10. Sebuket Bunga
HATI-HATI RANJAU TYPO BERTEBARAN DI MANA-MANA! MAKLUM, TARGET CEPET! JADI WAJARKAN AJA KALO TYPO YAK🙆🌞
And, happy reading guys🌷😃
°°°
Sulit rasanya merespon apa yang terjadi di antara aku dan Dokter Milzam. Tubuhku seolah mengeras bagaikan patung es. Tatapan kedua matanya begitu dekat. Mampu membiusku seketika. Saking dekatnya jarak kami sekarang, deru napasnya dapat ku rasakan.
"CODE BLUE! CODE BLUE!"
Teriakan histeris dari arah luar mengagetkan kami. Bergegas aku dan Dokter Milzam ingin beranjak berdiri, pergi menuju keluar untuk melihat apa yang terjadi. Namun, kami terlebih dahulu di jemput oleh seseorang. Orang itu datang di saat yang tak tepat, di mana kami belum sempat benar-benar berdiri dari posisi semula.
"MILZAM, ADA PASIEN TABRAK LA----ri.... Astaghfirullah! KALIAN NGAPAIN DEKAT-DEKATAN GITU?!" sosok Dokter Juna berdiri di ambang pintu.
Matanya melotot terkejut, seperti ekspresi kami saat melihatnya. Dia berteriak kencang. Langsung saja, aku dan Dokter Milzam benar-benar berdiri. Jarak di antara kami mendadak jauh sekali.
Dokter Juna berjalan cepat mendekati kami. "Jelaskan!"
Bentak Dokter Juna, menatap tajam kami bergantian. Dapat ku lihat amarah yang sangat besar dari kedua bola matanya itu. Jika dilihat-lihat seperti ini, marahnya Dokter Juna sama seperti Papa. Sama-sama menyeramkan.
"Dokter! Apa yang Dokter lihat, itu semua kesalahpahaman! Itu sebuah ketidaksengajaan!" Dokter Milzam menyahuti cepat. Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan wajah panik.
"Kamu jangan berbohong Milzam! Jelas-jelas saya----"
"Permisi, Dok! Maaf, menyela! Ada keadaan darurat di UGD! Bisakah Dokter bertindak cepat?!" seorang perawat Pria datang di temani keluarga pasien yang menangis hebat.
Sesuai intruksi perawat pria tadi, Dokter Juna pun berbalik. Hendak pergi ke UGD mengikuti perawat tadi dalam menyelamatkan pasien. Sebelum itu Dokter Juna berbalik,
"Kamu, Milzam! Ikut saya, tapi jangan harap urusan kita selesai! Kamu masih berhutang penjelasan pada saya!" sebuah ancaman itu menjadi kalimat terakhir dari Dokter Juna, setelah ia berlari keluar.
Sedangkan Dokter Milzam tanpa menoleh lagi padaku, beliau pergi mengikuti Dokter Juna ke UGD dari belakang.
Selepas kepergian mereka, tubuhku langsung merosot ambruk ke lantai. Kedua kakiku mati rasa akan kejadian satu menit yang lalu.
"Ya Allah, kok... Kok bisa? Kenapa bisa kayak gini?!" rutukku mengusap wajah kasar. Aku menyentuh ke arah dadaku. Jantungku berdetak kuat.
Aku memejamkan mata, sembari merasakan setiap detakan yang terasa. "Seharusnya hal tadi gak terjadi. Harusnya aku gak tidur di sini. Harusnya... Harusnya jantung aku gak bereaksi begini... Ada apa ini? Kenapa rasanya aneh?"
Dalam pejaman mataku, kedua matanya pun masih terbayang sangat jelas.
°°°
Dua hari berlalu setelah kejadian naas kemarin. Milzam tampak berjalan menenteng setumpuk kertas observasi. Rasa aneh sedari tadi menyelimuti Milzam. Seluru rumah sakit terasa ada yang janggal baginya. Seperti ada yang kurang, tapi Milzam tidak tahu apa kekurangan itu.
"Oh, iya, ya! Dua hari ini, aku gak lihat batang hidung Anak Dokter Faisal. Bapaknya pun, juga nggak." Milzam baru mengingat sesuatu janggal yang ia rasakan.
Langkah kaki Pria itu bergerak cepat, begitu melihat seseorang yang teramat ia kenal. Wanita itu tampak bercengkerama dengan beberapa Perawat yang berkumpul bersama di nurse station.
