XVII. Hanya Ilusi


Iblis itu licik. Namun, Loki lebih licik. Dia sengaja memutarbalikkan keadaan, membingungkan manusia agar tidak bisa terlepas dari permainan gila yang sengaja dibuatnya.
Membuat perjanjian dengan iblis tentu membutuhkan begitu banyak pengorbanan.

Banyak nyawa yang sudah dia taruhkan hanya untuk mencapai satu tujuan, menaklukkan dunia dan mendapatkan kehidupan kekal. Loki ingin meletakkan dunia dalam genggamannya. Dia ingin menjadikan makhluk dunia seperti boneka yang bisa diatur sesuka hati.

Loki merasa sangat terhibur melihat penderitaan manusia-manusia naif itu.

Kini semua keinginannya akan segera terwujud. Saat manusia berada di ambang batas keputusasaan, mereka akan mempertaruhkan segalanya demi keluar dari rasa yang begitu mengerikan daripada kematian. Di saat itulah Loki akan menjadikan nyawa mereka sebagai persembahan untuk sang iblis yang senantiasa membantunya.

"Bodoh. Meski kalian mati, kalian tidak akan bisa keluar dari sihir ilusiku."

***

Patahkan sihir ilusi, maka semua sandera akan selamat.

Jawaban yang tertulis di bawah patung Joshua nampak seperti jalan keluar. Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi, jalan keluar pasti tidak akan semudah itu. Mematahkan sihir ilusi hanya perlu meyakinkan orang-orang yang terjebak bahwa yang mereka lihat bukanlah hal sebenarnya.

Namun, rasa cemas, rasa putus asa, dan rasa takut sudah bercampur jadi satu dalam diri mereka. Sulit sekali rasanya percaya akan kata-kata yang akan disampaikan oleh Dante dan Rey. Maka dari itu mereka memilih untuk berbaur dalam permainan yang dibuat oleh Loki agar bisa meyakinkan Rara, Bella, dan yang lainnya.

Bunuh diri dan lari dari permainan adalah hal yang terpikirkan Dante. Jika mereka keluar dari permainan, mungkin mereka tidak akan terjebak lagi dalam ilusi gila ini.

"Lo jaga Rara dan yang lain. Gue bakal bantu Bella." Dante berlari usai mengambil pedang yang tertancap di tanah. Dengan gerakan cepat dia melayangkan pedang hingga mengenai ular raksasa itu, lalu menarik tangan Bella dan berlari di pinggiran sungai.

"Dante? Kamu ngapain di sini?" Bella bertanya dengan raut bingung yang terpampang jelas di wajahnya.

Namun, Dante tidak memiliki waktu untuk menjelaskan pada Bella. Dia tidak boleh sampai kecolongan. Meskipun laki-laki itu tahu semua yang dilihatnya hanya tipuan, tetapi apa yang dialami terasa sangat nyata.

"Dengerin aku, di depan sana ada jurang. Tutup mata kamu dan lompat." Dante meraih tangan Bella, mereka saling berpegangan tangan menguatkan satu sama lain. Satu-satunya cara untuk menghentikan permainan gila ini adalah mematahkan ilusi. Maka dari itu, apa pun resikonya, Dante harus berani mengambil keputusan.

***

Rara terus berlari mengikuti langkah Rey yang begitu cepat. Dia masih tidak mengerti mengapa laki-laki itu memintanya untuk terjun bebas. Bagaimana kalau mereka mati? Bagaimana kalau Rara gagal menjadi pemenang? Tidak! Ayahnya harus mendapatkan keadilan. Rara tidak boleh kalah dalam permainan.

"Ra, lari!" Rey berteriak saat melihat perempuan itu mulai memelankan langkahnya. Napas Rara terengah sembari menggeleng seolah memberi isyarat pada Rey bahwa dia tidak akan berlari lagi.

Namun, Rey tidak ingin mendengarkan. Dia harus membawa Rara bersamanya untuk mematahkan sihir ilusi ini. Dengan cepat Rey berlari menghampiri Rara. Tanpa persetujuan perempuan itu, Rey menggendong tubuh mungil Rara sebelum kembali berlari mengikuti jejak Dante.

