14. Pilihan Terbaik

HATI-HATI RANJAU TYPO DI MANA-MANA! HAPPY READING GUYS!

°°°

Isi dari thai tea itu berserakan di lantai. Semua tatapan sepenuhnya tertuju pada Dina. Dina yang mendapati tatapan dari seluruh orang, tampak diam membeku. Seolah ia bagaikan patung bernyawa. Lebih parahnya lagi, roh Dina tengah mengambang entah ke mana.

Pelupuk mata Dina terlihat membendung genangan air. Sedikit lagi akan tumpah, jikalau Dina berkedip sekali. Takut hal itu terjadi, Dina memilih untuk beranjak pergi dari sana.

"Ah, maaf membuat lantai Anda kotor, Dokter Faisal. Saya... Saya benar-benar tidak sengaja." telapak tangan Dina mengusap air mata yang akan tumpah secepat kilat. Sebentar ia berjongkok untuk memungut cup thai tea yang terjatuh.

Ia masukkan ke dalam kantong plastik, lantas segera berdiri. "Dokter Faisal, saya permisi pulang. Assalamu'alaikum."

Sempat Dina menatap Milzam beberapa detik sebelum melenggang pergi dari sana. Tatapan Wanita itu jelas sekali menyiratkan rasa sakit teramat dalam, dari sudut pandang Milzam.

"Dina, tunggu!" Milzam tanpa berpikir panjang lagi, mengejar kepergian Dina.

"Kamu mau ke mana, Milzam?!" teriakan sang Eyang tak diperdulikan Milzam.

Lengan Eyang di tahan Yuni. Yuni memberikan tatapan memelas. Dari tatapannya, Yuni memohon agar Eyang memberikan waktu berdua untuk Dina dan Milzam.

Sementara Zee merasa bingung dengan apa yang terjadi barusan. Ia bingung harus berbuat apa. Situasi di sekitarnya, Zee rasa tidak baik. Ada gejolak emosi yang kian memuncak.

"Papa, bisa jelaskan ke Zee, apa yang sebenarnya terjadi di sini?!" tuntut Zee. "Zee... Zee bahkan gak tau permasalahannya!"

Faisal menghembuskan napas. Dengan gerakan pelan, ia menyentuh telapak tangan anaknya. Sentuhan itu lambat laun berubah menjadi genggaman lembut.

"Papa sayang sama, kamu. Papa ingin kamu bahagia. Papa gak mau ngeliat kamu sedih terus. Papa dan Mama mencari solusi di mana pun, agar kamu bahagia. Dan... Ini solusinya, Nak!"

Berkali-kali kepala Zee menggeleng. Zee menatap tidak percaya, wajah Faisal yang memelas.

"Dengan menikah sama Dokter Milzam? Begitu, Pa?" tanya Zee lemah.

Berat hati, Faisal mengangguk mengiyakan. Anggukan Faisal, menimbulkan seulas senyuman miris di bibir Zee. Zee beranjak berdiri dari posisi duduknya. Sebelum ia melangkah pergi, Zee berucap satu hal,

"Asal Papa tau, bukan begini caranya untuk membuat Zee bahagia."

Melihat Zee yang melangkah menjauhi ruang tamu menuju kamarnya di atas, bergegas Sandryna menyusul. Dua wanita itu pergi, Faisal juga ikut menyusul.

"Saya permisi sebentar," terlebih dahulu Faisal meminta izin kepada keluarga Milzam. Untung saja, keluarga Milzam mengerti.

Mereka tahu, Zee membutuhkan ruang untuk berpikir. Keputusan ini begitu mendadak baginya.

Tersisa Yuni, Bundanya dan Eyangnya yang tampak gelisah. Yuni menoleh ke arah dua orang itu. Otaknya masih sulit percaya, dengan keputusan yang bunda dan Eyangnya buat. Menurut Yuni pribadi, mereka tak memikirkan ketiga hati orang itu.

"Bunda udah membuat keputusan yang menyakiti tiga hati." ucap Yuni datar. Tatapannya lurus ke depan. Tak terarah ke Bundanya, mau pun Eyangnya.

"Bukan Bunda kamu, tapi ini ide Eyang." sahut Eyangnya lantang. "Zee butuh sosok seperti Milzam, dan Milzam pun butuh sosok Zee. Mereka pasti bahagia,"

"Tau apa Eyang tentang kebahagiaan?" sepenuhnya tatapan Yuni mengarah lurus ke Eyangnya. "Ini bukan kebahagiaan, Eyang... Tapi, ini kesengsaran bagi mereka."

"Yuni, kamu gak tau apa yang telah Eyang rencanakan bagi mereka. Rencana ini baik, jadi kamu diam saja. Dina gak baik buat Milzam." Eyang membuang muka. Perkataan akhir Eyang, Yuni rasa melenceng dari topik pembicaraan.

