XIV. Ab Initio


Bilah notifikasi muncul di layar antarmuka sebuah ponsel, sesaat sebelum getar merambat di permukaan meja dan mengetuk gendang telinga dengan dering alarm tak berjeda.

"Yang Mulia Dewa Atum penguasa delapan galaksi!" Rey terkinjat di tempat. "Game Master Loki!"

Dante yang baru keluar dari kamar mandi menggeleng kecil mendapati junior satu jurusannya terjaga dalam keadaan yang memprihatikan. Wajah kusut, rambut mencuat sana-sini, kelopak matanya pun masih dalam keadaan setengah terbuka. Dante yang jeli bahkan bisa melihat jejak pinggiran buku yang dipergunakan Rey sebagai penyanggah kepala di pipi kanannya.

"Awaken! Di mana para Awaken?" Rey tampak meraba-raba. Begitu pandangannya tertuju pada Dante yang bertelanjang dada dengan handuk melilit di pinggang, mulutnya kembali membuka. "Calon Arang? Apakah kau Calon Arang yang sedang menyamar?"

"Kau ini bicara apa, Rey. Bangunlah, aku akan menyiapkan sarapan."

Dante menepuk kepala Rey. Entah bagaimana caranya Dewa Atum, Loki, dan Calon Arang bisa bersekutu. Satu yang pasti, Rey baru saja bangun dari mimpi aneh. Sebab dalam keadaan sadar, anak laki-laki dengan tingkah yang kadang di luar nalar itu lebih senang menyebutnya "Calon Kakak Ipar" dibanding "Calon Arang".

"Bang Dante?" Tepukan Dante menyadarkan Rey. Butuh beberapa waktu bagi segenap indranya untuk menyadari bahwa hutan belantara tempat para siswa Asrama 300 DC berjuang menyelesaikan tantangan berganti menjadi kamar indekos Dante.

Dante hanya bergumam sebagai tanggapan. Diperhatikannya Rey yang berusaha mengumpulkan dengan mengusap mata.

"Aku bermimpi aneh, tapi rasanya sangat nyata." Rey mengatur napas. "Ini tentang Asrama 300 DC."

Sebelah alis Dante naik sekian derajat. "Mimpi apa itu?"

"Aku melihat Asrama 300 DC sebagai game survival yang diatur oleh dewa Loki sebagai Game Master dan para Awaken. Ada Calon Arang, Okita Souji, Jumong, Zhuge Liang, dan Vlad Dracula."

Kerut di dahi Dante semakin kentara. Dari semua tokoh dari masa lalu yang disebut Rey, yang ia tahu benar kisahnya hanya sebagian saja.

"Ah, kenapa aku bangun saat lagi seru-serunya!" Rey merutuk, berusaha mengingat potongan terakhir dari mimpinya, tetapi nihil. Yang Rey tahu hanya garis besarnya saja.

"Mimpi memang kadang berakhir saat sedang di puncak cerita." Dante mengedikkan bahu. Pandangannya tertuju pada jurnal berisi biodata dari para penghuni Asrama 300 DC yang dirangkum Rey semalam lewat wawancara dadakannya dengan Rara. Belakangan ini, Rey juga sering bermain game strategi dengan tema mitologi Nordik. Mimpi aneh yang dialami Rey bisa jadi akibat dari tumpang-tindih kedua memori tersebut. Adapun untuk Calon Arang dan kawan-kawannya yang disebut Rey sebagai Awaken, Dante tidak tahu-menahu. Barangkali hanya ingatan sekilas sebagai pelengkap bunga tidur.

"Menurut Bang Dante ini pertanda apa?" Rey meregangkan badannya yang pegal akibat tidur duduk. Ketika berdiri, barulah ia sadar selimut tebal milik Dante menggantung di bahunya. Harus Rey akui, Dante memang tipikal kakak yang perhatian.

"Mimpi hanya bunga tidur, Rey. Jangan dibawa serius."

"Tidak juga. Seperti August Kekulè yang menemukan struktur benzen karena terinspirasi dari ular yang mengigit ekornya sendiri dalam mimpi." Seakan kembali menemukan semangatnya, Rey berujar antusias sembari menyingkap halaman demi halaman jurnalnya. "Aku yakin, mimpi ini sebenarnya petunjuk."