Milzam menepuk pelan bahu Wanita itu. "Eh, Dek!"
"Astaghfirullah!" tubuh Wanita itu spontan berbalik ke belakang. Matanya menajam, setelah mengetahui siapa yang mengangetnya barusan. "Apaan sih, Kak? Ngagetin tau!"
"Yuni, Kakak mau tanya dong."
"Tanya apaan?"
Milzam menarik lengan Yuni, Adik kandungnya itu. Menjauhkan posisi mereka dari keramaian para perawat. Gerak-gerik Milzam yang tak biasa, Yuni tatap aneh.
"Kakak kenapa, sih? Aneh banget!"
"Yuni, Kakak mau nanya ini. Seriusan," bisik Milzam. Matanya melirik ke sana ke mari.
"Ya, iya, tanya aja! Dari tadi, Yuni udah bilang Kakak mau tanya apa!" balas Yuni, dengan suara meninggi.
Milzam mendesis, memberi tanda agar Yuni sedikit mengecilkan suaranya yang terlalu kuat. Jari telunjuk Milzam, mengarah pada bibirnya sendiri. Sontak saja, bibir Yuni tertutup rapat.
"Bisa kecilin dikit gak, suara kamu? Besar amat. Nanti ke dengeran orang, Yun."
Yuni mengangguk pasrah. "Iya, Kak, iya. Terus, Kakak mau tanya apa, nih?"
"Jadi, gini. Zee ke mana, ya? Kok, udah dua hari ini, Kakak gak ngeliat dia. Dokter Faisal juga. Tau gak, Sahabat kamu itu hilang ke mana?"
"Hah, serius Kakak gak tau Zee ke mana? Beneran?" wajah Yuni cengo, menatap Kakaknya yang mengangguk polos.
Yuni berdecak kesal. Memijit pelan keningnya yang berdenyut hebat, mendapati respon Kakaknya. "Zee demam, Kak. Makanya dia gak masuk. Karena Zee sakit, Dokter Faisal ambil cuti untuk beberapa hari. Dia mau merawat Anaknya sampai sembuh. Di grup RS udah ada pemberitahuan dari Dokter Faisal, kok."
Milzam menggaruk sekilas kepalanya yang tak gatal. Bagaimana bisa tahu pasal pemberitahuan dari Faisal, sementara ponselnya saja sudah lima hari ini terbengkalai. Maklum, seorang Dokter yang serba sibuk. Atau bisa jadi pura-pura menyibukkan diri.
"Oh, gitu ya, Dek? Oke, lah! Thanks atas informasinya. Bye, Adekku. Koas yang bener, jangan malas-malasan!" lantas Milzam berlalu pergi meninggalkan Yuni yang menatapnya bingung.
"Kakak kenapa, ya? Rada aneh gitu kelakuannya," gumam Yuni, berpikir keras. Tatapannya mengarah ke kedua sepatunya yang menapak.
°°°
Bruk!
Tumpukkan Rekam Medik yang menghentak di atas meja, mengangetkan Milzam. Kepala Pria itu mendongak untuk melihat siapa gerangan yang melakukan hal tadi. Tubuh tegap Dokter Juna tengah berhadapan dengannya, begitu ia mendongak. Bergegas Milzam mengambil posisi duduk tegap. Sebentar ia memperbaiki jas Kedokterannya.
"Pasti kamu mencari Zee. Udah ketebak."
Milzam sedikit terkejut. Dari mana Dokter Juna tahu? Apa Dokter itu bisa membaca pikiran seseorang. Kepala Milzam menggeleng pelan. Menolak perkiraan Dokter Juna.
"Nggak, Dok. Dia lagi sakit, kan? Saya udah tau,"
"Terus, kamu gak ada niatan jenguk?" Dokter Juna menarik kursi. Dokter itu duduk berhadapan dengan Milzam.
Alis Milzam terangkat satu. "Untuk apa?"
Dokter Juna menghembuskan napas panjang. Tatapannya mendatar, menatap Milzam. Ketidakpekaan Milzam harus cepat dihilangkan, pikir Dokter Juna. Kedua tangan Dokter Juna bersedekap dada.
"Kamu ini, peka dikit bisa? Jelas-jelas Zee itu sakit karena ulah, kamu."
"Astaghfirullah! Karena saya? Emang saya ngapain dia, Dok?" Milzam menunjuk dirinya sendiri. Wajahnya begitu polos terpasang.
