VIII. Justitia

"Argh! Apanya yang hebat?! Temponya berantakan." Rara geram oleh suara yang hanya bisa dia dengar sendiri lewat earphone. Tidak seperti ketika dia tiba-tiba pingsan hari itu, kali ini Rara latihan tanpa ditemani siapa pun. Bella tidak mau keluar dari kamar meski dipanggil berkali-kali. Akhirnya, dia pun pergi ke ruang musik sendirian.

Kalau saja tidak teringat semua kerja kerasnya selama sebulan terakhir, mungkin buku catatannya sudah melayang lalu berciuman dengan lantai. "Yang sabar, Ra, sabaaar ...." Dia mengelus dada sambil mengatur napas.

Bagaimanapun, Bella tidak tahu apa pun tentang teori musik, ataupun cara bermain piano. Tentu saja dia takkan tahu di mana letak kesalahan, dan otomatis menganggap Rara sangat luar biasa. Yah, kritik apa yang bisa diharapkan dari Bella. Dia bukan Dante yang selalu tahu apa yang perlu diperbaiki dari sebuah permainan–meski kemampuannya sendiri mandek di grade 6.

Rara mearih pensil di dekat tuts piano, kemudian melingkari salah satu bar. Dia selalu menjadi melankolis di bagian tersebut. Metronom di dalam kepalanya seperti melambat. Sehingga tanpa sadar permainannya juga lebih pelan dari seharusnya. "Aku harus fokus," gumamnya.

Celebrazione della Tristezza. Interpretasi kesedihan di dalamnya memang merupakan kekuatan utama, tetapi itu seharusnya tidak membuat dia melupakan hal fundamental.

Ia kembali menarik napas panjang sebelum menekan ikon play di layar ponsel. Matanya bergerak sepanjang partitur di buku catatan. Selama satu setengah menit, tidak ada yang terdengar bermasalah. Hingga ia mencapai koda, bagian di mana ia menumpahkan seluruh pemahaman tentang teori musik yang ia pelajari selama bertahun-tahun. Kening Rara sontak berkerut. "Ini terlalu seperti Chopin." Diraihnya kembali pensil kemudian melingkari bagian yang ia rasa bermasalah.

Rara mengerang frustrasi. Dari awal dia seharusnya tidak coba-coba banting setir ke jalur seorang komposer. Dia menyerah. Mungkin lebih baik dia menampilkan Ballade No. 1 saja di konser nanti. Lagi pula, atmosfer yang dibawanya tidak jauh berbeda. Malah piece itu mampu membuat penonton terpukau dengan bagian akhirnya yang benar-benar indah dan spektakuler.

Tepat ketika gadis itu melepas earphone di telinga, ia menyadari kehadiran seekor makhluk berbulu tebal yang sepertinya masuk lewat pintu ruang musik yang tidak tertutup sempurna. Makhluk itu menempelkan tubuhnya ke kaki Rara, mengeong pelan.

"Wah, kucing! Ada kucing di sini!" Rara berseru heboh sendiri. Semua perasaan rasa kesal dan lelahnya menguap. Apalagi kucing hitam itu menunjukkan gestur senang ketika dielus-elus olehnya. "Halo, kucing. Duh, gemes banget." Gadis itu mengangkatnya lalu meletakkan di atas pangkuan.

Sebuah kalung melingkar di lehernya bertuliskan sebuah nama. "Noir? Nama kamu juga imut banget!" Seakan-akan mengerti apa yang Rara katakan, kucing hitam tersebut semakin menggosok-gosokkan kepala ke lengan gadis itu.

"Hei, berarti kamu bukan kucing liar, kan. Kamu kucingnya anak asrama?" Noir mengeong, seolah menjawab pertanyaan Rara. "Kita cari pemilik kamu, okey?" Ia menyahut setuju.

Tanpa menunggu lama, Rara lekas mengemasi semua peralatannya ke dalam tas, menutup tuts piano, kemudian menggendong Noir keluar. Rara tidak berhenti mengelus punggungnya—kucing hitam itu tampak begitu menikmati. Bulunya tampak lembut dan terawat. Tidak salah lagi. Pemiliknya pasti sangat menyayangi kucing ini.