Dante ikut melirik dan menggeser duduknya tepat di sebelah Rey. Kematian petugas kebersihan di Asrama 300 DC membuat Dante tidak bisa membiarkan penyelidikan atas kasus ayahnya semakin tertunda. Pasalnya, Rara ada di sana. Dante tidak ingin mempertaruhkan keselamatan adiknya. Berdasarkan keterangan dari Rara dan informasi dari Bella, Rey berhasil merangkum konflik dari beberapa penghuni asrama.

Rara sedang menyelidiki hubungan antara bu Kinan dengan pejabat yang terlibat dalam pembunuhan berencana mendiang ayahnya.

Ervin Samantha memiliki dendam pribadi pada Leiv Ackardia atas tuduhan pembunuhan Marry, adiknya. Berdasarkan pengakuannya sendiri, Ervin telah membunuh Leiv dan memastikan laki-laki itu tewas.

Leiv Ackardia dekat dengan murid baru bernama Shera, penyihir licik yang diduga terlibat dalam bangkitnya Leiv dari kematian.

Arabella Natania, auror sekaligus pacar Dante yang bertugas melindungi Rara. Sebelum ditangkap atas tuduhan pembunuhan petugas kebersihan, Shera menyerang Bella tanpa sebab.

Kairo Matternich, pemilik kucing hitam bernama Noir. Berteman dengan Ananda Rain Hutabarat, pemilik cangkul yang digunakan Ervin untuk mengubur jasad Leiv.

Joshua, teman sekamar Kairo.

"Selain kejanggalan tertukarnya jasad Leiv dengan Sella, hal yang belum terungkap di sini adalah alasan Shera menyerang Bella." Rey mengelus dagu. "Apa mungkin karena Bella dekat dengan Rara yang merupakan teman Ervin?"

"Kurasa bukan," tukas Dante. "Bella selalu menyembunyikan hawa keberadaannya. Lagipula, bila ada orang yang harus diserang oleh Shera untuk kematian Leiv, itu adalah Ervin."

"Benar juga." Rey mendesah frustrasi. "Satu-satunya orang yang jauh dari konflik adalah Joshua."

Dante terdiam, tidak membantah maupun mengiyakan. Masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan. "Sudah, sebaiknya kamu mandi dulu biar segar."

Menuruti saran dari Dante, Rey mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Namun, belum berapa lama teriakannya terdengar di antara deru air keran.

"Aduh, sial!"

Dante yang sedang mengaduk teh berbalik. "Kenapa, Rey?"

"Boxer-ku jatuh di bak air!" katanya lalu melongokkan kepala dari balik pintu kamar mandi. "Bang, boleh pinjam boxer-mu?"

"Sumpah!" Dante meletakkan sendok.

"Ayolah, Bang. Kamu seperti tidak tahu saja bagaimana rasanya terjepit ritsleting–"

Belum selesai Rey berujar, Dante sudah lebih dulu membongkar lemari dan melemparkan pakaian dalam baru yang disiapkan sewaktu PKL di lapas luar kota. "Pakai ini. Masih baru."

Rey menyengir lebar kemudian menghilang di balik pintu. Berselang setengah jam kemudian, ia keluar dengan kaus hitam polos dan celana boxer milik Dante. Diperhatikannya Dante yang sudah rapi. "Pagi-pagi begini sudah rapi. Mau ke mana, Bang?"

Dante melirik Rey yang mengeringkan rambut dengan handuk. "Bertemu seseorang."

Gerakan tangan Rey terhenti. "Konsultasi dengan dosen?" terkanya sangsi.

"Bukan." Dante tampak menimbang sebelum melanjutkan, "Kemarin aku menerima pesan anonim. Pengirimnya mengajak bertemu untuk membahas kasus ayah."

Mulut Rey terbuka lebar diiringi helaan napas pertanda kaget. "Serius, Bang? Bang Dante yakin orangnya bisa dipercaya?"

Kesangsian dalam nada bicara Rey semakin jelas, tetapi Dante mengangguk yakin. "Orang itu punya bukti yang selama ini kami cari. Lagipula dia tahu tentangku, tentang Rara dan asrama 300 DC, bahkan dia tahu tentang dirimu."

