4. Tiga Kursi Kosong

Jadi, banyak yang tanya kenapa lama banget pubhlish. Karena saya punya satu alasan, yaitu... Saya takut salah-salah dalam cerita ini. Saya gak sepenuhnya tau tentang dunia medis. Nanti salah-salah, ada anak medis yang baca, bisa kena tegur😖

Nah, karena itu saya coba tanya sama yang ahli, dan di jawab lah sudah semua pertanyaan saya. Saya tanya tentang Per-Koasan sama seorang Dokter Spesialis Jantung dan peredaran darah. Dia juga seorang Polisi, loh😎. Keren, sumpah! Gajinya pasti double😜

(Kayaknya dia kesel banget sama saya🙈)

Hati-hati Ranjau Typo bertebaran di mana-mana!!!
HAPPY READING, GUYS😍

°°°

Kali ini aku tak ingin menyianyiakan masa Koas aku. Satu hari tertinggal dari yang lain, sangat memalukan sekali. Aku mendekati Yuni dan tiga Koas lainnya. Di antaranya ada Karina, Wanita yang kemarin hambir adu jambak dengan Yuni. Kami para Koas dan Chief Perawat sudah berdiri manis di Aula. Menunggu kedatangan para Konsulen. Residen juga belum hadir di sini.

Yuni menyikutku pelan. "Zee, sebenarnya ini hari perdana kita Koas, loh. Kemarin Dokter Faisal sengaja mundurin, karena elo yang gak Koas."

"Seriusan?" tanyaku tak percaya.

Yuni mengangguk berkali-kali. "Iya! Sumpah, gak bohong gue! Makanya para Koas di suruh kumpul. Hari ini kan, pemberitahuan stase awal kita. Sama... Konsulen pembimbing selama 3 bulan kita nanti."

Wajar saja kami para Koas harus dikumpulkan di Aula lagi. Pembagian stase awal dan Konsulen pembimbing selama tiga bulan. Ternyata Papa benar-benar serius dengan ucapannya. Roster Konsulen di ganti. Yang artinya aku bisa menebak, jika Konsulen aku adalah Dokter Residen Milzam.

"Kayaknya Dokter Faisal bener-bener sayang banget sama, lo. Apa mungkin, karena anak tunggal, ya?" kedua bahuku menghendik tak tahu, membalas pertanyaan Yuni.

Tak lama dari itu, tiga Residen datang. Para Residen terdiri dari Dokter Milzam, Dokter Genta, dan Mbak Dina. Baru berapa langkah memasuki aula, Dokter Genta berteriak.

"Dokter Faisal visit!!!"

Kami langsung menghambur bagaikan semut yang di sirami air. Kami membentuk sebuah barisan. Di mana Residen berada di barisan terdepan, Chief Perawat berada di barisan ke dua, dan barisan terakhir adalah para Koas. Para Konsulen yang telah bergelar Spesialis itu kemudian masuk.

Mereka ada 15 orang. Sesuai dengan stase yang akan kami tempuh. Di masa Koas ini, nantinya kami akan menempuh 15 stase. Sungguh mereka datang sangat berwibawa sekali. Papa menjadi juru bicara dari ke-14 Konsulen.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!" Papa mengucap salam dan serentak kami menjawab. "Selamat pagi semua? Saya harap kalian tenaga medis juga bisa menjaga kesehatan sendiri. Bukan hanya kesehatan pasien. Oke, saya ini paling males ngomong depan orang, jadi langsung saja."

Tuh, kan! Sifat nyebelin Papa keluar. Omongan Mama selama ini benar! Papa memang mengesalkan. Akunya saja yang anaknya mengakui. Aku hanya bisa berharap, para Koas tidak mengutuk Papa atau menyumpahi serapah.

