Chapter 4: A untuk Amaranth

Gadis itu bernama Rin Schreiber, putri tunggal Aron Schreiber, seorang pengusaha kaya raya yang berasal dari Jerman.

"Bagaimana dengan sekolahmu?"

"Baik-baik saja, tidak ada yang istimewa kecuali aku terpilih menjadi Ketua OSIS."

"Kamu layak mendapatkan posisi itu."

Selain kaya, gadis itu dianugerahi dengan paras cantik dengan rambut coklat bergelombang dan mata biru. Rin selalu mendapat peringkat satu pararel di sekolah dan sering menjadi juara pertama dalam setiap perlombaan. Keahliannya tidak berhenti begitu saja, dia juga berbakat bermain catur dan voli. Singkatnya, Rin adalah manusia serba bisa.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Ayah seraya menyerahkan amplop berwarna merah jambu. Mata birunya yang serupa berkilat-kilat menatap Rin dengan tajam. Sejenak, Rin merasa asing dengan sosok yang berada tepat di depannya.

Seperti bukan Aron Schreiber.

"Aku sama sekali tidak mengingat sekolah membangun asrama," kata Rin ketika selesai membaca surat dalam amplop. ,

Mereka berdua tidak bersuara lagi selama kurang lebih lima menit. Ayah masih mengamati dengan mata yang sama, sementara Rin sibuk membolak-balikkan amplop berwarna merah jambu itu dengan gugup. Gadis itu memilah kata-kata yang tepat hanya untuk menjawab pertanyaan sang ayah.

"Selera mereka aneh," kata Rin memecah keheningan diantara mereka berdua. "Aku rasa warna emas lebih cocok untuk mengundang seorang murid untuk tinggal di asrama, terlihat lebih elegan. Warna ini cocok untuk pasangan kekasih."

Mendengar jawaban dari putri semata wayang membuat sudut bibir Aron Schreiber terangkat, tersenyum menenangkan selayaknya ayah normal yang sedang melihat putrinya ketakutan. Pemandangan itu tampak biasa saja jika Rin menyingkirkan pikiran bahwa Aron adalah sosok orang tua yang 'maha benar'.

"Aku tidak perlu mengatakan apa pun. Kamu bebas memilih dan tetaplah berpegang teguh pada moto Keluarga Schreiber," kata Ayah sebelum masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Rin yang sedang menghela napasnya lega. Berada pada satu ruangan yang sama dengan sang ayah membuat umur Rin kian memendek.

Namanya Rin Schreiber, seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang hanya hidup dengan seorang ayah. Ibunya telah tiada, jauh sebelum Rin bisa berjalan dan berlari-dalam artian Rin sama sekali tidak mengenal sosok yang telah mengandungnya selama sembilan bulan. Rin sama sekali tidak menyesal ketika mengetahui sang ibu pergi atau ayah yang tidak berniat untuk mencari ibu tiri.

Meski demikian, gadis itu menyadari bahwa seorang Rin Schreiber juga merasakan sesuatu yang sering disebut 'kesepian'. Rin menyesali dirinya yang terlalu lemah dan semakin membenci Aron yang jarang berada di rumah. Pria itu selalu menghabiskan waktunya bersama kertas-kertas tidak berguna dan pergi ke luar kota tanpa pamit. Semakin kuat Rin membenci Aron Schreiber, semakin mirip pula gadis itu dengan sang ayah.

Sama-sama berhati dingin dan arogan.

"Nona muda?"

Rin membuang amplop itu ke tempat sampah. "Moto keluarga Schreiber adalah 'selalu menjadi nomor satu'. Siapkan semua hal yang aku butuhkan di asrama. Jangan membuatku menunggu lebih lama!"

-*-

"H-halo. Apa kamu bisa berbahasa indonesia?"

"Sebentar, Ta. Aku ingat beberapa kata perkenalan dalam bahasa inggris."

