22. Persayaratan Pernikahan

Hati-hati ranjau typo bertebaran, and happy reading guys!

°°°

Tugas saya setelah menjadi suami, bukan sekedar untuk mencintai kamu. Tapi juga memastikan, kalau kaki kita menapak di Syurga Allah bersama.

°°°

"Ayo, tanda tangan!" desak Zee. Jarinya menunjuk tajam secarik kertas yang berada di atas meja.

Milzam menggelengkan kepalanya. "Bentar-bentar! Saya bingung, maksudnya persayaratan pernikahan? Dan bercerai? Apa makna dari kata bercerai di sini, huh?"

Milzam menunjuk satu kalimat di sana. Matanya terganggu oleh satu kalimat itu, di antara banyak kalimat yang tertulis. Sementara itu, Zee tersenyum miring. Arti senyumannya menyayangkan pertanyaan Milzam.

"Pernikahan ini kesalahan!" tekan Zee. Suaranya meninggi.

"Gak ada yang salah dengan pernikahan ini! Nggak sama sekali, bagi saya!" balas Milzam, ikut meninggikan suaranya. Pria itu sekarang berubah posisi menjadi berdiri. Tatapannya menajam menuju Zee.

"Nggak bagi Dokter, iya bagi saya! Banyak yang tersakiti dengan pernikahan ini, salah satunya Mbak Dina! Dokter harusnya mikir!" Zee mendongakkan kepala, menatap Milzam sengit. Kedua matanya di penuhi air. Kapan saja bisa merosot jatuh, jika ia mengedipkan mata.

Milzam mengusap wajah kasar. Kakinya bergerak tak tentu arah. Malam pertama pernikahan yang semestinya bahagia, malah berbanding terbalik menimbulkan amarah. Oksigen Milzam hirup. Berusaha dengan cara itu, dia menghempaskan amarah yang menyelimuti hati dan jiwa.

"Simpan surat itu! Demi Allah saya gak akan pernah menandatangani-nya, karena..." tenggorokan Milzam tercekat. Beberapa detik ia terdiam.  "Di hadapan Allah, saya sudah berjanji akan bersamamu sehidup semati. Hanya maut yang akan memisahkan kita. Hanya Allah yang bisa, bukan secarik kertas itu."

"Tapi, Dokter gak cinta sama Zee, kan? Iya, kan?! Jadi, buat apa mempertahankan pernikahan ini?!"

"Tugas saya setelah menjadi suami, bukan sekedar untuk mencintai kamu. Tapi juga memastikan, kalau kaki kita menapak di Syurga Allah bersama."

Hening sejenak. Saking heningnya suasana, langkah kaki Milzam terdengar mendominasi tiap sudut kamar. Milzam berjongkok. Menghadap Zee yang terduduk di atas sofa. 

"Berikan saya kesempatan untuk menjadi nahkoda di kapal pernikahan kita. Akan saya bawa kapal ini, hingga mencapai dermaga impian dengan selamat. Taruh rasa percaya kamu pada saya, Zee. Hilangkan rasa ketakutan kamu hanya untuk saya seorang. Imam kamu, pembimbing kamu, dan tulang punggung kamu."

Tidak ada jawaban yang Milzam dapatkan. Milzam tetap diam menunggu, sampai Zee mau bersuara. Bagaimana mau menjawab, sedangkan wanita itu saja enggan menatap wajah Milzam. Zee malah membuang muka.

"Dokter tau, masa lalu saya sangat kelam. Sekelam laut mati, karena emang hati saya sudah mati sejak kejadian tragis itu. Dan Dokter mau tau, kenapa masa lalu saya bisa kelam?"

Milzam mengangguk, dan Zee pun tersenyum miris.

"Karena dulu, saya percaya sekali dengan ucapan manusia. Hingga saya gak sadar berkat kepercayaan atas manusia, saya terjerembab pada kebinasaan."

Dan Zee berlalu pergi meninggalkan Milzam, setelah berucap demikian. Milzam menatap hampa sofa yang sempat Zee duduki. Milzam akui, ia orang baru yang hadir dalam kehidupan Zee. Segala masa lalu kelam yang hingga kini menyelimuti Zee, Milzam sama sekali belum mengetahui.

