Chapter 7: Janji Krisantemum Putih
"Semuanya perlu waktu, termasuk dalam menyelesaikan misi ini. You just have 300 days. Jika belum selesai, berarti gugur. Mati mengenaskan, kembali menyedihkan. Hanya itu pilihannya. Hati-hati!" Rensi tersenyum sumringah. Tidak peduli dengan maksud dari sandi yang baru saja ia pecahkan, dia merasa sangat perlu untuk merayakan pencapaian tersebut.
Dia memandang teman-temannya yang masih terpaku menanti jawaban dari Rin yang asyik mengetikkan kata kunci pada mesin pencarian. Perhatian mereka semua sontak teralihkan. Raut wajah tak suka dari Rin tertuju padanya. Namun, Rensi memilih untuk tak acuh. Hatinya sungguh puas setelah membalikkan keadaan beberapa hari belakangan ini.
Tata mendekati sang sahabat tidak sabar. Awalnya ia kira Rin-lah yang akan memenangkan pertandingan itu lagi, hingga ia harus berusaha mati-matian menenangkan Rensi. Namun, keadaan telah menyangkal dugaan tersebut. "Bagaimana bisa kamu memecahkannya dengan mudah? Bahkan sebelum google memberi jawaban memuaskan."
"Kamu tidak tahu, ya? Sejak dulu aku, kan, suka bermain anagram," jelasnya. Rensi menyeringai puas. "Yah, aku ini memang bodoh. Saking bodohnya hanya aku yang mengerti maksud sandi sesederhana itu." Sekilas, ia melirik Rin yang bersungut-sungut memasukkan ponsel pintar ke dalam saku.
Rin mendengkus kesal, melipat kedua lengan di depan dada. Dia terdiam meski hatinya berisi jutaan makian yang ditujukan kepada Rensi yang hanya gadis biasa. Meski yakin itu hanyalah sebuah keberuntungan, bara api yang sudah telanjur menyala tak bisa ia padamkan barang sesaat.
Atensi semua yang ada di ruangan itu teralihkan dengan Ranita yang bertanya dengan suara yang sedikit bergetar. "Jika belum selesai berarti gugur. Mati mengenaskan, atau kembali menyedihkan. Hanya itu pilihannya. Apa maksudnya semua ini?" Ia bisa dengan jelas merasakan suhu pada ujung jari turun secara drastis.
Ranita menelan ludah. Dirinya sadar jika perbuatan keji yang dilakukan kala terdesak waktu itu mungkin takkan bisa dengan mudah dimaafkan. Bisa melanjutkan hidup tanpa dibayangi kejaran aparat penegak hukum saja sudah cukup untuk membuat ia mengucapkan beribu-ribu pujian dan rasa syukur kepada Tuhan.
Akan tetapi, secercah cahaya yang berpendar kala ia menerima undangan mulai meredup saat mendengar fakta bahwa asrama yang ia tempati adalah sebuah jembatan tipis yang terbentang antara masa depan ideal dengan kematian yang tak pernah diharapkan. Salah selangkah, mereka bisa saja jatuh di tempat yang tak diinginkan. Ranita sadar, dia yang sekarang tidak pantas gugur sebagai pahlawan, tetapi di saat yang bersamaan segenap jiwa raganya menolak untuk merasakan akhir hidup yang pedih.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Asrama ini menjanjikan kebahagiaan ..., dan cinta yang tak tergantikan. Tetapi di sisi lain, kita malah diancam dengan kematian yang mengenaskan." Ranita memeluk diri sendiri, guna meredakan kegelisahan yang mulai menghampiri.
Priskila mengerti tekanan batin yang dirasakan sahabatnya. Ia mengusap bahu Ranita, kemudian mengajak gadis itu pergi keluar ruangan. Rin yang masih tidak bisa terima bahwa ada orang yang kini bisa melampaui dirinya berlalu tanpa sepatah kata pun. Hingga hanya tersisa Tata dan Rensi yang mengamati punggung mereka yang perlahan menjauh.
Tata menghela napas panjang hingga oksigen memenuhi paru-paru. Dia menyentuh jemari sahabatnya lalu mengajak ikut keluar juga. Meskipun ada beberapa penghuni lain yang lalu-lalang di lorong memandang dengan wajah penuh tanda tanya, suasana benar-benar terasa hening bagi mereka.