Tidak baik apanya Dina untuk Milzam? Dina orang baik yang salah satunya pernah Yuni kenal. Tapi dari dulu, opini Eyangnya mengenai Dina selalu buruk.

"Astaghfirullah, Eyang, Mbak Dina itu orang yang baik! Justru Eyang itu yang gak baik!"

"Yuni, jaga kata-kata, kamu!" bentakan ini berasal dari Bundanya.

Mulut Yuni langsung tertutup rapat. Suasana hening, berkat Bundanya yang membentakya. Yuni menggeleng kepala berkali-kali. Ia tersenyum miris.

"Oh, sekarang Yuni tau... Kenapa kalian melakukan perjodohan ini." berkali-kali Yuni mengangguk. Senyuman miris itu masih melekat di bibirnya. "Bunda, denger ini... Meskipun Ayah udah meninggal, Kak Milzam masih mampu membiayai hidup kita."

Merasa tak tahan, Yuni memilih keluar. Ia tidak pergi ke mana pun, melainkan duduk di dalam mobil. Emosinya meluap-luap. Meskipun rumah mewah Faisal dingin akibat adanya AC, namun tidak bisa meredakan rasa panas dalam hati Yuni.

°°°

Aku berjalan cepat menuju kamarku. Sedikit aku menoleh, rupanya kedua orang tuaku itu mengikuti. Ingin aku banting pintu, tapi itu terasa tak sopan untuk di lakukan.

Jadinya, aku duduk di tepi kasur. Membiarkan Papa dan Mama masuk. Mama yang datang pertama, mendekatiku. Tangannya tampak ragu menyentuh pundakku.

"Zee... Mama sangat mengerti perasaan, kamu." tangannya pun menyentuh sekarang di pundakku.

"Kalo Mama tau, kenapa perjodohan ini di langsungkan?"

"Karena kebaikan, kamu." celetuk Papa yang sudah berdiri di ambang pintu. Aku memberi tatapan sarkastik untuknya.

"Apanya yang kebaikan? Kebaikan buat kalian, nggak untuk Zee! Kok, Papa gak minta persetujuan dari Zee dulu!"

"Untuk apa Papa minta persetujuan dari, kamu?" sela Papa. Aku sempat dibuat terdiam, namun hanya sesaat.

Sedikit aku kesusahan untuk menjawab, sebab apa yang Papa katakan benar. Aku ini Anaknya. Dia itu orang tuaku. Pilihannya mau itu buruk atau baik, pastinya Allah me-ridhoi.

"Karena... Karena Zee kan, anak papa!" jawabku gugup.

Ku dengar, ia tertawa samar di seberang sana. Hei, selalu saja ia tertwa! Apa dia bisa sedikit serius, di situasi genting seperti ini. Suara langkah kaki mendekat ke arahku. Tak lama, tubuh Papa sudah menjongkok. Jadi, ia dapat leluasa melihat muka ku yang menunduk.

"Kamu tau... Kami pernah berada di posisi, kamu."

Kepalaku seperti bergerak sendiri. Aku lansung mendongak menatapnya yang tersenyum manis. Dia mengusap kepalaku yang tertutupi hijab.

Maksud ucapan Papa, aku ketahui benar artinya. Jadi mereka ini...?

Eh?

"Papa sama Mama... Di jodohin?" mereka berdua bergantian aku tatap. Aku pikir ini bercanda, tapi tidak. Papa yang mengangguk, menghempaskan rasa ketidak-percayaanku tadi.

"Eh? Kok?" mulutku sulit untuk mengrluatkan kata-kata. "Tapi... Tapi, kok... Kalian bisa romantis?"

"Bisa, karena Allah." jawab Mama tenang.

"Tapi, pastinya awal pernikahan Mama dan Papa gak romantis, kan? Iya, kan?" aku masih belum percaya. Mengapa aku baru mengetahui hal ini sekarang?

"Emang nggak." Papa berdehem canggung. Sekilas ia melirik Mama. "Tapi, cinta ini tumbuh seiring berjalannya waktu. Sering melihat keberadaan Mama kamu, ngebuat Papa baper sendiri."

Alis Mama terangkat. Mama terkekeh mendengar pengakuan Papa. "Oh, ya? Dokter Faisal bisa baper juga ternyata. Saya pikir, hati anda sekeras batu."

"Ya, nggak gitu juga... Gila aja, hati saya batu. Emang saya manusia apaan?" Papa menggaruk kepala salah tingkah.

"Manusia batu berjalan." jawabku asal, mendapatkan colekan telunjuk Papa di pipi.

"Berarti kamu anak manusia batu berjalan, dong!"

"Ppffftt... Ahaha!"

Mendengar jawaban Papa yang semakin melenceng, membuat aku dan Mama tertawa bersamaan. Papa yang melihat kami berdua tertawa, jadi ikut tertawa juga.

Eh, eh!