Mulut Rey yang sempat membuka dibuat mengatup kembali. Entah terlalu kaget atau tidak setuju dengan keputusan Dante.

"Bagaimana pun, aku tidak bisa menghindar. Bukankah lebih baik mati dengan membawa kebenaran dibanding mati penasaran?"

Rey terhenyak. "Bang Dante ...."

"Jangan khawatir Rey. Aku sudah memikirkan segalanya." Dante menarik napas dalam-dalam. Orang yang akan ia temui mengetahui rahasia besar yang selama ini disembunyikannya dari siapa pun, termasuk Rara. Arsip nomor 67. Berkas penyelidikan ayahnya yang hilang tanpa jejak.

***

"Jadi, Shera itu benar-benar penyihir?" Rara membekap mulut begitu Bella menyelesaikan ceritanya. Bahkan eksistensi Bella saja belum sepenuhnya bisa ia terima, ternyata ada penyihir lain yang berkeliaran di asrama.

Di sebelah Rara, Ervin diam dengan mulut terbuka. Kejanggalan dalam kematian Leiv memang di luar nalar, tetapi dari semua kemungkinan supranatural dan teori-teori metafisika yang mungkin bisa menjelaskan fenomena aneh tersebut, ia justru mendapati fakta bahwa kaum penyihir hidup berdampingan dengan manusia.

"Sulit dipercaya." Ervin membatin. Sekilas diamatinya Bella yang duduk manis di hadapannya. Sebagai pewaris hasil mutasi dan persilangan genetik khas orang Eropa dengan rambut pirang dan mata biru, perbedaan fisik bukan masalah besar bagi Ervin. Namun, penampilan Bella memang sedikit berbeda. Rambut dan iris matanya berwarna biru gelap yang kelihatan alami. Bukan hasil toning rambut dan penggunaan lensa kontak.

"Aku dan Dante tidak bermaksud untuk menyembunyikan ini darimu." Suara Bella merendah. "Aku ada di sini justru karena kami menyayangimu."

"Ya, bang Dante telah menjelaskan semuanya."Rara tersenyum tipis.

"Lalu, bagaimana dengan loker rahasia yang kalian temukan?" Bola mata Bella bergulir menatap Rara dan Ervin bergantian.

Rara terkesiap sebentar. Entah bagaimana, ingatan tentang loker berisi figur penghuni asrama dalam wujud boneka itu hilang dari pikirannya. Baru setelah semalam Rey menyinggung tentang portal rahasia, kilas balik saat ia dan Ervin menyelinap masuk ke ruangan tersebut teringat kembali. Setelah sarapan pagi, Rara menemui Ervin dan gadis keturunan Eropa itu mengalami hal yang sama.

"Aku baru ingat tentang loker itu setelah Rara memberi tahu. Padahal di malam setelah kami masuk ke sana, aku tidak bisa tidur karena terus terbayang boneka-boneka menyeramkan itu." Ervin lebih dulu menjelaskan. "Namun di pagi hari setelah bangun dari tidur, ingatan itu seperti menguap."

Rara mengamini. Sebenarnya melibatkan Ervin lebih jauh dalam urusan keluarganya bukan pilihan yang bijak, tetapi ia butuh saksi, dan Ervin adalah satu-satunya orang yang bersamanya saat itu. "Aku juga baru ingat setelah mendengar perkataan Rey."

"Rey? Siapa itu? Anak asrama ini juga?" Ervin menautkan kening.

"Tepatnya alumni. Sekarang jadi junior bang Dante di Jurusan Hukum." Rara memutar bola mata. "Tapi jangan berharap lebih. Sikapnya jauh beda dengan bang Dante. Dia laki-laki super narsistik!"

"Oh, ya? Lebih narsis dari Kairo?" Ervin menaikkan alis tinggi-tinggi, tetapi tatapan Rara dan Bella membuatnya buru-buru berdeham. "Maksudku, ya ... Kairo adalah laki-laki paling percaya diri dan sok ganteng di dunia!"

Rara hampir saja tersenyum geli melihat ekspresi Ervin yang salah tingkah. Tidak disangka, gadis sepertinya bisa tersipu juga. Sayang, belum sempat menggoda Ervin, sekelebat ingatan berdenyut di kepala Rara.