"Ya Allah, robbi... Gak ingat kamu, kejadian lusa malam? Zee itu punya trauma dengan Lelaki, dan kamu pada malam itu malah menatapanya. Apa lagi jarak kalian sangat dekat."
"Ah, iya..." berkali-kali Milzam mengangguk membenarkan. Punggungnya membanting pelan ke belakang kursi. Milzam menyender di sana. Matanya menatap ke atas langit-langit atap.
Kejadian lusa malam, terlintas di pikiran Milzam. Hatinya berkata, yang di ucapkan Dokter Juna ada benarnya. Terbukti dari ekspresi Zee yang tampak sangat syok pada saat mereka bertatapan.
"Hm, iya. Nanti saya ke sana deh, Dok." tubuh Milzam kembali tegap. Menatap Dokter Juna yang tengah menulis serius Rekam Medik.
"Bawa buah tangan, jangan lupa." sahut Dokter Juna. Tatapannya masih terfokus di tumpukkan kertas yang ia kerjakan.
"Bagusnya bawa apa, Dok? Buah?" tanya Milzam, meminta di beri saran.
Bolpion Dokter Juna yang dari tadi bergerak, mendadak berhenti. Sorot mata Dokter Juna beralih menuju Milzam sekarang.
"Bawa itu juga, tapi... Cari buah tangan yang kedua. Harus ada dua. Seperti bunga? Saya dulu pernah membawa itu, sewaktu... Eum..., Ibunya sakit." jeda tiga detik, lantas teringat ada yang salah dengan ucapannya, Dokter Juna meralat cepat. "Sebelum dia menikah dengan Dokter Faisal. Ya, saat kami masih berteman dekat."
"Sebelum Suami Sandryna yang kejam datang," batin Dokter Juna bersamaan.
"Oke, oke..."
"Bunga mawar putih, Milzam. Sebuket. Saya yakin, Zee pasti suka." sahut Dokter Juna, membuat anggukan kepala Milzam terhenti.
"Lebih tepatnya, ibunya yang suka." lagi-lagi Dokter Juna membatin. Bisa ia bayangkan, betapa senangnya Sandryna mendapatkan sebuket bunga mawar putih itu.
Sebenarnya Dokter Juna kurang yakin, Zee menyukai bunga Mawar putih. Hanya saja teringat Sandryna adalah Ibunya Zee, mengkin saja mereka menyukai hal yang sama.
"Ah, I love you Jenny, my sweety." dengan batinnya itu, Dokter Juna berusaha mengingatkan diri bahwa dia sudah mempunyai Istri.
Tenang saja. Dokter itu telah melupakan masa lalunya bersama Sandryna. Tidak ada maksud terselubung dari sarannya membawakan sebuket bunga mawar putih untuk Zee. Itu murni sekedar ide.
°°°
Jalan raya di persimpangan, tampak macet. Sesekali Dina tampak memukul pelan setir mobil. Suasana keramaian bunyi klakson mobil yang saling bersahutan, membuat gendang telinganya risih. Dia sudah setengah jam lamanya terjebak di antara kemacetan. Harusnya dari 10 menit yang lalu ia telah berada di Rumah Sakit. Dina terlambat.
"Loh, Milzam?" sebuah kebetulan Dina tak sengaja menatap ke jalan raya seberang. Kemacetan tidak terjadi di sana.
Sosok Milzam yang keluar dari sebuah toko bunga, membuat Dina tertegun. Terlepas dari itu, sebuket bunga mawar putih menjadi pertanyaan bagi Dina. Untuk apa sebuket bunga mawar putih itu? Apakah untuk Ibunya? Eyangnya? Atau malah Yuni?
Dina rasa bukan tipikal Milzam memberikan bunga pada Adiknya. Pastinya Milzam akan gengsi. Yuni akan mengolok-ngolok sifat romantis Kakaknya. Tebakan Dina pun berhenti. Ia sudah mendapatkan jawaban.
Senyuman mengembang lebar, menghiasi wajah cantik Dina. "Mau ngajak baikan rupanya."
Dina berpikir, sebuket bunga itu untuk dirinya sebagai tanda permintaan maaf. Namun, otak Dina kembali berpikir ketika mengingat warna bunga yang Milzam beli.
