16. Tidak Akan Pernah Homeostasis

HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA!

Oh, ya saya mau kasih tahu, kalo Dina itu Psikiater. Gak jadi Psikolog, karena dua bidang itu berbeda. Psikolog itu mengambil parodi berbeda dari Kedokteran. Sedangkan Psikiater mengambil sekolah Kedokteran dan barulah mengambil spesialis psikiater. Jadi, Dina itu Psikiater. Makanya kerja di Rumah Sakit. Oke?

Whehe..😅

AND, HAPPY READING GUYS! BUDAYAKAN VOTE SEBELUM MEMBACA😁

°°°

Suara berbisik dua orang di Ruang Koas, membuat langkah kaki Dina berhenti. Pintu tampak tak terkunci. Ada sela-sela yang dapat Dina lihat, dua Koasnya tengah mengobrol. Segera Dina menepi. Punggungnya menempel di dinding. Dan sengaja pula Dina mendekatkan telinganya ke sela-sela pintu.

"Lo tau dari mana berita perjodohan Dokter Milzam sama Zee?" pemilik suara ini dapat Dina ketahui. Ini suara Helen. Salah satu Koasnya selain Karina.

"Tau dari Abang gue, lah! Bang Genta. Gak sengaja gue denger obrolan mereka di telfon." kali ini suara Karina.

Mendengar nama Genta di sangkut pautkan, membuat kepala Dina menggeleng tak habis pikir. "Bodoh... Udah tau punya Adek tukang ghibah, volume bicara di kecilin, kek..."

Dina berucap pelan, penuh penakanan lantaran gemas. Kembali ia memfokuskan pendengaran akan obrolan Karina dan Helen. Jujur, Dina tahu apa yang ia perbuat sekarang itu salah. Tetapi Dina terpaksa melakukannya, agar mengetahui akar permasalahan ini berasal dari mana. Dan sepertinya, Dina sedikit mengetahui kunci permasalahan ini berasal.

"Terus, Dokter Dina sama Dokter Milzam jadinya putus?"

"Pasti lah putus! Secara mereka udah pacaran 3 Tahun, eh si Zee yang kecentilan malah ngedeket. Ujung-ujungnya kita tau kabar perjodohan Dokter Milzam sama Zee, kan? Gue yakin seratus persen, kalo Zee yang udah maksa-maksa Dokter Faisal buat jodohin dia sama Dokter Milzam."

"Ghibah terooosss. Netizen maha benar." Dina semakin geleng-geleng kepala. Mulut Karina jika dalam hal membicarakan orang lain paling handal.

"Ya, kita kan, gak boleh seudzhon dulu. Mungkin aja ini mendadak, dan Zee gak tau apa-apa." di situ Dina mengambil kesimpulan, Helen berusaha berpikir baik. Wanita itu tidak ingin terhasut.

"Halah, gak tau apa-apa dari mana? Zee ntuh pasti lagi akting, biar gak disalahin."

Ucapan Karina yang satu ini, sungguh membuat Dina kesal. Dina juga tidak mengetahui, mengapa ia kesal ketika nama Zee di per-buruk. Padahal jika dipikir-pikir, seharusnya Dina marah besar pada Zee. Lebih para, ia melabrak saja wanita itu di saat sendiri.

Tetapi, Dina tidak bisa berbuat sejahat itu. Sulit bagi Dina untuk membalas perbuatan jahat orang lain, yang telah ditimpahkan padanya.

Pada akhirnya, kaki Dina melangkah berani masuk ke dalam Ruang Koas tersebut. Kemunculan Dina yang tiba-tiba sudah berdiri tegap di ambang pintu, spontan menghentikan obrolan Karina dan Helen. Kentara sekali, bahwa yang paling cemas adalah Helen. Kedua bola mata Wanita itu melotot lebar.

"Ngapain di sini? Gak ada jadwal sama Konsulen kalian berdua?" Dina menatap datar kedua orang itu, dengan tangan yang bersedekap dada. "Kalian bukannya udah kebagian stase obygn sama Dokter Arsy?"

"I--iya, Dok!" jawab Helen gemetar. Kepala wanita itu menunduk. Tak berani dia, menatap wajah Dina.

"Yaudah, keluar! Jangan sampai kalian terlambat." kepala Dina mengendik ke luar pintu sebagai intruksi.