"Ah, aku ingat sesuatu!"

Bella dengan sigap menahan baju Rara. "Apa yang kamu ingat, Ra?"

"Terakhir sebelum meninggalkan ruangan itu, aku menggores salah-satu boneka di sana dan boneka tersebut mengeluarkan darah."

"Darah? Serius?" Ervin bergidik. Ia kerap menyaksikan banyak pertikaian, bahkan terlibat di dalamnya, tetapi boneka yang mengeluarkan darah? Sungguh melumpuhkan logikanya.

"Tidak salah lagi. Itu pasti sihir." Bella berspekulasi. "Kalian terkena sihir yang bisa menyamarkan ingatan. Boneka yang kalian lihat di ruangan itu pastilah boneka kutukan."

"Ada hal semacam itu?" Ervin semakin gelisah. Rasanya lebih baik berhadapan langsung dengan musuh dibanding melawan kekuatan gaib yang tidak terdeteksi oleh indra.

Bella mengiyakan. "Bahkan yang lebih buruk dari itu."

"Kira-kira siapa dalang di balik semua ini?" Rara mulai terlihat panik. "Di ruangan itu ada manekin semua penghuni asrama."

Ervin menggigit bibir. "Apa mungkin Shera? Bukankah dia penyihir?"

"Kurasa bukan. Hanya penyihir kelas atas yang bisa menghubungkan roh dengan benda mati." Bella bersedekap. "Aku bisa mengukur kemampuan Shera dari caranya menyerangku kemarin."

"Sebentar! Apa tadi? Menghubungkan roh dengan benda mati?" Ervin memijat dahi. "Maksudmu, roh kita terhubung dengan boneka itu?"

"Lewat perjanjian darah."

Anggukan dari Bella membuat Ervin dan Rara saling pandang. Seingatnya, mereka tidak pernah melalukan perjanjian apapun selain kontrak untuk mematuhi seluruh peraturan asrama dan ....

"Tes kesehatan sebelum masuk asrama!"

Ketiganya kompak membekap mulut. Salah satu prosedur masuk asrama adalah dengan melakukan tes kesehatan dengan pengambilan sampel darah untuk memastikan calon penghuni tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Anehnya, dilakukan secara internal oleh tim dokter yang didatangkan pihak asrama.

Rara, Bella, maupun Ervin terpekur. Tidak menyangka bila kontrak yang mereka tanda-tangani dibuat atas darah mereka sendiri.Sementara itu, di luar ruang musik yang dijadikan ketiganya sebagai tempat bertemu, Kairo meletakkan telapak tangannya di dinding dan mendengar semua pembicaraan. Kairo tidak menyangka bila asrama yang terpaksa dihuninya untuk menangkap Shera terlibat dalam konspirasi gelap antara perkara manusia dan makhluk non-manusia.

Napas Kairo tertahan ketika pikirannya menyudut pada sebuah hipotesis. Bila dalang dibalik ini semua bukan Bella dan Shera, maka satu-satunya penyihir yang tersisa di antara mereka adalah ... Joshua!

***

Rey tidak menyesali keputusannya untuk ikut bersama Dante. Selain merasa ikut bertanggungjawab, pengirim email misterius tersebut rupanya seorang perempuan yang unik. Rey banyak bertemu dengan gadis cantik, tetapi yang satu ini tidak biasa. Sebelah matanya berwarna cokelat gelap seumpama Mahoni, sedang yang sebelah lagi berwarna biru kehijauan seperti batu Pirus.

"Sebenarnya siapa dirimu dan apa tujuanmu bertemu denganku?" Tanpa basa-basi, seolah tidak terpukau pada paras perempuan di hadapannya, Dante berujar tegas.

Perempuan itu tersenyum tipis. "Namaku Valeria Zetryn. Putri dari pejabat yang selama ini kau cari."

Baik Dante maupun Rey sama-sama terperanjat.

"Ka-kau ... anak dari pejabat itu?" Rahang Dante mengeras. Bila menuruti emosi, mungkin Dante sudah menyerang perempuan yang dengan berani menampakkan wajah di hadapannya setelah semua yang terjadi. Namun, dari semua bukti yang ia terima serta kesediaan perempuan bernama Valeria itu berbicara dengannya, Dante tahu tidak boleh kehilangan kendali.

