12. Antara Tiga Hati
HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA. MAKLUMLAH, NAMANYA JUGA MANUSIA:V
And, Happy reading guys🤗
°°°
Tidaklah Allah mendatangkan suatu ujian yang menyita air mata, luka lara, lelah dan sakit hati kecuali ada kebaikan setelahnya
°°°
Aneh rasanya. Jika di pikir-pikir, seminggu yang lalu aku dan Dokter Milzam bertengkar hebat. Sampai kami tidak berbicara, bahkan saling menatap pun enggan. Lantas sekarang? Aku dan Dokter Milzam malah berbicara berdua di meja yang sama.
Kami berdua sedang beristirahat di jam makan siang. Sepakat bertemu di Cafe coffee kemarin. Cafe di mana aku dan Dokter Milzam pernah menyelamat dua nyawa manusia. Semenjak kejadian itu, Cafe ini seolah menjadi tempat favorite kami.
"Hubungan Dokter sama Mbak Dina, jadinya gimana? Sudah mulai membaik?" percakapan ini, aku yang memulai setelah bartender menghantarkan Coffee kami di atas meja.
Cangkir coffee yang sedang ia sesap, mendadak berhenti. Lalu sedetiknya, ia melanjutkan menyesap Coffe tersebut. Cangkir coffee itu, ia taruh di atas meja. Barulah pertanyaanku ia jawab hati-hati. Berusaha tenang.
"Masih kayak kemarin, belum ada perubahan. Kami berdua, gak ada yang berani ngomong satu sama lain."
"Sebaiknya Dokter deluan yang ngalah," saranku. "Karena Wanita itu gengsinya tinggi. Dia mau di bujuk dulu."
"Misalnya?" pertanyaan Dokter Milzam spontan membuat kedua alisku mengkerut. Membingungkan untuk di cerna.
"Misalnya apaan?" tanyaku balik, dan dia menatapku lelah.
"Saya bujuk dia, harus pakek sesuatu, kah? Misalnya bunga, coklat, atau sejenisnya?"
"Oh..." aku mengagguk paham. Bahuku keduanya menghendik. "Gak tau juga, sih. Meskipun Wanita sama..., sama-sama mudah ngambekkan, cemburuan, tapi mereka punya keinginan berbeda untuk di ambil hatinya."
"Kalo kamu sendiri? Di bujuk pakek apaan, kalo ngambek?" alis Dokter Milzam terangkat satu. Menunggu dengan sangat, jawaban dariku. Dagunya maju dua senti, saat memberikan pertanyaan.
Aku mendengus. Kemarin, aku pernah marah dan kesal dengannya. Selama berhari-hari, tapi ternyata dia tidak mengetahui kemarahanku bisa reda karena apa? Sungguh, kepekaan manusia satu ini di bawah nol. Minus ku rasa.
"Loh? Harusnya Dokter tau, lah. Kan, kemarin saya sempet marah. Saya sekarang gak marah lagi, Dokter bujuk pakek apaan?" tanyaku balik. Berupaya memancing. Ingin tahu jawabannya bagaimana.
"Harus ada kecelakaan dulu,"
"Astaghfirullah!" celetukku spontan, mendengar jawabannya. Jangan sampai ucapannya menjadi kenyataan lagi. Bisa gawat!
"Dok, tarik ucapan Dokter cepat!" desakku memberi peringatan.
Dia memasang wajah bingung. "Tarik apa?"
"Ya Allah!" kedua telapak tanganku saling mengepal. Dokter Milzam berwajah polos. "Tarik ucapan Dokter tadi. Yang bagian ada kecelakaan!" aku menekan setiap ucapan.
"Oh... Oke, tarik!" jawabanya tenang. Sangat tenang, tidak ada beban! Lalu, dia kembali menyesap Coffee-nya. Seperti biasa.
"Zee," panggilnya pelan, tapi mampu mengagetkanku yang melamun entah memikirkan apa.
"Ya?"
"Maaf, saya ingin bertanya sesuatu yang agak sensitive bagi kamu di rasa." ucapannya berjeda. Cukup lama. Tampak ia menimang-nimang dengan benar, ucapan yang akan ia suarakan. "Kenapa... Kamu sangat takut dengan Lelaki? Apa ada trauma berat yang pernah kamu alami, Zee?"
Deg!
"Kenapa... Harus pertanyaan ini?"
"Tak adakah pertanyaan lain?"
Sontak kedua tanganku bereaksi akibat pertanyaannya. Keduanya saling bergemetar hebat. Cepat-cepat aku selipkan dua tanganku ini ke dalam saku baju. Sengaja aku sembunyikan agar Dokter Milzam tak tahu.