Tanpa terasa, beberapa menit berlalu tanpa adanya pembicaraan. Kedua gadis itu membayangkan risiko terburuk jika mereka gagal menyelesaikan misi dalam pikiran masing-masing. Rensi memijat pelipis. Kepalanya terasa pusing. Tenggelam dalam euforia membuat ia sedikit terlambat menyadari bahaya.
Tata menghentikan langkah. Tatapan matanya terlihat kosong memandang lantai lorong yang tampak bersih. "Kita harus bagaimana sekarang?"
"Entahlah. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah dengan mencari petunjuk untuk menyelesaikan misi ini. Bagaimanapun, kita sama sekali tidak tahu jika sandi yang baru saja kupecahkan itu benar adanya atau hanya sekadar ancaman." Rensi menyandarkan tubuh di dinding lorong seraya bersedekap.
Tata mengangguk pelan, membuang napas panjang kemudian berdiri tepat di sebelah teman sekamarnya. Sama seperti sebelumnya, tidak satu pun dari mereka yang memilih membuka percakapan lagi. Petunjuk baru yang mereka dapatkan tanpa sadar ternyata mengubah sebagian kisah perjalanan mereka menjadi kelam.
Di tengah kebingungan yang melanda, Rensi menggerak-gerakkan kaki pelan mengikuti irama lagu ceria yang terngiang. Berharap itu akan mengembalikan harapan yang sempat luntur dalam hati. Bola matanya ia gerakkan ke sembarang arah, termasuk ke langit-langit. Saat itulah, sebuah benda yang tertempel tepat di atasnya mencuri perhatiannya.
Tanpa pikir panjang, ia berjingkat agar tubuhnya yang tidak terlalu tinggi bisa menjangkau benda tersebut. Tata sampai keheranan saat melirik ke kanan. Sampai ketika dia tak bisa menahan diri untuk mendongakkan kepala. Tidak perlu banyak basa-basi Tata ikut membantu usaha Rensi.
Setelah bersusah payah, jemari Tata akhirnya bisa meraih benda tipis yang berhasil mencuri perhatian mereka. Ia membolak-balik, mengamati dari dekat kertas yang tampak serupa dengan dinding asrama. "Pantas saja tidak ada yang sadar. Benda ini berkamuflase seperti belalang di antara rerumputan saja," ujarnya sembari membuka lipatan kertas itu.
Kening Tata dan Rensi serempak berkerut. Setelah terbiasa melihat tulisan dengan berbagai bentuk aneh, mereka seolah-olah membaca sebuah surat dari planet lain saat menemukan petunjuk dengan tulisan yang normal.
KUNCI KEBERHASILAN MISI
Pergilah ke tempat-tempat yang tertera di bawah. Kalian akan menemukan petunjuk.
***
Rensi melarang sahabatnya memberitahu siapa pun tentang petunjuk yang mereka dapatkan hingga keesokan paginya. Setelah kelas yang harus diikuti seluruh penghuni asrama berakhir, Tata langsung menyerahkan kertas serupa wallpaper dinding yang mereka dapatkan setelah menjelaskan dengan rinci kepada Ranita, Rin, dan Priskila.
Rin yang menerima petunjuk tersebut merasa seolah memegang tongkat komando. Hal itu ia manfaatkan untuk balas dendam kepada orang yang telah membuatnya malu setengah mati. "Kamu cari petunjuknya di rooftop," titah perempuan itu tanpa memedulikan Rensi yang langsung panas hati.
"Ck, inilah mengapa aku melarang kamu memberikan kertas itu kepada Rin. Anak itu sekarang seenak perutnya saja memerintah," kesal Rensi. Langkah kakinya terdengar sangat berat. Usaha Tata menenangkan dan menemani dia menuju tempat yang diperintahkan sama sekali tidak berpengaruh.
Tata seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Yah, maaf. Aku tidak berpikir sampai ke sana. Lagi pula, sekarang saatnya kita fokus pada misi ini. Kamu masih ingat, kan, isi pesan kemarin?" Dia terkekeh meski hatinya menyimpan rasa bersalah saat melihat Rensi yang tampak tidak terlalu memperhatikan ucapannya.