Sementara Ervin, perempuan itu mencoba memahami apa yang terjadi. Dia mendengar Rey berkata bahwa semua yang mereka lihat hanya ilusi. Semuanya tidaklah nyata. Dante dan Rey datang ke dalam permainan ini hanya untuk mematahkan sihirnya dengan menganggap semua hanya tipuan.

Serangan demi serangan yang didapat itu tidak nyata.

Lantas matanya menjelajah mencari keberadaan Shera dan Leiv. Rupanya mereka masih berusaha melawan serangan ular raksasa yang nyatanya hanya ilusi.

"Semua ini hanya ilusi." Bunuh diri seperti yang dilakukan Dante, Rey, Bella, dan Rara bukanlah hal yang tepat. Karena semua ini hanya ilusi, maka serangan yang didapat adalah kepalsuan.

Harusnya Ervin tidak boleh takut. Dia harus tetap berjalan menyusuri sungai seperti petunjuk. Berusaha mengabaikan sihir ilusi agar bisa melewati rintangan dengan mudah.

Sekarang perempuan itu hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Dia bukan penyihir seperti Shera yang bisa menggunakan kekuatan agar bisa selamat dari maut. Ervin juga bukan Auror seperti Bella dan Joshua. Bukan pula pemburu penyihir seperti Kairo.

Ervin hanyalah manusia biasa. Hanya keyakinan pada diri sendiri yang dia punya. Keberanian akan menjadi bekal untuk menjadi pemenang dalam permainan ini. Bagaimanapun caranya, Ervin harus menang agar dia bisa menegakkan keadilan untuk adiknya.

Setelah berhasil menyeberangi sungai, Ervin kembali melanjutkan perjalanan. Dia tidak tahu bagaimana keadaan Rara dan Bella. Entah mereka masih hidup atau sudah tiada. Meskipun begitu, Ervin tidak boleh menyerah. Tekadnya untuk menang sangat besar.

"Gue harus bertahan." Rasa sakit di sekujur tubuhnya benar-benar menyiksa. Ervin kelelahan. Fisiknya terluka dan mentalnya sudah dibuat kacau sejak mereka memulai permainan ini.

Di tengah perjalanan, Ervin ditemui oleh binatang besar yang menyerupai dinosaurus. Perempuan itu berusaha menyingkirkan rasa takut yang menerjangnya. Melafalkan kata 'hanya ilusi' seperti mantra. Namun, binatang itu tidak kunjung menghilang. Justru sebaliknya, binatang purba itu semakin mendekati Ervin sembari mengaum seolah siap menelannya hidup-hidup.

Dia sudah pasrah. Matanya terpejam menunggu binatang itu memakannya. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah tubuh Ervin seolah melayang ketika tangannya ditarik oleh Kairo, memeluk tubuh Ervin dengan erat lalu menggendongnya berlari ke arah utara.

Perlahan mata Ervin terbuka, menatap wajah Kairo yang penuh dengan keringat serta darah yang sudah mengering di sudut bibirnya.

"Lo enggak boleh nyerah." Kata-kata Kairo berfungsi sebagai penyemangat bagi Ervin. Tangan perempuan itu memeluk erat tubuh Kairo agar dia tidak jatuh.

Kairo benar, apa pun yang terjadi dia tidak boleh menyerah.

***
Laki-laki itu menumpu kedua tangan di atas lutut. Fisiknya sudah sangat lelah, pun dia mulai kebingungan. Suara yang menggema di langit, yang menjadi petunjuk jalannya raib entah ke mana. Rasanya jalanan ini benar-benar tidak berujung.

"Gue enggak boleh kalah." Joshua masih bertekad. Penyihir itu mencoba mengendalikan ilmunya untuk mencari jalan keluar. Namun, tubuhnya yang melemah membuat sihirnya tidak bisa digunakan.

Joshua putus asa! Dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukan sekarang. Perlahan kabut tebal mulai menyelimuti, menambah rasa putus asa yang dia rasa.

