13. Obat Nyamuk
HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA! HAPPY READING GUYS💓
°°°
Ya Rabb...
Angkatlah beban hati dan kekhawatiranku saat ini. Tolonglah tenangkan pikiranku untuk selalu menerima ketetapan-Mu, bahwa yang menjadi milikku tidak akan pernah hilang. Dan yang hilang sekalipun, akan digantikan dengan yang lebih baik.
°°°
Pernahkah kalian membayangkan, berada di tengah-tengah sepasang kekasih yang sedang dimabukkan asmara? Tentu saja kalian yang berada di posisi itu, di pandang sebagai orang ketiga. Itu kata kasarnya. Jika kata halusnya, perantara. Atau yang paling menyakitkan, obat nyamuk.
Tak pernah sekalipun aku membayangkan berada di posisi naas itu. Namun nyatanya, takdir seolah mengajakku bercanda. Posisi itu, kini aku tempatkan. Aku duduk di tengah-tengah, menatap sepasang kekasih di depanku ini. Mereka tampak mesra dan bahagia sekali. Saling suap menyuapi makanan.
Sementara aku? Hanya duduk diam membisu.
"Loh, Zee, kenapa makanannya gak dimakan? Gak enak, ya?" Mbak Dina rupanya menyadari diriku yang sedikit pun, belum menyentuh makanan.
Ngomong-ngomong soal makanan, kami sekarang sedang berada di sebuah restoran. Katanya, ini tempat favorite Dokter Milzam dan Mbak Dina sering kali berjumpa. Ini kali pertamanya aku menginjakkan kaki di Restoran langganan mereka. Sebelumnya aku tak pernah ke sini. Perdana kemari, karena Mbak Dina memaksaku ikut.
Dia berkata, sebelum ke sini...
Flashback On...
"Ya ampun Zee, saya seneng banget! Gak nyangka, kalo Milzam bisa seromantis ini!" dia menghela napas panjang. Menatap cincin pemberian Dokter Milzam yang tersemat manis di jemarinya. Senyuman tak lekang pudar dibibirnya. "Akhirnya... Sekian lama renggang, hubungan kami bisa baik lagi." sambungnya.
Aku yang melihat dia tersenyum bahagia, turut merasa kebahagiaan yang ia rasa. Dari sini, Mbak Dina yang semula kembali hadir. Mbak Dina yang memberikan setuja kebahagiaan kepada setiap orang.
"Ini pasti karena kamu, Zee," dia menatapku sendu.
Alisku mengkerut. Bingung dengan maksud ucapannya. Karena aku? Maksudnya apa?
"Hah? Maksudnya apa yah, Mbak?"
"Iya, karena, kamu. Pasti kamu yang membujuk Milzam buat nemui saya di rooftop. Makasih, ya?"
"Eh?" aku semakin bingung.
Sejak kapan pula, aku menyuruh Pria dingin berhati batu itu menemui Mbak Dina? Tidak pernah! Itu mungkin murni keinginannya tersendiri.
Cepat-cepat aku meralat, "Nggak kok, Mbak. Bukan, gitu----"
"Udah-udah!" selanya, membuatku terdiam, tak jadi melanjutkan ucapan. "Sebagai balasan terima kasih, saya akan ajak kamu ke suatu tempat. Tempat yang bagus deh, pokoknya. Kamu pasti belom pernah ke sana."
Mbak Dina beranjak berdiri. Otomatis aku pun berdiri, untuk mengikuti Mbak Dina yang sepertinya hendak melangkah pergi.
"Loh, loh, Mbak? Pergi ke mana maksudnya?"
"Ada, deh... Tunggu aja nanti, pas pulang. Kamu tunggu di depan pos Satpam, ya? Saya dan Milzam yang akan jemput." tiga detik, lantas ia berbalik menatapku sebelum melangkah pergi keluar pintu. "Oh, ya, kamu ke sini pakek mobil?"
Dengan bodohnya aku malah menggeleng. Gelenganku menjadi jawaban atas pertanyaannya. Mbak Dina pun tersenyum senang. "Bagus! Tunggu di pos Satpam, oke? Tenang aja, nanti saya yang akan izinin kepergian kamu dengan Dokter Faisal. See you again, Zee... Bye, bye..."
Flashback Off...
Begitulah ulasan tragedi, mengapa aku bisa berakhir di sini. Sangat tragis. Ku pikir, ini akan menyenangkan. Padahal sebelum pergi, aku berusaha meyakinkan diriku, ini akan menjadi perjalanan yang menarik. Nyatanya, jauh sekali dari dugaan ekspetasi.