Gadis itu membuang napas berat. Ia berhenti beberapa meter di depan tangga. "Rensi, bagaimana kalau kamu pergi mencari petunjuk di ruang makan. Kalau kamu malas pergi ke atas sana, biar aku saja. Anggap ini sebagai permintaan maafku," tawar Tata ragu-ragu. Terlibat cekcok panjang lebar dengan Rensi tentu merupakan hal paling tidak dia inginkan.
"Aku kesal pada Rin. Jadi kamu tidak perlu minta maaf." Rensi menghentikan langkah saat kaki kanannya menyentuh anak tangga ketiga. "Tetapi, kalau memang itu yang kamu inginkan, silakan saja." Dia menuruni tangga dengan senyum terkembang. Tidak ada tanda-tanda kekesalan yang tersisa di wajah itu.
"Semangat. Kamu, kan, sebelumnya kurang olahraga juga. Semoga beruntung ya," ujar Rensi sambil menepuk bahu Tata, kemudian dengan santai berjalan ke arah yang berlawanan.
Tata menyeringai kuda. Tujuan ia menawarkan hal tersebut adalah agar dirinya dimaafkan. Namun, Tata sama sekali tidak menyangka kejadiannya justru akan begini. Percuma saja. Sekarang menarik kembali ucapannya tidak akan memabntu. Dengan terpaksa menaiki satu persatu anak tangga.
Entah berapa lama waktu berjalan. Tata pun sama sekali tidak menghitung jumlah anak tangga yang sudah dilewati. Berhubung ia sama sekali tidak tertarik untuk menghitung berapa jumlah lantai di bangunan asrama tersebut. Ketika ia sudah hampir putus asa, sebuah pintu yang sedikit terbuka membuat hasrat menyelesaikan misi kembali muncul.
Walaupun pegal mulai menghinggapi kedua kaki, dia segera berjalan cepat untuk mencapai pintu. Angin segar pertama kali menyambut wajahnya ketika pintu berat itu mulai bergerak melebarkan jalan keluar. Tata menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bahkan walau tidak ada petunjuk, seluruh keringat yang menetes sudah terbayarkan dengan ketenangan yang tumbuh hanya dengan berdiri beberapa detik di sana.
Gadis itu segera tersadar dengan tujuan aslinya. Ia mengedarkan pandangan hingga siluet seorang bergender laki-laki terlihat tepat membelakangi dia. "Tidak ada jalan lain!" Tata tersentak mendengar teriakan parau tersebut. Tanpa babibu dia berlari secepat mungkin ke arah sosok itu yang tengah merentangkan tangan, berdiri di atas pembatas.
Laki-laki itu seolah tidak memedulikan apa pun, termasuk suara langkah Tata. Tepat sedetik gravitasi menghempaskan tubuh orang tersebut, Tata berhasil meraih kemeja yang dikenakan dan menariknya sekuat tenaga. Waktu seolah-olah berhenti. Namun, hanya sepersekian detik sebelum tubuh pemuda itu terseret dan hampir menimpanya.
Tata membelalak. Jantungnya mulai berdetak dengan irama yang lebih cepat. Embusan napas lelaki itu terdengar jelas di telinga, menimbulkan sensasi hangat di lehernya. Untung saja, orang yang baru saja ia selamatkan segera mengangkat tubuh dan bangkit menatap pembatas rooftop sebelum imajinasi liar berkembang dalam benak Tata.
"Kamu, berani-beraninya menggagalkan eksperimenku," ujar lelaki itu tanpa intonasi. Wajahnya tampak datar seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun. Kedua telapak tangan ia masukkan ke dalam saku celana.
Tata menepuk-nepuk pakaiannya yang penuh debu. Dia berdecak kesal. "Aku hanya mencoba menyelamatkanmu. Lain kali jangan lakukan itu. Daripada bunuh diri, lebih baik kamu membantu— Eksperimen katamu?!" teriaknya spontan ketika menyadari keberadaan sebuah kata yang sangat aneh.
Lelaki itu menoleh dengan wajah datar. "Iya, eksperimen. Aku hanya ingin tahu apakah seseorang yang jatuh dari tempat setinggi ini bisa mati seketika, dan memastikan bagaimana kondisi TKP-nya." Penjelasan tersebut sontak membuat Tata bergidik ngeri.
"Apa-apaan itu?! Kamu bisa mati, tahu!" balasnya dengan suara keras. Angin yang mendadak bertiup lebih kencang seakan menghalangi mereka untuk saling mendengar.
