya."

Maksud baju perang itu adalah baju yang khusus sering di pakai Dokter atau Koas selama jaga. Namanya baju OK. Di Rumah Sakit ini, baju itu tersedia dengan warna ungu. Kenapa warnanya ungu? Siapa orang yang memilih warna ungu? Jelas-jelas warna itu dominan sekali dengan istilah janda?

Jelas orang itu adalah Papa. Papa memilih warna ungu, karena itu adalah warna kesukaan Papa. Kamar tiap-tiap pasien saja Papa beri warna ungu. Kata Papa, sebagai bukti cintanya ke Mama. Terdengar tidak masuk akal memang, tapi itu sudah kehendak Dokter Muhammad Faisal Effendi. Jika dia sudah berkehendak, tak ada satu pun yang bisa menentang.

"Dokter juga, lah. Jangan nyuruh saya, doang." jawabku ketus, sampai Dokter itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam.

"Ya, iya, saya bakalan ganti. Jangan sewot, dong! Selow aja kalo mau ngomong. Jangan ngegas!"

Rencananya aku ingin menjawab perkataan dia lagi, namun terhenti begitu saja ketika melihat Mbak Dina dan Yuni yang melintas. Sepertinya mereka ingin pulang setelah selesai dengan shift pagi yang di dapat.

Sorot mataku yang berubah haluan, rupanya di sadari Dokter Milzam. Beliau pun mengarahkan arah matanya, sejajar ke mana mataku tertuju.

"Kenapa kamu ngeliatin mereka kayak begitu banget? Iri karena mereka dapet shif pagi, nanti malem bisa tidur nyenyak, sementara kamu nggak?"

Celetukannya sontak memutuskan pandanganku. Segera aku beralih menatap Dokter Milzam. Sorot mataku langsung menajam, sesaat tatapan kami beradu. Salahkan dia, mengapa berucap hal yang menyebalkan untuk di dengar.

"Idih, siapa yang iri coba? Nggak, tuh! B aja. Saya cuma heran. Biasanya Dokter langsung ngedeket ke Mbak Dina kalo ketemu dikit. Lah, ini, serasa kayak orang gak saling kenal."

Wajahnya yang semula biasa, berubah drastis tiba-tiba. Dapat ku tangkap, ada rasa terkejut sekaligus ketegangan. Ada apa dengan ekspresi itu? Apa mereka tengah di landa masalah? Jika memang, itu mustahil sekali, mengingat hubungan mereka berdua tampak harmonis.

Ucapanku tadi belum di respon Dokter Milzam. Pria itu terdiam, seakan nyawanya hilang terbawa angin. Untuk menyadarkannya, aku mengibaskan satu tangan tepat di depan wajah Dokter itu. Berharap caraku itu berhasil menyadarkannya.

"Dok! Sadar, Dok!" panggilku, dan tidak berhasil juga. Terpaksa jika begini, aku harus memakai cara ekstrem. "DOK, DOKTER FAISAL VISIT!"

"HAH, SERIUS?! DI MANA?!"

"Di hatimu! Ahahaha..." melihat wajahnya yang panik sekali, membuatku tak kuasa menahan tawa. Respon Dokter Milzam tadi bagaikan Ibu-ibu yang bersiap merebut sembako dadakan. Kepalanya menolah cepat ke sana ke mari.

"Gak lucu!" celetuknya, setelah sadar kalau tadi baru saja aku mempermainkannya.

"Siapa yang bilang lucu. Saya juga gak ngelawak." secepat kilat aku menghentikan tawa. Mengganti ekspresi menjadi sedikit lebih serius.

Lagi-lagi raut wajahnya terlihat murung. Tidak seperti biasanya. Walaupun wajahnya itu selalu datar dan jarang berekspresi, tetapi setidaknya ada sedikit kecerahan yang ku tangkap. Sedangkan ekspresi sekarang penuh kesuraman.

"Dok, ada apa?" tanyaku, pada intinya langsung. Malas berbeli-beli. Lagi pula Dokter ini sangat tidak menyukai segala sesuatu yang di perumit.

"Ada apa, apanya?"

Aku menghela napas panjang. Dia malah balik bertanya, bukannya malah menjawab pertanyaanku.

Kedua bola mataku berputar malas. Menatapnya pun juga malas. "Ada apa dengan Dokter, dan ada apa dengan Mbak Dina? Kenapa... Kenapa kalian berbeda hari ini?"