"Zee?"
Suara seseorang menarik nyawaku dari lamunan. Mbak Dina dihadapanku menatap khawatir. Telapak tangannya mengibas ke sana ke mari tepat di depan wajahku.
"Kamu gak apa?" tanyanya. "Saya dari tadi manggil kamu berkali-kali, Zee, tapi gak ada respon."
Benarkah? Berarti seberapa lama aku larut dalam lamunan?
"Oh, nggak, Mbak. Gak apa-apa." jawabku seadanya.
Sepertinya Mbak Dina kurang puas dengan jawabanku, namun ia berusaha menghempaskan hal itu. Ia kembali berkutat pada aktivitas awalnya. Bercengkrama ria dengan Dokter Milzam.
"Jadi, Mbak... Kapan aku bisa nerima undangan kalian?" tanyaku mulai berani buka suara. Tak enak pula hanya berdiam diri. Seakan aku ingin menjauh, agar tidak di anggap ada.
Mbak Dina yang mendapati pertanyaanku, memberi sikutan kepada Dokter Milzam. Wanita itu tersenyum malu. "Belum tau, ya. Eum, mungkin setelah Milzam lamar saya dulu. Datangin kedua orang tua saya."
"Oh, jadi Dokter belum ngelamar Mbak Dina?" aku terbelalak mendengar ini. Ku kira, sudah dari lama terciptanya lamaran. Tinggal menunggu proses pernikahan.
"Belum," sahut Dokter Milzam. "Gimana mau ngelamar, saya aja belum pernah ketemu orang tua Dina."
"Lah?" pengakuan Dokter Milzam, semakin membuatku bingung.
Terlihat wajah mereka menegang. Ah, ini juga salahku. Ekspresiku yang terlalu terkejut, yang bisa jadi membuat mereka tak nyaman seperti ini. Segera aku menormalkan ekspresiku. Terbesit rasa tak enak kepada Mbak Dina. Wajah Wanita itu terlihat tak nyaman.
Lama berbincang, kami memutuskan untuk pulang. Hari sudah sangat sore. Sekitar jam 5 sore. Sebelum pulang, Mbak Dina menyuruh Dokter Milzam memberhentikan mobil. Beliau berniat membeli thai tea. Melihat Mbak Dina yang membeli minuman dingin favoritku itu, aku jadi ikut membelinya. Sekalian membeli untuk Mama dan Papa.
"Mbak," panggilku, setelah kami selesai memesan.
"Ya?"
"Maaf soal tadi."
"Yang mana?" tanyanya menautkan alis bingung.
"Yang bagian lamaran. Aku bener-bener nggak tahu, kalau kalian belum lamaran."
Entahlah. Aku masih merasa tak enak dengan kejadian tadi. Ku pikir, aku harus meminta maaf.
Ku dengar, dia tertawa. Samar-samar memang, tapi masih dapat aku dengar.
"Kenapa minta maaf? Saya gak memper-masalahkannya, kok."
"Serius, Mbak?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk yakin. "Alhamdulillah, ku pikir, Mbak Dina marah. Abisnya sih, ekspresi Mbak dari tadi diam terus di mobil."
"Oohh... Saya diam, karena sakit perut. Efek haid." jawabnya terkekeh.
Hah... Syukurlah. Aku merasa legah, mengetahui Mbak Dina tidak marah. Wanita itu memang baik hati. Semoga persahabatan kami tetap seperti ini.
Semoga...
°°°
Di perjalanan, kami mengobrol banyak hal. Tentang bagaimana Mbak Dina dan Dokter Milzam pertama kali bertemu. Sebuah cerita yang seru. Terlebih melihat ekspresi sepasang kekasih itu yang sangat bahagia, ketika menceritakan kisah masa lalu bagaimana bertemu.
Aku yang berada di jok belakang, hanya diam menyimak. Sekali memberi tawa menimpal. Itu saja. Selebihnya diam.
"Eh, dulu aku ngeliat kamu itu kayak sombong banget! Di ajak ngomong cuma diem!" seru Mbak Dina, di balas kekehan kecil dari Dokter Milzam. Pandangan Pria itu lurus dan fokus menyetir, namun tetap menyimak pembicaraan Mbak Dina.
"Ya, gimana... Kamu ngajak ngomongnya pas aku lagi sibuk." Dokter Milzam membalas. Memberi pembelaan.
"Aneh... Kok bisa, kita jadi kayak gini."
"Kayak gini gimana?" tanya Dokter Milzam.
