18. Perang Batin

HATI-HATI RANJAH TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA! TYPO ITU MANUSIAWI. VOTE DAN COMMENT DARI KALIAN JANGAN LUPA. PLEASE, SIDER, HARGAI KARYA ORANG!

OKELAH, HAPPY READING! MUACH😘😍

°°°

Kamar yang bernuansa dominan hitam itu, menjadi saksi bisu kegundahan hati Milzam. Warna hitam itu, persis menggambarkan hati Milzam sekarang. Bimbang dan kelam.

Milzam di landa kegalauan, memikirkan Eyangnya yang terbaring di Rumah Sakit sekarang. Eyangnya dalam keadaan koma, terkena penyakit stroke. Sengaja Milzam melarikan Eyangnya ke Rumah Sakit lain, agar tak ada satu pun rekan sejawat RS. Effendi yang mengetahui hal ini.

Malam ini ia sendirian di rumah. Adiknya ada jadwal shift malam, sementara Bundanya menjaga Eyang. Sesi menjaga Eyang di gantikan oleh Bundanya, karena di siang hari Milzam yang menjaga.

Melamun di meja kerjanya, Milzam teringat percakapan ia dengan si Preman dua hari yang lalu.

Flashback On...

"Jadi, gimana? Kapan lu mau bayar, Pak Dokter? Ngutang sama orang itu sadar diri, jangan seenaknya aja nunggak, terus pura-pura lupa!"

Otak Milzam benar-benar berpikir keras kala itu. Mencari jalan keluar mengenai hutang piutang ini. Sembari otaknya berpikir, Milzam menatap Eyangnya yang sedang melawan rasa sakit. Terjadi perang batin sejak lusa sampai hari ini berlalu. Milzam sangat bingung.

Tak tahu harus berpikir bagaimana lagi, Milzam pun pasrah. Jalan keluar, ia temukan meskipun dirasa tak sesuai harapan.

"Baiklah. Beri saya waktu tiga hari untuk membayar hutang Eyang saya. Dalam waktu tiga hari, saya pastikan seluruh hutang Eyang saya lunas." ucap Milzam yakin.

Tetapi, keyakinan Milzam ini ditatap remeh oleh si ketua Preman. Preman itu berdecih, "Tiga hari? Yakin, lo?"

Sedetik ia terkekeh meremehkan, lantas melanjutkan kata-katanya lagi, "Bukan hanya satu milyar aja yang lu harus bayar, tapi hutang Eyang lu berbunga."

Tampak Preman itu menerka-nerka seberapa banyak hutang Eyang Milzam, jika ditambahkan dengan bunga yang ada.

"Kalo dijumlahin, hutang Eyang lo itu sekitar 1,5 Milyar jadinya. Gak yakin gue, Pak Dokter, elu bisa bayar lunas dalam hitungan tiga hari. Gimana cara lu mau bayar? Mau nge-rampok?"

"Anda gak perlu memikirkan hal tak berguna itu. Yang pasti, saya akan bayar lunas hutang Eyang saya beserta bunga-nya."

Walaupun diremehkan terus-menerus, keyakinan Milzam tak runtuh. Ia tetap menyuarakan keyakinannya yang akan membayar seluruh hutang Eyang tanpa terkecuali, dalam hitungan tiga hari.

Sejujurnya Milzam belum tahu benar, ia akan mendapatkan uang dari mana. Bagi Milzam, itu urusan belakang. Tiga hari, waktu yang lumayan cukup untuk Milzam mencari uang pinjaman lain. Terpenting sekarang, Eyangnya cepat mendapatkan penanganan medis.

Milzam menatap datar bergantian dua Preman itu. "Mau ngapain lagi kalian di sini? Udah ada kesepakatan dari saya, bukan? Pergi sana! Kalian mengganggu jalan Eyang saya menuju Rumah Sakit!"

Seketika dua preman itu minggir dengan sendirinya. Jalan menuju pintu keluar, terbuka lebar untuk Eyang menuju segera ke mobil. Di saat Milzam membantu Yuni mendorong kursi roda Eyang menuju pintu keluar melewati dua preman itu, Milzam membisikkan suatu hal ke salah satu kuping si Preman.