Rin belum sempat berkomentar betapa menyedihkan asrama yang telah mengundangnya. Gadis itu tidak membicarakan kualitas asrama, tempat ini bisa dikatakan layak huni dan nyaman. Namun, kegiatannya terpaksa terhenti karena dua orang gadis tiba-tiba menghadang jalan-meminta berkenalan.

"Rin Schreiber," ucap Rin cepat ketika mereka berdua mulai berdebat tentang cara berkenalan dengan seorang bule. Rin sengaja menekankan nama keluarga agar mereka tahu dengan siapa mereka berbicara.

Rin sangat tidak menyukai orang yang mengabaikannya.

"Si peringkat satu? Akhirnya aku bisa melihatmu secara langsung. Kamu benar-benar cantik, gosip yang aku dengar ternyata bukan tipuan." Si rambut cepol menatap Rin dengan mata berbinar-binar seperti menemukan uang di kantung celana.

"Maaf ya, aku kira kamu murid pindahan," ucap si kacamata seraya membungkukkan badannya, tersenyum ramah kepada orang yang diam-diam menahan kesal.

Meskipun Rin dingin kepada orang lain, gadis itu masih mempunyai tata krama untuk memperlakukan orang lain dengan baik. Hanya sebuah formalitas.

"Tidak masalah."

"Kamu orang yang kaku ternyata," ucap si cepol menilai gaya bicara Rin. Tidak lama kemudian si cepol mengaduh kesakitan karena lengannya dicubit oleh si kacamata.

"Kenalin kami-"

"Tata dan Rensi. Aku tahu kalian, salam kenal juga. Maaf kalau lancang, tetapi aku punya banyak hal yang harus diurus," sela Rin seraya menunjuk koper besar berwarna hitam.

Tata dan Rensi menatap Rin canggung, merasa sangat bersalah karena menyita waktu si peringkat satu yang berharga. Seharusnya Rin yang berada di posisi mereka berdua, tetapi berhubung dia 'selalu benar' dan 'tidak terbantahkan', Rin sama sekali tidak merasa bersalah karena memperlakukan mereka seperti itu.

Kemudian Tata dan Rensi menunjuk kamar bernomor sembilan kepada Rin. "Kalau butuh sesuatu, kami bisa membantumu, Rin."

-*-

Setelah Rin Schreiber yang dikenal sebagai si peringkat satu menghilang di balik pintu kamar, Tata menjatuhkan dirinya sendiri di salah satu kursi ruang makan, karena kamar Rin terletak tidak jauh dari dapur. Gadis itu tersenyum lemah kepada Rensi yang sedang meneguk air putih dengan rakus.

"Aku tertipu sama wajahnya," ucap Rensi. "Dia benar-benar bukan orang yang ramah. Aura orang kaya memang beda."

"Tapi aku suka warna matanya," komentar Tata mengingat kembali warna mata Rin yang berbeda.

Rensi mengangguk setuju. "Setidaknya, dia masih bisa diajak ngobrol walau harus tahan napas."

Tata tersenyum kecil kepada sahabatnya. Rin mungkin jenis tipe orang yang tidak suka berdekatan dengan orang lain berbeda dengan Rensi yang suka berbaur-terkadang malah membuat masalah, tetapi respon Rin yang terlalu peka terhadap lawan bicaranya membuat Tata tertarik untuk berteman.

"Ngomong-ngomong, lukisan itu sangat mengganggu mataku," kata Rensi tiba-tiba, gadis itu menujuk sebuah lukisan yang terletak di samping lemari pendingin.

Tata mengerjap pelan karena baru menyadari keberadaan lukisan itu. Ukuran lukisan tidak terlalu besar. Namun, yang membuat Tata kaget adalah gambar yang ada dilukisan sama dengan gambar yang berada di amplop.

"Petunjuk misi!" Rensi yang juga sadar segera melepas lukisan dari dinding.