Menit demi menit berlalu, namun aku tak kunjung memberi jawaban. Di situ-lah, Dokter Milzam bersuara. Mengganti topik pembicaraan.
"Ah, maaf! Saya terlalu lancang bertanya seperti itu." terlihat wajahnya memancarkan rona malu, bersamaan dengan rasa bersalah.
Aku menunduk, tidak menatapnya. Menjawab pun tidak. Maka dari itu, mungkin saja ia merasa tidak enak.
"Rasanya sakit, Dok, setiap kali saya harus menceritakan masa lalu kelam itu. Dia datang dan seenaknya merampas hal berharga yang saya miliki." ada sesuatu yang mendorongku untuk bercerita. Batinku bergejolak hebat dalam raga, sehingga aku mau mengucapkan sepatah kata.
"Zee, kamu percaya gak, Allah yang Maha Kuasa di atas segala sesuatu?" tanyanya dan aku mengangguk. "Allah mengetahui segala apa yang akan terjadi baik maupun buruk, maka tidak akan ada yang bisa mengambil sesuatu darimu kecuali atas seizin Allah. Dan tidak pula sesuatu datang atau pergi darimu kecuali atas takdir Allah."
Ini nasihat. Aku tahu itu. Sudah banyak orang yang memberi motivasi, namun hati ini menolak mentah-mentah. Tidak ada ketenangan. Masa lalu kelam itu terus mengejarku. Mungkin dia akan berhenti, saat aku telah menutup mata.
°°°
Sepasang Suami Istri tampak terduduk di sebuah Cafe Coffe. Suaminya sedari tadi tak henti-henti melirik ke seberang di mana Wanita dan Pria sibuk mengobrol. Sedangkan istrinya yang berhadapan, memasang wajah was-was. Wajah ketakutan, jika andai kata mereka tertangkap basah sedang memata-matai.
"Mas... Mas Faisal..." panggil Sandryna berbisik. Mereka berdua saling menutupi wajah satu sama lain menggunakan buku menu. Pura-pura membaca.
"Diem, Sandryna, nanti ketahuan." Faisal berdecak memperingati. Di sini, Faisal yang bertugas memata-matai.
"Mas, ini gak bener. Dosa loh, kita memata-matai Anak sendiri."
Faisal berdecak, bersamaan ia memutar bola mata malas. "Bukan memata-matai, San, please..."
"Terus apa?"
"Mengamati. Me. Nga. Ma. Ti." tekan Faisal.
"Apa bedanya, Mas! Sama aja!" protes Sandryna kesal. Terlebih penekan kata yang di ucapkan Faisal, seperti tak mau kalah. Padahal dia salah.
"Bedalah! Beda dari segi bahasa!"
"Astaghfirullah, tapi sama artian, Mas!" ralatan Sandryna ini, di balas hendikkan acuh dari Faisal.
Layaknya Faisal yang biasa. Pria itu selalu keras kepala. Mementingkan pendapatnya di atas segala-galanya.
"Btw, mereka makin hari makin dekat. Kalo begini, San, rencana kita bakalan sukses." Faisal senyum-senyum sendiri, memata-matai Sang Anak dari kejauhan.
Kebetulan posisi duduk Zee berhadapan di seberang Faisal. Sementara Milzam, membelakangi Sandryna yang duduk berhadapan dengan Faisal.
"Tapi, Mas denger sendiri kan, tadi? Zee masih trauma dengan Lelaki. Sekuat apa pun kita memaksakan kehendak, Zee tetap pada pendiriannya yang semula."
Faisal mengangguk. Membenarkan apa yang Sandryna ucapkan. "Setidaknya dengan rencana perjodohan kita, lambat laun Zee akan terbiasa. Rasa traumanya bisa jadi menghilang seiring berjalannya waktu."
Sandryna berdecak. Kesal akan sifat keras kepala Suaminya yang sudah mendarah daging.
"Terserah Mas aja, deh!"
Sebagai Istri, Sandryna harus menuruti segala ucapan Suami. Contohnya ini.
°°°
Dina baru saja keluar dari ruangannya, namun tangan seseorang membuat tubuhnya tertarik. Seseorang yang Dina telah ketahui siapa, menarik ia menuju rooftop. Dina tidak tahu maksud seseorang ini menariknya. Dina ingin memberontak, tapi sulit.
"Milzam, lepas! Kamu apa-apaan sih, narik aku?!" Dina memperotes. Lengannya ia hentak-hentakkan, berharap bisa terlepas. Sayangnya Milzam semakin mengeratkan genggaman.
Milzam tidak menjawab. Dia terus menarik Dina. Melangkahi satu persatu anak tangga yang menuju rooftop Rumah Sakit berada. Sampailah mereka di tempat tujuan. Semilir angin menyambut kedatangan dua orang itu.