Tiga detik dia diam tiada menjawab. Matanya menatapku tanpa berkedip. Aku yang di tatap, berupaya memutuskan pandangan dengan cara menatap ke sembarang arah.

"Kepo," jawabnya singkat, padat, dan tak jelas dengan apa yang tadi ku pertanyakan.

Demi apa pun, aku kesal bukan main mendapati jawabannya. Gigiku meggeretak hebat. Diam-diam kedua tanganku saling menggenggam, menahan amarah.

Aku menghela napas. Cara itu ku lakukan untuk meredam amarah yang sedikit lagi akan meledak. Kalau sampai amarahku keluar, bisa di pastikan seantero Rumah Sakit mengkerubuni kami langsung.

"Oh, yaudah. Saya pamit dulu, Dok. Mau nyari Papa. Pengen ngelapor, tentang Residennya yang----"

"Eh, eh! Apaan, sih?! Pengadu banget!" hampir saja dia menyentuh lenganku, dengan maksud menahan. Tapi, untunglah aku cepat menghindar dan dia juga mengurungkan niat bak kilat.

"Stupid very alias bodo amat!" balasku melotokan mata. Sebelah kakiku, aku hentakkan sebagai penekanan.

Hening sebentar, setelahnya Dokter Milzam membuka suara.

"Saya break dengan Dina,"

"What?!" pengakuan Dokter Milzam benar-benar membuatku terkejut. Sulit menerima fakta kebenaran yang ia ucapkan.

Tangan saya hanya dua. Saya tidak bisa menggenggam ini sekaligus. Rasa sakit dan kecewa silih berganti menghiasi hati saya. Saya sangat berharap Allah mengambil salah satu. Karena saya percaya, tak akan Allah ambil, kecuali Dia memberikan yang terbaik.

Sekelibat ucapan Dokter Milzam mendadak memasuki pikiranku. Ah, sekarang aku baru mengetahui apa maksud dari ucapannya kemarin. Sebuah kata hati yang bermakna dalam.

"Maaf, lancang, Dok. Ini terserah Dokter aja mau menjawab atau tidak." aku menyiapkan mental kuat untuk menanyakan sesuatu yang sedari tadi memenuhi pikiranku. "Siapa yang menyarankan hubungan kalian break? Dokter atau Mbak Dina?"

Tatapannya berpindah. Tertuju ke arah Mbak Dina yang melambaikan tangan perpisahan pada Yuni. Mereka berpisah setelah masuk ke dalam mobil masing-masing.

Dokter Milzam meneguk saliva susah payah. Seolah ada sesuatu hal berat yang ia pendam. Kembali dia mengarahkan pandangannya padaku. Kedua mata nan tajam itu menatapku lurus. Dalam sekali.

Tinggi tubuh kami terpaut beda jauh. Tinggiku hanya sebatas dadanya saja. Bisa di bayangkan sampai se-over mana aku harus mendongak untuk menatap matanya itu.

"Kamu sudah tau, Zee. Jangan memasang tatapan itu. Jangan bertanya seperti tadi. Saya seakan di kasihani."

"Saya nggak bermaksud begitu----"

"Tidak bagi, kamu. Iya, bagi saya." balasnya cepat. Ucapannya dingin, sedingin tatapannya. "Saya sudah gagal,"

Ada rasa aneh dalam hatiku, ketika mendengar pengakuannya. Di tambah pula tatapan sendu yang ia pasang. Terasa ada yang berdenyut di sekitar area jantung.

"Nggak, Dok. Dokter gak gagal. Setidaknya Dokter udah berusaha. Dokter udah berupaya sebaik mungkin. Meski gagal pada akhirnya, jangan sampai kegagalan itu membuat Dokter putus asa. Yakinlah, Dok, bahwa pertolongan Allah itu dekat, dan kebaikannya juga teramat luas. Sekedar harap Dokter aja, sebenarnya bisa Allah kabulkan secepat kilat. Tetapi, Allah sengaja mengulur waktu lebih lama, karena ingin melihat Dokter berkeluh kesah dalam do'a."

Mulut Dokter Milzam hampir terbuka sedikit untuk membalas ucapanku, namun terhenti dikarenakan mobil Mbak Dina yang berhenti. Kaca mobil itu terbuka, menampakkan sosok Mbak Dina dari dalam.

