III. Hujan


"Halo, Rara."

Wajah di layar ponsel itu tampak lesu. Namun, itu tidak mengurungkan niat Rara untuk menyambutnya dengan ucapan penuh kekesalan. "Bang Dante akhir-akhir ini susah banget dihubungi. Padahal banyak yang pengen aku omongin."

Sosok di seberang telepon, Andante Justitia, hanya bisa membuang napas panjang. Menjadi mahasiswa hukum semester akhir sudah cukup melelahkan. Sekarang dia masih harus meladeni adiknya yang paling cerewet ini. "Ya, gimana ya? Ini aja aku lagi pusing sama revisian. Organisasi juga lagi bikin banyak kegiatan. Jadinya nggak sempat angkat telepon kamu kalo siang-siang."

"Hm, mulai dah. Calon pengacara, si paling banyak acara," respons Rara dengan nada meledek.

"Heh, ini juga supaya Ibu jadi senang!"

Obrolan berlanjut. Kurang lebih seperti percakapan normal kakak beradik yang tinggal berjauhan. Rara lebih banyak bicara soal kegiatan rutinnya di asrama. Dengan penuh semangat, tak lupa Rara juga menceritakan hal menarik yang terjadi hari ini. Untungnya Rara adalah salah satu siswa yang tidak memiliki teman sekamar. Sehingga, tidak ada yang terganggu oleh suara cempreng itu.

"Segitu aja?" tanya Dante memastikan."Kalo gitu, udah dulu, ya. Kamu jaga diri di sana. Buona notte."

Rara mengernyit bingung. "Bahasa alien dari planet mana tuh, Bang? Nggak ngerti."

"Selamat malam, Ra." Sedikit sebal, dia menerjemahkan ucapannya barusan. "Masa keturunan Italia nggak bisa bahasa Italia. Malu-maluin tau."

"Bang Dante lebih malu-maluin. Sukanya makan spageti pake nasi." Rara membalas, menjulurkan lidah.

"I-itu namanya akulturasi budaya. Kamu aja yang nggak ngerti."

Gadis itu mati-matian menahan tawa. Bisa-bisanya si calon pengacara tidak bisa membela diri sendiri dengan alasan yang masuk akal. "Bukannya biar langsung kenyang, ya?"

"Udah, udah. Ini udah setengah dua. Tidur sana."

Panggilan video berakhir. Rara yang masih terkikik melemparkan ponsel ke atas ranjang, sementara dia berbaring menatap langit-langit.

Lampu neon menyala lembut. Namun, yang terbayang adalah sebuah kandelir dengan kristal-kristal berkilau. Rara mengangkat telapak tangan, lantas mengepalkannya erat. Ekspresinya berubah muram. "Ayah ...."

*

Hari berikutnya hanyalah hari biasa untuk Rara. Menjalani kegiatan rutin di asrama, kemudian berlatih sendiri di ruang musik sore harinya. Namun, satu hal yang berbeda. Perempuan itu memutuskan untuk memainkan Chopin Etude No. 4, "Torrent".

Jemarinya bergerak lincah di atas tuts hitam putih, menciptakan harmoni sesuai partitur yang terekam dalam kepala. Jantungnya seperti berdetak lebih cepat, layaknya nada-nada yang mengalir deras.

Ingatannya kembali menjelajah ke peristiwa di masa lalu. Berkeringat di ruangan dingin. Memainkan Chopin Etude di hadapan ratusan pasang mata sebagai peserta kontes piano. Rara kecil, sang pianis genius, seakan bersinar lebih indah daripada kandelir yang menjadi penerang utama.

Dia tersenyum tipis ketika berhasil melewati separuh permainan tanpa kehilangan kontrol pada tempo. Dia tahu, di kursi penonton, ada seseorang yang akan tersenyum bangga. "Ayah, lihat aku."

Untuknyalah Rara bermain. Seluruh keringat, air mata, bahkan darah yang menetes di kontes ini. Segalanya ia dedikasikan untuk pahlawan keadilan, pembela kaum tertindas, serta kesatria pelindung keluarga Justitia. Sang ayah yang dikaguminya.

