17. Merasa Asing Di Keluarga

HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA!!!

Eh iya, sedikit penjelasan perbedaan antara Psikolog dan Psikiater. Saya ingatin lagi, kalo Dina itu Psikiater oke?

Dan, jangan lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya❤. Lop yu all😘.


HAPPY READING GUYS😍

°°°

Keluarga kecil Milzam semuanya berkumpul di ruang tengah. Tempat di mana mereka suka mengobrol hal ringan, di selangi canda tawa. Namun obrolan kali ini, jauh dari senyuman. Ekspresi mereka menegang. Terutama wajah Milzam yang tampak mengeluarkan guratan emosi.

"Eyang sudah tau, 3 tahun Milzam udah bersama Dina. Suka duka Milzam jalani, dan Eyang..." tenggorokan Milzam tercekat. Sulit melanjutkan ucapannya yang tertunda.

Milzam berteriak kecil. Menumpahkan segala emosinya. "Eyang! Kurang baik apa lagi Dina sama Keluarga kita? Setiap kali dia ke sini, kalian berdua memusuhinya. Seolah menganggap Dina itu penjahat. Ada apa dengan diri kalian?"

"Bukan dia yang penjahat, tapi Ayahnya!" balas Eyang cepat.

Napas wanita itu memburu. Menatap murka Milzam yang membeku, sebab mendengar ucapannya tadi. Di sampingnya, Bunda Milzam berusaha meredamkan emosi wanita tua itu. Di elusnya lembut punggung renta si Eyang.

"Maksudnya apa ini? Penjahat? Ayah Dina penjahat apanya?" bertubi-tubi Milzam melontarkan pertanyaan. Lelaki itu butuh penjelasan.

Kepala Bunda Milzam menoleh kepada dua Anaknya. Milzam yang berwajah tak sabaran menunggu penjelasan, dan Yuni yang dari tadi diam menyimak. Perselisihan keluarga kecilnya saat ini, malas Yuni ikuti. Yuni sudah terlalu muak.

"Kamu masih terlalu kecil waktu itu, untuk mengerti. Usia kamu masih lima tahun, sedangkan Adikmu Yuni... Masih berada di kandungan Bunda." baru memulai bercerita saja, pelupuk mata Bunda Milzam telah digenangi air.

"Kehilangan sosok Ayah di waktu para anak memasuki jenjang sekolah, sangat membuat kamu terpukul waktu itu. Gak berlangsung lama. Selang tiga tahun, kamu mulai balik ke sedia kala." sambung Bundanya, semakin menimbulkan lipatan bingung di dahi Milzam.

"Tunggu-tunggu!" sela Milzam, sukses menghentikan kelanjutan cerita Bundanya. "Bunda lagi cerita apaan, sih? Milzam sama sekali gak ngerti apa yang Bunda bicarakan."

Sudut bibir Bunda Milzam terangkat, membentuk senyuman pedih. "Dari dulu, kamu selalu bertanya penyebab kematian Ayah kamu, bukan?"

Milzam mengangguk pelan.

Bundanya pun melanjutkan, "Ayahmu itu... Meninggal... Karena di bunuh."

Deg!

"Oleh rekan kerjanya sendiri. Dan rekan kerjanya itu, Ayah Dina."

Bagaikan ada air dingin yang membasahi di kepalanya, darah sekujur tubuh Milzam terasa luruh. Kaki Milzam mati rasa. Akibatnya, Milzam sedikit kesulitan menyeimbangkan tubuhnya.

Begitu saja, tubuh Milzam terduduk di sofa dalam sekali bantingan. Tersirat rasa sangat tidak percaya, yang terpatri di wajah Milzam saat ini. Milzam memandang kosong ke hadapan.

"Bunda pasti lagi bercanda, kan?" Milzam menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia menatap lekat Bundanya, berharap bahwa ucapan tadi hanya omong kosong. "Gak mungkin... Itu semua gak mungkin Ayah Dina yang membunuh Ayah. Ayah... Ayah meninggal karena kecelakaan, Bunda... Itu yang di bilang Om Trisna."

Satu pun jawaban, tak di berikan Bunda Milzam. Mulutnya sulit untuk dibuka. Sekedar mengucapkan satu patah kata pun, wanita paruh baya itu tak mampu. Melihat Milzam yang menghampirinya dan berjongkok memegang tangannya, tambah menyayat hati Ibu dari dua orang Anak tersebut.

