Bab 3 Jeju.

Kehidupan adalah pilihan. Memilih bangun dan menyambut hari, atau memaksakan diri terlelap tak menjawab. Membuka mata bahkan sebelum matahari terbit adalah tindakan berani menyambut hari sebelum dibangunkan.

Diatas sana, langit masih menggelap dengan matahari yang malu untuk muncul menyambut hari, namun sudah banyak langkah kaki menyusuri anak tangga yang panjang dan menaik dengan bersemangat.

Di bagian selatan dan utara terlihat tebing yang tinggi, sedangkan bagian timur laut adalah bukit dengan rerumputan hijau yang terhubung dengan sebuah pedesaan berpenghuni.

Seongsan Ilchulbong, tujuan hampir semua orang yang berada di Jeju untuk menikmati matahari terbit dari atas bukit.

Tempat ini dahulu adalah sebuah kawah gunung api dengan bentuk seperti contong yang menyembul dari permukaan laut yang kemudian terbentuk karena proses erupsi hydrovulkanis dimana terjadi letusan gunung api yang sangat dahsyat.

Anissa berjalan disisi paling depan, ia bersama Mr. Han, panggilan untuk local guide yang akan menjelaskan sejarah sekaligus segala hal tentang pulau Jeju. Ia akan menterjemahkan apa yang Mr. Han jelaskan sekaligus memantau agar semua rombongannya tidak terpencar, mengingat perjalanan untuk ke atas bukit saja memerlukan waktu yang cukup panjang. Belum lagi lokasi ini cukup ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun macanegara.

Setibanya diatas bukit, hal yang ditunggu pun datang. Sang sumber cahaya terbit dengan megah, sang bintang di pusat Tata Surya, matahari. Bentuknya yang nyaris bulat mulai muncul dengan perlahan membuat dingin menjadi hangat, membuat gelap menjadi terang.

Dengan lincah tangan Anissa menyentuh bingkai kamera yang sudah ia siapkan. Matanya teliti untuk membidik bagian-bagian yang seharusnya ditangkap layar kameranya. Empat sampai lima foto terbidik hanya dalam waktu beberapa menit. Targetnya adalah para wisatawannya yang sedang terpaku jatuh cinta menatap sang surya.

Kini setelah beberapa menit berlalu, ketika semua wisatawannya dibebaskan untuk mengambil gambar sendiri dan menikmati pemandangan bersama pasangan masing-masing, Anissa memilih duduk disebuah kursi kayu dengan luasnya laut dan padang rumput menjadi teman menyendirinya.

Dari atas terlihat jelas betapa luasnya tempat yang ia kunjungi, ada satu titik dimana ada sebuah lokasi yang merupakan tempat paling sempurna untuk melihat matahari terbit, sayangnya saat ini harus ditutup untuk keperluan pembuatan drama sehingga pengunjung tak bisa memasuki wilayah itu.

Anissa terduduk diam. Ia tersenyum menatapi ciptaan Tuhan-nya yang begitu maha indah. Juga sedikit kecewa ketika impiannya untuk datang ke pulau ini bersama dengan orang yang special sepertinya tak bisa terkabul.

Ia menghela nafasnya panjang. Kemudian beralih pada tas sling bagnya. Sebuah buku yang biasa ia bawa kemanapun telah tergeletak di atas kedua pahanya, tak lupa dengan sebuah pensil mekanik sudah tergenggam dijemarinya.

Dengan lihai tangannya berhasil mengukir sesuatu di atas kertas putih yang kini sudah penuh dengan goresan berwarna hitam abu. Pemandangan yang ia lihat melalui kedua matanya berhasil tergambarkan di buku gambar itu.

"Hot tea untuk perempuan yang lagi sendirian aja disini," secangkir teh hangat disodorkan tepat didepan wajah Anissa membuatnya segera berpaling pada seseorang yang membuatnya terkejut.

"Yasmin!" Anissa meneriaki nama temannya itu sembari mengambil cangkir teh yang dibawakan untuknya, "thank you."

"Masih aja ngegambar Nis, Please deh ini tuh di Korea! Nikmatin pemandangannya dong, kamu malah asik sendirian!" Yasmin menyenggol bahu Anissa sembari memperhatikan gambar yang ada ditangan perempuan itu.

"Hehe, justru karena ini di Korea, aku jadi punya banyak referensi untuk gambarku." Anissa tersenyum senang melihat hasil gambarnya.