Beberapa lama kemudian, mereka hampir tiba di lapangan. Pandangan Rara sontak terarah pada dua orang di dekat pohon besar. Tampak sesosok jangkung berambut hitam pekat. Noir pun ternyata ikut terfokus pada sosok itu, mengeong berkali-kali. "Itu pemilik kamu?" Yang ditanyai kembali mengiyakan.

Dari sana juga tampak satu orang lagi dengan rambut pirang digerai yang sudah pasti adalah Ervin. Karena sedikit penasaran, Rara akhirnya menuruti Noir untuk mendekati mereka.

"Kamu pernah melihat cangkul Rain? Atau mungkin, kamu pernah memakainya?"

"Cangkul? Kenapa gue harus pakai cangkul?"

Lelaki itu menatap penuh selidik. Namun, Ervin tak mau kalah, melemparkan sorot mata paling sinis yang dia punya. Tensi pembicaraan mereka benar-benar tidak mengenakkan. Jika ini adalah adegan di dalam sinetron, pasti kamera akan terfokus ke mata mereka berdua bergantian. Bergiliran berucap sinis dalam hati, diiringi dengan musik latar yang dramatis. Keduanya hanya terfokus pada satu sama lain ketika tiba-tiba ....

"Hei, lagi bahas apa, nih?!"

Kedatangan sang pianis yang tiba-tiba berseru dengan volume maksimal memaksa mereka berdua mundur selangkah. "Rara?" Yang dipanggil namanya hanya menyeringai tak berdosa.

Masih dengan tangan mengelus punggung Noir, ia menoleh ke arah lelaki dengan mata ditutup sebelah itu. "Kairo Metternich, kan?" tebaknya, yang kemudian dijawab dengan anggukan.

"Wah, keren!" Melihat mata hazel Rara yang berbinar, Kairo tersenyum bangga seraya menyugar rambut depan. Haruskah dia menggodanya, atau memuji balik? 'Nona Rara juga sangat manis.' Oh, tidak. Dia harus mengucapkan terima kasih dulu.

"Ter–"

"Berarti sekarang aku udah beneran hafal muka dan nama-nama semua anak asrama," ucap Rara lagi sebelum Kairo sempat bicara.

Pemuda itu mendengus sebal. Sungguh sebuah pengkhianatan. Setelah berharap begitu tinggi, ternyata Rara hanya sedang memuji kemampuannya sendiri, bukan ketampanan alami yang dibawa Kairo sejak lahir.

"Nih, majikan kamu dari tadi nyariin."

Kairo tak jadi membuang muka. Dia lekas meraih Noir yang tampak lebih bahagia bersama Rara, gadis jahat yang sudah menghempaskan harapannya sampai ke inti bumi. "Astaga, kan aku bilang jangan ke mana-mana. Tunggu di kamar."

Noir mengeong protes, mencoba menyerang Kairo dengan kaki pendeknya.

"Oh, ya. Kalian nyari cangkul ya?" Rara menginterupsi pertengkaran antara babu dan majikan itu. "Kebetulan tadi aku denger Bu Kinan marah-marah. Katanya ada cangkul ditaruh sembarangan di halaman belakang ruangannya. Mungkin itu cangkul yang kamu cari."

Baik Ervin, maupun Kairo sama-sama menoleh tak percaya. "Serius?" Cowok itu lebih dulu bertanya memastikan. Setelah mendapat konfirmasi berupa anggukan, ia segera pergi bersama Noir. Sekilas dia memang menatap curiga pada Ervin, tetapi pada akhirnya tetap berjalan menjauhi area lapangan.

Rara juga hendak pergi. Namun, lengannya ditahan oleh Ervin. "Ra, lo ini gimana, sih? Lo mau liat gue ditangkap?" Perempuan keturunan Jerman itu setengah berbisik.