Dia berjalan mendekati pembatas. "Apa boleh buat? Lebih baik aku mati dan mengetahui kebenarannya, daripada mati penasaran," terangnya dengan santai, seolah-olah itu bukan hal serius. Tata mendengkus kesal. Bukannya menemukan petunjuk, dia justru harus berhadapan dengan lelaki sinting tidak tahu terima kasih.
"Krisantemum berjanji akan membawaku menuju kebenaran, dan keadilan. Tetapi, mengapa setiap hari kita disuruh memecahkan kode-kode aneh?" Angin tidak lagi bertiup kencang. Sehingga, Tata dengan mudah mendengar gumaman yang keluar dari mulut pemuda itu dan tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ayah meninggal ketika aku berusia lima tahun, saat aku belum mengerti hakikat dari rasa kehilangan. Namun, meski sendiri, Ibu dengan tabah membesarkanku. Sampai seorang pria kaya datang dan melamar beliau. Kehidupan kami mulai membaik sejak saat itu. Aku akhirnya tahu rasanya hidup di lingkungan elit.
"Tak kusangka itu akan berakhir setelah aku merasa nyaman. Tiba-tiba saja, sepulang sekolah aku menemukan ayah tiriku berdiri mematung dengan wajah pucat. Ternyata itu disebabkan karena tubuh Ibu yang ditemukan tidak bernyawa, dengan luka sayatan di pergelangan tangan kiri."
Tata menutup mulut. Seketika ia menyesal telah mendengarkan lelaki yang dianggapnya kurang waras itu bercerita panjang lebar.
"Tidak butuh lama hingga kasus itu ditutup, dan dianggap sebagai bunuh diri biasa. Padahal aku yakin Ibu tidak akan melakukan hal bodoh seperti bunuh diri. Itu pasti pembunuhan." Pemuda itu berbalik membelakangi Tata. "Tsk, karena itulah aku benci pria sialan itu, dan menolak keras saat ia mencoba meminang Ibu."
"Bagaimana kamu bisa yakin begitu?" tanya Tata sembari melangkah mendekat.
Yang ditanya mengembuskan napas pelan. "Ibuku kidal, sedangkan jenazahnya ditemukan dengan sayatan yang sangat rapi. Sebuah pecahan kaca berlumuran darah setebal hampir tujuh milimeter juga ada di TKP. Mana mungkin itu bisa terjadi? Kalaupun Ibu bisa melakukannya, tidak mungkin lukanya bisa tipis seperti bekas sayatan pisau buah," paparnya.
"Jangan-jangan, pelakunya adalah orang dalam. Seperti dalam film detektif," ujar Tata yakin. Entah apa yang membuat ia bisa bersimpati pada orang itu dalam waktu singkat.
Lelaki itu mengangguk. "Ya, pelakunya pasti pria sialan itu. Jika bukan, tidak mungkin dia bisa langsung menyimpulkan jika Ibu benar-benar bunuh diri, dan memaksa kepolisian mengatakan hal serupa."
Tata mengelus-elus dagu layaknya tokoh utama dalam film bertema kriminal. "Tetapi, bisa saja, kan, ada orang lain yang melakukannya. Ayah tirimu hanya tidak mau kabar itu tersebar luas ke media, sehingga mendesak polisi untuk menutup kasus itu."
"Jika kamu jeli, seorang pembunuh memiliki tatapan mata yang berbeda. Dan tidak ada keuntungan membiarkan pembunuh tinggal di bawah atap rumahnya. Orang yang memiliki uang dan jabatan tanpa disadari memiliki imunitas terhadap hukum. Karena itulah mereka tidak mau memercayai segala deduksiku.
"Karena itulah, aku ingin menjadi seorang detektif. Itu adalah satu-satunya cara agar pria sialan itu tak bisa berkutik di hadapan hukum. Kupikir aku akan menemukan jalan pintasnya di asrama ini. Tetapi, yah, inilah yang terjadi."
Tata seketika terbungkam mendengar penjelasan panjang lebar dari seseorang yang baru saja ia temui. Dengan masa lalu kelam seperti itu, tampaknya wajar jika jalan pikiran si pemuda menjadi agak melenceng dari orang normal. "Begitu, ya? Lalu, apa hubungannya dengan krisantemum?"