"Pastinya kalian para Koas udah tau apa itu stase? Kalo nggak tau, jangan putusin ambil Kedokteran, jadi kang cilok aja!" Papa berucap ketus. Tatapannya lalu beralih ke beberapa lembar kertas yang ia genggam. "Di RS. Effendi ada 15 Stase. Kalian bisa lihat 15 Dokter yang berada di sebelah saya inilah, yang akan membimbing kalian di setiap stase. Ekhem! Para Dokter mungkin bisa berkenalan. Mayan jadi Artis dadakan,"

Para Dokter yang mendengar lawakan Papa, memutarkan bola mata malas. Sebenarnya tadi itu tidak cocok di sebut lawakan, karena intonasi suara Papa terdengar ketus. Eum, tapi anggap saja begitu.

Para Dokter mulai memperkenalkan namanya beserta Spesialis mereka masing-masing. Di saat salah seorang Dokter spesialis memperkenalkan namanya, Yuni menyikut lenganku. Dia berbisik.

"Eh, yang namanya Dokter Juna itu ganteng, ya?"

Aku melongo mendengar bisikan dari Yuni. "Yuni, Dokter Juna itu udah tua, loh. Seumuran sama Papa aku."

Dia berdecak. Seolah tak perduli. "Bodo! Yang penting ganteng! Lagian gue cuma kagum doang, masa gak boleh, sih? Ya Allah, dia itu gantengnya mirip-mirip Pak Sandiaga Uno! Beliau kan, tua, tapi tetep ganteng, tuh!"

Aku menghela napas panjang. Jiwa kegilaan Yuni akan para cogan kambuh rupanya. Sahabatku ini tak henti-hentinya menatap ke arah Dokter Juna. Apa lagi kedua matanya sedikit pun tak berkedip. Sekarang Yuni malah senyum-senyum lebar menatap Dokter itu.

"Emang ganteng sih, Yun... Tapi, kan..." aku bersuara lagi, "... Dia udah punya bini juga. Tuh, bininya di depan barisan kita. Chief Perawat bininya,"

Sorot mata Yuni langsung beralih ke arah daguku mengarah. Semula kedua matanya biasa saja, namun ketika dia melihat orang yang aku tunjuk sebagai Istri Dokter Juna, mendadak saja tatapan Wanita itu menajam. Tajamnya melebih-lebihi silet.

"Perawat Jenny?" aku mengangguki pertanyaan ketusnya. "Dih! Baru punya sebiji bini kan, dia?"

Kedua kalinya aku mengangguk, tapi perasaanku merasa tak enak dengan maksud pertanyaannya. Pasti ada hal buruk yang terselubung.

"Dalam Islam, Lelaki itu di perbolehkan punya empat Istri, jadi... Masih ada tiga kursi kosong, Zee! Tiga!" ketiga jari jemarinya, ia tunjukkan tepat di kedua mataku. Suaranya sengaja ia tekan.

"Terus...?" tanyaku takut. Takut melihat matanya yang melotot lebar.

"Berarti... Masih ada kesempatan untuk gue di salah satu tiga kursi kosong itu!"

Astaghfirullah, Yuni...

Pemikiranku yang menyatakan dia gila sejak awal, sejujurnya sudah ku buang jauh-jauh. Namun melihat Yuni yang seperti ini, aku harus menimbang-nimbangkan untuk membuangnya.

"Serius, lo, mau di poligami? Jadi bini ke dua?" aku menatapnya dalam. Jawabannya masih sama. Dia tetap mengangguk bersemangat. Aku pun tersenyum.

Ide gila tiba-tiba terlintas begitu saja dalam pikiranku. Aku yakin seratus persen, dia akan menarik kata-katanya untuk menjadi Istri ke dua Dokter Juna.

"Oh... Bagus, dong. Tapi nih, ya, Yun... Kata para Koas sebelumnya, kalo ujian blok dengan Dokter Juna banyak yang gak lulus, loh..."

Dan benar saja dugaanku. Beberapa detik dia mendengarkan, matanya sudah membulat sempurna. Dia menatapku serius. Berusaha mati-matian aku menahan tawa. Wajahnya sungguh menggelikan.

"Ahahaha..." tiba-tiba Yuni tertawa renyah. "Biasa aja kok, si Dokter Juna, ahahah... Masih gantengan Abang gue. Iya gak, Zee?"

"Iya,"

Eh?