"Zee, saya pulang dulu, ya? Semangat buat kamu yang shift malam perdana." ucapnya tersenyum. Ku balas juga dengan senyuman, tetapi canggung.

Bagaimana tidak? Suasana terasa aneh. Apa lagi memandang bergantian dua orang Manusia di dekatku ini. Saling kenal, namun tak bertegur sapa. Jangankan bertegur sapa, melirik pun enggan.

"Mbak juga. Hati-hati di jalan,"

"Iya, saya bakalan hati-hati---"

"Saya pamit. Permisi," Dokter Milzam bersuara. Menghentikan percakapan kami. Sosok itu tanpa menoleh lagi, benar-benar berlalu pergi. Ingin ku kejar, tapi teringat kehadiran Mbak Dina.

Aku beralih menatap Mbak Dina. Ku pasang wajah yang meminta penjelasan. Seakan mengetahui arti dari tatapanku, Mbak Dina menghembuskan napas panjang.

"Sepertinya, kamu udah mengetahui apa yang terjadi di antara saya dan Milzam. Iya, hubungan kami memang sedang gak sehat." tatapan Mbak Dina lurus ke depan. Kedua mata yang selalu cerah benderang, kini berubah redup.

"Mbak, beneran break sama Dokter Milzam?" tanyaku hati-hati.

Kedua bahunya terangkat lesu. "Yaaahhh... Bisa di bilang begitu. Entahlah," kepalanya yang semula menghadap ke depan, berputar menatapku. "Apa saya telah salah mengambil keputusan, Zee? Saya merasa aneh pada diri sendiri. Padahal saya yang menginginkan pilihan ini, tapi ujung-ujungnya saya sendiri yang merasa ragu."

"Apa yang Mbak anggap baik, itu belum tentu baik di mata Allah. Dan apa yang Mbak anggap buruk, belum tentu buruk juga di mata Allah." hening sejenak berlalu. Mbak Dina terdiam. Seperti sedang berpikir suatu hal berat.

"Mungkin begitu kali, ya?" tanyanya entah untuk siapa. Dia menghela napas. "Iya, kamu benar. Tapi, saya tetap ingin seperti ini dulu. Saya ingin melihat seberapa tahan diri Milzam menghadapi situasi ini. Kamu jangan kasih tau dia, ya?"

Aku mengangguk menyetujui. Sekedar mengiyakan saja. Sejujurnya aku tak ingin terlalu terlibat dengan masalah seseorang. Aku tak suka ikut campur.

°°°

Jarum jam terus berputar. Mengubah waktu semakin ke depan. Milzam terbangun dari posisinya yang tertidur di UGD. Terbangun dalam posisi kepala yang di taruh di atas tumpukkan tangan sendiri, membuat leher dan segala persendiannya pegal.

Milzam merenggangkan tubuh. Menutup mulutnya yang menguap membutuhkan oksigen menuju otak. "Tumben-tumbenan UGD sepi? Ada gerangan apa ini? Biasanya rame banget. Apa karena ada Zee? Hah, dia team wangi ternyata," gumamnya dengan suara serak bangun tidur. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.

Milzam berkeluh kesah dengan ekspresinya yang baru bangun tidur. Maklum saja, Milzam adalah golongan team Bau. Team Bau dan Team Wangi adalah julukan setiap tenaga medis di setiap shift malam. Team Bau adalah team yang jika mendapatkan giliran jaga malam, maka pasien akan membeludak mendatangi UGD. Sedangkan Team Wangi adalah team yang memiliki keberuntungan bagi diri sendiri, sekaligus Malaikat Penolong bagi sesama rekan shift malamnya. Kenapa begitu? Karena jika team ini yang bertugas, UGD bagaikan bertukar peran dengan Kamar Mayat. Sepi bak kuburan.

Mata Milzam menyipit, masih terasa ada lem perekat mengantuk. Milzam mengusap berkali-kali matanya untuk memperjelas pandangan. Rasa kantuk lebih mendominasi jiwanya. Ketika hendak berdiri, Milzam terduduk kembali ke tempat semula.

"Ya Allah... Apa tadi aku nggak sengaja nelen obat tidur? Ngantuknya gak tahan, aduuhaaaii..." keluhnya, hendak memasang posisi tidur lagi. Di tumpukkannya lagi kedua tangan. Sementara itu, kepala Milzam menyusul di atas tumpukkan kedua tangannya.