Permainan Rara memasuki koda. Penonton tampak semakin kagum, begitu juga dengan beberapa juri. Hingga tak ada satu pun yang menyadari bahaya tengah mengancam. Kandelir di atas mereka bergoyang. Pelan pada awalnya, lama-kelamaan menjadi semakin tak stabil. Seakan gravitasi bisa menghempaskannya kapan saja.

Ralat. Bukan lagi 'seakan', karena itulah yang terjadi detik berikutnya.

Kandelir besar yang memikat semua mata saat memasuki ruangan terlepas dari langit-langit, menimpa kursi penonton. Suaranya memekakkan telinga. Jeritan-jeritan panik kian memperkeruh situasi.

Kontes besar berakhir menjadi tragedi berdarah. Kristal-kristal dari langit berjatuhan seperti hujan lebat.

Rara terbelalak seperti baru terbangun dari mimpi buruk. Napasnya menderu. Jantungnya seperti berhenti berdetak sewaktu insiden itu, sekarang pun sama. Semua terasa nyata, meski dia masih di ruang musik asrama. Matanya berair, menatap tangan bergetar yang hebat dan tak mampu bergerak lagi.

Piece tersebut hanya berdurasi dua menit. Hari ini ... masih tak bisa dia selesaikan.

*

"Sialan. Kok bisa dia masih hidup?" Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Ervin. Sore itu, ketika penghuni asrama lain sibuk dengan kegiatan masing-masing, dia mengendap-endap ke halaman belakang asrama yang sempurna kosong. Tujuannya tak lain adalah untuk memastikan sendiri kuburan yang dia buat semalam.

Langkahnya membawa gadis itu ke sebuah pohon besar. Hanya untuk mendapati sebuah galian kosong di sana. Seseorang pasti telah membongkar tempat ini, tetapi bagaimana dia tahu ada sesuatu di dalam sana?

Ervin tak habis pikir. Dia bersusah payah menuruni galian yang masih basah untuk memeriksa lebih dekat. Namun, dia tidak menemukan apa-apa kecuali secarik kertas tebal yang tampak seperti diproduksi puluhan dekade yang lalu. Sebuah tulisan tercetak di sana.

"Privacy."

Setelah berhasil naik kembali ke permukaan, dibolak-baliknya kertas itu. "Apa-apaan ini?" Ia berdecak kesal.

"Lagi apa tuh?"

Ervin terlonjak kaget. Hampir saja dia kembali terjatuh ke lubang galian itu. Ia spontan menjerit seperti didatangi penampakan Noni Belanda. Padahal yang muncul hanya seorang gadis yang masih menapak tanah.

Perempuan itu hanya tersenyum polos. Tahi lalat kecil di bawah bibir membuatnya tampak begitu manis. Wajahnya tidak terlihat seperti orang lokal, meskipun rambut yang diatur dengan gaya messy low bun itu berwarna hitam gelap.

"Lo siapa?!" Ervin masih gelagapan.

"Eeh, kok nggak tau? Padahal aku tau nama kamu. Ervin Samantha, kan?" Gadis itu mencebik. Namun, beberapa saat kemudian dia kembali semringah. "Salam kenal. Allegra Justitia. Mau panggil Alle atau Ally, nggak papa. Tapi aku lebih suka dipanggil Rara." Nama panggilan yang sungguh tak sesuai dengan tampang bule itu.

Ervin mengernyit. Sesaat berpikir, dia teringat wajah anak kecil yang dulu sering muncul di media. "Lo itu pianis cilik yang dulu viral? Anaknya pengacara terkenal, Pak Arief Bagaskara."

"Iyap, bener."

Apa urusannya musisi seperti dia datang kemari?

Membuang napas panjang, gadis bermanik biru itu melemparkan tatapan dingin. Berharap dengan itu sosok asing tersebut akan segera menjauh. "Oke, Rara. Sekarang pergi dari sini. Gue nggak ada urusan sama lo." Dia berbalik memunggungi lawan bicara.