"Ini sudah seminggu lebih. Cangkul itu udah kena hujan panas berhari-hari. Polisi atau pihak asrama kemungkinan nggak akan bisa mendeteksi sidik jari kamu." Rara tersenyum, entah apa maksudnya. "Kalaupun ternyata si Kairo itu punya kemampuan psikometri, itu nggak akan berguna. Penglihatan semacam itu nggak bisa dijadiin bukti di pengadilan."

Genggaman Ervin perlahan melemah mendengar pernyataan Rara. Benar juga. Kenapa dia mendadak panik? Apa dia takut ditangkap dan diadili menurut hukum negara ini? Apa dia takut dieksekusi, atau dibunuh targetnya sendiri? Tidak. Ketika ia memutuskan datang kemari demi Marry, ketakutannya akan kematian sudah dibuang jauh-jauh.

Ia memandang kosong tangan yang ia gunakan untuk melubangi tengkorak Leiv dengan peluru. Padahal Justitia, keadilan itu sendiri, berada di pihaknya. Lantas kenapa dia masih ragu?

"Lo mau ke mana?" Pertanyaan Ervin menghentikan Rara yang mulai menjauh.

"Balik ke kamar. Mau ikut?" Gadis berambut pirang itu tak menjawab. Hanya menghela napas panjang. Tatapan datarnya ia arahkan pada pembunuh sang adik tercinta. Namun, tampaknya Rara mengerti isi pikirannya. "Ya udah, hati-hati."

Akhirnya, Ervin kembali sendiri. Bergelut dengan keraguannya dalam dada bersama hening.

Sementara itu, Rara langsung menghubungi sang kakak dengan ponsel setelah memastikan pintu kamar terkunci rapat. "Jangan sampai kejadian ini bocor ke pihak luar." Bodoh amat dengan perintah Bu Kinan. Sejak awal ia masuk ke isntansi ini memang untuk membongkar semua kedok asrama.

Sebenarnya dia pun ragu dirinya akan segera ditanggapi. Kemungkinan Dante masih berhadapan dengan dosen. Namun tanpa diduga, panggilan segera tersambung, tidak seperti biasa.

Baru saja Rara ingin mengutarakan keheranan, Dante lebih dahulu menjelaskan. "Ra, aku nggak bisa dateng pas weekend nanti. Dosen pembimbingku mendadak ngubah jadwal konsultasi, lagi.".

Rara tersenyum simpul. Sudah ia duga ini yang terjadi. "Nggak papa, Bang. Yang perlu tahu itu cuma Bella."

"Udah kukabari. Dia langsung ngambek." Kekecewaan di wajah Dante bahkan menjadi jauh lebih jelas lagi. Seolah itu adalah hal yang lebih buruk daripada batal bertemu dosen.

Rara benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Hubungan kakaknya dengan gadis bersurai biru gelap itu memang agak unik. Pantas saja tadi Bella tidak mau membuka pintu untuknya. Dia punya kebiasaan menghindari semua orang ketika sedang marah.

Tiba-tiba dari sisi layar laptop kakaknya muncul sosok yang begitu asing, tersenyum penuh percaya diri. "Oh, ini Rara, ya. Halo, manis. Namaku Rey, lengkapnya 'Reyla menghabiskan sisa hidup berdua denganmu'."

Rara hanya bisa ber-hah bingung.

"Kamu beruntung, ya, punya abang pengacara. Kamu nggak ditangkap polisi, walaupun terbukti telah melakukan tindak pencurian hati milik lelaki hopeless ini." Pemuda bernama Rey itu menggeser laptop hingga yang terlihat di layar hanya dirinya seorang.

"Dia ini siapa, Bang?" Rara tak bisa lagi menyembunyikan kebingungannya. Dia mengenal hampir semua teman kakaknya di organisasi. Namun, makhluk yang satu ini terlalu eksentrik. Mungkinkah dari spesies lain?

Dante kembali mengambil alih laptop, menyuruh Rey pergi jauh-jauh. "Bukan siapa-siapa. Cuma–"

"Junior kebanggaan Bang Dante. Aku calon aparat penegak hukum masa depan, sekaligus calon penghuni hatimu." Rey memang menjauh, tetapi dia muncul lagi di belakang Dante.