Terlebih dahulu Helen yang melangkah keluar. Sedikit pun kepalanya tak mendongak. Masih menunduk, dengan wajah yang sangat ketakutan. Dina memperhatikan terus, Helen yang keluar sampai sosoknya telah menjauh.

Lalu, ketika Karina yang ingin keluar, tangan Dina menahan lengan wanita itu. "Kamu tetep di sini, Karina."

Lengannya yang digenggam erat Dina, ditatap Karina tajam. "Kenapa, Dok?"

Dina tidak menjawab, tapi menuntun Karina menjauhi pintu. Pintu ruangan Koas, Dina kunci. Hanya ada mereka berdua di sana.

Dina melangkah sedikit menjauhi Karina. Posisi Dina saling berhadapan dengan Karina yang membelakangi pintu. "Saya pikir, kamu udah mengetahui gosip terhangat pagi ini. Soalnya booming banget."

"Oohh... Perjodohan Dokter Milzam dengan Zee?" ucap Karina terdengar sarkas di telinga Dina.

Sebentar Dina terbelalak mendengarnya, tapi cepat-cepat ia bersikap biasa. Bahkan Karina berucap hal tadi dengan senyuman miring.

"Tau kok, saya. Banget malahan. Emang kenapa Dokter nanya begitu?" sambung Karina lebih sarkas. Saking sarkasnya, Dina dibuat emosi. Untung saja Dina tipikal orang yang pandai menahan diri.

Mendadak sebuah ide melintas dipikiran Dina. Bersamaan itu pula, Dina tersenyum miring merasa akan menang. "Oohh... Jadi, emang kamu ya, yang nyebarin pasal perjodohan Milzam dan Zee?"

Dugaan Dina benar. Karina melotot lebar seusai mendengar ucapan Dina. Senyuman Dina pun semakin melebar mendapati ekspresi Karina sekarang.

"Jangan gitu, dong. Biar Milzam sediri aja yang ngasih tau ke orang. Kamu jangan terlalu baik, Karina." lanjut Dina.

"Ha? Maksudnya apa, Dok? Dokter nuduh saya?" kini mimik wajah Karina bingung.

Dina berdecak kesal. Karina mulai menjalankan aktingnya lagi, pikir Dina. Lantas Dina membalas. "Udah, Kar, jangan ngelak. Saya denger sendiri tadi di depan pintu. Kamu tau ini semua dari Genta, kan?"

"Ah, jadi Dokter nguping percakapan kami?" Karina menatap tak suka.

"Lagian untuk apa kalian ghibah di Rumah Sakit? Tugas kalian di Rumah Sakit itu mengayomi masyarakat, bukan ghibah. Kalau mau ghibah, di acara rumpi aja sama Teteh Feni Rose."

Habis-habisan Dina menyindir Karina. Sindiran Dina berhasil membuat Karina terdiam, namun menahan amarah.

"Akh! Serah!" Karina mengibas-ngibas tangannya. "Pokoknya bukan saya yang nyebari gosip ini! Serah Dokter mau percaya atau nggak, bodo amat! Serah!"

Tanpa berkata lagi, Karina menyambar ganggang pintu berniat keluar. Melihat itu, dengan cepat Dina mencegah. Dina menggenggam erat lengan Karina agar tak beranjak ke mana pun.

"Apa lagi, Dok?! Udah kan, nanyanya? Jadi, lepasin saya dong! Saya mau bimbingan sama Dokter Arsy, nanti saya telat!"

"Itu risiko, kamu! Sekarang kamu ikut saya!" Dina menyeret paksa lengan Karina menuju keluar.

"Eh, Dokter, kita mau ke mana?!" Karina meronta-ronta kecil berharap genggaman tangan Dina terlepas, tapi hasilnya nihil. Malah setiap Karina meronta, Dina semakin mengetatkan genggaman.

"Diem! Saya mau bawa kamu ke sesuatu tempat. Tempat di mana kamu akan mengakui kebohongan, kamu."

"Astaga, Dokteeerrr! Saya kan udah bilang, saya gak bohong! Bukan saya yang nyebarin gosip ini!"

"Dan kamu pikir, saya percaya? Nggak!"

Setiap orang yang melintas, menatap Dina yang menyeret Karina di sepanjang perjalanan. Tatapan aneh dari orang sekitar, tak Dina pedulikan. Kejujuran Karina lebih penting dari segala hal. Dina ingin cepat-cepat menuntaskan gosip tentangnya, juga membersihkan namanya.