Tak sesuai ekspektasi. Bukannya segera pergi, Rara malah bergeming di tempat. Melipat lengan di depan dada, manik hazelnya membalas dengan pandangan yang tak kalah mengintimidasi. "Jadi bener kamu yang bunuh Sella?" Intonasi bicaranya turun satu oktaf.

Ervin terbeliak. Bukan hanya karena mendengar ucapan Rara. Melainkan juga karena menyadari sosok periang itu seakan telah dirasuki entitas tak dikenal. "Maksud lo apa?!"

"Pihak asrama curiga sama asap yang muncul dari sini tadi malam. Jadi mereka ngecek tempat ini, dan ngebongkar makam yang kamu buat. Mayatnya kebakar habis, kecuali tangan kirinya. Dari gelangnya, pihak asrama tau kalo itu Sella. Mereka belum tau dia mati karena apa, atau pelakunya siapa. Tapi fakta bahwa kamu kaget setengah mati setelah liat galian ini, cukup buat ngebuktiin kamu tau apa yang sebelumnya dikubur."

Pemaparan Rara seakan merenggut kemampuan Ervin untuk bicara dan bergerak. Otaknya terlalu sibuk mencerna setiap kalimat. Memang benar jika dia yang menyebabkan kemunculan asap itu. Akan tetapi, Sella? Bagaimana mungkin teman sekamarnya itu ....

"Tapi aku bingung. Leiv dan Sella nggak ada mirip-miripnya. Kok bisa kamu salah bunuh?" Rara memegang dagu, menelusuri jawaban di langit sore. "Oh, apa Sella juga terlibat dalam pembunuhan adik kamu?"

Gadis berambut pirang itu semakin tak mengerti. Pikirannya seketika menjadi kosong.

Ervin sama sekali tak mengenal orang ini. Namun, dia sudah tahu terlalu banyak. Bagaimana bisa? Bukankah Rara hanya pianis yang kebetulan seasrama, bukan mata-mata yang ditugaskan menyelidiki dirinya? Kalaupun benar, apa untungnya melakukan itu?

"Oh, ya. Kamu nggak suka kalo aku ikut campur, kan. Ya udah, aku pergi dulu." Tanpa sedikit pun merasa berdosa, Rara balik kanan kemudian melenggang pergi.

Ervin mendapatkan kembali kekuatannya yang sempat melemah akibat syok. Dia meraih pergelangan tangan Rara. "Tunggu! Dari mana lo tau semua itu?" Ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana kalau Rara membocorkan semuanya kepada kepala asrama? Jika dirinya dikeluarkan, takkan ada lagi kesempatan memburu Leiv.

Rara tersenyum tipis, menjawab dengan bergumam samar. "Soalnya kita sama."

"Hah?!"

Sesuatu yang merasuki sang pianis seakan telah pergi. Setelah berhasil melepaskan diri, ia melambai dengan ekspresi polos. "Ceritanya panjang. Lain kali aja, ya. Bye."

Ervin masih tak menyerah. Kali ini tangannya meraih kerah baju Rara. "Lo nggak boleh pergi sebelum jelasin semuanya. Kalo nggak, lo bakal bernasib kayak Leiv."

Ancaman itu tak ada gunanya. Rara yang kembali menjadi dirinya sendiri membalas dengan ekspresi takut yang dibuat-buat, "Aduh, aku takut!" Namun, demi melihat kening Ervin yang tertekuk karena sebal, dia kembali serius.

Perempuan itu menghela napas panjang. "Kita ini sama-sama menginginkan keadilan."

Ervin melepaskan cengkeraman. Kalimat itu memang tak bisa membuktikan bahwa orang ini berada di pihaknya, tetapi cukup untuk menurunkan level kewaspadan. "Jadi, lo mau balas dendam juga."

Rara mengangkat telunjuk, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. "Nope. Aku nggak akan mengotori nama keadilan dengan cara itu."

"Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

Ervin terheran. Dia hanya melakukan itu untuk Marry yang malang. Sama sekali tak berharap sosok dengan senyum polos itu akan bangkit kembali. Dia hanya ingin Leiv mendapat balasan setimpal yang tak bisa diberikan oleh aparat karena kurangnya bukti. Bagian mananya yang 'mengotori nama keadilan'?