"Ngapain kamu bawa aku ke sini?" tanya Dina bingung. Pandangannya mengedar ke segala penjuru arah.
"Sekali lagi aku mau minta penjelasan dari, kamu."
Alis Dina mengkerut bingung, mendengar ucapan Milzam itu. "Penjelasan apa?"
"Tentang hubungan kita,"
Deg!
Jantung Dina terasa berhenti berdetak. Raut wajah Milzam perlahan berubah. Dari yang semula datar, menjadi sayu. Menatap Dina penuh permohonan. Satu tangannya yang masih digenggam Milzam, Dina tatap.
"Mau di bawa ke mana hubungan kita ini?" suara Milzam sangat pelan. "Apa aku harus jadi Muscle spindle dulu, biar hubungan kita gak renggang terus menerus?"
Detik demi detik berlalu, Dina pun memberi respon. Kepalanya menggeleng pelan. Tatapannya kosong, menatap tangannya yang digenggam Milzam erat.
"Aku gak tau..." jawab Dina lirih.
"Din, please..." dua telapak tangan Milzam, kini menggenggam dua telapak tangan Dina. "Aku cuma ingin keseriusan dalam hubungan kita! Gak sulit, Din!"
Dina mulai kesal. Wanita itu lantas menyentak dengan kasar genggaman tangan Milzam, hingga terlepas. "Lalu, kamu maunya apa?!"
"Nikah! Kita bawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius!"
Di saat itulah, Milzam berlutut. Membuka sekotak cincin yang pernah ia perlihatkan pada Dina. Genangan air semakin banyak di pelupuk mata Dina, melihat kejadian ini terulang lagi.
"Kamu gak inget? Ini hari aniversary kita yang ke 3 tahun..." bertepatan dengan ucapan Milzam ini, bola mata Dina melebar.
Sungguh, dia tidak ingat. Seumur hidupnya menjalin hubungan dengan Milzam, ini adalah hal pertama hari aniversary yang ia lupakan. Hati Dina merasa bersalah berkatnya.
"Tepat di hari ini pula, aku ingin kita segera mengakhirinya. Kita nikah..., ya?" Milzam menatap Dina penuh harap. Menunggu jawaban yang Dina berikan.
"Aku... Aku gak tau harus jawab apa..."
"Kenapa? Sebenarnya apa yang kamu ragukan?"
"Aku... Aku takut aja..." Dina menggigit bibir bawahnya. "Aku takut gak bisa jadi Istri yang baik buat, kamu. Aku takut kecewain, kamu."
Milzam berdiri tegap dari posisinya. Ia menatap lekat wajah Dina yang penuh ketakutan. Milzam menangkup pipi Dina. Mengarahkan tatapan Dina ke arahnya.
"Gak ada yang perlu kamu takutin. Aku percaya, kamu akan menjadi Istri yang baik buat aku. Karena apa? Karena aku udah mengenal kamu lebih dari apa pun. 3 tahun. Itu udah jadi waktu yang sangat lama, untuk aku sekedar mengenal kamu aja."
Perkataan Milzam sedikit meruntuhkan rasa ragu di dalam hati Dina. Tembok ketakutannya mulai runtuh. Otak Dina mulai berpikir menerima lamaran Milzam. Toh, seperti kata Milzam tadi, tiga tahun sudah menjadi waktu yang cukup bagi mereka untuk mengenal satu sama lain.
Milzam memeluk Dina erat. Bibirnya tampak berbisik sesuatu. "Semua akan baik-baik aja. Aku akan terus bersama, kamu." itulah yang ia bisikkan kepada Dina.
"Milzam," Dina bersuara setelah agak lama mereka dalam posisi berpelukan. Milzam berdehem menyahuti. "Aku setuju,"
Sontak Milzam melepas pelukan mereka. Menatap Dina dengan alis berkerut, sedikit bingung. "Setuju apa?"
"Setuju... Kalo kita... Nikah!" Dina mengucap perkalimat pelan-pelan. Penuh kehati-hatian. Dina tersenyum manis, melirik ekspresi yang akan Milzam perlihatkan.
"Hah, serius?!"
"Iya,"
"Kita nikah beneran?!"
"He'em!"
"Alhamdulillaaahh..." Milzam bersorak bahagia. Saking bahagianya ia kembali memeluk Dina. Kali ini lebih erat, bahkan Milzam memutar tubuh Dina ke sana kemari.
"Iiihhh... Milzaaaammm... Turunin akuuu. Pusing tau di puter-purerin teruusss... Milzaaamm..."