"Surat undangan yang kuterima itu, dikirimkan bersama setangkai bunga krisantemum. Bunga krisantemum sendiri memiliki arti 'kebenaran' dalam hanakotoba. Itulah yang membuatku yakin untuk datang ke asrama ini." Tata menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, meski dia tidak begitu mengerti.
Pemuda itu melangkah menuju pintu masuk. "Yah, aku jadi bercerita panjang lebar, ya."
"Tidak, kamu tidak perlu minta maaf. Bercerita saja padaku kapan pun kamu mau," balas Tata seraya berjalan mengikuti.
"Lagi pula siapa yang minta maaf," sahutnya santai. Ia segera membuka pintu yang tanpa sengaja tertutup oleh angin. Tata mendengus kesal, mencoba mengempulkan segala kesabaran yang masih tersisa. Berbicara dengan pemuda eksentrik itu hanya membuang waktu.
Tata melipat kedua lengan di depan dada. "Bagus. Aku gagal menemukan petunjuk karena kamu," kesalnya. Laki-laki itu berbalik, sembari merogoh saku celana. Masih dengan wajah datar, ia menunjukkan selembar kertas yang ujungnya tampak sobek.
Kedua mata gadis itu seketika berbinar. "Dari mana kamu mendapatkan ini?" Dia mengamati potongan kertas tersebut tanpa mendengarkan jawaban dari pertanyaannya. "Terima kasih banyak, ...." Tata terdiam. Tersadar jika sejak tadi mereka belum berkenalan.
Dia memasang wajah datar. Laki-laki itu sama sekali tidak mengerti maksudnya. "Siapa namamu? Mengapa aku tidak pernah melihatmu di upacara penyambutan?" Padahal bunyi pertanyaan di dalam hatinya adalah, Mengapa selama ini aku belum pernah bertemu laki-laki tampan sepertimu di sini? Namun, dibuat sebal selama sepuluh menit terakhir menyebabkan ia enggan mengatakan hal itu.
"Namaku Rey. Kita sudah pernah bertemu beberapa kali. Kamu lupa?" Laki-laki itu bertanya balik. Dia menggerakkan jemari di atas layar ponsel, lalu menunjukkan sebuah foto. Tata mendekat hingga terlihat sesosok gadis berambut pendek, dengan pakaian hangat serta syal merah gelap melingkar di leher memotret bayangannya dalam cermin.
Ingatan Tata seketika mengumpulkan memori tentang upacara penyambutan. Sesaat setelah ia dan Rensi keluar dari aula, gadis seperti dalam foto itu secara kebetulan berada di dekatnya. Dia pun menyapa tanpa berpikir dua kali. "Hai. Aku Tata. Ini Rensi temanku. Namamu siapa?"
Gadis itu tersentak dan menjawab dengan lirih. Ia sedikit terbatuk, dan menutup mulut dengan syal. "Salam kenal. Namaku ... Ni-ta." Terdengar sedikit aneh saat gadis itu menyebut namanya. Namun, Tata dan Rensi tidak terlalu peduli.
"Salam kenal, Nita."
"Hee ...! J-jadi ..., kamu ini sebenarnya ... laki-laki?!" Dia memekik sembari menunjuk wajah pemuda itu dengan tangan bergetar. Tata benar-benar terkejut, spontan mundur dua langkah. "Kalau begitu mengapa waktu itu kamu menjadi perempuan?"
"Penyamaran adalah keterampilan yang akan dibutuhkan oleh seorang detektif. Jadi, menguji kemampuanku seharusnya bukan masalah, kan? Dan kamu sendiri, bisa-bisanya langsung percaya dengan seorang perempuan bertubuh jangkung dan bersuara serak." Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu di tempat itu, dia terlihat berekspresi dengan senyum puas.
Tata sama sekali tidak mau kalah. "Penyamaranmu itu terlalu sempurna, tahu! Kamu benar-benar persis seperti perempuan. Bahkan namamu juga."
"Ah, nama itu muncul secara spontan dalam otakku. Aku sungguh heran kalian tidak curiga." Tata memalingkan wajah, enggan menatap Rey yang tidak bisa berhenti membuat dirinya kesal walau hanya sedetik.
Tanpa dia sadari, Rey sudah lebih dulu masuk. "Ayolah, sampai kapan kamu mau di situ? Perlu aku tutup pintunya?" Kalimat itu membuat Tata tersadar lalu segera berlari menyusul.