"Duduk dulu, yuk. Capek berdiri terus."

Ervin hanya menurut ketika gadis di hadapannya berjalan menuju salah satu bangku panjang yang sudah lapuk. Ia menatap intens. Kalau sampai sosok ini mencoba memberi omong kosong bernama ceramah, dia takkan membuang waktu untuk mendengarnya.

Sementara itu, Rara masih tersenyum menatap langit. "Jadi, yah, kamu udah tau ayahku siapa. Dia terkenal sering bantu orang nggak bersalah yang nggak mampu sewa pengacara. Sembilan tahun lalu, ada seorang sopir pribadi yang jadi tersangka pembunuhan istri pejabat. Berkat pembelaan Ayah, hakim memutuskan pak sopirnya nggak bersalah. Setelah diselidiki ulang, ternyata itu perbuatan dari anak si korban sendiri. Reputasi pejabat itu jadi hancur, dan dia dicopot dari jabatannya."

"Setelah kejadian itu, Ayah sering ngalamin hal-hal aneh. Dari mobilnya yang dipasangi bom, sampe listrik di kantornya yang disabotase. Untungnya, Ayah selalu selamat. Kecuali ... di kejadian itu. Ayah jadi salah satu korban insiden kandelir jatuh di kontes pianoku."

Sungguh tak mudah menceritakannya kembali. Rara sampai harus menggigit pipi bagian dalam, menahan jeritan yang hendak meloloskan diri setiap kali ia terbayang kilas balik mengerikan itu.

Senyuman yang sempat lenyap kembali muncul. Namun, bukan lengkungan yang sama. Kali ini tampak begitu getir. "'Fiat justitia ruat caelum.' Ayah sangat serius memegang prinsip itu. Dia jadi pembela keadilan sampai langit benar-benar runtuh untuknya. Tapi ironis, ya. Pembela keadilan malah nggak kebagian keadilan itu."

Ervin mengalihkan pandangan ke tanah. Ia juga masih ingat berita yang menghebohkan dunia maya sembilan tahun lalu. Lima orang tewas tertimpa lampu kandelir yang kabarnya jatuh akibat kesalahan teknis. Mirisnya, itu hanyalah tipikal berita yang tenggelam oleh gosip artis dalam tiga hari.

Dia bukan tipe orang yang mudah bersimpati. Namun, siapa pun pasti bisa tahu betapa mengerikannya insiden itu. Terlebih bagi Rara yang menyaksikan sendiri, di hari pentingnya sebagai seorang pianis. "Jadi, menurut lo kejadian itu bukan kecelakaan? Tapi sengaja disabotase si pejabat yang benci sama ayah lo?" tanya Ervin hati-hati.

"Itu yang mau aku pastiin. Dari hasil penyelidikan Bang Dante, pak mantan pejabat ngasi sumbangan yang cukup besar buat yayasan ini. Entah dananya dari mana. Tapi yang jelas, dia pasti punya hubungan erat sama pimpinan asrama."

"Yah, dari awal asrama ini memang mencurigakan, sih. Syarat penerimaan siswa baru yang super aneh, lokasinya juga jauh dari permukiman. Biasanya di tempat yang kurang pengawasan kayak gini rawan terjadi pelanggaran HAM," jelas Rara lagi.

Gadis itu kembali berapi-api, serta terdengar sedikit nada bangga. Seakan sebelumnya dia tidak pernah tampak begitu putus asa. "Dengan jadi siswa di sini, aku lebih leluasa selidiki mantan pejabat itu. Yah, itu udah jadi kegiatan rutinku. Siapa tau, aku bisa dapet bukti konkret yang bisa dibawa ke meja hijau. Dengan begitu, Ayah bisa dapet keadilan."

"Padahal tadi malam aku udah nyiapin alat perekam. Bukannya dapet petunjuk, aku justru nggak sengaja denger kamu ribut di kamar Leiv. Tapi jujur, itu cukup menarik," lanjutnya seraya melipat lengan.