Kepalanya mendadak ngilu ketika suara itu kembali menggema mengelilingi dirinya. Suara yang membuat Joshua harus mengambil keputusan berat.

"Kamu tidak akan bisa keluar dari sini. Bahkan sampai kamu mati. Jalan keluar itu tidak akan ditemukan. Semua yang berada di sini akan selamanya terjebak. Tidak ada yang selamat dari rasa putus asa dan ingin mati. Namun, mati tidak termasuk dalam pilihan."

Lutut Joshua melemah, laki-laki itu terduduk. Dia benar-benar frustrasi. Tubuhnya kian melemah, napasnya sesak karena asap tebal yang mengelilinginya. Entah kapan penderitaan ini akan berakhir.

Meski rasa sakit terus menggerogoti hingga ke tulang. Bahkan rasa itu lebih sakit daripada dijatuhi ribuan batu panas dari langit. Begitu menyiksa, tetapi dia tidak bisa mati.

"A-pa-pun. Apapun a-kan kulakukan. Tapi tolong bi-arkan aku ma-ti." Suara ketidakberdayaan Joshua benar-benar berhasil membuat Loki tertawa bahagia. Satu mangsa, ah tidak lebih tepatnya lima mangsa sudah dia dapatkan.

Empat manusia bodoh yang tertipu lalu terjun ke dalam jurang keputusasaan dan satu manusia tidak berdaya yang menukarkan nyawanya untuk terbebas dari kematian. Namun, semua itu belumlah cukup. Loki ingin semuanya agar iblis merasa puas dengan persembahannya.

"Ervin ... gadis itu cukup berani."

Loki masih memperhatikan Ervin yang kini berlari bersama Kairo. Mereka berdua bagaikan sepasang kekasih yang melindungi satu sama lain. Sementara di sisi lain ada Shera yang berusaha melawan monster bersama Leiv di belakangnya.

"Leiv ... benar-benar manusia penuh dosa."

Selain Ervin, ada Leiv yang akan menjadi santapan nikmat Iblis. Manusia yang penuh dengan tipu muslihat memang akan menjadi santapan nikmat. Ah, tapi dibandingkan Leiv, Joshualah yang lebih nikmat. Adik dari ratunya itu lebih licik dari iblis. Namun, sayangnya dia terlalu bodoh.

***

"Dalam permainan, pasti akan ada akhir. Tapi sepertinya Loki membuat permainan yang tiada akhir." Suara Kairo berhasil menghentikan langkah Ervin.

Perempuan itu menatap Kairo dengan kening berkerut. Apa maksud dari permainan yang tiada akhir? Apakah mereka akan terjebak selamanya di dunia penuh dengan jebakan serta tipuan ini? Apakah selamanya Ervin dan Kairo akan terus berjuang untuk bertahan?

"Enggak bisa! Gimanapun caranya, kita harus bisa keluar dari sini asalkan jangan mempertaruhkan nyawa."

Kairo mengangguk setuju. Jika mereka menyerahkan nyawa itu sama saja dengan membantu makhluk licik itu untuk mencapai tujuannya.

"Setiap makhluk pasti punya kelemahan. Gue yakin Loki juga punya kelemahan." Kairo mengutarakan isi pikirannya.

"Tapi apa? Apa kelemahan makhluk semacam Dewa? Apa yang membuat dia takut dan menjadi lemah?" Meski apa yang dikatakan Kairo tidak salah, tetapi Ervin tetap sangsi. Dia merasa akan sulit melumpuhkan lawan licik seperti Loki. Terlebih dia memiliki iblis yang dijadikan tameng pelindung.

"Kematian. Loki mempersembahkan nyawa manusia untuk iblis hanya untuk mendapatkan keabadian. Itu artinya, hal yang paling dia takuti adalah kematian."

Masuk akal. Penjelasan Kairo memang bisa menembus logika Ervin. Hanya saja, bagaimana caranya membunuh Loki? Bagaimana cara agar dia keluar dari persembunyiannya?

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Author Zeanisa_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top