°°°
Sementara itu, Zee sibuk mencari keberadaan Milzam. Kebetulan ia sudah selesai mengejarkan tugas yang diberikan Konsulen Arsy di stase obygn. Ia sekarang tengah sibuk mondar mandir di jam makan siang berlangsung. Zee berencana mengajak Milzam makan siang. Sesuai janji Dokter itu. Bersepakat makan siang bersama. Ke segala penjuru, Zee cari. Namun sosok Milzam, tak kunjung ia temui.
Tak sengaja sosok Zee yang mondar mandir di sepanjang koridor, menarik perhatian Dokter Genta yang lewat. Karena penasaran, Dokter itu menghampiri Zee.
"Zee,"
"Eh?" Zee menoleh spontan. "Dokter Genta... Kenapa, Dok?"
"Ngapain? Saya liat dari tadi mondar mandir gak jelas," Dokter itu melirik ke kanan ke kiri, di mana sedari tadi Zee bolak balik.
"Ah, iya... Saya mencari---"
"Dokter Milzam?"
"Kok, Dokter tau?" Zee memandang Dokter Genta sangat terkejut. Tebakan Dokter itu benar, padahal Zee belum memberi tahu.
Dokter itu tersenyum maklum. "Kamu selalu mencari Dokter Milzam, Zee, setiap di tanya. Gak ada orang yang sering kamu cari, selain dia."
Ungkapan Dokter Genta, membuat Zee tertegun. Sesering itukah ia mencari Milzam, sampai orang mudah menebak? Zee sedikit aneh, dengan tingkahnya sendiri.
"Hehehe, begitu yah, Dok..." Zee menjadi salah tingkah. Menggaruk-garuk hijabnya.
"Ngomong-ngomong Zee, saya melihat Dokter Milzam pergi ke rooftop dengan Dokter Dina."
"Ha? Ngapain?!" tanpa Zee sadari, intonasi suaranya meninggi. Terdengar tidak suka, ketika nama Dina disebutkan. "Eh, maksud saya... Mereka udah baikan?" dengan cepat Zee meralat ucapannya tadi.
"Emang mereka berdua berantem, ya?" Dokter Genta balik bertanya.
"Aduh, keceplosan! Dokter Genta kan, gak tau masalah Dokter Milzam dan Mbak Dina!" batin Zee, merutuki ucapannya.
"Zee?" suara Dokter Genta yang memanggil namanya, menyadarkan Zee dari lamunan batin.
"Gak tau, Dok!" jawab Zee cepat. Dokter Genta yang jujur merasa aneh, mengangguki saja ucapan Zee. Tidak ambil pusing.
"Jadi, ke rooftop ngeliat Dokter Milzam?"
"Ja---di, kok! Jadi!" entah kenapa Zee merasa gugup, sehingga suaranya ikut bergetar. Dalam hati, Zee merutuki jawabannya barusan. Namun, satu sisi Zee ingin menghampiri Milzam.
Dokter Genta menuntun Zee menuju rooftop. Zee mengikuti Dokter itu dari belakang. Langkah demi langkah, Zee lewati. Jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat dari biasa. Perasaannya mendadak tak enak.
Ketika telah sampai di rooftop, Zee sudah disuguhi pemandangan yang membuat hatinya terasa berdenyut. Seolah ada batu besar yang jatuh di kepalanya.
Zee sampai tepat di saat Dina dan Milzam berpelukan erat. Terlebih di sana, Milzam sudah menyematkan cincin di jari manis Dina.
"Perasaan apa ini, ya Allah? Rasanya... Ada yang berdenyut di dalam."
"Zee, kamu kenapa?" tanya Dokter Genta cemas, lantaran Zee memegangi kepalanya.
Baru saja Dokter Genta ingin menyentuh lengan Zee berniat menolong, Zee langsung menepis. "Gak apa, Dok! Nggak! Menjauh, tolong!"
Bentakan Zee, berhasil menjauhkan langkah Dokter Genta spontan. Ia hanya bisa menatap cemas bercampur bingung, Zee yang memegangi kepalanya.
"Sa---ya... Saya ha---harus pergi, Dok! Maaf! Permisi," wanita itu melesat pergi menuruni tangga setelahnya.
Dokter Genta menatap ke arah tangga, yang dituruni Zee. Lalu kepalanya menoleh ke arah Dina dan Milzam.
Lantas, Dokter itu bergumam, "Ada apa ini? Permasalahan menyangkut antara tiga hati, kah?"
°°°
Bersambung...
Assalamu'alaikum...
Cuma mau bilang, kisah Zee, Milzam, Dina, dan Genta, gak akan sama kok, kayak Faisal, Sandryna, Dokter Juna, dan Liana😅. Hew, hew👯
Jangan lupa klik tanda🌟di bawah pojok kiri cerita😉. Comment pun jangan lupa. Syukron, wassalamu'alaikum...
❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08
❤Follow IG Jofisa
Wattpad_Jomblo_Fisabilillah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top