"Kayak... Kita bisa ada rasa. Kok, bisa? Padahal dulu kita selalu berdebat. Masalah sepele aja, bisa jadi besar bagi kita."
Aku yang mendengar obrolan mereka kali ini, merasa penasaran. Sontak aku menceletuk dari belakang, "Takdir."
Sedetik dari itu, kepala Mbak Dina menoleh ke belakang. "Eh, akhirnya ngomong juga dia."
Dan aku membalas dengan senyuman tipis.
"Kamu sendiri kapan, Zee?" tiba-tiba Mbak Dina memberiku pertanyaan yang membingungkan.
"Maksudnya?"
"Kapan punya pacar?"
Ciiittt....
Bersamaan kami terdorong ke depan, sebab Dokter Milzam yang menginjak rem mendadak.
"Nggak!"
"Ha?" Mbak Dina menatap bingung Dokter Milzam yang berceletuk aneh, setelah menginjak rem. Aku pun sama seperti Mbak Dina.
Bingung akan sikap Dokter Milzam.
"Kamu kenapa, Zam?" lontaran pertanyaan Mbak Dina yang tampak khawatir, dibalas gelengan kepala oleh Dokter Milzam.
Pria itu kembali pada ekspresinya semula.
Gelengan kepala dari Dokter Milzam barusan, menjadi akhir dari perbincangan kami. Kesunyian-lah yang menemani perjalan kami, sampai menuju Rumahku.
°°°
Sesampainya di halaman rumah, kami dibuat kebingungan. Apa lagi Dokter Milzam. Sebenarnya aku bingung, apa yang menyebabkan kedua wajah sepasang kekasih di sebelahku ini bisa seterkejut itu. Berbeda dengan kebingunganku. Aku bingung, sebab terdapat sebuah mobil yang teparkir di halaman Rumah. Aku sama sekali tak mengenali mobil itu milik siapa.
"Milzam, bukannya ini mobil Bunda, kamu?"
Sejenak Dokter Milzam menatap keseluruhan Mobil itu. Barulah ia mengangguki pertanyaan Mbak Dina. "Iya, ini mobil Bunda."
"Tapi, kenapa ada di rumah Dokter Faisal?" Mbak Dina bertanya lagi.
Lantas kedua orang itu mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku yang ditatap dengan sejuta pertanyaan dari mereka, memasang wajah polos.
"Dokter Faisal kenal sama Bunda saya, ya, Zee?" Dokter Milzam mulai bertanya.
"Saya bener-bener gak tau, Dok. Coba kita cek aja ke dalam." saranku yang diangguki mereka kompak.
Di saat langkah kami mulai mendekati ruang tamu, suara seorang wanita pertama kali terdengar jelas. Suaranya serak. Aku tebak, ini suara seorang Wanita tua.
"Itu suara Eyang." ucap Dokter Milzam.
Ketika kami benar-benar sudah sampai di ruang tamu, semua orang yang berada di sana menyambut dengan senyuman. Ada Mama, Papa, dua orang Wanita yang satunya seumuran dengan Mama, yang satunya lagi sudah Tua duduk di kursi roda. Lalu, ada Yuni juga? Tapi, kenapa raut wajah Yuni terlihat murung?
"Eh, Zee, udah pulang? Ayo, sayang. Sini, duduk dekat Papa." tangan Papa memberi intruksi, agar aku duduk di kursi bersebelahan dengannya.
"Pa, ada apa ini?" tanyaku, perlahan mendekatinya.
"Oh, Papa lupa kasih tau, ya?" Papa berdehem. Menunjuk dua wanita dihadapannya. "Beliau ini Ibu dan Eyangnya Milzam. Kalau Yuni, pasti kamu sudah kenal. Kebetulan pula tersangkanya datang. Jadi kita enak mendiskusikan rencana ini."
"Diskusi rencana? Rencana apa?"
"Perjodohan kamu dan Milzam, lah!"
"APA?!"
Selepas mendapati jawaban Papa, sungguh kami berdua dibuat melotot.
Ya Allah, apa-apaan ini?!
Kantong plastik yang Mbak Dina genggam berisi thai tea jatuh ke bawah, begitu jawaban Papa terdengar.
°°°
Bersambung...
Nah, loh... Apa-apaan, nich?!😆
Jangan lupa Vote dan Comment-nya, jika kalian sayang sama Author nih cerita!
Eh, maksudnya, jika kalian sayang sama nih cerita:v
Jangan lupa baca Al-Qur'an, walaupun satu ayat saja di setiap harinya💓
❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top