"Tapi, kan... Aku gak suka warna putih. Aku suka mawar merah, tapi kok bunga barusan warnanya putih, ya?" segera pikiran tak mengenakan barusan, Dina buang jauh-jauh. "Ah, mungkin Milzam mau cari inovasi baru. Hm, iya, kayaknya begitu."
Andai saja Dina tahu sebuket bunga itu bukan untuknya, senyuman ia sekarang pasti langsung berganti. Bunga itu untuk Zee. Sebagai salah satu buah tangan yang akan ia berikan.
°°°
Perjalanan Milzam sampai juga di Rumah yang ingin ia tuju. Rumah yang menjulang tinggi itu, Milzam tatap secara detail. Besar sekali, pikirnya. Di tambah halaman yang luas. Milzam sampai dibuat takjub.
"Sah! Dokter Faisal korupsi, nih! Dia korupsi uang tikar Koas!" celetuk Milzam. Kakinya salah satu menghentak tanah.
Kakinya melangkah pelan menuju pintu masuk yang lebar. Sebelum itu Milzam memperbaiki letak bajunya, rambutnya, buah tangan yang ia bawa, dan terakhir mencium bau badannya. Takutnya parfume yang ia kenakan, tidak di sukai Faisal. Bisa dibuat buruk nilai PPDS-nya oleh Faisal. Lucu, nilainya bermasalah hanya karena selera parfume saja.
Milzam berdehem. cukup ragu-ragu Pria itu untuk menekan bel, tapi tetap ia lakukan. Jika cepat menjenguk, maka cepat pula pulang. Milzam berjanji hanya satu jam waktu berkunjung. Tidak lebih.
Ting tong!
"Assalamu'alaikum..."
Ting tong!
"Dokter Faisal, assalamu'alaikum... Dok... Assalamu'alaikum!"
Ceklek!
"Wa'alaikumsallam,"
Pintu terbuka, menampakkan Faisal dengan wajah datarnya. Setiap kali berhadapan dengan Faisal, oksigen seakan enggan untuk Milzam hirup. Seperti sedang sidang OSCE jika bertemu Faisal dengan jarak sedekat ini.
"Sidang OSCE masih sebulan lagi, silahkan pulang." pintu sedikit lagi akan tertutup, tetapi segera Milzam tahan.
"Bukan sidang OSCE, Dok! Bukan!"
"Lalu?" alis Faisal terangkat satu penuh selidik.
Kedua tangannya yang menggenggam masing-masing bunga dan buah, Milzam angkat. Di perlihatkan kedua barang bawaannya tersebut. Milzam tersenyum canggung.
"Saya mau... Menjenguk Koas saya, ah maksudnya Anak Dokter! Zee!"
Tidak ada respon yang Faisal beri. Kedua mata Dokter itu menatap seluruh bawaan Milzam itu. Bola mata Faisal yang ke sana ke mari, semakin menambah rasa gugup dalam diri Milzam. Rasanya Milzam ingin berbalik belakang, dan pulang. Meninggalkan segala buah tangan yang ia bawa kepada Faisal.
"Masuk!" satu kata perintah itu, akhirnya keluar dari mulut Faisal setelah cukup lama terdiam.
Hati Milzam merasa legah. Berkali-kali Milzam membatin, mengucap rasa syukur. Dari belakang, Milzam mengikuti Faisal yang menuntunnya ke ruang tamu. Ruang tamu yang dari sudut pandang Milzam, mewahnya terlalu berlebih.
"Tunggu sebentar," ucap Faisal, berjalan pergi menaiki tangga. Meninggalkan Milzam terduduk sendirian di sana. Interior ruangan itu terus menerus Milzam tatap.
Hentakkan kaki seseorang yang menuruni tangga, memutuskan pandangan Milzam itu. Terlihat Faisal datang di temani seorang Wanita cantik. Mereka jalan bergandeng tangan, lengket sekali. Usia Wanita itu mungkin hampir menginjak 51 tahun, namun wajahnya seperti usia 25 tahun.
"Oalah Nak Milzam... Ada apa ini? Tiba-tiba dateng ke rumah." Sandryna duduk bersebelahan dengan Faisal. Sementara Milzam di seberang. Berhadapan.
"Gak usah banyak basa-basi sama dia," sahut Faisal. Tatapannya masih sama. Datar tak berekspresi.