"Bila kalian berniat menyakitiku di sini, kalian mungkin akan mati sebelum berhasil menyentuh sehelai rambutku." Valeria mengerjap lambat. "Tapi bila kalian bersedia mendengar penjelasanku, kita akan menghancurkan dunia demi menegakkan keadilan."

Meski belum sepenuhnya mengerti, Dante memberi kode pada Rey untuk tidak membuat gerakan tambahan dan memberi waktu bagi Valeria untuk berbicara.

"Akan kuceritakan bagaimana semua ini bermula." Valeria membuka penjelasannya dengan sorot mata sendu. "Seperti yang kalian tahu, ayahku adalah pejabat politik. Untuk bisa bertahan, uang dan kekuasaan saja tidak cukup. Politik membutuhkan kekuatan untuk menggerakkan banyak hati dan kepala. "

Rey memicingkan mata, berusaha menilai tiap gurat yang muncul di wajah Valeria.

"Ayahku mulanya sama seperti ayahmu. Menjunjung tinggi keadilan bahkan bila dunia runtuh. Sampai kemudian, musibah dan teror mulai mengancam keluarga kami. Anggota keluarga kami dilenyapkan satu per satu demi menggoyahkan hati ayah." Mata Valeria mulai berkaca. "Lalu orang itu datang dan menjanjikan kekuatan. Dia bersedia menjadi tameng yang melindungi keluarga kami lewat sebuah perjanjian untuk menjadi penyembah iblis. Dia adalah pria yang menyamar menjadi salah-satu murid asrama 300 DC bernama Joshua."

"Joshua?" Rey berujar spontan. Dari semua penghuni yang punya konflik tersendiri, mengapa justru Joshua?

Dante sama terkejutnya dengan Rey, tetapi ia berusaha menahan diri. "Maaf, lanjutkan."

"Joshua adalah seorang penyihir gelap yang menggunakan kekuatan iblis. Setelah mengikat perjanjian dengan keluargaku, ayah perlahan-lahan mendapatkan kekuatannya. Namun, semua itu tidak gratis. Joshua meminta jiwa manusia sebagai persembahan."

Hening beberapa saat sampai Valeria melanjutkan, "Semua berjalan lancar, hingga pada suatu malam aku mendengar ayah dan ibuku bertengkar. Ibuku ingin memutus perjanjian itu."

Bulir keringat jatuh meluncur di dahi Rey. Praduganya mengarah pada satu hal.

"Lalu pada suatu hari hari saat aku terbangun di tengah malam, aku melihat ibu menghujamkan pisau padaku." Bendungan air mata di pelupuk Valeria runtuh. Bibirnya tersenyum pilu, seakan ia sudah terbiasa dengan kesedihan tersebut. "Ibu ingin memutus perjanjian dengan Joshua yang ada dalam diriku."

"Lalu ... apa yang terjadi?" Kali ini Rey tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Aku tidak ingat persis bagaimana. Ada kekuatan yang tiba-tiba menguasai diriku saat itu. Aku kehilangan kontrol dan jatuh pingsan. Yang aku tahu, ketika aku terbangun, ibuku sudah ...." Valeria memejam, tidak mampu melanjutkan kata-kata. "Tapi aku bersumpah tidak melakukan apapun. Aku tidak membunuh ibuku sendiri."

Mata Dante ikut memanas. Selama ini ia menaruh kebencian pada keluarga Valeria, tanpa tahu kenyataan yang ada di baliknya. Rey pun kehabisan kata. Mereka menunggu Valeria mengusap bekas air matanya dalam diam.

"Untuk melindungiku, ayah membuat tuduhan palsu pada sopir pribadi keluarga kami." Valeria menatap Dante dalam-dalam. "Ayahmu dengan sukarela menjadi pengacara dan membelanya di persidangan. Namun, bukan karena sebab itu ayahmu mengalami peristiwa nahas di malam pentas Rara."

"Apa maksudmu?" Dante terkesiap. Dari sorot matanya, Valeria tampak berkata jujur. Namun, untuk alasan apa lagi ayahnya dihabisi?"