Kalimat terakhirnya mengundang tatapan marah. "Mood-ku udah jelek setelah di-PHP dosen. Godain adikku sekali lagi, langsung kuhajar kamu, Rey."

"Ampun, Bang." Demi mendengar ancaman sang senior, Rey menangkupkan kedua telapak tangan, tetapi bibirnya menunjukkan seringai tak berdosa.

Jika menuruti emosi, sebenarnya tidak perlu menunggu Rey kembali mengeluarkan rayuan gombal lagi. Dia bisa menghajar cowok itu sekarang juga. Dante mengembuskan napas berat. "Abaikan aja dia, Ra. Yuk, langsung mulai aja."

Rara berucap pelan. "Dia nggak diusir dulu?"

"Nggak usah." Jawaban sang kakak benar-benar di luar dugaan Rara. Pasalnya, Dante adalah orang yang paling sering berkoar-koar soal kerahasiaan misi pengungkapan konspirasi di balik kematian sang ayah. "Penyelidikanku selama ini sebenernya dibantu Rey. Jadi, dia udah tahu semua soal keluarga kita."

Rara mengernyit bingung, mengalihkan pandangan pada Rey yang sibuk memainkan ponsel. Dia tidak bisa menyalahkan tindakan Dante, karena dia sendiri pun membocorkannya kepada Ervin – yang jauh lebih tidak bisa dipercaya. Akan tetapi ... ini tidak salah, kan? Kakaknya yang menjunjung tinggi efisiensi memercayakan rahasia pada orang semacam itu?

"Keliatannya memang nggak meyakinkan. Tapi dia sebenernya lumayan. Cuma yah, gimana ya bilangnya. Potensinya kebuang percuma. Otaknya malah dipake buat debat lawan emak-emak di lampu merah." Dante menggaruk tengkuk melihat ekspresi Rara yang sama sekali tak berubah. Bagaimana mungkin dia bisa meyakinkan sang adik. Sejujurnya dia juga tak bisa meyakinkan diri ini keputusan yang benar.

"Inget berita dua tahun lalu, soal asrama yang ternyata markas orang-orang dari sekte sesat, kan? Ya, Rey ini salah satu penghuninya yang berhasil selamat," jelasnya lagi. "Setelah keluar dari sana, dia ngebantu kepolisian buat ngungkapin banyak kasus."

Mendengar semua prestasinya disebut, Rey tersenyum bangga berpose dengan dua jari. "Tapi ini nggak gratis loh, ya."

Akhirnya, meski masih ada sedikit keraguan, Rara tetap menjelaskan situasi terkini di asrama. Tentang kematian aneh sang petugas kebersihan yang ditutup oleh pihak asrama, sampai kabar tentang gadis mencurigakan, Shera, yang menghilang entah ke mana. Tidak lupa, Rara juga mengirimkan hasil sadapan pembicaraan di ruang kepala asrama.

Dante memegang dagu, mengangguk sesekali. Rey yang semula tampak tak tertarik ikut mendengar dengan serius.

"Kematian aneh?" Rey paling dulu memecah kesunyian setelah Rara menyelesaikan laporan.

"Dari kondisi mayatnya, korban mirip orang yang kehabisan napas. Masalahnya, TKP-nya di UKS, bukan tempat sempit tanpa ventilasi. Terus di leher juga nggak ada bekas cekikan. Malah, pembuluh vena di lehernya berubah jadi merah terang."

Rey berpikir keras. Dia sama sekali tak pernah mendengar yang seperti ini, bahkan di dalam fiksi kriminal. "Racun?"

"Entahlah."

"Bukan. Tapi fenomena supranatural," Dante menyanggah. "Dari obrolanku dengan Bella beberapa hari yang lalu, para penyihir mulai berulah. Entah apa alasannya. Tapi masalah yang mereka bikin beneran merembet ke mana-mana."

Hening beberapa saat. Rara mengerjap-ngerjap dengan mulut terbuka. "Bang Dante ngomong apa, sih?"