Tapi, separah itu kah masa lalu Zee, sampai ia tidak mau memberikan kepercayaan pada Milzam? Suaminya sendiri? Seberapa hebat, rasa takut Zee? Milzam sekarang telah resmi menjadi suaminya. Apakah status suami, masih belum mampu membuat seorang Zee berbagi beban kepadanya? Atau sedikit bercerita, agar hati wanita itu tenang. Bukankah tugas suami dan istri itu saling berbagi suka dan duka, dan rasa percaya antar sesama?

°°°

Sepasang suami istri yang dari tadi bersembunyi di balik tembok, saling pandang. Tersirat kesedihan di wajah mereka berdua. Saling tatap, seolah mereka berbicara tanpa berucap. Sama-sama mereka mengangguk, lantas mereka berjalan berbeda arah.

Ceklek!

Pintu terbuka, menampakkan sosok Sandryna. Sandryna berjalan pelan mendekati Zee yang menangis tertahan. Sandryna mengambil posisi duduk di sudut kasur. Bersebelahan dengan Zee.

"Hari ini kamu boleh marah, menangis, atau pun kecewa dengan takdir yang Allah tentukan. Tapi suatu saat nanti, kamu akan bersyukur atas pilihan-Nya. Karena Allah lebih tau apa yang terbaik untuk kamu hari ini dan hari esok."

"Bersyukur di atas penderitaan orang lain, bagaimana bisa, Ma? Mana takdir Allah yang katanya terbaik, huh? Ini bukanlah yang terbaik, kalau masing-masing pihak tersakiti, Ma!"

Tubuh Zee yang bergetar sebab tangisan, Sandryna rengkuh hangat dengan sebuah pelukan. Sandryna membiarkan Zee menangis sepuasnya, tanpa niat mencegah. Bagaimana pun Sandryna pernah berada di posisi Zee. Kisah pernikahan Anaknya sama, tapi Zee terlalu banyak menyalahkan takdir.

Tak sengaja Sandryna menangkap beberapa lembar kertas yang Zee pegang. "Beri tau Milzam, kalau kamu merasa itu perlu."

Sontak Zee mendongak, menatap Sandryna yang baru saja menyahut. Zee menggeleng berkali-kali. Ketakutan tercetak jelas di wajah cantiknya.

"Nggak! Nggak! Zee gak mau buat Dokter Milzam tambah kecewa! Dokter Milzam gak perlu tau, dan selamanya gak boleh tau! Ini masalah Zee, ini kesedihan Zee, dan ini pilu Zee! Zee gak mau melemparkannya ke Dokter Milzam, yang gak tau apa-apa!" tolak Zee keras. Suaranya benar-benar gemetar. Tidak bisa di pungkiri, rasa takut masa lalunya menghampiri lagi. 

Kedua telapak tangan Zee yang ikut gemetar, Sandryna sentuh pelan. "Dia sudah jadi suami, kamu. Pernikahan itu membagi suka dan duka. Gak ada yang di tutup-tutupi. Milzam berhak tau. Justru kalo kamu sembunyikan, Milzam malah makin kecewa setelah tau."

Zee berdecak. Tangan Sandryna, Zee genggam erat. "Maaa! Pernikahan ini nggak di dasarkan cinta! Sudah gak di dasarkan cinta, malah di tambah bumbu kecewa! Mama bisa bayangkan, gimana nasib Dokter Milzam kedepannya?!"

Sandryna menghela napas panjang. Sekilas ia melirik anaknya yang bernapas tak tentu arah. Dada Zee naik turun.

"Susah memang ngomong sama, kamu. Gak akan ada habisnya. Cuma satu hal yang perlu kamu tau." terdapat jeda di antara ucapan Sandryna. Seulas senyuman, kemudian mengukir bibirnya.

"Seiring berjalannya waktu, kamu akan mengerti. Bahwa memilih pasangan itu, tidak hanya tentang cinta. Melainkan tentang siapa yang akan menemani ibadah kamu, hingga menutup mata."

°°°

Sunyi menyelimuti Milzam. Terduduk diam pria itu. Ucapan Zee terus berputar di pikirannya. Persayaratan pernikahan merupakan omong kosong. Penghancur pernikahan. Cara Syetan menjerumuskan anak cucuk Adam dan Hawa.

Ceklek!

Sosok Faisal yang tiba-tiba datang, mengagetkan Milzam dari lamunan. Milzam panik bukan main, saat Faisal duduk di sebelahnya.