Milzam menggenggam erat kedua tangan Bundanya. Terlihat mata Milzam berkaca-kaca, menatap wajah Bundanya. Keseluruhan lekuk wajah Bundanya Milzam tatap, untuk melihat adakah kebohongan. Namun, Milzam tak menemukan apa yang ia cari.

"Bunda, Milzam mohon jawab pertanyaan Milzam barusan... Ayah meninggal karena kecelakaan kan, Bunda? Iya kan, Bunda? Iya, kan? Bunda... Tolong jawab... Bunda..."

Akhirnya, seorang Dokter yang ditatap kuat oleh para Anak didiknya, meneteskan air mata kesedihan dihadapan Sang Bunda. Mengingat tragedi beberapa waktu silam, membuat dada Milzam sesak.

Kematian Ayahnya selama ini terungkap. Segala pertanyaan yang berada di benak Milzam terjawab sudah. Tetapi, mengapa pertanyaan yang seharusnya membuat hati Milzam lega, malah menimbulkan rasa sesak? Orang yang dicintainya ikut andil dalam tragedi pembunuhan Ayahnya juga. Dua orang yang Milzam cintai, mengecewakannya.

"Gak mungkin..." lirih Milzam, meneteskan air mata di pelukan Bundanya.

Yuni yang menjadi saksi sedari tadi, memberikan respon. Wanita berhijab itu berlari mendekati Milzam yang menangis. Sebuah pelukan dari seorang Adik, Yuni berikan. Seorang Ibu dan kedua Anak itu, saling berpelukan. Menangis pilu mengingat kejadian mengenaskan hilangnya nyawa orang yang mereka sayangi.

"Kenapa... Kenapa Bunda gak ceritain masalah ini? Kenapa semua orang... Menyembunyikan hal besar ini dari Milzam? Milzam... Milzam ini... Anaknya Ayah, Bunda... Milzam berhak tau..."

Rambut Milzam yang lembut, Bundanya usap dengan kasih sayang. "Bunda gak sanggup, Nak, untuk menceritakannya. Bunda gak mau ngeliat kamu membenci orang yang kamu cintai. Bunda sangat tau, kamu begitu mencintai Dina. Maka dari itu, sebaik mungkin Bunda rahasiakan semua ini dari, kamu."

"Tapi... Tapi, kenapa harus Dina?"

"Karena Ayahnya sudah membunuh Anakku!" sahut Eyangnya murka. Milzam menatap berkaca-kaca si Eyang yang dadanya naik turun. "Maka dari itu, keturunannya pun juga ikut terlibat dan patut disalahkan!"

Sorot mata Eyang, menghadap ke Milzam tajam. "Eyang minta, kamu segera jauhi dia! Menikah saja dengan Anak Dokter Faisal! Wanita itu juga lumayan dekat denganmu. Dia Anak didikmu, bukan? Dia sangat cantik, lantas di mana letak keraguan kamu sama dia?"

"Milzam gak akan nikahin dia, Eyang! Milzam itu sama sekali gak cinta sama dia!" tolak Milzam mentah-mentah.

Mendapati tolakan Milzam, Eyang bertambah murka. Wanita tua itu menahan amarah. Kuku tangannya mencengram kursi roda yang ia duduki. Saking menahan emosi, menyebabkan debaran jantung si Eyang berdegup tak normal. Nyeri yang sangat hebat, Eyang rasakan menjalar di tubuhnya.

Eyang Milzam mencengkeram kuat dadanya sebelah kiri, di mana rasa sakit itu berasal. Melihat si Eyang yang berpelakuan seperti itu, segera mereka bertiga menghampiri kursi rodanya.

"Eyang, Eyang, tenang. Jangan panik, sekarang kita ke Rumah Sakit." ujar Milzam panik. Pipi wanita tua itu, Milzam tepuk pelan berkali-kali. Berusaha menyadarkan Eyangnya.

"Eyang, atur napas Eyang..." intruksi Yuni, sembari mengelus dengan sedikit menekan dada sebelah kiri wanita tua tersebut.

Kunci mobil yang tergeletak di atas meja, langsung di sambar Milzam. "Ayo, Bunda, kita bawa Eyang ke Rumah Sakit."

Yuni dan Bundanya mengangguk. Kursi roda si Eyang, Yuni dorong menuju pintu keluar. Sebentar lagi sampai, pintu tiba-tiba terbuka dari arah luar menampakkan dua Pria bertubuh kekar. Kedatangan dua Pria itu, sontak menghentikan langkah mereka.

"Eeh! Mau ke mana?" tanya Pria beramput ikal panjang.