"Eyang saya lambat mendapat penanganan medis gara-gara kalian berdua. Jika terjadi hal buruk yang menimpa Eyang saya, saya akan menuntut kalian ke meja hijau. Saya bersumpah atas nama Eyang saya. Camkan itu!"

Flashback Off...

Rasa panas menjalar di kepala Milzam, sebab mengingat kejadian lusa. Milzam mengacak rambutnya frustasi. Malahan ucapan Bundanya saat di Rumah Sakit kemarin, mulai memasuki pikiran. Pikiran Milzam terbagi menghadapi dua masalah sekaligus.

Flashback On...

Dokter berusia kepala lima itu, keluar dari ruangan ICU. Menyadari kehadiran sang Dokter saraf itu, bergegas Milzam, Yuni dan Bundanya menghampiri.

"Bagaimana, Dok, keadaan Eyang saya? Kenapa beliau dilarikan ke ICU?" tanya Milzam, begitu cemas. Bundanya yang berada di sebelah, mengelus punggung Lelaki itu, berusaha menenangkan.

Helaan napas, berhembus berat dari Dokter yang menangani Eyang Milzam. "Maaf sekali, kondisi Eyang Anda sangat buruk. Sekarang beliau dalam keadaan koma."

"Astaghfirullah..." Milzam mengusap wajahnya kasar. Tak percaya dengan kabar buruk yang baru saja ia terima. "Lantas, Dok, Eyang saya ini kenapa? Gak akan terjadi hal buruk kan, yang menimpanya? Dia bisa sembuh, kan?"

Berturut-turut pertanyaan, Milzam lontarkan tanpa jeda. Banyaknya pertanyaan yang Milzam layangkan, membuat Dokter dihadapannya ini agak kewalahan.

"Nak, sabar. Berikan waktu buat Dokter, untuk menjawab." tegur Bundanya

Setelah Milzam sudah mulai tenang, Dokter itu mulai menjelaskan.

"Setelah saya melakukan penanganan medis, saya mendiagnosa beliau mengidap stroke iskemik."

Deg!

"Ada penumpukan timbunan lemak di lapisan dalam pembuluh darah. Sebagian dari timbunan lemak ini lepas dan memblokir aliran darah di otak beliau. Konsepnya memang mirip dengan serangan jantung, di mana gumpalan darah menghalangi aliran darah ke sebagian jantung Eyang Anda."

Penjelasan Dokter tersebut, membuat ketiga orang itu tersentak. Wajar saja Eyangnya merasakan sakit luar biasa di bagian jantung. Perkiraan awal Milzam berkata, Eyangnya terkena serangan jantung. Ternyata seorang Milzam yang berprofesi Dokter saja, bisa salah.

"Tapi, Dok, apa Eyang saya bisa sembuh? Maksud saya, adakah cara untuk menyembuhkannya?" tanya Milzam, kekhawatirannya bertambah.

Kepala Dokter itu menggeleng pelan, bersamaan itu pula meruntuhkan harapan Milzam. "Bekuan darah yang menyebabkan kondisi ini tidak akan hilang tanpa pengobatan."

Selesai pemberitahuan dari Dokter tadi mengenai penyakit yang di derita si Eyang, Milzam bersama Yuni dan Bundanya terduduk diam di kursi ruang tunggu ICU. Milzam dilanda kebingungan. Bagaimana caranya ia membayar seluruh pengobatan Eyangnya selama koma?

Raut wajah Milzam yang frustasi tengah berpikir keras, ditatap Bundanya. Wanita paruh baya itu memegang pelan pundak Anaknya.

"Jangan terlalu di pikirkan, Milzam. Kita bisa ngelawatin ini bersama-sama." kata Bundanya lemah lembut. Dengan sayang, wanita itu mengelus kepala Anaknya. Juga memeluk erat.

Yuni ikut menyalurkan rasa kasih sayangnya kepada dua orang itu. Dua orang yang menjadi penguat di hidupnya.