Sandryna menepuk pelan lengan Suaminya itu, sebagai peringatan agar menghilangkan wajah datarnya. Melihat kecanggungan Milzam yang begitu kentara, Sandryna merasa tidak enak. Namun dasarnya Faisal yang kepekaannya di bawah rata-rata, wajah datar itu tetap ia pasang.
"Mas kenapa, sih? Anak didik Mas dateng jauh-jauh loh, ini. Di sambut yang ramah, dong."
"Iya, tapi jangan sampai senyum-senyum. Sambut sewajarnya aja." balas Faisal, melirik Milzam tajam di seberang sana. Mendapati lirikan tajam itu, tubuh Milzam semakin panas dingin.
"Iya, iya, Mas, iya.." kedua bola mata Sandryna berputar malas, lalu tatapan Sandryna berputar menatap Milzam. "Jadi, Milzam, ada apa? Ada tugas dari Dokter Faisal, sampai dateng ke sini?"
Sekilas Sandryna menatap sekeranjang buah dan sebuket bunga kesukannya. Ketika matanya jatuh pada bunga mawar putih itu, Sandryna sulit menahan senyuman.
"Saya... Ingin menjenguk Zee. Ini saya bawakan dia sesuatu." segala yang dia bawa, di berikan pada Sandryna. Dengan senang hati Sandryna menerima. Malah itu yang ia tunggu-tunggu.
"Zee demam. Dia lagi istirahat total di kamarnya. Gak bisa di ganggu." Faisal bersuara dingin, berhasil menimbulkan suasana canggung yang sempat Sandryna atasi.
"Oh... Eum, gak apa kok, Dok. Saya titip salam aja," Milzam menarik kecil sudut bibirnya. Tersenyum canggung.
"Gak terima salam juga." jawab Faisal cepat dan Milzam bingung untuk berucap bagaimana lagi.
"Ah, Milzam mau minum? Saya ambilkan sebentar. Tunggu, ya?" Sandryna beranjak berdiri. Ingin menuju dapur, membawakan segelas jus untuk tamunya.
"Eh, Bu, gak perlu repot-repot. Saya gak lama, kok."
"Ya ampun, Mas... Sandryna di panggil Bu? Ibu? Ulululuh, serasa tua beneran. Tapi, gak apa, Zam. Anggap aja belajar sejak dini." sedetik berikutnya Sandryna membekap mulut sendiri. Ia melirik Milzam. Ternyata seperti dugaan, Milzam berekspresi bingung.
Sedangkan Faisal mengusap wajah gusar. Bisa-bisanya Sandryna memberikan clue. Faisal merasa terkhianati secara halus.
"Aduh, lupa! Tadi mau buat jus. Oke-oke, saya permisi buatin jus jeruk buat kamu, Zam. Mas tunggu juga. Ajak Milzam ngobrol, jangan buat Anak orang pacu jantung." lantas Sandryna pergi selepas memberi peringatan untuk Suaminya.
Arah Sandryna menuju, berbelok berlawanan dari dapur. Sandryna menatap ke segala arah, berharap tidak ada satu pun orang yang melihatnya. Merasa suasana aman, Sandryna bersorak riang. Wanita itu berjalan cepat menuju sebuah kamar. Kamar Anaknya.
Ceklek!
"Hayooo lihat, Mama bawa apa? Tadaa!" begitu masuk, Sandryna langsung menunjukkan sekeranjang buah dan sebuket bunga di hadapan Zee.
Kedua bawaan Mamanya itu, Zee tatap bingung. Matanya menyipit untuk melihat dengan jelas objek yang sedikit rabun. Efek bangun tidiur, pandangannya sedikit memburam.
"Dari siapa?" tanya Zee, bersuara serak.
Sandryna duduk di tepi kasur, bersebelahan dengan Zee. Anaknya itu terbaring lemas. Berselimut karena kedinginan. Meskipun demam tinggi, suhu tubuhnya panas, tetapi Zee merasa dingin menggigil bagai di kutub es.
"Coba tebak?" Sandryna malah balik bertanya.
"Gak tau. Zee nyerah." Zee malas menebak. Selain badannya yang sakit, otaknya juga merasa sakit. Kejadiaan lusa malam masih terbayang jelas dalam ingatan.
"Residen galak yang sering kamu bilang jahat, mendadak jadi malaikat baik hati."
Ucapan Mamanya tidak Zee mengerti. Residen galak? Siapa? Sudah dikatakan ia tengah malas berpikir, tapi Mamanya malah berucap penuh makna tanda tanya.