"Saat menyelidiki latar belakang keluargaku, ayahmu berhasil mengetahui perjanjian yang kami buat dengan Joshua. Bahkan setelah persidangan selesai, ayahmu diam-diam menyelidiki itu dan terus mengumpulkan bukti." Valeria meneguk ludah. "Arsip penyidikan nomor 67 adalah tentang kerjasama keluarga kami dengan penyihir gelap. Joshua melenyapkan ancaman itu dengan mengatur pembunuhan berencana untuk ayahmu dan mengamankan barang bukti."

"Ja-jadi, yang melakukan pembunuhan itu adalah Joshua?" Rey memasang wajah syok.

Valeria mengangguk. "Untuk melindungi keluarga kami dari sorotan publik, ayah memilih mundur dan menerima sanksi non job. Namun, berkat kekuatan yang diberikan oleh Joshua, akses keluargaku pada berbagai bidang di pemerintahan tetap terbuka. Ayah membangun relasi dan bergerak di bawah tanah untuk menghancurkan pejabat yang memimpin sekarang."

"Lantas, apa alasan Joshua menyamar sebagai murid asrama? Apa laki-laki merencanakan kejahatan lagi?"

"Benar. Asrama 300 DC yang berjalan dengan sokongan dana dari ayah dan dikelola oleh bu Kinan adalah tempat Joshua mengumpulkan kekuatan. Asrama itu memang sengaja menyeleksi orang-orang bermasalah." Valeria berpaling pada Rey."Sebagai pengguna sihir gelap, Joshua membutuhkan energi negatif untuk bisa menambah kekuatan. Dendam, amarah, dan ambisi. Joshua membutuhkan itu."

Rey mengepalkan tangan. "Lalu bagaimana nasib penghuni di sana?"

Raut wajah Valeria terlihat semakin muram. Melihat itu, Dante memutuskan untuk bicara.

"Apa ada tujuan di balik semua yang direncanakan Joshua ini?" Dante membasahi bibir. "Adikku menemukan loker rahasia di yang berisi boneka seluruh penghuni asrama."

"Ah, jadi Rara berhasil menemukannya." Valeria bergumam. "Ruang rahasia itu adalah tempat Joshua memantau penghuni asrama dan melakukan persembahan. Di dalamnya ada cermin yang menjadi portal penghubung dunia manusia dan dunia sihir."

Dante menyela. "Tunggu, bagaimana kau tahu soal ruang rahasia yang ditemukan Rara itu?"

"Aku tahu itu sudah sejak lama. Ketika terjadi pembunuhan di asrama, ayahku diam-diam datang ke sana bersama pihak polisi untuk menutupi kejadian tersebut. Aku yang ikut serta berusaha memberi tahu Rara dengan menuliskan pesan rahasia pada selembar kertas." Valeria mendesah panjang. "Namun karena terus diawasi oleh pengawal ayah, kertas tersebut akhirnya kubuang dalam galian bekas kuburan sebelum ditutup Mang Solihun. Meski sedikit rumit karena kode dalam pesan itu kutujukan untuk Rara yang paham soal musik, kuharap Ervin yang menjadi tersangka pembunuhan bisa menemukan dan memecahkan kodenya."

Dante mengangguk saja. "Jadi, untuk apa Joshua melalukan semua ini? Apa itu artinya Rara dan seluruh penghuni asrama dalam bahaya?"

"Afirmatif." Valeria mencondongkan badan. "Joshua berniat melakukan persembahan untuk membangkitkan kekuatan iblis pada malam bulan purnama, tiga hari dari sekarang. Tidak ada yang tahu pasti apa tujuannya, yang pasti, bila kekuatan iblis berhasil masuk ke dalam tubuhnya, kejahatan lain akan terus berlanjut. Bukan hanya ibuku dan ayahmu, orang lain yang tidak bersalah akan jadi korban. Tidak menutup kemungkinan penghuni asrama ikut terancam. Fiat justitia et pereat mundus. Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus runtuh. Bukan begitu, Justitia?"

Sudut bibir Dante tertarik sedikit. "Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

"kita harus menghentikan persembahan yang akan dilakukan Joshua." Valeria menggenggam buku jemarinya sendiri. "Untuk itu, kita harus memutuskan perjanjian darah dengan boneka-boneka di loker agar para penghuni tidak di bawah kendalinya."