"Milzam terlalu egois, Bunda. Mementingkan keinginan Milzam, tanpa melihat situasi dulu." lirih Milzam, meratapi nasib Sang Eyang yang telah berkorban banyak untuknya.

"Nggak..." wajah Milzam, Bundanya tangkup. Bundanya menatap lekat wajah sembab Milzam. "Gak ada yang salah, dan kamu gak egois. Semua udah terjadi, dan kamu harus menjalaninya."

"Bunda, bagaimana cara kita menghadapi semua masalah ini? Hutang, pembayaran rumah sakit, dan segalanya... Milzam bingung harus berbuat apa?"

"Untuk apa kamu harus bingung, hm? Ada Bunda, ada Yuni, dan yang terpenting masih ada Allah yang menjadi penguat. Berlari lah kepada Allah. Minta petunjuk padanya, itu yang mesti kamu perbuat sekarang."

Flashback Off...

Perkataan Bundanya saat di Rumah Sakit, menyentak lamunan Milzam. Milzam mengusap wajahnya kasar. Beristighfar berkali-kali. Tak sengaja tatapan Milzam mengarah ke sekumpulan id card nya, dari mulai masuk FAKULTAS KEDOKTERAN, sampai menjadi Dokter Umum.

Semua id card itu, Milzam ambil. Satu persatu Milzam tatap.

"Gue udah sejauh ini melangkah. Bahkan saking jauhnya, gak bisa lagi balik ke belakang." gumam Milzam, pandangannya masih tak terlepas dari kumpulan id card tersebut.

"Untuk apa kamu harus bingung, hm? Ada Bunda, ada Yuni, dan yang terpenting masih ada Allah yang menjadi penguat. Berlari lah kepada Allah. Minta petunjuk padanya, itu yang mesti kamu perbuat sekarang."

"Dok! Saran saya... Lain kali, cobalah duduk sebentar, tarik napas dan pejamkan mata sejenak. Pikirkan dengan baik. Mungkin saja selama ini, Dokter banyak mengambil alih tugas takdir. Mencaci satu kegagalan, hingga melupakan banyaknya keberhasilan. Terlalu sibuk memikirkan masa mendatang, hingga melalaikan masa yang sekarang. Hidup ini bukan melulu soal kebahagiaan, Dok. Melainkan rasa sakit dan pedihnya luka. Mungkin selama ini Allah mengajak Dokter berbicara. Hanya saja Dokter terlalu acuh, hingga tak pernah peka."

Suara Zee entah mengapa juga ikut menggema di pikirannya, setelah ucapan Sang Bunda. Milzam terdiam. Mencoba mencerna baik-baik perkataan Zee yang pernah terucap. Mungkin apa yang Zee ucapkan, ada benarnya. Milzam telah banyak mengambil tugas takdir. Melupakan banyak keberhasilan, dan lebih banyak memikirkan ketakutan di masa mendatang.

Saran Zee, Milzam ikuti. Milzam merilekskan tubuhnya. Menyenderkan punggungnya di kursi. Menarik napas panjang, selepas itu menutup mata perlahan. Segala masalah yang ia lalui, Milzam pikirkan baik-baik.

"Apa pun yang terjadi, cucu-cucu Eyang harus jadi Dokter!"

"Allahuakbar, Allahuakbar..."

Secara bersamaan ucapan Eyang dan Adzan berkumandang, spontan membuka mata Milzam yang terpejam. Milzam melirik jam dinding yang terpampang di tembok kamarnya. Ba'da Isya memang telah masuk waktu. Tanpa Milzam sadari juga, ia tertidur selama 15 menit di meja kerja.

Milzam beranjak. Berniat mengambil air wudhu, untuk melaksanakan sholat isya. Seluruh tubuhnya ketika berdiri, terasa pegal. Itu mungkin efek dari posisi tidur Milzam yang sembarangan saja di meja kerja.

Sholat isya, Milzam laksanakan tepat waktu. Tiap rakaat, Milzam lakukan dengan khusyu'. Tiba saatnya berdoa, Milzam pun mencurahkan segala kegilasahan hatinya pada Sang Illahi Rabbi.