°°°

Merasa tidak ada yang dibicarakan lagi, Zee dan Yuni memilih masuk. Mereka berdua masuk ingin menuju stase obygn. Langkah mereka sengaja cepat. Takut andaikan Dokter Arsy sudah berada di tempat. Bisa-bisa mereka mendapatkan hukuman, karena datang terlambat.

Namun, bisik-bisik yang tak sengaja di pendengaran, membuat mereka melambatkan langkah. Sebaik mungkin pendengaran, mereka pasang dengan baik.

"Karina hebat bener, ya, tau semua hal. Menyangkut perjodohan Dokter Milzam dengan Zee aja, dia tau."

"Ya, iya, lah tau! Tau dari Dokter Genta, Abangnya. Jadi, wajar."

Deg!

Kedua Dokter itu langsung saling tatap. Setelah melewati kerumunan rekan sejawat yang ber-gosip, Yuni menghentikan langkahnya. Yuni menatap Zee, dan Zee pun juga menatapnya. Arti tatapan dari mereka masing-masing, sangat diketahui.

"Jadi... Karina?" tebak Zee yang dibalas cepat sebuah anggukan oleh Yuni.

"Gue pertama kali nebaknya sih, dia. Karena emang dia yang hobby nyinyir, dan satu-satunya orang yang gak suka, elo."

"Terus, gimana?" Zee bingung akan berbuat apa setelah ini. Ia menatap Yuni lama. Menunggu wanita itu memberi saran untuknya.

"Labrak aja, udah! Susah bener!" celetuk Yuni malas berpikir panjang. Setengahnya karena memang ia kesal dengan sikap Karina yang suka mencampuri masalah orang lain.

"Gila!" satu pukulan, Zee daratkan di lengan Yuni. "Gak mungkin lah, Yun! Gue suka gak tega-an sama orang."

"Emang dia juga gak tega-an orangnya sama kayak, elo?"

Zee terdiam berkat Yuni yang membalikkan ucapannya

"Ya... Ya, nggak, sih... Cuma, kan-"

"Cuma apa? Kasihan? Orang begitu mah, gak usah dikasihani. Kita datengin dia cuma mau minta penjelasan, atas dasar apa nyebar gosip perjodohan lo dan Dokter Milzam."

"Itu doang, kan? Janji ya, gak pakek kekerasan, apa lagi sampe jambak-jambakan rambut?" tanya Zee memastikan, pasalnya Yuni suka lupa dengan ucapan.

Yuni menghela napas kasar. "Iya... Janji. Yuk, lah! Kita cari dia."

"Eh, tapi, Dokter Arsy." pintu ruangan Dokter Kandungan itu, Zee bukan pelan. Ia mengintip sedikit, ingin memastikan keberadaan Dokter Arsy. "Aman, Yun! Beliau belom datang."

Jempolnya Yuni acungkan. "Sip! Kita pergi sekarang!"

°°°

"Lo mau ke mana, Zam?" Dokter Genta mencegah Milzam yang ingin melangkah pergi.

"Ke UGD lah, mau ngumpul laporan Hematemesis Bangsal."

"Eh, eh, tunggu dulu!" untuk yang kedua kalinya Dokter Genta mencegah kepergiaan Milzam.

"Apa lagi, Ta?" wajah Milzam lelah sekaligus lelah, menatap Dokter Genta yang terus menghalanginya.

"Liat laporan lo bentar."

"Buat apa? Jangan bilang lo mau nyontek, ya?! Heh, enak aja!" tumpukkan kertas itu, langsung Milzam jauhkan dari Dokter Genta.

"Nggak, Ya Allah... Lo suka bener seudzhonan, Zam. Gue itu cuma mau liat doang, gak ada niatan nyontek. Lo lupa pasien kita beda?"

"Oh, iya... Hehehe, maklum, gue lagi banyak pikiran." Milzam terkekeh malu, salah tingkah.

Setumpuk laporannya itu, kemudian ia berikan pada Dokter Genta. Setiap tulisan Milzam yang tertera, Dokter Genta baca dengan teliti.

"Ini pasien lo sebelumnya udah di anamnesis sama Dokter UGD?" tanya Dokter Genta yang pandangannya masih terfokus di laporan tersebut.

"Udah, katanya."

"Terus, Dokter jaga UGD bilang apaan aja ke elo atau ke pasien?"