"Siapa kalian ini?" masing-masing dari mereka berdua, Milzam tatap tajam. "Minggir! Saya mau ke Rumah Sakit! Jangan menghalangi!"

Milzam yang hendak melangkah, di dorong pundaknya oleh si Preman berkepala botak. "Santai, boiii! Elu, orang mau ngomong bentar, malah maen potong! Mau, badan lu gua potong kecil-kecil? Heh?"

Sebilah pisau tajam nan mengkilat, terarah tepat di wajah Milzam. Tinggal beberapa jarak lagi, pisau itu mengenai wajah mulus Milzam. Tubuh Milzam kaku di tempat. Was-was ia menatap ujung pisau tajam yang tengah mengarah padanya.

Mengetahui akan ada perdebatan panjang, Yuni berusaha memberi penangan medis kecil dahulu kepada Eyang. Sesuai yang pernah di ajari semasa Kuliah, Yuni lakukan pada Eyangnya. Memang hanya berlangsung sebentar, tidak lama. Namun, setidaknya dapat mengurangi kontraksi dari detakan jantung tak stabil dari si Eyang.

"Elu diam di sini. Gua mau ngomong sama si Nenek peyot itu." Preman itu agak memajukan pisaunya sebelum melangkah ke Eyang. "Aton, lu jaga nih, bocah."

"Siap!" seru si Preman satu lagi, yang bernama Anton.

Setelah sampai dan saling berhadapan dengan si Eyang, Preman itu mengarahkan ujung lancip pisaunya. Seluruh tubuh Eyang bergemetar. Yuni pun memeluk tubuh Eyangnya.

"Jadi, kapan... Elu mau bayar hutang? Udah 2 bulan nunggak ini! Cepetan bayar, atau lu udah ikhlas rumah lu ini kita sita?!"

Menyaksikan si Preman menodongkan pisau ke Eyangnya, Milzam tak terima. Milzam berjalan cepat menuju Preman itu berpijak. Anton-si Preman yang di tugaskan memantau Milzam, dengan sigap menahan lengan Pria itu agar tak kabur.

"Lepas!" bentak Milzam, menghentakkan kedua tangannya yang dikuci Anton. "Pengecut kalian, beraninya sama Wanita yang sudah renta! Beliau itu sedang sakit, saya ingin menghantarkannya ke Rumah Sakit! Jika ada urusan dengan Beliau, hadapi saya saja! Saya Cucunya! Saya yang bertanggung jawab di Keluarga ini!"

Preman itu berbalik. Bibirnya memasang senyuman bengis, ketika mendengar ucapan Milzam yang lantang barusan.

Dari atas ke bawah, Preman itu menatap perawakan Milzam. Kepalanya manggut-manggut selepas itu, dan ia berdecih.

"Oohh... Jadi, elu... Cucu nih, Nenek peyot? Yang sok-sok'an jadi Dokter?" jeda dua detik, Preman itu terkekeh meremehkan. Jari telunjuknya menyentuh dada Milzam. "Eh! Elu itu, harusnya sadar diri! Keluarga gak punya uang, harusnya gak usah sok-sok'an sekolah Kedokteran! Eh, denger, ya? Dengerin! Eyang lu itu, ngutang sama Bos gua demi nurutin permintaan elu buat jadi Dokter! satu milyar dan 2 bulan dia udah nunggak dari pembayaran!"

Bagaikan ada paku yang menancap di kakinya, Milzam sulit menggerakkan tubuhnya baik atas mau pun bawah. Sudah dua kali dalam sehari ini, Milzam mendapati kebohongan. Orang sekitarnya banyak menyembunyikan rahasia besar darinya. Milzam merasa menjadi orang asing di Keluarganya sendiri, karena satu pun permasalah di Rumah ini, Milzam tak tahu.

Senyuman licik Preman itu semakin mengembang, tatkala melihat wajah syok Milzam. Ucapan kembali ia lanjutkan, "Dan... Kalo Eyang lu gak mampu bayar, terpaksa Rumah ini kami sita. Kalian akan jadi gelandangan. Termasuk elu, Pak Dokter."

°°°

"Gak seharusnya Papa umumin ke semua orang juga, kali! Ini urusan keluarga, bukan publik! Papa itu udah dewasa, tepatnya tua! Papa udah tau salah dan benar! Zee gak sangka, Papa setega ini sampe tersebarnya gosip buruk tentang Anak sendiri! Zee kecewa sama, Papa!"

Brak!