***
Dear Rey Prayoga
Ambisi yang begitu tinggi telah membuat dirimu terjebak dalam ekspektasi tak tergapai. Tanpa bimbingan orang tua kamu tersesat oleh kebimbangan selama pencarian kebenaran.
Jadi, kami mengundangmu untuk bergabung di Asrama 300 DC. Di sini, segala kebutuhanmu akan terjamin. Kamu juga akan bertemu teman baru, dan membuat impianmu menjadi semakin dekat.
Kami mengharapkan respons positif. Tunggu kami di halte terdekat dari rumahmu. Mobil hitam akan segera menjemput.
Kamu menunggu kehadiranmu, calon detektif hebat.
Rey membolak-balik surat tersebut. Baginya tidak ada yang spesial kecuali bunga krisentemum putih yang masih segar. Ya, bunga yang menuntunnya menuju kebenaran.
***
Setelah puluhan—bahkan mungkin ratusan—anak tangga dilewati, mereka berdua akhirnya sampai di kantin yang menjadi titik kumpul. Dengan napas terengah, Tata menyerahkan sobekan kertas berisi kode kepada Rin yang menunggu dengan wajah tidak sabar.
Rensi yang kebetulan berada paling dekat dengan Tata berbisik pelan, "Untunglah kamu segera kembali, Ta. Kalau tidak, tempat ini mungkin sudah menjadi medan perang."
"Lama sekali. Apa yang kamu lakukan di sana? Dan siapa laki-laki itu?" tanya gadis yang selalu membuat Rensi naik darah. Padahal faktanya, dia sama sekali tidak peduli siapa pun yang ikut terlibat bersama mereka. Hanya dirinya yang pantas menjadi nomor satu, itulah prinsip yang selalu dia pegang.
Tata bersusah payah mengatur napas. "Dia Rey, teman baru kita. Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat mencari petunjuk di rooftop." Rey melambaikan tangan, menyapa semua yang ada di sana. Tentu saja dia tidak menjelaskan tentang masa lalu, ataupun keanehan apa saja yang pernah dilakukan pemuda itu sebelumnya.
"Oh, aku hampir berpikir di sini tidak ada penghuni laki-laki," balas Priskila usai Rey memperkenalan diri.
"Ayo selesaikan ini dulu. Acara basa-basinya nanti saja." Suasana yang sempat mencair dengan kedatangan anggota baru tiba-tiba kembali terasa pengap ketika Rin yang seolah diabaikan kembali buka suara. "Rey, bagaimana kamu menemukan petunjuk ini?"
Lelaki itu segera memaparkan semua yang dia ketahui tanpa menunggu lama. Rin mengangguk-angguk lalu kembali fokus menyusun sobekan kertas itu menjadi satu kesatuan yang padu seperti puzzle. Anehnya, Rey yang diharapkan bisa membantu dengan kemampuan deduksinya justru hanya menonton sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatu.
Tidak butuh waktu lama, kode itu pun akhirnya tersusun. Namun, sama seperti sebelumnya, petunjuk itu ditulis dengan bahasa sandi yang membuat otak berpikir keras.
KUNCI KEBERHASILAN MISI
RPSÉERE, VLARTIA EN QIUEPÉ, ÉCNOARNES
"Ya Tuhan, apa ini?" gumam Rensi setelah mengamati susunan huruf itu berulang-ulang kali. Dia memang suka bermain anagram. Tetapi bahasa yang digunakan dalam kode sandi tersebut sama sekali tidak ia mengerti.
Rin melipat kedua tangan. "Sudah kuduga, akui saja kalau kalian bodoh. Dan kejadian kemarin hanya keberuntungan yang memihak padamu." Rensi yang mendengarnya seketika naik pitam. Untunglah sekarang Tata ada di sana untuk menenangkannya.
"Ini anagram juga, sama seperti sebelumnya. Kata-kata ini dibaca 'espérer', 'travail en équipe', dan ...'résonance'. Ya, ini menggunakan bahasa Prancis. Makna dari kata-kata ini adalah kunci bagi kita untuk menyelesaikan misi," jelas Rin. Semuanya memperhatikan dengan saksama, kecuali Rensi.
"Kalau begitu, apa artinya?" tanya Tata yang sukses membuat senyuman puas terbit di wajah Rin.