Tunggu dulu!

Bukannya tadi perasaanku sedang tidak baik? Maksud hati ingin marah, tetapi mengapa ujungnya malah tertawa penuh bahagia? Lantas, pesan moral apa yang ku dapat? Padahal itu yang ingin aku dengar.

Ah, sudah, lah!

Dari dulu, aku memang begini. Egoku selalu kalah dengan keharmonisan keluarga ini. Mengenai perjodohan, mungkin bisa di bahas belakangan? Masih ada waktu bagiku untuk membujuk Papa dan Mama. Bisa jadi, mereka berubah pikiran.

Iya, kan?

°°°

Aksi kejar-kejaran Dina dan Milzam, berhenti di blok B. Sampai selama itu mereka berlari. Jarak blok B dan blok C lumayan jauh. Sebab cinta, jadi terasa dekat.

"Udah! Pergi sana! Kamu itu bentar lagi mau jadi suami orang, jadi, please berhenti ngejar cewek lain!" langkahnya ingin Dina lanjutkan, tapi Milzam menggenggan lengannya. Kepergiannya tertahan.

"Apaan?! Aku gak akan jadi suami orang! Aku itu cuma jadi suami, kamu!"

"Kalau takdir Allah maunya kita pisah dengan cara begini, kamu bisa apa, Milzam?!" intonasi suara yang dikeluarkan Dina begitu tinggi, hingga mengusik ketenangan seseorang.

Orang itu Al Debran Smith. Ia keluar dari rumahnya dengan wajah masam. Al melangkah mendekati kedua orang yang tengah bertengkar itu.

"Mbak, Mas, kalo mau berantem, jangan di sini. Di ring tinju aja."

Beberapa detik, Milzam menatap kehadiran Aldebran di tengah-tengah pertikaian mereka. Lantas setelahnya, ia menatap Dina lagi. Kehadiran Aldebran, serasa angin yang hulu-hilir saja.

"Din, kita bisa ngomong masalah ini baik-baik. Aku gak——"

"Yeuw, gue malah di kacangin." untuk yang kedua kalinya, Aldebran memutuskan ucapan Milzam.

Mata Milzam secepat kilat mengarah tajam ke Aldebran. "Anda bisa diam? Atau bisa pergi? Ganggu privasi orang."

"Aing?" Aldebran menunjuk dirinya sendiri. Wajah polos Aldebran, membuat Milzam kesal.

"Iya, Anda. Jadi, siapa lagi? Cuma Anda yang ada di sini."

Kepala Aldebran mengangguk sebagai balasan. "Oohh... Saya kira Joni."

"Joni siapa?" tanya Milzam menautkan alisnya.

"Burung peliharaan Bokap saya. Kemarin baru aja meninggal. Almarhum Joni, buat Bokap saya frustasi. Malam ini, Bokap saya ngadain yasinan untuk mengenang arwah Joni. Jadi, saya undang kalian, ya? Bisa dateng gak, nanti malam?"

"Akh! Lu ganteng-ganteng gila!" celetuk Dina yang otaknya merasa panas mendengar celotehan gila dari Pria tampan bernama Aldebran.

Dina berlari. Pergi meninggalkan dua orang lelaki di tengah jalan komplek blok B. Sosok Dina sudah benar-benar hilang, sementara Milzam tampak tidak bergerak sedikit pun mengejar.

Ia hanya menghela napas panjang. Keningnya terasa berdenyut. Hari ini sangat membuat fisik dan batinnya tersiksa. Milzam menatap lurus Aldebran di hadapannya. Kedua tangannya, masuk ke dalam saku. Posisi Milzam, bisa dikatakan cool.

"Jam berapa yasinan-nya?"

"Mau dateng?" Aldebran sedikit terbelalak.

"Nggak, mau ngajak Anda baku hantam."

"Oohh... Masih waras ternyata."

°°°

Bersambung...

Astaghfirullah... Kenapa ceritanya malah absurd begini?! Duh, maaf banget ya, kalo lama update, sekalinya update malah gaje begini. Seharusnya ini cerita serius dan menguras air mata, tapi apa daya jiwa recehku muncul seketika. Jadinya... Nih, part, hancur begini deh🙁😢.

Sekali lagi, mohon maaf ya. Semoga suka, dan tetep VOTE cerita MILZAM dan ZEE. Untuk masalah update cerita yang suka ngaret, saya gak tau harus berbuat apa. Tugas makin numpuk di kelas 2 SMA ini. Gak mungkin kan, saya bilang ke guru saya untuk nggak ngasih tugas? Gak mungkin kan, saya nggak belajar pas ada ulangan? Jadi, mohon kemakluman dari kalian readersku yang tersayang.

Dan, oh, ya! Nanti malam akan ada satu kejutan untuk kalian. Di tunggu yah, notifnya. Semoga suka juga dengan kejutannya❤

Syukron...

❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top