"Eh, Dokter, tadi Zee izin mau tidur di kamarnya aja. Jadi, saya yang—"

"Udah..." potong Faisal, seakan tahu Milzam sedang cemas. Faisal sangat tahu, bahwa Milzam tengah berusaha sekuat tenaga, menutupi permasalah pernikahannya.

"Berhenti panggil saya dengan sebutan Dokter lagi, mulai dari sekarang. Kecuali di Rumah Sakit." sambung Faisal, sedikit tertawa menghilangkan suasana tegang.

"Tapi, Anak Dokter masih panggil saya Dokter." Milzam mengingatkan Faisal, yang langsung Faisal balas dengan anggukan.

"Oh, itu... Yah, dia lama-lama akan belajar memanggil kamu dengan sebutan lain. Mungkin. Sabar aja. Yang pasti, saya maunya kamu ubah panggilan Dokter ke saya, menjadi..." ucapan Faisal tertahan. Faisal coba melirik ke samping, di mana Milzam tampak menunggunya selesai bicara.

"... Papa. Sama kayak Zee. Bisa?" sambung Faisal.

Lama Milzam memberi respon. Sudah lama, namun ujung-ujungnya respon Milzam hanya mengangguk canggung. Cukup membuat Faisal kecewa. Faisal pikir, akan ada reaksi lain dari Milzam.

Sesuatu yang tak terduga terjadi. Milzam tersentak, saat tiba-tiba tangan Faisal sudah menepuk pundaknya berkali-kali.

"Saya terkesan dengan, kamu. Kamu tipe Pria yang sabar menghadapi tingkah Zee.  Kalau saya di posisi kamu, sudah pasti saya marah. Gak kalah saya bentak dia."

Milzam terkekeh kecil, "Ngapain harus di marahin, Dok—"

"Papa!"

"Eh, iya, Papa!" Milzam sempat meralat ucapannya. "Wanita harus di lemah lembutkan. Semakin di bentak dia, semakin menjadi amarahnya. Wanita itu ibarat api kecil. Kalau kita sirami dia dengan bensin, kobaran apinya semakin besar. Maka dari itu, gunakanlah air, gunakan kesabaran untuk menghadapi kemarahan wanita."

"Kalau marahnya besar banget?"

"Itu masih wajar." jawab Milzam enteng. "Bahayanya kemarahan wanita itu, saat dia diam seribu bahasa. Nah, itu bahaya pakek banget, tuh. Seisi rumah mati, jika jantung rumahnya aja gak berdetak."

Untuk yang kedua kalinya, Faisal dibuat kagum dengan sosok Milzam. Pikir Faisal, tak salah dia memberi tanggung jawabanya atas Zee kepada Milzam. Budi pekerti Pria ini, patut Faisal acungi dua jempol.

"Jadi, kamu beranggapan wanita itu jantungnya rumah?" tanya Faisal, teringat salah satu ucapan Milzam.

"Bukan saya, tapi almarhum Ayah saya. Saya banyak belajar dari beliau. Beliau yang selama ini menjadi panutan bagi saya."

Melihat perubahan drastis raut wajah Milzam, Faisal merasa bersalah. Topik pembicaraan mengenai Ayahnya, sangatlah buruk untuk di bahas.

"Kamu beruntung punya Ayah seperti beliau." ujar Faisal. Faisal lalu menghela napas. Kepalanya mendongak, menuju langit-langit kamar. "Sebenarnya kedatangan saya ke sini ingin memberi kamu nasihat, tapi kebalik. Saya yang jadinya dapat nasihat dari, kamu."

"Saya masih muda. Perlu banyak bimbing dari yang tua."

Spontan kedua mata Faisal menajam, "Oh, jadi maksud kamu, saya ini tua, gitu?"

"Eh, bukan! Gak gitu, Pa!"

"Halah, Anak muda jaman sekarang, banyak alesan!"

Diam beberapa saat, tanpa adanya obrolan tercipta. Terceletuk sebuah kata-kata dari lisan Faisal.

"Milzam, berusahalah kamu supaya gak lemah. Jangan kalah dengan keadaan. Usahakan rasa sabar kamu, harus lebih besar dari rasa kecewamu. Karena rasa sabar, merupakan bekal kamu menuju kebahagiaan."