Meski ucapannya menyalahi akal sehat, nada bicaranya tak sedikit pun terlihat bercanda, apalagi berdelusi. "Leiv Ackardia, delapan belas tahun. Menurut bukti yang kamu kirim, mestinya dia sudah mati minggu lalu karena satu tembakan fatal di kepala. Tapi dia bangkit lagi, tanpa bekas luka sedikit pun. Apa menurut kamu, itu masuk akal?"

Penjelasan itu seketika membungkam gadis itu. Memang ada kasus langka di mana orang bisa lolos dari headshot. Itu pun setelah melewati penanganan yang super rumit. Akan tetapi, tanpa bekas luka sedikit pun, itu lain cerita.

Rara memijat kening. Mau ditolak bagaimanapun, penjelasan Dante adalah yang terbaik untuk menutupi kejanggalan itu.

Smentara itu, Rey beringsut mendekati Dante agar suaranya lebih terdengar jelas dalam sambungan telepon. "Dari semua pembicaraan yang disadap Rara, ketauan kalo sebenernya pihak asrama nggak nutupin apa pun dari donatur mereka – pak mantan pejabat yang kalian selidiki."

"Mayat di koper yang tiba-tiba berubah, kematian petugas kebersihan, si cewek mencurigakan yang nggak tau ke mana. Kejadian aneh ini nggak cuma terjadi sekali, loh. Kok asrama nggak bertindak? Padahal kalo dibiarin, masyarakat pasti bakalan tau. Bukannya kalo itu terjadi, kedok pak mantan pejabat juga bakalan kebongkar sekalian?"

Seolah tak membiarkan Rara mencerna satu situasi lebih dahulu, Rey mengutarakan isi pikirannya. "Menurut kalian, kenapa pak mantan pejabat ngebiarin sumber masalah yang berpotensi membahayakan posisi dia? Padahal kalo mau, dia bisa aja nyuruh pihak asrama menyingkirkan semua siswa mencurigakan. Bahkan walaupun harus pake cara paling nggak manusiawi."

Cowok itu bergantian memandangi Justitia bersaudara. Beberapa saat kemudian tersenyum kecil, mengedikkan bahu. "Tentunya karena dia dapat keuntungan dari kehadiran siswa-siswa bermasalah tadi."

Teori milik Rey cukup masuk akal. Rara juga sempat berpikir begitu ketika pertama kali mendengar pengakuan jujur Ervin. Pak mantan pejabat kemungkinan tahu soal semua keanehan itu, dan membiarkannya karena suatu alasan.

Akan tetapi, soal penjelasan kakaknya ....

"Penyihir .... Berapa lama Bang Dante tau soal ini?" Pertanyaan itu lebih terdengar seperti gumaman.

"Udah lama. Sejak pertama kali kenal Bella. Awalnya aku juga menolak percaya hal nggak rasional begitu. Tapi ... kalo dipikir-pikir, kemampuan Bella juga nggak rasional," ungkap Dante jujur. Membuat sang adik semakin tak tahu harus berkata apa.

"Jadi, Bella juga?"

Ekspresi serius di wajah Rey sempurna menghilang. Seperti baru saja sadar setelah dirasuki arwah Sherlock Holmes, dia kembali menjadi dirinya yang asli. "Nggak usah heran, Ra. Di asramaku sebelumnya juga ada sekte satanis. Bisa aja, kan, di tempat kamu malah ada portal ke dunia lain."

Tak sedikit pun gestur Rey mengindikasikan bahwa ucapannya harus dibawa serius. Namun, tak urung Rara terus memikirkannya.

"Portal ... ke dunia lain?"

*

Di lain tempat, di kamar yang juga tertutup rapat, seorang gadis meringkuk di sudut ruangan. Ponselnya dibiarkan tergeletak begitu saja di atas ranjang. Ia memeluk lutut semakin erat, enggan melirik benda itu sedikit pun.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengecewakanmu. Tapi ... dosenku mengubah jadwal konsultasi. Aku tidak bisa datang."

Itulah kalimat terakhir yang terdengar melalui benda persegi empat tersebut sebelum ditelantarkan begitu saja oleh pemiliknya.