"Ya Allah, hamba bersyukur dengan apa yang pernah Engkau beri. Sebuah kenikmatan tiada tara yang kau limpahkan tanpa henti. Dan mungkin saja itu membuatku jadi lupa diri. Sehingga Engkau mencabut kenikmatan itu semua, tanpa terkecuali. Sekarang kenikmatan itu telah berganti. Rasa sakit dan pedih yang datang tanpa permisi. Jika ini memang kehendak-Mu, yaa Rabbi... Hamba tidak minta di cabut segala musibah ini. Namun hamba hanya meminta di berikan saja kekuatan dan kelapangan hati. Aamiin..."

Do'a yang berasal dari permohonannya yang sangat terdalam itu, ia aamiinkan. Bukan itu saja, selesai sholat, Milzam tampak bersujud. Mencium lama hamparan sajadah.

Dan dalam sujudnya, wajah Zee hadir.

°°°

Sama seperti Milzam, batin Dina juga mengalami perang berkecamuk. Otak Dina berpikir keras, memikirkan perjodohan Milzam dan Zee. Tipu dayanya terhadap setiap orang bahwa semua baik-baik saja, tak berlaku di Rumah. Nyatanya, seorang Psikiater ahli kejiwaan seperti Dina, bisa mengalami kegelisahan jiwa.

"Haduuhh! Mbakku ini, galaaauuu melulu! Gak habis-habis mikirin Milzam ke Milzam!"

Sosok Dwi yang notabenya Adik kandung Dina, datang menghampiri Kakaknya. Dwi mengambil posisi duduk di ayunan, yang Dina duduki pula.

"Coba kamu di posisi Mbak." Dina bersuara serak. Menatap Adiknya lekat. "Tegar tiba-tiba di jodohin, dan bersamaan itu pula hubungan kalian yang terjalin lama kandas gitu aja. Sakit gak kira-kira hati, kamu?"

Berkali-kali mata Dwi berkedip cengo. Gadis itu tak menyangka akan mendapatkan ucapan sarkas dari Kakaknya. Biasanya Dina akan berkata lembut bahkan bijak, menghadapi sikap usil Dwi. Namun, Dina yang kali ini tampak berbeda. Dina yang ini, terlihat suram tak bercahaya.

"Kok, Mbak ngomongnya gitu, sih?! Jangan, lah! Hih, amit-amit jabang setan, kalo kejadian! Jangan sampe!" protes Dwi, menolak mentah-mentah apa yang Dina katakan. Perutnya yang datar, ia usap-usap. Merasa seram dengan ucapan Sang Kakak.

"Eh, Mbak."

Keheningan yang hampir tercipta, dihilangkan Dwi. Dwi bersuara, memanggil Kakaknya untuk berbicara. Akhir-akhir ini, mood berbicara Dina hilang. Kakaknya itu lebih suka berdiam diri di kamar, semenjak perjodohan Milzam dan Zee.

"Emang beneran, ya, Pacar Mbak mau di jodohin sama cewek lain? Satu perumahan sama kita juga?" tanya Dwi, yang di balas anggukan malas oleh Dina.

"Ceweknya cantik ya, Mbak?"

"Cantik, pakek banget." jawab Dina dengan suara lemas yang hampir tak terdengar.

"Cantikan dia, atau aku?"

Tatapan Dina yang semula mengarah kosong ke depan, sontak menatap ke arah Adiknya. Dina memandang Dwi dengan ekspresi yang sulit di utarakan, akibat lontaran pertanyaan ia yang kelewat percaya diri.

"Cantikan dia, lah!" tanpa pikir panjang, Dina memberikan jawaban yang berhasil menimbulkan bibir manyun Dwi.

"Hiisss, Mbak! Adik sendiri, masa gak di puji. Malah orang lain yang udah jahat sama Mbak, malah di puji. Di katain cantik, lah!" desis Dwi, mengesalkan perlakuan Kakaknya itu.

"Emang dia cantik. Cantik karena dia berhijab, sementara kamu kan nggak."