"Espérer, artinya harapan. Travail en équipe, berarti kerja sama tim. Dan résonance...." Rin terdiam, sementara semua pasang mata tertuju padanya. Dia memang agak ragu dengan kata yang terakhir. Namun, dia harus mengatakan arti kata itu jika tidak ingin dipermalukan. "... tentu saja resonansi."
"Kita harus menyelesaikan misi ini dalam waktu tiga ratus hari. Walaupun ada ancaman menanti, kita tidak boleh hilang harapan. Lalu, kita juga harus bekerja sama untuk memecahkan semua misteri ini. Dan, yah ... resonansi. Kurasa itu ada hubungannya dengan travail en équipe. Resonansi adalah peristiwa-peristiwa turut bergetarnya suatu benda karenaa pengaruh getaran gelombang elektromagnetik luar, kan."
"Apa hubungannya kerja sama tim dengan resonansi?" tanya Rensi yang kesulitan mencerna penjelasan Rin, tetapi tidak ingin diremehkan.
Rin mengedikkan bahu tak acuh. "Pikirkan saja sendiri. Memang kumpulan orang bodoh seperti kalian tidak akan mengerti walau dijelaskan panjang lebar." Pernyataan itu bertentangan dengan kenyataan bahwa dirinya juga kebingungan memikirkan arti dari resonansi dibandingkan dua kata lainnya.
Saat semuanya sibuk berpikir, Rey tiba-tiba bangkit dari kursi dan mendekati Rin. "Aku benar-benar salut dengan usahamu mencari makna resonansi yang sebenarnya. Tetapi sayang sekali, kamu sama saja bodohnya." Dia memperlihatkan sesuatu yang sejak tadi dia sembunyikan dalam saku celana.
Sebuah sobekan kertas dengan kode serupa, tetapi sedikit berbeda. "INACSECNOARNES"
"Itu bukan 'résonance', melainkan 'reconnaissance' yang artinya 'syukur'. Aku sengaja menghilangkan lima huruf dari kode yang kuberikan, dan menambah coretan di atas huruf e agar menjadi é. Kuharap kamu curiga dengan diriku yang tidak pandai berbohong, tapi sayang sekali. Kamu jatuh dalam jebakanku," ujar Rey dengan seringai lebar mengerikan.
Rin berdecih. "Bagaimana mungkin aku bisa sadar kalau kamu sudah menghilangkan lima huruf awal dari kode—"
"Tentu saja. Kamu seharusnya sadar jika diriku tampak gelisah saat menjelaskan bagaimana petunjuk itu kudapatkan. Psikologi adalah ilmu yang sangat diperlukan dalam penyelesaian kasus. Kamu memang pintar, tetapi sangat payah dalam ilmu psikologi terapan," potong Rey dengan senyum meremehkan.
Gadis itu merasa harga dirinya terinjak-injak. Dia mengepalkan kedua tangan geram. "Jadi, apa maksudmu melakukan semua ini?"
"Sederhana. Aku hanya ingin membuatmu sadar jika kamu takkan bisa menyelesaikan semua misi sendirian. Dan persis seperti kata yang hilang, kamu tidak punya rasa syukur. Setiap hari kamu lalui dengan mengejar pujian dari orang lain. Kuberitahu ya, kamu takkan pernah bisa bahagia jika terus begitu." Ucapan Rey bukan hanya membuat Rin bungkam, tetapi juga yang lainnya. Mereka terdiam merenungi diri masing-masing.
"Kepintaranmu kadang membantu, tetapi sisanya malah merepotkan. Terserah padamu. Aku tidak akan takut ancaman apa pun yang kamu berikan. Pihak asrama seharusnya tidak mengundang orang sepertimu. Kalau begini, kita semua pasti akan mati mengenaskan dalam tiga ratus hari," lanjut pemuda itu dengan tatapan dingin.
Rin memicingkan mata. "Jaga bicaramu, bodoh. Kata-katamu seolah mengatakan diriku—"
"... tidak berguna," sambung Rey tidak peduli. "Tanpamu, kami bisa menyelesaikan misi ini dalam waktu yang lebih singkat. Sadarlah jika dirimu hanya beban."
Gadis itu tidak bisa menahan amarah. Tangannya bergerak hendak menampar wajah orang di depannya. Namun, gerakan tersebut terbaca. Sehingga, Rey dengan mudah menahan tangan Rin. "Di antara kita, kamulah yang sebenarnya bodoh," ujarnya sarkas.