"Katanya beliau tensinya lumayan tinggi. Itu sih, pengakuan dia pas gue anamnesis. Sebelum gue ke Bangsal juga, Dokter Hanif bilang Mbak itu ada Hipertensi. Cuma itu aja sih, yang bermasalah selain luka bakar di tangannya." jelas Milzam yang dibalas anggukan kecil dari Dokter Genta.

Lama mengamati, Dokter Genta menyahut, "Tunggu, Zam. Tadi, lo bilang dia ada riwayat Hipertensi?"

Milzam mengangguk membenarkan.

"Loh, tapi kenapa di sini tensinya rendah? Elo tulis 110/80?"

"Eh?" laporan itu, Milzam ambil paksa. Mata Milzam berjalan ke sana ke mari membaca setiap tulisannya. Di suatu detik, Milzam menepuk pelan keningnya. "Aduh... Ya Allah, kok bisa salah..."

"Salah cek tensi, kan?" tebak Dokter Genta dan dibalas anggukan lemah oleh Milzam. "Elo, sih... Gak fokusnya kelewatan. Untung belom di kumpul. Yaudah, ulang tensi sana!"

"KARINA!"

"MILZAM!"

Niat Milzam yang ingin kembali ke Bangsal terurungkan. Teriakan dua orang wanita yang ia kenal, membuat Milzam berbalik. Mata Milzam menatap empat orang wanita yang berjalan cepat menujunya, dari dua arah berbeda.

"Sumpah, Zam, Gue ngeliat mereka dateng serasa ngeliat Emak-emak demo." bisik Dokter Genta, merapatkan arahnya ke Milzam.

Kedatangan rombongan para wanita yang tergesa-gesa, Dokter Genta tatap ngeri. Terlebih wajah para wanita yang datang tidak santai. Dokter Genta takut, jika terkena sasaran amuk para wanita itu.

"Ada apa ini?" tanya Milzam hati-hati. Sebetulnya Milzam juga merasa ngeri, tapi ia berusaha tak menampakkan.

Dina mendorong tubuh Karina ke arah Dokter Genta. Beruntungnya Karina sempat menyeimbangkan tubuh. Kalau tidak, ia bisa saja jatuh mencium lantai.

"Tolong mulut Adek lo itu di jaga, ya?!" cerocos Dina yang menimbulkan kerutan bingung di dahi Dokter Genta. "Ternyata dia yang nyebarin gosip ke seantero Rumah Sakit!"

Lanjutan kata dari Dina, barulah Dokter Genta pahami mengapa Dina bisa semarah ini. Biasanya Dina masih bisa mengontrol emosi. Kali ini sepertinya stock sabar Dina telah menipi, hingga ia sampai membentak Karina.

Zee saja yang sebenarnya datang untuk berbicara mengenai Karina juga, merasa enggan mengeluarkan suara. Melihat suasana mood Dina yang tak baik, Zee ragu untuk menyapa wanita itu.

"Astaghfirullah, Dek... Kamu ya, yang nyebari gosip di Rumah Sakit ini? Kamu nguping pembicaraan Kakak sama Milzam, iya?"

Karina menggeleng dengan mata yang melotot. Tubuhnya sedikit menjauh. "Bukan, Baaanggg! Bukan gue yang nyebarin gosip iniii! Gila kalian semua, pada nuduh gue sembarangan!"

"Elo yang gila!" sembur Yuni yang menahan kesal dari tadi.

Saat mereka semua sibuk bertengkar menyalahkan Karina, pengeras suara yang terpasang di seluruh Rumah Sakit berbunyi. Suara seseorang yang berasal dari pengeras suara Rumah Sakit tersebut, menghentikan perselisihan antara mereka. Apa yang di sampaikan suara itulah yang sontak menghentikan perselisihan semua orang.

"Heh, heh... Kerja lagi loh, ya? Jangan gosipin anak saya mulu. Sesuai kata saya tadi, emang Zee bakal nikah sama Milzam, tapi jangan di gosipin juga. Tunggu aja undangannya. Ayo-ayo... Kerja lagi, kalo gak kerja saya potong gaji kalian semua."

"Dokter Faisal, udah! Berhenti! Anda buat malu saya, sumpah!"