"Terus langsung kamu upload di Instagram sekarang juga?"

Anissa segera mengangguk, "Iya, sekalian ada background pemandangan aslinya."

"Kenapa ga diwarnain dulu sih Nis?" Yasmin mengerutkan keningnya.

"Gak bawa pensil warna." tawa Anissa.

"Atau gak mampu beli pensil warna?" Yasmin ikut tertawa, ia tau itu hanya alasan saja. Ciri khas gambar Anissa selalu berwarna hitam dan putih, sekalipun itu pemandangan alam. Dan hebatnya, gambarnya terlihat begitu hidup meski tanpa warna.

Anissa meletakan cangkir teh nya dan bergegas mengambil foto untuk hasil gambarnya. Setelah dirasa ada yang paling bagus, Anissa segera meng-uploadnya di akun instagram kedua miliknya, bernama cilpacastra_a. Tak ada yang akan tahu siapa pemilik akun itu, kecuali Yasmin dan Anissa sendiri.

Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman dalam bahasa sanskerta, dan A adalah inisial namanya, Anissa.

Kini keduanya beralih kembali pada wisatawan yang harus mereka temani. Mengelilingi pulau Jeju, menjalani aktifitas yang sudah terjadwal dengan teratur.

Pulau Jeju tak hanya terkenal oleh alam yang cantik. Di pulau ini, salah satu atraksi yang juga digemari wisatawan adalah Nanta Show. Nanta Show adalah kesenian tradisional Sanulmori (alat musik perkusi tradisional Korea yang dimainkan 4 orang) dipadu dengan seni modern.

Berakhirnya pertunjukan seni tradisional sekaligus komedi ini mengartikan berakhir pula perjalanan seharian penuh di pulau Jeju, mulai dari Seongsan Ilchulbong, Seongeup Folk Village dimana disana merupakan kampung tradisional yang mempertahankan gaya hidup khas rakyat Jeju, berkeliling Ecoland hingga mengunjungi Teddy Bear Museum dimana banyak berbagai macam boneka beruang dengan menggunakan pakaian dari berbagai dari negara lain.

Sinar matahari yang megah telah lenyap dimakan waktu, berganti dengan sinar bulan yang tak kalah indahnya. Waktunya untuk Anissa bersama rombongannya segera bergegas memasuki hotel untuk beristirahat.

**

Penginapan di pulau Jeju sangat beragam dan menawarkan pemandangan yang indah. Salah satunya hotel ini, Co'op City Hotel yang sudah sukses menggaet banyak wisatawan dari mancanegara karena letaknya yang berhadapan langsung dengan laut lepas. Warna biru cerah, putih, dank rem mendominasi interior kamar segingga terlihat sangat nyaman.

Junyeol merebahkan badannya pada ranjang putih berukuran king size yang sudah ditidurinya sejak kemarin malam. Sayangnya, tubuhnya terlalu letih untuk menikmati pemandangan di Jeju sejak keluar dari pagi-pagi buta.

Banyak hal yang harus ia lakukan seharian ini, mulai dari mengambil set matahari terbit, hingga harus mengulang berkali-kali adegan dirinya berlarian di sekitar padang rumput di Seongsan Ilchulbong.

Kini perutnya terasa keram dan sakit karena kelaparan. Ia menolak halus ajakkan makan malam bersama seluruh tim karena tak ingin ikut minum-minum dan harus pulang lebih larut.

Tangan kirinya memegangi perut nya, sedang tangan kanannya bersusah payah menyentuh layar handphone mencari layanan pesan antar makanan, karena saat ini ia sangat ingin memakan Jjajangmyeon.

Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu, Junyeol meletakkan handphonenya ke kasur sedang kakinya beralih ke lantai. Ia segera berlari kecil menuju dapur di kamarnya.

Senyumnya merekah begitu ia melihat isi kulkasnya telah penuh diisi makanan oleh managernya yang sempat datang untuk membawakan beberapa pakaian.

Senyum itu perlahan pudar ketika ia menyadari bahwa didalamnya bukanlah makanan siap santap. Junyeol mengacak rambutnya kesal. Haruskah ia memasak larut malam begini?

Ia sangat kelaparan, namun dilain sisi ia tak bisa membuang bahan makanan yang sudah dikirimkan untuknya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengeluarkan bahan-bahan makanannya dari dalam kulkas dan beralih menuju kompor listrik yang berada tak jauh dari langkah kakinya saat ini.