Hening menyeruak. Ervin memutuskan untuk membisu. Rara hanyalah bocah naif yang menjunjung tinggi moralitas. Balas dendam dengan memberi ruang bagi penegak hukum untuk melakukan tugas. Seseorang yang memilih jalan iblis tentu tak berhak berkomentar.

Gadis bermanik biru itu menghela napas berat. Jika semua itu benar, melawan pun sia-sia. Rara bisa menggunakan rekaman suara itu untuk menyudutkannya jika terdesak.

"Aku nggak punya hak buat men-judge kamu, Ervin. Soalnya aku juga nggak tau apa-apa tentang kalian. Mungkin bener mereka yang salah, dan kamu cuma mau keadilan buat adik kamu." Ervin menoleh, mendapati seluruh perhatian Rara tengah tertuju padanya. Binar dari iris hazel itu meyakinkan Ervin bahwa yang dihadapinya bukanlah musuh. "Sekilas kasus ini mirip Marianne Bachmeier. Tindakan kamu memang nggak sesuai sama kompas moralku. Tapi di sisi lain, yang kamu perbuat ke Sella nggak bisa sepenuhnya disalahin."

Ervin terkesima dengan seluruh eksposisi itu. Hanya saja, Rara masih keliru soal Sella membuatnya kesal. "Gue nggak pernah ngebunuh Sella, Ra!" sanggahnya dengan intonasi meninggi. "Lo pasti bakal tau ini cepat atau lambat. Jadi, mending lo tau semaunya dari gue."

"Iya, lo berhasil menangkap seorang pembunuh." Ia mengeraskan rahang usai pengakuan itu. Bicara terlalu banyak ke orang yang baru dikenal memang bodoh. Namun, tak ada pilihan. "Gue nggak terima manusia sampah macam Leiv masih berkeliaran. Dan pas dia masuk ke koper, gue yakin seyakin-yakinnya itu Leiv. Cuma entah kenapa, tadi pagi dia hidup lagi."

"Pas balik ke kamar, gue memang sempat bingung kenapa Sella nggak balik-balik sampe pagi. Tapi demi apa pun, gue nggak tau kalo dia udah mati." Perempuan keturunan Barat itu menarik rambut depannya, menggeram frustrasi. "Dan pas gue bangun di UKS, di sana udah ada anak baru namanya Shera. Katanya dia temennya Leiv yang bakal gantiin Sella."

Kenyataan macam apa ini? Ervin ingin Leiv-lah yang mati, bukan teman sekamarnya itu. Memang dalam beberapa kesempatan gadis berambut bob itu berlagak sok tau dan ikut campur dalam urusan orang lain. Akan tetapi, itu tak lantas membuat Ervin benci – sebagaimana ia benci kepada si lelaki sampah.

Terlebih Sella tak ada hubungannya dengan Marry. Ya, dirinya memang jahat, tetapi membunuh orang tak bersalah akan menjadi opsi terakhir dalam hidup ini.

"Wah, ini menarik," Rara berucap tiba-tiba. "Sella baru mati tadi malam. Kok udah ada yang gantiin, ya?"

"Aku masih ingat. Proses penerimaan siswa baru lumayan lama. Seleksinya juga dari tes tulis sampe wawancara. Tapi pada akhirnya, yang lolos cuma anak-anak nggak beres kayak kita. Dan sekarang, si Shera ini bisa langsung aja masuk. Dia punya orang dalam, kah? Atau sistem administrasi asrama memang terlalu aneh, jadi lebih gampang masuk pas pertengahan semester?"

Ervin tercenung. Shera memang mencurigakan di matanya. Akan tetapi, tetapi dia tak pernah berpikir sejauh itu. Benar juga. Siswa yang sudah terdaftar tidak boleh sembarangan keluar. Sedangkan orang luar bisa begitu mudah masuk. Keputusan macam apa itu?

Selain itu, pihak asrama belum mengetahui alasan kematian Sella, kan. Bahkan siswa lain – minus Rara yang memata-matai pimpinan asrama – belum tahu bahwa salah satu kawan mereka sudah tiada. Sedangkan Shera mendapat informasi tersebut kurang dari 24 jam. Itu sangat tidak masuk akal. Kecuali ....