Kalau tidak besok, lalu kapan? Bella memendam pertanyaan itu dalam benak bersama rasa perih.

Tidak. Ia tidak menyalahkan Dante karena mencampakkannya demi gelar sarjana hukum. Toh sejak awal dia tahu dirinya tidak akan lebih diprioritaskan daripada mimpi besar pemuda itu. Dia Andante Justitia, hidup demi keadilan, bukan afeksi seorang gadis kesepian.

Bella tiba-tiba teringat kejadian dua tahun lalu yang menjadi awal segalanya. Di suatu tempat yang jauh, dia melaksanakan misi penting. Terlibat pertarungan satu lawan sekian banyak hingga benar-benar kewalahan. Sebelum dirinya tewas di tangan para penyihir gelap itu, dia memakai kekuatan teleportasi. Namun, energi yang hampir habis membuat mantranya tak bekerja secara maksimal, membuat Bella terlempar ke tempat yang bukan tujuannya.

Entah harus disebut kemalangan, atau keajaiban. Bella berakhir tepat di depan pintu kamar indekos milik Dante. Melihat tubuhnya yang dipenuhi luka serta wajah pucat pasi yang menatap horor, pemuda itu tanpa bertanya panjang lebar membawanya masuk. Dia buru-buru menelepon mahasiswi kedokteran kenalannya untuk meminta bantuan.

Padahal lelaki itu hanyalah manusia biasa tanpa kekuatan, yang bisa saja meregang nyawa hanya dengan jentikan jari Bella. Namun, Dante seperti tak memiliki sedikit pun ragu apalagi curiga. Ia melindungi Bella sampai benar-benar pulih. Jangan lupakan bagaimana dia merelakan uang bulanannya habis lebih cepat, atau bagaimana dia berusaha keras mencari bantuan profesional karena mengira Bella adalah korban kasus penganiayaan.

Dante hanya seroang manusia biasa. Namun, kekuatannya jauh lebih dahsyat dari sihir apa pun yang dimiliki Bella, terletak pada empatinya.

Manusia biasa.

Frasa itu sukses membuat air mata Bella jatuh. Jika bukan karena misi, seorang auror takkan diizinkan melakukan kontak dengan manusia biasa. Dengan kata lain, segera setelah misinya selesai, tak ada lagi yang bisa dia berikan selain ucapan selamat tinggal. Itu pun kalau Dante sempat meluangkan waktu di tengah kesibukannya.

Ia tak mengharapkan apa-apa. Kalau memang takdir tak mengizinkan mereka bersama lebih lama, tak apalah. Bella hanya berharap bisa membayar utangnya. Membebaskan sang kekasih dari cengkeraman rasa penyesalan.

Dante mungkin tampak seperti anak yang paling tidak terpengaruh oleh kematian tragis sang ayah, jika dibandingkan dengan kedua adiknya. Padahal kenyataannya, dialah yang paling terluka. Beban ekspektasi dan rasa bersalah terus menghantui. Bahkan setelah ia membuang semua yang berkaitan dengan peristiwa traumatis itu, termasuk cinta pertamanya, pada hari kelulusan SMA di kampung halamannya.

Pemuda itu terjebak di masa lalu, di umurnya yang kedelapan belas. Dan tebak apa yang bisa Bella lakukan untuk itu?

Ya, tidak ada.

Bella tak punya hak untuk mengaku bahwa dirinya berguna. Berniat melindungi Rara sebagai balasan, akhirnya justru dia yang dijaga oleh Rara. Gadis itu membenamkan wajah di antara lutut.

Syal biru muda pemberian laki-laki itu melingkar di lehernya. Mencegah orang-orang melihat tanda serupa akar yang tak kunjung hilang. Bella tersenyum getir. Bahkan ketika mereka berjauhan, Dante masih melindunginya.

Dia hanya beban, bukan? Seorang auror yang tak bisa melindungi hal yang berharga bagi dirinya sendiri. Bukankah itu ironis.

Berdiam diri di kamarnya yang temaram, Bella merasa tercekik. Dia bangkit mengambil buku sketsa dan alat gambar, merapalkan mantra untuk menghilangkan hawa keberadaannya, kemudian berjalan keluar.