Ctak.

"Aishhhh!!!" Junyeol berdesis kesal pada kompor listrik yang ada di dapur kamarnya itu. "Hyaaa! Kenapa ini tak bisa menyala!" makinya.

Beberapa kali mencoba, sepertinya kompornya belum bisa menyala juga. Ia memutuskan memasukkan semua bahan makanannya ke dalam satu kantong plastik. Ia tak bisa menahan rasa laparnya, jadi ia memutuskan untuk membawa makanan itu ke kamar yang berada persis didepannya, yaitu kamar milik rekannya dalam drama.

Tok Tok!

"Taehoo-ya, apa kau dikamar?" teriak Junyeol. "Taehoo?"

Kini Junyeol merasa ada sesuatu yang aneh, ia merasakan kakinya yang perlahan dingin.

"Aish!"

Junyeol menepuk dahinya karena baru menyadari ia terlalu terburu-buru keluar kamarnya sampai lupa mengenakan sandal.

"Taehoo-ya, apa kau dikamar?" ulang Junyeol sembari mengetuk pintu kamar temannya itu. "Tae...hoo?" kini Junyeol berhenti mengetuk, dan ingat sesuatu.

Bodoh! Pasti dia juga sedang makan malam diluar bersama semua tim drama! Ah!

Maki Junyeol pada dirinya sendiri. Kini ia menyesali pilihannya untuk makan sendirian.

Junyeol membalikkan badannya untuk kembali ke kamarnya, namun kesialan kembali menimpanya. Wajahnya panik merogoh kantung celana.

Apa lagi kali ini? Pasti aku lupa mengambil kartu kamar! Dan sekarang aku tak bisa masuk ke kamarku sendiri?!!

"Akhh!!!" Junyeol kembali merutuki kecerobohannya. Ia berkali-kali memeriksa kantong dan juga plastik yang ia bawa, namun sepertinya memang ia melupakan dua hal paling penting yang seharusnya ia bawa sekarang–kartu kamar dan tentu saja handphone!

Wajahnya sudah merah padam antara kesal dan bingung harus bagaimana dengan keadaannya sekarang ini. Suasana hotel dilantai bawah mungkin cukup ramai karena beberapa orang sedang mengadakan pesta barbeque. Jika ia kesana tanpa masker wajahnya, mungkin akan ada beberapa orang segera mengenalinya. Belum lagi, ia tak mengenakan sandal.

Tak tak.

Kini Junyeol semakin panik begitu mendengar beberapa langkah kaki dan ramai-ramai orang mulai keluar dari lift yang tak berada jauh dari kamarnya.

Badannya menegang dengan keringat dingin mulai mengucur antara malu, bingung dan kelaparan.

Kini tersisa sekitar lima langkah lagi orang-orang itu mendekat dan dengan segera Junyeol berlutut di depan kamarnya. Ia memasukan kepalanya kedalam kantung yang ia bawa untuk menutupi wajahnya secara reflek karena tak tau lagi harus berbuat apa, tangannya merogoh-rogoh seolah mencari sesuatu dalam kantong plastik itu.

Beruntung, meski terdengar suara tawa yang mungkin karena sikapnya yang aneh, tak ada satupun yang mengenalinya atau memanggil namanya. Dan itu membuat dirinya bisa menegakkan kepalanya kembali, kini ia berusaha untuk kembali berdiri.

Duk.

Usaha Junyeol berdiri ternyata tak berhasil, ia merasakan pandangan matanya sekilas kabur dan membuatnya terjatuh lemas terduduk di depan kamarnya.

"K-kau baik-baik saja?" sebuah suara dari belakang punggungnya menghampiri dan kemudian memegangi pundaknya agar ia tak lagi terhuyung.

Junyeol segera menutupi kembali wajahnya dengan pura-pura terbatuk, "Ya, aku baik-baik saja, terimakasih."

"Kau bisa bangun?" Tanyanya pada Junyeol dan dibalas dengan anggukan sekilas, karena Junyeol masih berusaha tak menengok, menutupi wajahnya–takut dikenali.

"Anissa!" tiba-tiba seorang perempuan berlari menghampiri seseorang yang berada dengan Junyeol. "Aku ke kamar mbak Azizah dulu ya, dia muntah-muntah, mungkin kecapean. Nanti kamu ambil kartu kamar kita ke bawah aja ya, yang ini aku bawa, Dah!"