"Yang galak? Cuma Papa yang galak, Ma."
"Lah, iya, ada benarnya." jeda sejenak. Sandryna membenarkan ucapan Anaknya. Kenyataannya memang begitu. "Tapi, salah! Papa kan Spesialis, bukan Residen. Ayo, tebak lagi."
"Ah, gak tau! Zee males banget mikir, Ma. Tambah pusing kepala Zee jadinya." Zee menarik selimut lebih ke atas. Kedinginan kembali merasuki tubuhnya.
"Oalah, iya, Anakku. Ututu tayang-tayang... Iya, Nak, ya? Lagi sakit, ya? Lupa Mama, kalo Anak Mama satu-satunya yang cantik ini lagi sakit." tubuh Zee yang gemetar, Sandryna peluk erat. Setidaknya rasa dingin sedikit berkurang di tubuh Zee, berkat pelukan Sandryna yang memberi kehangatan.
"Jadi, Ma, semua itu siapa yang bawa?" Zee mengarahkan tatapannya ke atas nakas, di mana sebuket bunga dan sekeranjang buah itu Sandryna letakkan.
"Milzam." bisik Sandryna pelan, masih memeluk Zee erat.
Dan seketika, mata Zee melotot lebar. Suhu tubuhnya semakin panas bagaikan terbakar di Neraka.
"Mampus gue!"
Beralih ke Milzam, dia juga dibuat terkejut oleh ucapan Faisal. Sepasang Suami Istri itu sama saja. Mampu membuat banyak kejutan menarik. Baik itu ucapan, atau pun perbuatan.
"Saya tau kamu ke sini karena merasa bersalah." Faisal memberi jeda. "Anak saya sakit karena, kamu. Kamu jatuh di atas tubuh Anak saya lusa malam, kan? Juna sudah memberitahu semuanya. Memang sudah seharusnya kamu datang. Mempertanggung jawabkan semuanya."
Tragedi lusa malam, dengan sangat jelas dan keseluruhan Faisal ceritakan. Milzam tidak tahu harus menjawab. Mulutnya saja sulit di buka. Seperti terkunci oleh gembok sakti.
Saran Dokter Juna ini sesungguhnya menjembak. Dokter itu licik. Dari awal sebelum Milzam datang, Dokter itu sudah memberitahu tragedi yang sebenarnya. Sengaja ia menyuruh Milzam itu menjenguknya, supaya Milzam terjebak di kandang Singa.
"Ahsiaaalll idemu Dokter Junaaaa..." rutuk Milzam membatin.
°°°
Suara jangkrik menghiasi malam yang sunyi. Dalam hening, Dina sibuk membaca sebuah novel di balkon kamarnya. Lembaran demi lembaran Dina buka. Ia membawa seluruh kalimat yang tercantum dalam lembaran bening kertas tersebut.
Tetapi, Dina menghentikan aktivasnya membaca, akibat tak sengaja melihat sebuah mobil yang ia kenal melintas. Mobil itu melintas lurus di depan jalan rumahnya, tanpa berbelok arah ke samping. Dengan kata lain, berbelok masuk ke pekarangan rumahnya.
"Itu kan, mobil Milzam. Kenapa gak belok arah ke sini, ya? Abis balik dari mana dia?"
Dapat Dina ketahui, mobil Milzam baru saja melewati blok C. Yang jadi pertanyaan Dina, apakah Milzam ada kenalan di blok C? Sampai pulang berkunjung selarut ini?
"Terus... Bunga itu gimana? Harusnya dia ke sini bawa bunga itu." gumam Dina berwajah sendu. Perlahan ia meraba ke arah dadanya yang terasa pedih. Sesak menyelimuti.
"Dia gak dateng ke sini. Dia gak kasih bunga itu. Dia gak... Dia kayak gak punya niatan untuk memperbaiki hubungan ini."
°°°
Bersambung...
Assalamu'alaikum... Author sekeluarga besar mengucapkan, Minal aidin wal fa idzin, mohon maaf lahir dan batin semuanya. Andai kata saya pernah berbuat salah selama ini sehingga menyakiti hati kalian, mohon di maafkan sepenuh hati. Karena manusia sejatinya tak luput dari kesalahan bukan?😇
Syukron yang udah menyempatkan baca, vote dan Comment❤
Syukron, Wassalamu'alaikum...
❤Follow IG Author
Nafla_Cahya08
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top