Pintu kamarnya sengaja Zee banting, lalu baru menguncinya. Dari luar, Faisal terus mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Faisal berteriak, memberikan penjelasan. Memohon juga, agar sang Anak membukakan pintu. Maksud Faisal, membiarkan ia menjelaskan permasalah ini baik-baik.

Tapi, semua terlambat. Zee sudah terlanjur kecewa, oleh ulah Sang Papa.

"Zee sayangnya Papa... Papa mohon buka pintunya. Iya... Iya, Papa ngaku kalo salah. Kamu boleh marah, tapi setelah mendengar penjelasan Papa dulu." pinta Faisal, terus mengetuk pintu tanpa henti.

Sahutan teriakan kesal, terdengar dari dalam kamar Anaknya. "Udah lah, Pa! Percuma! Penjelasan Papa juga ujung-ujungnya gak jelas, dan berhenti ngetuk-ngetuk pintu kamar Zee! Entar kalo rusak, Zee minta Rumah baru!"

Aksinya tersebut, segera Faisal hentikan. Ancaman Sang Anak, sukses menciutkan nyali seorang Faisal. Rumah baru? Yang benar saja. Rumah ini saja sudah sangat luas, gila sekali Zee meminta Rumah baru lagi. Siapa yang akan menempatkannya jika begitu?

Faisal berbalik, berjalan menuju Sandryna yang hanya diam menyaksikan. Sandryna sangat tenang, menyenderkan tubuh di tembok. Perselisihan Suami dan Anaknya, seakan film drama bagi Sandryna. Berniat melerai saja, Sandryna tak ingin.

"Sandryna... Bantu saya, yok, bujuk Zee. Kamu pasti bisa bujuk dia. Kamu kan, Ibunya." mohon Faisal, memasang wajah melas.

"Gak, ah!" tolak Sandryna tanpa pikir panjang. "Salah Mas sendiri. Aneh-aneh sih, kelakuannya jadi orang. Dan sekarang, Mas Faisal tanggung risikonya."

Tiga detik, Faisal tercengang mendengar jawaban santai Sandryna. Detik selanjutnya, Faisal semakin merengek. "Saaaannn! Ayo, laahh... Bantu saya, ayooo! Sandrynaaa, saya nangis, nih! Nangis beneran ini!"

Kedua bahu Sandryna menghendik acuh. "Nangis aja. Mungkin... Pas Mas Faisal nangis, Zee bakalan kasihan dan ujung-ujungnya mau buka pintu. Coba aja dulu."

Untuk kedua kalinya, Faisal dibuat tercengang. Sungguh, Faisal tak menyangka, Anak dan Istrinya sangat kejam sekali padanya.

"Udah, ah! Sandryna mau ke dapur. Mau makan. Laper. Bye, Mas Faisal... Semoga berhasil bujuk Zee. Kalo berhasil, entar dapat sepeda, deh."

Lantas, Sandryna berlalu pergi meninggalkan Faisal yang masih syock sendirian di depan pintu kamar Zee. Faisal lalu membalikkan tubuh. Berhadapan dengan pintu Anaknya. Ia memandang lama, pintu yang tertutup itu.

"Zee... Sayang... Beneran gak mau bukain pintunya?" tanya Faisal sekali lagi.

Hening...

Tidak ada sahutan dari dalam. Faisal menghembuskan napas lelah. Ia dikacangi oleh Anaknya. Saat ini, hati Faisal tengah dilanda perasaan kecewa. Lebih parah sepertinya dari patah hati.

"Apa ini... Yang di sebut Adzab Seorang Papa Dzholim, Nasibnya di Kacangi Anak Sendiri?" monolog Faisal, sembari kakinya melangkah menjauhi kamar Anaknya.

"Gini bener, nasib gue jadi manusia."

°°°

Bersambung...

Wkwkwk maaf kalo gaje. Saya kurang bisa buat drama nangis bombay. Batas melow ku, hanya segini. Maaf, ya😢🙏.

Oh, saya juga mau mengumumkan suatu hal, kalo episode selanjutnya akan agak lama pubhlish (mungkin). Loh, kenapa bisa gitu? Karena di perkirakan part berikutnya akan sangat panjang. Doain aja saya gak lagi banyak tugas sekolah, jadi ada waktu free buat ngetik dan sedikit lebih cepat pubhlisnya🤗.

Okelah, jangan lupa Vote dan Commentnya😚. Jangan bosen-bosen baca APSK, walaupun Author yang buat cerita sering kali gaje pubhlishnya😅.

Syukron semua🍭😍

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top