Itu adalah Yasmin. Ia segera bergegas berlari kecil menuju kamar yang ia maksud, sedang perempuan yang dipanggil masih terdiam terkejut dengan perkataan Yasmin yang sangat cepat.

Dengan posisi Junyeol yang sudah berdiri, perlahan ia memalingkan wajahnya pada perempuan yang berada disampingnya.

"Oh, kau?"

Suara Junyeol membuat Anissa ikut menengok menatap wajahnya, "K-kau?"

Mereka terdiam saling menatap terkejut. Kedua mata mereka saling membesar dengan bibir yang membentuk huruf o.

"K-kau menginap disini?" Tanya Junyeol yang tersadar sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"I-iya, kau juga?" Tanya Anissa, dan di jawab dengan anggukan kaku dari Junyeol. Hening sesaat sebelum Anissa mencari kalimat lainnya, "Ah... hm, oke baiklah silakan beristirahat, aku harus ke bawah dulu, permisi."

"T-tunggu!" Junyeol menghentikan pergerakan kaki Anissa, "Em, maaf boleh aku minta tolong?"

Anissa mengerutkan keningnya sesaat, "Minta tolong apa?"

"Itu.." Junyeol tersenyum malu sembari melirik pintu kamarnya yang tertutup rapat, "aku lupa membawa kartu kamarku, jadi.. aku.. em, terkunci."

"Pfft.." Anissa segera menutup bibirnya rapat-rapat menahan tawa, kini ia menahan tawa nya melihat kedua kaki besar pria tinggi dihadapannya ini tanpa alas apapun, "Oh maaf, jadi maksudnya kau terkunci dari luar?"

Junyeol menggaruk kembali belakang kepalanya yang tak gatal, ia terkekeh sembari mengangguk pelan.

"Oh, baiklah aku akan kebawah untuk mengambil kartu kamarmu." Anissa merogoh kantung sweater berwarna coklat muda-nya, "Ini kau pegang, dan jangan lupa angkat begitu handphoneku berdering."

Junyeol mengangkat kedua alis matanya heran. "Untuk apa?"

"Aku yakin petugas dibawah tidak akan dengan mudahnya memberikan kartu kamarmu pada orang lain sepertiku, jadi aku akan meneleponmu dari bawah untuk memastikan kau yang memintanya."

Kedua mata Junyeol membesar kagum, ia bahkan tak memikirkannya, ia segera mengangguk cepat sembari meraih handphone yang diberikan Anissa.

Dan langkah Anissapun menjauh meninggalakan Junyeol didepan kamarnya.

Tangan Junyeol melambai secara otomatis ketika pintu lift terbuka dengan seorang perempuan dengan sweater coklat muda keluar perlahan. Sepatu flat boot warna hitamnya bergesekan dengan karpet lantai hotel secepat langkah yang ia bisa. Bibir Junyeol membentuk senyuman yang paling manis baginya untuk menyambut kedatangan yang sudah ia tunggu-tunggu, sedangkan perempuan yang sedang berjalan itu sibuk berusaha berjalan secepat mungkin, khawatir kaki pria yang berdiri diam disana kedinginan.

"Hhh.. ini kartumu." Anissa berusaha mengatur nafasnya kembali.

"Waaah, terimakasih." Junyeol meraih kartu yang diberikan Anissa bertukar dengan handphone yang ia pegang dan segera meng-tap kan dipintu kamarnya.

Bip. Cklek.

Kini pintu kamarnya berhasil terbuka, membuat senyum di wajahnya kembali melebar. "Bisa! Terimakasih banyak." Katanya lagi.

"Ya, sama-sama. Kalau begitu segeralah masuk dan beristirahat," Anissa membalas senyumannya, kemudian menunduk memastikan kaki pria itu baik-baik saja.

"Ani..ssa," panggil Junyeol membuat pandangannya kini beralih menatap pria itu.

"Kau tau namaku?" heran Anissa.

"Ternyata benar?" Junyeol meringis memperlihatkan deretan giginya, "Aku masih ingat ketika temanmu memanggilmu."

Anissa membulatkan bibirnya, ia baru ingat Yasmin tadi sempat memanggilnya, "Ah... ya. Ya benar itu namaku."

"Kau tak mau tau namaku?" Tanya Junyeol penasaran.