Mulutku bungkam. Barusan aku menjawab apa? Mengakui jika Abangnya Yuni lebih ganteng? Tidak, tidak! Tidak mungkin! Aku hanya salah berucap saja. Diam-diam aku melirik Yuni. Syukurlah dia tak terlalu membahas ucapanku tadi. Tatapannya kembali menatap para Konsulen.

"Kenapa jantung aku malah salah tingkah begini, ya? Kan, dia emang ganteng. Biasanya aku muji orang, gak gini kok, jantungku."

"Dan nama saya sendiri adalah Faisal Muhammad Effendi. Saya Spesialis Bedah, sekaligus Direktur Rumah Sakit, dan juga Papanya Zee."

Lamunanku buyar mendengar suara Papa. Aku menatap bingung setiap orang yang mengarahkan pandangannya padaku. Aku tak begitu fokus mendengarkan apa yang Papa bicarakan barusan. Lalu kenapa semua orang malah menatapku tanpa berkedip?

"Jangan tatap aku terus... Please..." kedua tanganku mulai bergetar.

"Oke, berapa Koas yang magang di Rumah Sakit saya?"

Aku menghembuskan napas legah. Akhirnya pandangan mereka beralih ke Papa. Tak ada lagi yang menatapku. Aku tahu betul, barusan Papa secepat kilat mengalihkan pembicaraan karena melihat kedua tanganku yang mulai bergetar.

Tak ada satu pun yang menjawab. Mereka mendadak bisu semua. Seberapa menyeramkannya Papa sih, sampai rekan sejawat saja tak ada yang berani menjawab?

"Ada lima orang, Pa! Eh, Dok!" akulah yang menjawab pada akhirnya. Lantas setelahnya bergegas aku menunduk, tak mau melihat ke sekeliling. Dapat ku pastikan, kini mereka memandangiku lagi.

Papa bergumam. Menatap serius lembaran kertas yang ada di tangannya. "Sedikit sekali, ya? Okelah, kalo gitu gak ada kelompok! Kalian berlima akan menjalani setiap stase tanpa ada kelompok yang mencar. Eum, untuk stase awal kalian adalah mayor terlebih dahulu." Papa mengambil jeda. "Di roster alur per-Koasan kalian yang telah saya susun, kalian akan menghadapi stase mayor pediatri. Konsulen Dokter Rere."

"Halo dedek-dedek Koas yang ucul-ucul...!" Dokter Rere bersuara nyaring, menyela ucapan Papa. Papa menatapnya tajam. Mungkin karena telah berani menyela seenaknya, tapi Dokter Rere seolah tak perduli. Dia tetap menebar senyuman.

"Hai, Dok..." serempak kami menjawab. Melihat dia yang tersenyum, kami juga ikut tersenyum. Sepertinya belajar di stase Anak, tidak begitu buruk. Terlihat jelas, karena Konsulennya bersikap ramah.

"Saya berharap bisa membimbing kalian dengan baik di stase pediatri... Di stase pediatri, kalian bakalan ketemu terus sama para malaikat kecil! Itu bisa meningkatkan mood kalian, loh! Di jamin, kalian yang tersiksa di kandang iblis ini akan mendapat hiburan di stase pediatri."

Tak salah lagi. Dokter Rere sangat baik. Meskipun wajahnya sedikit di penuhi keriput mengingat beliau seumuran dengan Papa, namun senyuman beliau menutupi usia tuanya.

"Udah, Re! Enough! Istighfar yang banyak sana!" Papa menyela. Dokter Rere yang di usir paksa, memasang wajah cemberut di sebelah Dokter Juna. "Stase awal sudah di bagi. Sekarang tinggal Konsulen kalian selama tiga bulan. Konsulen ini di pegang para Dokter Residen. Jadi, tugas kalian itu untuk yang umum. Seperti di UGD, Bangsal, membantu Residen menangani pasiennya, follow up rutin, dan sebagainya. Tanya aja nanti ke Residen kalian masing-masing. Apa gunanya mereka, kalo saya yang menjawab semuanya?"

Para Residen tampak tersenyum. Jenis sebuah senyuman yang di paksa. Ketiga Residen itu saling melirik sekilas, layaknya mereka tengah komunikasi melalui kontak batin.