Kedua kalinya jawaban Dina terasa seperti tamparan keras bagi Dwi. Mulut Dwi menganga lebar hendak protes, tetapi tak jadi sebab Dina yang tiba-tiba berdiri.

Kakaknya itu berjalan lebih mendekat ke arah balkon. Mata wanita itu menyipit. Tingkah Dina yang aneh, ditatap Adiknya juga aneh.

Dwi menghampiri Dina, "Ada apa, Mbak?"

Sedetik dari pertanyaan Dwi, jari telunjuk Dina mengarah ke suatu objek. Arah jari telunjuk Kakaknya itu, Dwi ikuti. Tepat ke sebuah mobil hitam pekat yang melaju di jalan Komplek, arah jari Dina menunjuk.

Dwi mengernyit heran, "Itu bukannya mobil Milzam, pacarnya Mbak?"

Satu anggukan, Dwi dapatkan dari Dina. Lantas Dwi berucap lagi, "Tapi, kok... Ngarahnya ke blok C?"

°°°

Rupanya Zee pun merasakan perang batin dalam dirinya. Di dalam kamarnya yang super luas, Zee melangkah bolak-balik dari ujung ke ujung. Kakinya seolah bergerak sendiri.

Melintas OIK-Kucing kesayangan Zee. Kucing berwarna keemasan itu berjalan santai dan langsung merebahkan badan di lantai. Tak tahan melihat kegemasan Oik, Zee manghampiri kucing gemuk itu.

"Yaampun, Oiiikkk! Enak banget kamu guling-guling!"

Puncak kepala kucing itu, Zee elus sayang. Bahkan Zee ikut merebahkan badan di sebelah Oik.

"Oiikk, aku lagi galau. Aku lagi sedih, Oik, kamu denger gak, sih? Tolong peka, jangan kayak doi."

Kebiasaan Zee memang, mengajak kucing peliharannya itu berbicara. Sayangnya, hewan tetaplah hewan. Kodratnya dari Tuhan diciptakan tak bisa berbicara. Sekuat apa pun Zee berteriak mengeluarkan unek-uneknya, Oik tidak akan merespon. Malah kucing gemuk itu semakin pulas tertidur.

Kesal dengan Oik yang tak memberi respon, Zee memilih diam. Selang berapa detik, Zee memiliki suatu ide gila.

Ponselnya ia arahkan ke Oik yang tengah tertidur pulas. Dengan tatapan lurus ke kamera sembari tersenyum, Zee menekan potret di ponsel.

Cekrek!

Hasil foto bersama Oik, Zee tatap. Ia tersenyum memandang foto imut tersebut.

"Imut..." gumam Zee, sekilas ia sempat mencubit Oik.

Ting tong!

Bunyi bel yang berasal dari pintu luar rumah, menyentak Zee. Dahi alis mengernyit heran.

"Nekan belnya gak selow amat." desis Zee kesal, lantaran bel dibunyikan berkali-kali. "Ck! Gak ada yang bukain, kah? Mama Papa emangnya ke mana?"

Risih mendengar suara bel yang memekakkan telinga, jadinya Zee memutuskan ia saja yang membuka pintu. Kaki Zee melangkah cepat menuruni tangga. Tanda-tanda kedua orang tuanya pun, tak ada. Biasanya ada Sandryna dan Faisal yang selalu mengobrol di ruang keluarga sambil menonton Televisi.

"Iyaaaa! Tunggu sebentaaarrr! Sabaaarr!" teriak Zee memperingati, sebelum ia meraih gangang pintu dan membukanya.

Ceklek!

Pintu lebar itu terbuka, menampakkan sosok seorang Pria. Kehadiran tamu yang tak di undang itu, menimbulkan guratan kebingungan di dahi Zee.

°°°

Bersambung...

Nah loh, nah loh! Siapa tuh, yang dateng? Ada yang bisa nebak?👀. Tebaklah di kolom komentar gaes, dan jangan lupa kalian memberikan vote di cerita ini. Selalu di tunggu ya, cerita APSK! JANGAN BOSEN-BOSEN👋💕

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top