"Park Jun Yeol?" Tanya Anissa membuat kedua mata Junyeol membesar.

"K-kau kenal aku?" Tanya Junyeol terkejut.

"Hm? Ya, aku tau namamu." Jawab Anissa.

"Kau mengenalku? Em, Maksudnya, kau tau namaku? Sejak kapan?" Tanya Junyeol terkejut. Apakah perempuan di hadapannya hanya berpura-pura tak mengenali dirinya? Bisiknya dalam hati.

"Sejak... baru saja, saat kau mengangkat telpon dari petugas di lobby, kau menyebutkan identitasmu, maka dari itu petugas tadi memperbolehkanku membawa kartu kamarmu, ada apa?" heran Anissa.

"Oh begitu, benar juga." Hh.. Junyeol menghela nafasnya lega. Kini Junyeol merasa bersalah karena sudah berpikir buruk pada perempuan yang sudah menolongnya. "Maaf."

"Kenapa minta maaf? Oh, apa kau?" Anissa menyipitkan matanya menghadap Junyeol. Ia memperhatikan wajah Junyeol lebih detail.

Ia menggeleng sebentar. Bukan, bukan pemain film atau drama, meski aku baru-baru ini suka menontonnya, tapi sepertinya aku belum pernah melihatnya di aplikasi streaming drama korea atau dvd yang pernah aku pinjam. Atau jangan-jangan...

"Apa? Ke-kenapa?" Junyeol memundurkan langkahnya sedikit melihat perempuan di hadapannya sedang menggelengkan kepalanya aneh.

"Apa kau seorang mata-mata?" Tanya Anissa berbisik, kemudian ia menengok ke kanan dan ke kiri dengan cepat, "Apa identitasmu dirahasiakan?"

"Pfft.." Junyeol menahan tawa melihat wajah Anissa yang bertambah serius.

"Aku bertanya serius," Kini Anissa memelankan suaranya, "Aku pernah melihat film tentang orang-orang yang sedang menyelidiki sebuah kasus diam-diam, Oh! atau disini ada kasus pembunuhan, sehingga kau harus bersembunyi atau–"

"Apa kau lapar?" Junyeol memotong perkataan Anissa yang semakin membuatnya ingin tertawa.

"Eh?" Anissa menghentikan pikirannya dan terdiam mendengar pertanyaan itu.

"Kau tau, kau harus menerima undangan makan malamku sebagai tanda terimakasih."

"Ah, tidak perlu repot-repot, aku suka membantu orang lain, dan ini sudah malam, aku akan kembali ke kamarku."

Junyeol menggeleng cepat, "Kau tidak boleh menolak, aku sudah punya bahan-bahannya." Junyeol memperlihatkan plastik yang ada ditangannya.

"Pfft," Anissa tertawa melihatnya.

"Ke-kenapa? Aku serius."

"Apa maksudnya kau menyuruhku memasak?" Tanya Anissa dengan memanyunkan bibirnya.

"Eh? Bu-bukan begitu, aku bisa memasak, hanya saja tadi komporku tidak bisa menyala jadi aku memutuskan ke kamar temanku, tapi ternyata dia tidak ada, dan kemudian..." Junyeol menghentikan ocehannya, "Ah, maaf."

Anissa terkekeh melihat tingkah pria didepannya yang tidak sengaja mengaku dan tertangkap basah mencari alasan dengan mengajak makan malam.

"Baiklah, aku akan melihat kompornya sebentar saja, sepertinya kau sangat kepalaran hingga ingin pingsan." Anissa mengangkat dagunya memberikan penawaran.

"Ah, tadi.. tadi aku bukan pingsan, aku hanya jatuh tersandung." Junyeol terkekeh menggaruk kepala nya yang tak gatal, rasanya sungguh memalukan.

"Ya, ya, kau hanya tersandung, baiklah boleh aku masuk?" Tanya Anissa menahan tawanya.

"Ah, ya tentu." Junyeol membuka pintu kamarnya lebih lebar.

Anissa melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Junyeol dan kemudian berbalik sebentar, "Boleh pintunya dibiarkan terbuka?"

Junyeol mengangkat kedua alisnya tinggi, ia tertawa, "Aku pria baik-baik Anissa, tenang saja."