Aneh. Padahal gadis itu yakin sekali ilusinya bekerja dengan baik. Lantas mengapa rasanya seperti ada yang membuntuti sejak ia berjalan menjauhi kamar? Bella meneguk ludah, mendekap buku sketsanya lebih erat. Ini sama sekali bukan pertanda baik.

Sesuatu itu tak berhenti mengikutinya. Bahkan meskipun ia berjalan sampai halaman belakang UKS yang hanya ditumbuhi rumput liar. Bella berhenti. Mata biru gelapnya awas melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, tetapi ia bisa merasakan sebuah energi sihir.

Mungkinkah si penguntit ini menguasai sihir menghilang?

Gadis itu memejamkan mata, memfokuskan pikirannya ke sekeliling. Tempat ini jauh dari keramaian. Berbagai macam pancaran energi ditangkap oleh reseptor di bawah kulitnya. Energi dari dirinya sendiri, energi dari alam, serta energi sihir yang tak asing. Tepat di titik butanya.

Bella berbalik badan, menembakkan anti-sihir. Dengan pergerakan yang tiba-tiba, dia membuat si penguntit tak sempat mengelak. Benar saja. Cahaya yang terlepas dari telapak tangannya seperti menabrak sebuah penghalang, melemparkan targetnya sejauh dua meter.

"Aaaah!" Terdengar seperti suara jeritan perempuan.

Bella mendekat, dengan posisi tangan siap bertarung. "Sudah kuduga itu kau," Sedatar ucapannya, ia memandangi lawannya yang kesulitan bangkit. "Sudah bosan jadi burung gagak?"

Perempuan yang tak lain adalah Shera itu mendelik geram. Dia harus segera menyelesaikan ini kalau tidak ingin ketahuan pihak asrama. Akan tetapi, Bella memasukkan sihir pelumpuh pada serangannya barusan. Sehingga, sebagian tubuh Shera menjadi kaku. "Sial," ia mendesis, bersusah payah berdiri.

"Apa yang kau rencanakan? Urusanku bukan dengan penyihir seperti kalian."

"Kamu tidak berhak tahu!" sergah Shera. Jemari di tangan kanannya yang masih bisa bergerak ia gunakan untuk membatalkan pengaruh mantra milik Bella. "Yang perlu kamu tahu hanya satu. Aku akan menyingkirkanmu!"

Tepat di ujung teriakannya, angin dingin bertiup kencang di sekeliling mereka berdua. Membawa debu serta pasir yang mengaburkan pandangan. Beberapa kerikil ikut beterbangan, membuat luka goresan di pipi Bella.

Ia lekas mengaktifkan gelembung perisai. Namun, belum sempat ia membaca serangan Shera, gadis itu muncul di belakangnya mengayunkan sebuah belati sihir. Bella terbeliak, cepat-cepat menghindar sebelum benda itu mengenai lehernya. Melupakan buku sketsanya yang jatuh begitu saja di atas rumput.

Baru saja kakinya menyentuh tanah, Shera kembali menyerangnya dari arah lain. Seolah-olah penyihir yang satu ini bisa membaca gerakannya sedetik ke depan. Membawa nafsu membunuhnya bergerak secepat angin.

Bella tidak mungkin bisa meloloskan diri kecuali dengan memakai sihir. Akan tetapi, jika dia melakukan itu, tanda serupa akar itu akan semakin sulit hilang dari tubuhnya. Bagaimana ini? Dia tak boleh membiarkan identitasnya terbongkar.

Sembari berusaha menghindari ayunan belati Shera, diremasnya syal biru muda yang melingkar di lehernya.

Tidak, dia tidak boleh mati!

Gadis bernama Shera ini terbutakan oleh cintanya kepada Leiv. Membuatnya benci dan ingin menghabisi siapa pun yang sekadar bersimpati kepada Ervin. Dan salah satu dari mereka tak lain adalah Rara. Jika dia mati, takkan ada yang melindungi Rara. Takkan ada yang membawa harapan akan berdirinya keadilan.