"Apa kita sepemikiran?" Melihat Ervin yang menggigit jempol gelisah, Rara memasang tampang serius.

"Cewek bernama Shera ini ngebunuh Sella supaya bisa sekamar sama gue. Kemungkinan besar, itu karena gue adalah target dia selanjutnya."

"Tepat." Rara mengangguk mantap. "Entah gimana caranya. Dia pasti nukar posisi Leiv dengan Sella yang dibunuh sebelumnya, tanpa kamu sadari."

"Nggak mungkin!" Spontan Ervin berseru. Namun, demi melihat keseriusan Rara, ia tersadar bahwa itu bukan hanya dongeng. Kemungkinan seperti demikian tetap ada. "Tapi ... kalo memang dia bisa ngelakuin tugas semustahil itu, nggak menutup kemungkinan dia juga orang di balik kebangkitan Leiv."

Ervin mengepal geram. "Sialan!"

Gadis pianis itu membuang napas panjang. "Aku sama sekali nggak ngedukung kamu jadi pembunuh. Jadi, jangan terlalu impulsif. Kita nggak tau ada keanehan apa aja di asrama ini, dan orang-orang di sekitar kita. Pikirkan semua risikonya sebelum bertindak."

"Iya, iya. Gue tau," jawabnya asal seraya menyandarkan tubuh di sandaran bangku.

Ingin rasanya dia meremukkan tulang rusuk pembunuh teman sekamarnya itu sekarang juga. Orang luar yang hanya melihat dari satu sisi, serta tak tahu apa-apa soal Marry, mestinya jangan ikut campur.

"Oh, ya. Kamu tadi ada nemu sesuatu, kan. Boleh liat, nggak?" Menyadari lawan bicaranya kehilangan minat, Rara lekas mengalihkan topik. Dia menerima benda di tangan Ervin, menyelidikinya penuh rasa ingin tahu. "Menurut kamu ini apa?" Ia mencoba menerawang kertas tersebut dengan mengarahkannya ke cahaya matahari sore.

"Kertasnya lumayan bagus. Tipe kertas yang nggak gampang robek." Ervin mencoba membuat hipotesis. "Semacam pesan rahasia. Mungkin kita diarahin ke suatu tempat."

"Misalnya?"

Ervin menghela napas panjang, lalu bangkit dari bangku. "'Privacy.' Kemungkinan terbesar ada dua. Kamar siswa lain, atau ruang loker. Masalahnya, ngecek ratusan kamar satu-satu tanpa dicurigai itu nggak mungkin." Usai memberi penjelasan, dia berencana pergi. Namun, tidak bisa karena pergelangan tangannya dicengkeram kuat.

"Oke. Kita ke ruang loker dulu."

Ervin protes, tetapi tak diindahkan. Pada akhirnya dia hanya menyimpan kesal dalam diam, teringat soal rahasia besarnya yang ada di genggaman Rara.

Sedikit menyesal karena repot-repot menjelaskan hipotesisnya. Harusnya dia biarkan saja gadis pianis ini memikirkan sendiri. Padahal kalau ia sedikit cuek, waktunya bisa digunakan untuk memikirkan strategi. Dengan begitu dia siap menghadapi Leiv yang kini memiliki Shera di pihaknya.

Tak butuh waktu lama, keduanya tiba di tempat tujuan. Sejauh mata memandang, tak ada yang aneh. Hanya ada loker milik siswa yang tersusun rapi. "Coba perhatiin. Mungkin kamu bisa nemu petunjuk lain." Ervin hanya menurut ketika pergelangan tangannya dilepaskan, kemudian memeriksa loker di sisi sebelahnya.

Mata Rara meneliti setiap loker. Sampai ia tiba di paling ujung, sementara di sebelahnya hanya ada dinding kosong. Di pintunya tertempel kertas yang menjadi tanda loker tersebut rusak. "Hei, perasaan ini udah rusak dari sebulan yang lalu. Kok nggak pernah diperbaiki, ya?"

Belum sampai Ervin di posisi Rara, kertas pemberitahuan tersebut terlepas, tampaknya karena lemnya sudah terlalu lama. Kertas itu melayang sampai di dekat kakinya. Ervin memungutnya, demi menemukan tulisan lain di belakang pemberitahuan.