Ciri khas suara itu sangat dikenali oleh setiap orang yang sempat bertengkar tadi. Itu suara pemilik Rumah Sakit ini. Faisal Muhammad Effendi membuat semua orang geger, akibat penyampaiannya di pengeras suara.

Sekilas terdengar celotehan Dokter Juna juga. Dokter berkaca mata itu tentu sangat malu, mendapati rekan kerja sekaligus sahabat seperti Faisal. Zee sebagai Anak pun terkadang malu, akan sikap bar-bar Papanya. Semakin tua, sifat Faisal semakin menjadi bagi Zee.

Ucapan Faisal barusan dapat mereka pahami, bahwa yang menyebari gosip bukan Karina. Melainkan Faisal sebagai dalang. Semua orang yang awalnya menyalahkan Karina, berbalik menatap bersalah wanita itu.

"Gue udah bilang bukan gue yang nyebari gosip ini, tapi gak satu pun dari kalian yang percaya! Termasuk Abang gue sendiri!"

Setelah itu, Karina berjalan pergi meninggalkan semua orang di sana. Kepergian Adiknya itu, Dokter Genta kejar. Diri Dokter Genta merasa bersalah, karena ikut-ikutan menuduh Adiknya sembarangan.

Sedangkan Dina sendiri, tampak diam mematung. Pikirannya sulit merespon apa yang terjadi. Terlalu banyak masalah yang menimpanya akhir-akhir ini. Seluruh kepala Dina terasa sakit, bahkan hatinya. Berdiri di antara Zee dan Milzam, dirasa tidak baik. Dina pun, memutuskan beranjak pergi sebelum hatinya benar-benar hancur.

"Maaf, saya harus kembali bekerja seperti apa yang Dokter Faisal ucapkan. Kalian berdua juga, cepet ikut bimbingan Dokter Arsy." sebelum pergi, Dina sempat menatap Yuni dan Zee.

"Dina!" Milzam yang melihat kepergian Dina, menyusul dari belakang.

Tinggal Yuni dan Zee yang masih berada di sana. Kedua orang itu juga diselimuti rasa bingung. Situasi ini terlalu sulit mereka cerna mentah-mentah.

"Seharusnya yang kita hujat itu Bokap lo, Zee." gumam Yuni.

"Iya, benar. Nanti pas di Rumah, tunggu aja dia. Habis beneran si Dokter Faisal sama gue."

°°°

Langkah Dina dapat Milzam hentikan. Milzam menggenggam erat lengan wanita itu, agar tak bisa pergi ke mana pun. Dina meronta-ronta melepaskan lengannya dari genggaman tangan Milzam.

"Milzam, lepas! Kamu itu harusnya malu, ngejar wanita lain! Kamu itu harusnya dengan Zee calon Istri kamu, bukan di sini bareng cewek lain!"

"Sekali lagi kamu bilang Zee calon Istri aku, gak akan aku lepasin lengan kamu selamanya!" ancam Milzam, sukses menghentikan aksi Dina yang meronta-ronta.

Dina menatap dalam mata Milzam. Seperti orang yang minta dibelas kasihi.

"Milzam, kamu tau gak? Kamu itu terlalu difusi buat aku yang terlalu osmosis. Kita gak akan pernah homeostasis. Jadi, berhenti ngejar atau pun deket-deket aku lagi! Mau kamu di pecat sama Dokter Faisal, karena ngeliat calon menantunya dekat cewek lain? Nggak, kan? Jaga perasaan calon istri dan calon mertua kamu, Milzam! Lepas!"

Tangan Milzam terasa lemas tak bertenaga, akibat ucapan pedas Dina. Maka dari itu, genggaman tangannya dengan mudah Dina lepaskan. Dina berjalan pergi meninggalkan Milzam yang mematung, tanpa berucap satu patah kata pun lagi.

"Tolong jangan buat aku hipotermia, karena sikap dingin kamu, Din." lirih Milzam, menatap hampa jalan di mana Dina mengarah.

°°°

Bersambung...

Assalamu'alaikum...
Jangan lupa vote dan comment-nya. Tolong hargai penulis, oke☺🙏. Oh, ya jangan lupa datangi lapak e-book "Jomblo Fisabilillah" dan e-book terbaru saya yaitu "Misteri Villa Kaca Kebun Teh". Bantu rate dan promote kalian juga, karena itu sangat membantu. Hitung-hitung pahala, kan😍?

Syukron yang udah bantu🙏
Wassalamu'alaikum...

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top