"Bagaimana bisa?" Rey menginterupsi. "Asrama itu dijaga sangat ketat. Orang dari luar hanya diizinkan berkunjung di akhir pekan. Itupun sebatas di lobi dan diawasi."

Seperti sudah menduga kekhawatiran Rey, Valeria menumpukan tangan di atas meja. "Persembahan itu bersamaan dengan hari pembukaan festival seni di asrama. Ayahku akan hadir di persembahan itu untuk menerima berkat dari kebangkitan iblis. Aku akan membantu kalian menyamar sebagai pengawal pribadi dan kita akan menghancurkan altar persembahan sebelum purnama berada di puncaknya saat tengah malam."

Untuk kali kesekian, Dante dan Rey saling berpandangan. "Bagaimana kami bisa percaya padamu?"

Tanpa terlihat tersinggung, Valeria menghela napas dan mengeluarkan sebuah map beri dokumen serta diari usang dari dalam ranselnya. "Ini adalah berkas penyidikan ayahmu dan buku harian ibuku. Aku mempertaruhkan segalanya demi menjaga bukti ini. Namun, sekalipun bukti ini terungkap, selama Joshua dan kaki tangannya belum dilumpuhkan, peristiwa 9 tahun yang lalu akan kembali terulang."

Tangan Dante bergetar ketika jemarinya menyentuh permukaan dokumen milik ayahnya yang hilang. Jutaan emosi mengaduk hatinya, hingga tanpa sadar, air matanya berderai. Dante tidak bisa berbohong, ia masih–sangat merindukan kehadiran ayahnya.

"Maaf karena aku datang terlambat. Selama ini ayah menjagaku dengan sangat ketat. Aku tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawasan." Valeria mengerjap. Ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan sosok yang dicintai. "Sekarang perhatian ayahku teralihkan untuk persembahan itu. Banyak pengawal yang dialihkan untuk menjaga asrama."

"Bukan salahmu." Dante menggeleng. Dibanding kesedihan yang dialaminya, Valeria sesungguhnya lebih menderita.

Rey menepuk punggung Dante mengusap wajah dengan lengan baju. "Bagaimana denganmu, Valeria? Apa yang membuatmu mengkhianati ayahmu sendiri?"

"Aku tidak mengkhianati ayah, aku mencintainya. Aku ingin membebaskan ayah dari lingkaran setan ini. Seperti yang ingin dilakukan ibuku." Valeria tersenyum tulus. "Kalau perlu kalian tahu, orang yang paling menyayangiku di dunia ini adalah ibuku. Namun ibu mengorbankan perasaannya, membunuh rasa cinta pada putrinya, demi menegakkan kebenaran."

Ketegaran Valeria membuat Rey ikut tersentuh. "Maaf mengungkit ini lagi. Mengapa ibumu harus ... melakukan itu padamu? Apa tidak ada cara lain untuk memutus perjanjian keluarga kalian dengan Joshua?"

"Sayangnya, tidak ada." Mata Valeria berkaca lagi. "Sebab sesungguhnya aku hidup dari nyawa yang dipinjamkan Joshua. Aku tidak bisa mati kecuali Joshua hancur. Sebab itu, tolong bantu aku menghancurkannya."

Pengakuan Valeria membuat Rey dan Dante tercengang. "Kau ... kau ingin mengorbankan dirimu?"

Valeria menunduk. "Hidup yang kujalani ini sesungguhnya bukan hidupku."

Rey berdiri. "Tapi itu artinya kau juga akan mati!"

"Jiwa manusia tidak pernah mati, Rey. Roh adalah energi yang kekal. Roh adalah gelombang yang merambat dan tidak akan musnah sampai kapan pun." Valeria mengangkat kepala. Air matanya kembali mengalir deras. "Pada akhirnya, semua dari kita akan berpindah dimensi. Namun, gelombang yang satu frekuensi akan selalu bertemu. Aku percaya, roh orang-orang yang berbuat baik akan ditempatkan di tempat yang sama. Baik ibuku, ayahmu, dan semua orang yang berjuang demi keadilan."

***

Author kireiskye

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top