"Destiny 67."

Keduanya saling melirik, memastikan apakah mereka sepemikiran. Tak peduli apa maksud tulisan kecil itu. Yang pasti, petunjuk pertama pasti mengarahkan mereka ke sini.

Tanpa pikir dua kali, Ervin mengeluarkan benda canggih dari saku sweter. Sebuah alat yang bisa berubah menjadi kunci serbaguna. Ketika ditempelkan kemudian diputar searah jarum jam, pintu loker yang katanya rusak itu langsung terbuka.

Dugaan Ervin tidak meleset. Benar saja. Di dalamnya, tidak tampak seperti loker biasa yang dimanfaatkan untuk meletakkan barang-barang pribadi. Melainkan sebuah benda mirip kalkulator, tetapi hanya memiliki tombol-tombol angka dan simbol layaknya keyboard ponsel zaman dulu.

"Kok bisa di dalam loker rusak ada ginian?"

"Mungkin ini semacam kode pinnya." Ervin mengamati kertas di tangannya, kemudian mengalihkan pandangan pada benda mirip kalkulator itu. "Tapi gimana caranya ngetik 'destiny' kalo di sini nggak ada huruf?"

Hening. Keduanya kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Destiny itu artinya takdir, kan?" Rara bergumam samar, berpikir keras mencari hubungan antara kata itu dengan informasi yang tersimpan di otaknya. "Fate juga bisa diartikan takdir. Fate?"

"Oh, iya!"

Ervin tersentak dengan Rara yang berseru tiba-tiba. "Apa?"

"Tadadadam ... tadadadam ...." Bukannya menjawab kebingungan gadis di sebelahnya, Rara menggumamkan nada-nada itu. Melodi yang terdengar familiar sebab sering menjadi suara latar dalam film. Tentu saja itu membuat Ervin terheran dan mengerutkan dahi.

"Simfoni kelima Beethoven, 'Fate'. Angka 67 ini pasti mengarah ke nomor opus-nya. Delapan nada yang aku nyanyiin tadi biasa disebut 'Fate Motif'. G,G,G,D# ... F,F,F,D," jelas Rara sembari mengarahkan telunjuknya ke tombol di dalam loker. "Kalo diubah ke bentuk angka, kodenya pasti 5552#4442."

Tepat setelah Rara menekan tombol terakhir, benda itu memunculkan cahaya hijau. Berkedip sebanyak tiga kali. Kedua gadis itu saling menatap, sama-sama kebingungan, ketika dinding di sebelah loker tersebut terbelah. Ervin yang terbiasa bekerja dengan peralatan canggih saja terperangah. Apalagi Rara.

Dinding yang semula mulus tanpa cacat kini terbuka menjadi semacam pintu. Berbekal cahaya senter dari ponsel, mereka memberanikan diri melangkah masuk. Hawa dingin yang tiba-tiba menyergap kulit membuat bergidik.

"Tempat apa ini?"

*

[ Notes ]

- Seluruh kejadian dalam chapter ini hanyalah fiksi belaka dan tidak ditulis untuk menyudutkan pihak manapun. Penulis tidak mendukung tindakan main hakim sendiri serta segala bentuk perilaku yang melanggar hukum dan HAM.

- "Fiat justitia ruat caelum" adalah salah satu adagium (pepatah hukum) yang artinya "Hendaklah keadilan ditegakkan meski langit akan runtuh."

- Chopin Etude No. 4 adalah salah satu komposisi musik yang memerlukan teknik dengan kesulitan tingkat tinggi untuk bisa memainkannya. Disebut "Torrent" karena nada-nadanya yang bergerak dengan tempo sangat cepat dan intens diibaratkan seperti hujan deras.

- Kasus Marianne Bachmeier (The Revenge Mother) sempat menggegerkan Jerman pada tahun 1981. Marianne yang merupakan ibu dari Anna Bachmeier menembak mati pembunuh putrinya tepat di hadapan hakim pada saat persidangan.

author IchiHikaru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top