"Bacain! Saya capek nge-bacot mulu." Papa memberikan lembaran kertas tadi pada Dokter Juna. Walaupun Papa bersuara kecil, kami tetap mendengar apa yang dia ucapkan.

Sebelum membacakan, Dokter Juna menghela napas panjang. "Saya akan membagi tiap Residen, dua Koas. Eh, tapi... Ada satu Residen yang dapat satu Koas aja. Spesial mungkin, saya gak tau. Serah-serah Dokter Faisal yang buat." sekilas Dokter Juna melirik datar ke arah Papa. Papa yang di lirik, membalas dengan deheman.

"Residen Dina, bertanggung jawab atas Koas Karina, dan Koas Helen. Residen Genta, bertanggung jawab atas Koas Yuni dan Koas Bayu. Dan yang spesial seperti kata saya tadi. Residen Milzam, bertanggung jawab atas Koas Queenzee. Pembagian jadwal shift kalian besok baru ada. Terima kasih." Dokter Juna pun menyerahkan balik lembaran kertas kepada Papa.

Papa terhilat bernat membuka suara, namun Dokter Rere sudah terlebih dahulu bersuara. "Ecieee, Dokter Faisal ada apa ini? Ada niat jodohin Anak sama Residen Bedah?" alis Dokter Wanita itu naik turun. Menatap Papa dan Dokter Milzam bergantian.

"Sini mulut kamu saya sentil dulu," balas Papa datar, membuat seisi ruangan tertawa.

Dokter Rere terus tertawa. Tawanya yang lebih mendominasi dari kami semua. "Heh, Milzam, kamu jaga baik-baik si Zee! Pertanda lampu hijau untuk kamu, bisa dapat kursi menantu tunggal Dokter Faisal."

Celotehan Dokter Rere di tanggapi helaan napas dari Papa. Dokter Milzam hanya memberi senyum tipis. Posisi Dokter itu bersebelahan sekali dengan Mbak Dina. Aku merasa tak enak hati dengan apa yang di ucapkan Dokter Rere barusan. Mbak Dina pacarnya. Takutnya dia tersinggung atau cemburu buta. Memang tak ia perlihatkan langsung, jika dia pendam lebih parah.

"Koas, ada yang mau di tanya?" Papa menatap kami semua satu persatu.

Hening...

Tak satu pun yang bersuara. Rasanya kami mendadak menjadi patung yang bernyawa. Sengaja kami buat mulut ini bungkam.

"Oh, gak ada yang mau bertanya? Udah pada pintar semua, ya?" tetap tak ada jawaban. "Oke, yowes... Saya aja yang balik tanya,"

Bertepatan dengan itu, kami melotot ketakutan. Pertanyaan yang Papa ajukan tentu menyulitkan kami habis-habisan. Kami tak mau musibah menimpa. Maka dari itu, kami semua sepakat akan bertanya apa pun.

Tanganku ingin terangkat bertanya, namun seseorang lebih mendahului. Orang itu, Karina. Si mulut pedas. "Dok, dok! Saya mau tanya, deh!"

"Hm, ya, kamu. Mau tanya apa? Mumpung gratis.

"Gini, Dok, di sini gak ada yang namanya di beda-bedain, kan? Ya, kan, Anak Dokter juga Koas sama kayak kami. Kali aja di beda-bedain."

Wajah Papa yang semula acuh, langsung serius menatap Karina. Ck, berani sekali dia bertanya demikian. Semua mata juga tertuju padanya.

Papa pun menjawab. Perlahan raut wajahnya lebih tenang. "InsyaAllah saya akan berusaha adil ke setiap Koas. Tak ada nilai plus, jika tanpa berusaha. Meskipun itu anak saya, tapi..." Papa mengambil jeda di antaranya. Papa menatap dalam Karina. "... Saya yakin setiap orang tua akan mengorbankan nyawanya, jika anak mereka dalam bahaya. Termasuk orang tua kamu sendiri."

Lalu, Papa pergi meninggalkan ruangan tanpa kata sedikit pun. Gara-gara Karina, mood-nya hancur hingga ke dasar.

°°°

Bersambung...

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top