"Tidur bentar lagi kayaknya enak, nih. Mayan... UGD juga lagi sepi. Hehehe..." gumamnya setengah sadar. Perlahan Milzam memasuki alam bawah sadar.

Hanya sebentar saja, lantas kedua mata itu terbuka kembali. Melotot lebar. Sontak kepala Milzam berdiri tegap. Dia menutup mulutnya sendiri. "Astaghfirullahal'adzim... Musibah sebentar lagi datang! Gue ngomong jorok barusan!"

Selain ada kata Bau dan Wangi, ada juga kata Jorok di lingkungan tenaga medis. Kata jorok sering di juluki sebagai kata paling keramat. Pamali sekali jika kata itu sampai di ucapkan ketika sedang melaksanakan shift malam.

Apa maksud dari kata jorok itu? Semisal UGD sepi, jangan sampai berbicara eh, UGD sepi, ya?. Untung gak ada pasien dan sebagainya. Sekali saja terucap, semenit kemudian akan ada gerombolan pasien yang mendatangi UGD entah dari mana datangnya mereka.

Milzam berdiri. Sebelum itu ia mengambil stetoskop-nya terlebih dahulu. "Mati! Mampus! Sebentar lagi kiamat sugro datang! Bencana ini, bencana! Zee mana lagi, sih? Lagi shift malam bukannya stand by di UGD, malah keluyuran hilang ke mana!"

Milzam mengoceh kalang kabut. Berjalan cepat ke sana ke mari mencari keberadaan Zee. Sosok rekan shift malamnya harus segera di temukan, sebelum kiamat sugro yang Milzam maksud datang mendahului.

Dokter Juna yang kebetulan berada di tempat Milzam melintas, segera menghampiri Pria itu. Dokter Juna juga mendapatkan shift malam. Dokter berkaca mata itu menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Milzam yang sangat terburu-buru.

"Ada apa?"

"Astaghfirullah!" langkah Milzam langsung berhenti. Pria itu tampak terkejut sekali dengan kehadiran Dokter Juna yang sudah berada di sampingnya.

"Kenapa kamu lari-larian? Pasien plus?" Dokter Juna mengulangi pertanyaannya lagi.

"Nggak, Dok, itu saya... Lagi nyari Zee. Anak Dokter Faisal hilang entah ke mana."

"Cariin, gih! Entar hilang beneran, di amuki habis-habisan kamu sama Bapaknya."

Milzam meneguk saliva. Mendengar perkataan Dokter Juna barusan, jiwa dan raganya semakin terasa suram. "Pasti itu, Dok! Yaudah, saya mau cari Zee dulu, Dok. Permisi,"

Tubuh Milzam berjalan menjauhi Dokter Juna. Sementara itu, Dokter Juna masih berdiri di tempat semula. Menatap belakang punggung Milzam yang menjauh.

"Residen Milzam!" panggilan Dokter Juna, sontak membuat tubuh Milzam berbalik ke belakang.

"Iya, Dok? Ada apa?"

"Cari Zee di ruang Koas. Mungkin aja dia ada di sana,"

Milzam mengangguki saran yang Dokter Juna berikan. Bergegas ia menuju letak ruang Koas berada. Beralih ke Dokter Juna yang masih berdiam diri di sana, setelah kepergian Milzam.

Dokter itu bergumam, di tengah lorong rumah sakit yang sepi. "Ini Dokter Faisal yakin, sama pilihannya? Kok, malah saya yang jadi gak enak perasaan? Serasa de javu, gitu."

°°°

Milzam berhenti di depan pintu yang bertuliskan Ruang Koas. Sebentar ia membaca tulisan yang tertera, untuk sekedar memastikan. Milzam pun memasuki ruangan itu pelan. Penuh kehati-hatian.

Hentakan sepatu yang ia kenakan, menggema ke seluruh ruangan sederhana itu. Suasana yang tengah malam, di tambah pula sepinya orang berlalu lalang. Di saat malam jam 2 pagi begini, pasien masih berlalu lalang. Hanya beberapa segilintir tenaga medis yang lewat, karena mendapatkan shift malam bersamaan.

"Wajar sepi. Cuma dia Koas yang jaga malam ini." gumam Milzam, memandangi interior ruangan itu.