Jika dia mati, dia hanya akan menambah beban untuk Dante.

Napas sang auror muda mulai terengah-engah.

Persetan soal tanda itu. Aku tidak boleh mati di sini!

Bella menggeram. Mengabaikan perih di kulitnya yang tergores butiran pasir dan kerikil. Tepat ketika Shera henda menusuknya dari belakang, dia memakai sihir teleportasi. Muncul di belakang lawannya seraya mengarahkan telapak tangannya yang diselimuti cahaya putih. Ia menggunakan mantra yang sama dengan yang ia gunakan untuk membuat Rara, membuat Shera ambruk ke tanah. Sementara belati di tangannya menghilang begitu saja.

Seraya berusaha mengatur napas, Bella memungut buku sketsa dan pensil 6B-nya yang tergeletak. Dari kejauhan, terdengar suara sekumpulan orang berjalan cepat mendekati lokasi. Gadis itu merapatkan syal, menghilangkan hawa keberadaannya, kemudian pergi dari sana tanpa disadari siapa pun.

Sementara itu, para siswa asrama mendengar keributan dari batu kerikil yang mengenai kaca jendela UKS. Mereka berlarian ke sumber suara dengan penuh rasa penasaran, menemukan Shera yang terkapar hampir pingsan. Mereka semua mengenalinya, tentu saja. Petugas keamanan asrama langsung bergerak menahan Shera sebelum ia kembali melarikan diri.

Mantra pelumpuh yang Bella gunakan tidak sampai membuatnya kehilangan kesadaran. Shera panik, berusaha menggerakkan kaki. Kalau tidak kabur, dia akan segera ditangkap karena tuduhan palsu. Namun, tubuhnya tak bisa bergerak. Tatapan lemah ia arahkan ke kerumunan, tepatnya ke Joshua yang berada di antara mereka. Di pinggir jurang keputusasaannya, dia memberi kode berupa kedipan, meminta bantuan.

Sayang, tak seperti yang diharapkan. Joshua hanya tersenyum miring, berbalik meninggalkan keramaian. Membiarkan Shera dibawa pergi oleh petugas.

Pengkhianat, licik, kejam, tidak setia kawan. Joshua tidak peduli meski harus dilabeli seperti itu. Lagi pula sejak awal Shera bukan temannya. Melainkan hanya sebuah pion kecil yang tak berguna. "Ternyata benar, hanya seorang gadis bodoh," ejeknya seraya berjalan menysuri koridor ke arah ruang loker yang sepi.

Genggam yang memberi keuntungan, buang yang membawa kerugian. Cukup dengan dua prinsip itu, Joshua hidup. Moralitas hanya penghalang. Ia sudah membuang semua rasa ragu itu. Bekerja sama dengan mereka yang dikuasai kegelapan demi sejumlah imbalan.

Yah, pada akhirnya pada sebuah kasus harus ada yang dijadikan tersangka. Entah karena sial, atau memang sudah direncanakan.

Persis seperti yang ia lakukan bertahun-tahun yang lalu. Menghabisi seorang gadis keturunan Eropa, serta seorang pengacara yang dikagumi masyarakat. Leiv Ackardia adalah salah satu contoh orang yang sial. Sementara yang kedua, sejak awal memang direncanakan sebagai sebuah kecelakaan.

Joshua tersenyum miring sekali lagi. Di loker terakhir yang rusak, dia memasukkan beberapa kode angka. Dinding di sebelahnya merekah, membentu sebuah pintu rahasia. Lelaki itu berjalan masuk dengan santai, meski puluhan boneka menatap ke dalam jiwanya.

Dia menggeser salah satu peti. Tampak sebuah cermin setinggi laki-laki dewasa. Joshua mengucapkan beberapa kalimat asing. Tak lama kemudian, permukaan cermin tersebut mengeluarkan cahaya. Joshua melangkah melewatinya, pintu rahasia tertutup seketika.

Dunia ini menarik. Namun, dia harus kembali sementara.

Ke dunia para penyihir.

Author IchiHikaru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top