Rin semakin tidak tahan. Dia segera menarik tangannya dari cengkeraman Rey kemudian berlari masuk ke area asrama sebelum air matanya tumpah. Seumur hidup, baru pertama kali ada orang yang menghinanya seperti itu. Ranita segera berlari menyusul dengan maksud menenangkan teman sekamarnya itu.
Tata, Rensi, dan Priskila memandang mereka semua dengan heran. Tak lama kemudian, Rey menyusul pergi dari kantin. Dia berjalan santai menyusuri lorong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Ranita yang tidak diizinkan masuk.
Rey terus berjalan tanpa memedulikan apa pun, baru kemudian berhenti tidak jauh dari tempat Ranita berdiri. Tanpa perlu bertanya, dia sudah tahu apa yang terjadi. Sehingga, dia memilih untuk menanyakan hal lain dengan volume suara yang hanya bisa didengar mereka berdua. "Ranita Putri Agung, mengapa seorang kriminal sepertimu bisa berada di tempat ini?"
Ranita tersentak. Jantungnya berpacu tiga bahkan empat kali lebih cepat. Akan tetapi, dia tidak ingin lebih banyak orang mengetahui rahasia itu—selain Priskila—hanya karena akting yang buruk. Terlebih Rey sama sekali tidak bisa dipercaya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Rey berbalik dan memberikan tatapan sedingin gaya bicaranya. "Mengapa ... seorang pembunuh sepertimu bisa ada di sini?" Sikapnya kini tidak jauh berbeda dengan seekor harimau yang berhasil memojokkan seekor kelinci. "Tidak ada gunanya mengelak. Gerakan matamu sudah menceritakan semua padaku."
Seperti mendengar petir di siang bolong, Ranita mematung. Dia merasa seakan jiwanya telah ditarik keluar. Bulir-bulir keringat dengan cepat membasahi wajah serta leher gadis itu. Tidak ada gunanya mengelak. Dia tahu suatu hari kalimat itu akan terdengar. Namun, tidak menyangka jika harus sekarang.
Ranita tahu jika itu akan menjadi keputusan terbodoh yang pernah ia ambil semasa hidup. Namun, ia tetap menceritakan kronologi kejadian hari itu tanpa basa-basi. Hingga tanpa sadar, pipinya telah basah ketika cerita tersebut mencapai bagian akhir. Semua itu terjadi secara spontan. Tentunya dia sama sekali tidak berniat meminta belas kasihan dari Rey.
"Yah, sayang sekali. Aku turun menyesal. Dan semoga saja dengan volume suara sekecil ini, gadis bodoh yang mengurung diri di dalam sana tidak menguping," respons Rey sembari melempar sorot mata tidak suka pada pintu kamar yang ditempati Rin. Sementara Ranita meremas-remas ujung kemeja guna menghilangkan gugup.
"Tetapi, percuma saja. Walaupun aku tahu, polisi tidak akan percaya pada anak ingusan." Rey menghela napas panjang, bersandar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Kebenaran dan keadilan memang berjalan berdampingan. Akan tetapi, dalam kehidupan manusia keduanya terkadang terlihat saling bertentangan." Ranita tetap membisu. Seakan-akan berbicara adalah sebuah perbuatan dosa.
"Kecuali, aku bisa mendapat kepercayaan dengan menjadi detektif, mungkin aku bisa meluruskan kesalahan ini. Mungkin aku bisa membantu agar kamu dibebaskan, atau setidaknya menerima pengurangan masa hukuman," ujar Rey lalu berjalan menjauhi Ranita yang masih bergeming di depan pintu kamar.
"Anu, Rey!" Pemuda itu segera berhenti dan menoleh mendengar namanya dipanggil. "Tolong ..., bisa kamu rahasiakan ini?"
Rey menghela napas panjang. Hanya untuk mengangguk samar lalu melanjutkan perjalanan. Laki-laki itu meremas helai rambut yang berdiri paling depan. "Krisantemum berjanji akan membimbingku menuju kebenaran. Dan aku berjanji padanya untuk menegakkan keadilan. Tetapi ..., apa sekarang aku adalah pengkhianat?"
***
Note:
*Hanakotoba, dalam bahasa Jepang berarti bahasa bunga. Di mana setiap bunga memiliki makna tersendiri dan sebagian di antaranya berbeda dengan makna bunga di negara lain.
Author: IchiHikaru
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top