Nasihat Faisal, akhirnya tersampaikan juga. Memang satu nasihat, tapi langsung tertancap kuat menuju hati Milzam. Milzam setuju dengan nasihat Faisal. Demi menjaga bahtera rumah tangganya yang baru di bangun, dia harus perbanyak sabar, ikhtiar, dan tawakal. Milzam serahkan semuanya masalah yang menimpa pernikahan dia dan Zee kedepannya dengan rasa ikhlas.

°°°

Sarapan pagi terhidang. Masakan Sandryna banyak terjajar di meja makan. Meja makan yang biasanya terdiri dari dua orang, sekarang sudah berisi tiga orang. Milzam canggung, duduk berdua dengan Zee. Sandryna yang berhadapan dengan Zee dan Milzam, menatap mereka berdua. Suasana tegang nan canggung, sangat terasa menyelimuti atmosfer.

"Rumah Mami udah bersih, San. Siap di tempati." pembicaraan Faisal yang pertama memulai.

"Oh, ya? Tinggal nyusun barang lagi, dong. Termasuk cepet, ya?"

Topik pembicaraan Mama dan Papanya, menimbulkan kerutan di dahi Zee. Ada yang aneh terkandung dalam pembicaraan Mama Papanya. Zee tahu itu. Perasaanya tak enak.

Zee menyahut, "Kenapa dengan rumah Eyang?"

Sontak Sandryna dan Faisal memandang Zee bersamaan. Di antara kedua orang itu, yang memilih menjawab adalah Sandryna. Teringat pertengkaran Faisal dan Zee. Sandryna pikir, itu masih berlangsung.

"Eyang kamu kan, udah lama meninggal. Rumah mereka di biarin gitu aja, entar jadi rusak—"

"Terus kalian berencana pindah?" sela Zee, bernada tak suka.

Keduanya diam. Zee menatap lama mereka, menunggu jawaban. Tidak mendapatkan sebuah jawaban, Zee melanjutkan ucapannya lagi.

"Gak perlu pindah! Ngapain pindah-pindah? Nyuruh Zee hidup berdua aja, sama orang asing?" ketika tersebut kalimat orang asing, ekor mata Zee melirik ke Milzam. Zee lalu tertawa hambar. "Gila!"

Setelahnya, Zee berdiri dan berlalu pergi. Mengambil tasnya. Secepat itu pula, Faisal melontarkan pertanyaan. Sebelum wanita itu benar-benar pergi.

"Zee, kamu mau ke mana?"

"Pergi jauh! Sejauh mungkin dari orang asing!" teriak Zee menjawab.

Milzam berniat mengejar, tapi Faisal tahan. "Gak usah! Gak apa, Zee selalu gitu kalo lagi emosi. Entar dia bakalan pulang, kok."

Milzam menurut. Ia memilih duduk kembali. Tiga orang yang berada di sana, melanjutkan sarapan yang sempat tertunda. Wujud mereka memang di sana, namun pikiran mereka terpecah. Salah satunya Milzam. Ucapan Zee, Milzam pikirkan. Tentang orang asing yang ia maksud. Ternyata Zee menganggap ia adalah orang asing dalam hidupnya. Di matanya, Milzam bukan seorang suami.

°°°

Pikiran Milzam terpusat membaca deretan nama pasien yang ada di mading. Nama pasian beserta letak beradanya di rawat inap. Milzam menyusun rapih nama-nama pasiennya di buku, ada berapa orang.

Pendengaran Milzam menangkap suara derap langkah yang mendekatinya. Namun Milzam tidak penasaran untuk tahu, siapa yang datang. Milzam lebih peduli dengan berkas-berkasnya, ketimbang yang datang.

"Genta, lo di suruh Dokter Juna jadi as-op dia. Buruan gih, Dokter anesthesi nya juga sudah ada!"

Napas wanita yang menyampaikan pesan ini, tak beraturan. Ia kelelahan, karena habis berlari. Milzam pun berbalik, ingin membalas ucapan si wanita.

"Genta nya ada di UG... D... Dina?" Milzam melongo.

Dina merasakan ada sesuatu yang salah. Suara pria di hadapannya, tidak mirip seperti Genta. Melainkan mirip seorang pria yang dalam minggu ini, mati-matian Dina lupakan.

Dina yang menundukkan badan beserta kepala, mendongak perlahan. Ternyata benar. Bukan Genta yang ia datangi ini. Dina salah orang. Langkah kakinya malah membawa dia kepada Milzam.

°°°

Bersambung...

Bismillah...

Saya kembali:)

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top