Pandangan Milzam terhenti di sebuah tikar yang terbentang dalam ruangan tersebut. Tikar multifungsi yang sering digunakan para Koas. Tikar itu merupakan suka duka para Koas. Milzam yang melihat tikar itu, serasa mengulang kenangan. Tikar itu juga ia rasakan saat masa per-Koasannya dulu berlangsung.

"Gilak, tuh tikar keramat masih ada di sini. Heran, gue. Ini memang Dokter Faisal yang pelit buat beli tikar, apa uangnya di korupsiin sama Bendahara Rumah Sakit?" celoteh Milzam, geleng-geleng kepala takjub.

"Btw, gue kenapa malah asik ngoceh gaje, bukannya nyari Zee!" sadar akan yang seharusnya ia cari di ruang ini, secepat kilat Milzam mencari keberadaan Zee.

Sedari tadi berputar, sosok Zee sedikit pun tak ditemukan. Padahal ruangan ini tidak terlalu besar. Ukurannya sederhana. Lama mencari tapi tak kunjung bertemu, Milzam mulai frustasi.

"Dih, tuh, bocah ke mana lagi? Gak nemu-nemu dari tadi. Badannya imut kayak semut, sih. Jadinya susah kan, nyarinya?" Milzam berkacak pinggang.

Ia hendak melangkah keluar, namun terhenti. Dua sepatu yang terlihat samar-samar dari tangkapan mata, mengalihkan niat Milzam. Rasa penasaran akan dua sepatu yang berada di pojok ruangan, membuat Milzam tanpa sadar mendekat ke sana.

"Zee?" Milzam tertegun, menatap Zee yang terpejam dengan posisi meringkung. Ia tertidur lelap. Punggungnya menyender ke tembok.

Cahaya rembulan malam, menyelusup masuk menyinari pojok ruangan yang lampunya keberulan mati. Cahaya itu berhasil menembus, tertuju tepat menuju wajah Zee. Wajah cantik Wanita itu, di sinari cahaya rembulan malam sekarang.

Milzam berdecak. "Gimana ini? Bangunin? Nggak? Nggak? Bangunin? Bangunin? Nggak? Bangunin?" pilihan itu terus Milzam ulangi, sembari ia menghitung seluruh jarinya.

"Duh! Mumet pala gue!" Milzam menghentikan kelakuannya itu. Ia coba berpikir kembali, bagaimana cara yang tepat membangunkan Zee.

"Aha!" bola mata Milzam berbinar. Ide cemerlang muncul, setelah ia lama berpikir. "Oke... Gue ada cara cemerlang, buat bangunin nih, bocah. Gue jamin, pasti bangun."

Perlahan Milzam mengambil posisi jongkong. Kini tubuhnya dan tubuh Zee sejajar. Saling berhadapan. Tangan Milzam mulai menangkup, menutupi mulutnya. Lambat laun, mulutnya ia dekatkan ke kuping kanan Zee.

"URGENT! KOAS, ZEE! CODE BLUE! CODE BLUE!" teriak Milzam sekencang-kencangnya di gendang telinga Zee.

"ALLHUAKBAR, SIAP, DOK!" Zee terbangun secara mengejutkan. "Aduh!"

Saking terkejutnya, ia hendak berdiri tapi tak sengaja keningnya beradu kuat dengan kening Milzam. Alhasil, Milzam berteriak kesakitan, dan Zee tersentak jatuh ke belakang tembok. Karena ingin menyeimbangkan tubuhnya agar tak jatuh, Zee mencengkram kuat kerah baju Milzam. Akibatnya, Milzam terkena imbas perbuatannya sendiri.

Milzam jatuh di atas tubuh Zee yang menyender di tembok. Mata mereka saling bertemu. Sinar rembulan malam, menembus bola mata Zee yang kecoklatan.

Deg!
Deg!

Deg!
Deg!

Di antara kesunyian malam, hanya masing-masing detak jantung mereka yang terasa. Hal lainnya, menghilang dihempas angin.

°°°

Bersambung...

Vote🌟&Comment💬 jangan lupa😉. Oh ya, sedikit informasi, kalian bisa beli E-Book Jofisa di Indomaret terdekat secara tunai! Jadi, tunggu apa lagi? Segera baca romansa kelima pasangan Jofisa, yuk🤗

Jadikan Qur'an sebagai bacaan utama😇

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top