Anissa terkekeh, "Bukan begitu, maaf aku tidak bermaksud menuduhmu, tapi aku tidak bisa melanggar peraturan." Anissa terdiam sebentar, mungkin sedikit rumit menjelaskannya, "Em, aku punya peraturan dalam hidupku bahwa seorang pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah, dilarang berduaan dalam satu ruangan tertutup, jadi... apa kau bisa tetap membuka pintunya?"

Sebenarnya Junyeol belum mengerti tapi ia memutuskan untuk menghargai apa yang di inginkan perempuan yang sudah membantunya, lagi pula tak terlalu buruk juga tetap membuka pintunya.

Kamar Junyeol tak begitu besar, hanya ada kamar dan dapur kecil, didepannya persis toilet, jadi tidak terlalu berbahaya jika Anissa masuk sebentar untuk membantu.

"Oke," Junyeol mengambil sepatunya untuk menahan pintu agar tetap terbuka.

Ia menunjukan dapur kecil dalam kamarnya, dan kemudian Anissa mulai mencoba untuk menyalakan kompornya.

Sementara itu, langkah Junyeol perlahan menuju kamarnya untuk mengambil masker wajahnya untuk jaga-jaga jika tiba-tiba ada sesuatu lewat atau seseorang mengenalinya.

"Oh, kau sedang flu?" Tanya Anissa menatap kedatangan Junyeol. Pria itu mengangguk saja. "Sepertinya kompormu memang bermasalah, mau ku panggilkan saja petugas hotel?"

"Rusak? Benarkah?" Junyeol sedikit kecewa karena penantiannya untuk segera menikmati makan malam tak juga terealisasikan.

"Tapi sepertinya akan memakan waktu lama, bagaimana kalau kau tunggu sebentar disini, aku punya makanan di kamarku."

"Benarkah?" kini mata Junyeol berbinar seperti anak anjing yang menemukan ibunya.

Anissa terkekeh, "Ya, aku akan mengambilkannya sebentar. Kau tunggu saja dulu."

Anissa telah kembali ke kamar Junyeol dengan sekotak bekal makanan yang sudah penuh dengan lauk dan nasi didalamnya.

"Aku tak punya banyak lauk, tapi semoga cukup." Ia meletakkannya di meja yang terletak didepan kamar Junyeol.

"Wah, apa ini?" Junyeol segera membuka kotak makan yang ada di hadapannya.

"Ini namanya rendang, makanan khas Indonesia dari Sumatera Barat. Aku sengaja membawanya kalau rindu makanan Indonesia, semoga kau suka." Jelas Anissa.

Junyeol mengangguk cepat, ia meraih sendok dan mengambil nasi putih yang mengebul masih berasap, kemudian mencicipi daging rendang yang baru saja dijelaskan Anissa. "Hm, enak! Kau mau makan bersama?"

Anissa menggeleng segera, "Tidak, aku sudah makan. Kau nikmati makanannya, aku pamit ke kamarku ya."

Junyeol ikut berdiri begitu Anissa bergegas bangun. "Anissa," panggil Junyeol, "terimakasih banyak." Ia membungkukkan punggungnya.

Anissa membalas dengan senyumannya, "My pleasure, Junyeol-ssi."

Ia melambaikan tangannya, kemudian berpaling menuju pintu keluar.

"Oh, Anissa!" panggil Junyeol lagi, "Kau.. sampai kapan disini?"

"Disini?" Anissa berpikir sejenak, "Besok pagi aku akan berangkat ke Nami Island, dan berakhir di Seoul sampai 2 hari kedepan. Ada apa?"

Junyeol tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Tak apa, senang bertemu denganmu."

Anissa kembali membalas senyuman itu, "Aku juga. Selamat malam."

Kini perempuan dengan hijab berwarna senada dengan sweater coklat muda itu menghilang dibalik pintu kamar Junyeol yang tertutup.

2 hari? Bisik Junyeol dengan seringai senyum diwajahnya.

***

Translate:

Jajangmyeon (atau jjajangmyeon) adalah jenis Masakan Korea yaitu mi saus pasta kacang kedelai hitam.

ssi (씨)

Partikel dalam bahasa korea untuk menunjukkan rasa hormat. Digunakan juga untuk orang yang tidak terlalu dekat. Biasanya kata ssi (씨) digunakan setelah nama lengkap atau nama pertama seseorang.


Author Note :

INI ADALAH SPOILER AKHIR. SILAKAN BACA KELANJUTANNYA DI VERSI NOVEL!

SUDAH TERSEDIA DISELURUH GRAMEDIA ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top