"Kenapa mudah sekali menemukan petunjuk?" tanya Tata segera menghampiri Rensi yang tiba-tiba terdiam. "Kenapa kamu?"

"Aku rasa kita dapat masalah serius," ucap Rensi seraya menunjukkan bagian belakang lukisan kepada Tata.

ZFKQX VXKD QXH QBODXKQFPHXK

Kepala Tata mendadak pusing karena melihat tulisan yang tidak bisa terbaca itu, sedangkan Rensi kembali meminum air untuk menjernihkan kepala. Meskipun mereka berdua tidak sejenius Rin, Tata dan Rensi juga termasuk dalam jajaran siswa berperingkat atas, mereka berdua yakin bisa memecahkan sandi.

"Aku menyesal karena pernah bolos pramuka," ucap Rensi nelangsa seraya mengelus-elus tulisan, berharap tulisan itu berubah seperti dalam film Harry Potter. Setelah kurang lebih sepuluh menit, mereka berdua memutuskan berhenti.

"Kalau aku jadi Conan, kita pasti sudah setengah perjalanan," gumam Tata.

"Artinya cinta yang tak tergantikan."

"Setan!" teriak Rensi dan Tata bersamaan. Mereka berdua langsung melempar lukisan itu dan bersembunyi di bawah meja makan.

Sebenarnya Tata sangat takut hantu, namun dirinya tidak menyangka bakal bertemu dengan makhluk itu saat ini. Tata segera menutup mata dan segera berdoa agar hantu itu hilang. Satu menit telah berlalu, Tata merasa harus mengintip dan untung hantu itu sudah tidak terlihat.

"Namanya sandi caesar, kalian hanya perlu menggeser tiga huruf ke belakang untuk tahu jawabannya. Sandi ini termasuk sandi yang paling sederhana."

Tata dan Rensi hanya bisa melongo ketika melihat seorang gadis sedang duduk manis di atas meja makan. Tata merasa malu karena sempat mengira kalau dia adalah hantu.

"Oh, begitu." Tata menoleh ke arah Rensi yang sedang menatap gadis itu dengan sinis. Mungkin karena Rensi masih menyimpan dendam karena diabaikan.

"Namaku Renita, maaf kalau sebelumnya aku mengabaikanmu. Aku cenderung takut sama orang asing," kata Renita dengan suara pelan.

Rensi menghela napasnya pelan. "Maaf juga karena memanggilmu setan. Kami berdua memang penakut."

"Apa maksud dari cinta yang tak tergantikan?" tanya Tata.

"Mungkin jodoh kita," jawab Rensi.

"Atau sesuatu yang kita sukai," tambah Renita masih dengan suara yang pelan. Tata tersenyum memaklumi.

"Lebih tepatnya adalah sebuah ikatan."

Ketiganya menoleh dan mendapati Rin yang berwajah masam. Tata dan Rensi saling pandang, kemunculan Rin adalah daftar nomor satu yang harus dihindari dan saat ini mereka telah membangunkan macan tidur yang siap mengamuk.

"Dari sekian banyak petunjuk yang ada di asrama ini, kalian hanya bisa memecahkan sekitar kurang lebih lima persen," lanjut Rin. Kali ini, gadis itu menatap mereka dengan pandangan menyedihkan.

Rensi tertawa terbahak-bahak. "Ah, orang kaya memang bisa menindas orang yang lebih lemah. Tahu apa kamu tentang misi yang ada di asrama ini?"

Tata menggigit bibirnya gusar. Seperti biasanya, Rensi sangat mudah marah jika disinggung, terlebih lagi dengan Rin yang memang tidak bersahabat. Mereka berdua akan terlibat masalah serius jika Tata tidak segera melerai perkelahian itu.

"Kunci utama untuk menyelesaikan misi ini adalah kalimat ASRAMA 300 DC, petunjuk misi paling mudah karena dari awal kita sudah melihatnya sewaktu berada di depan gapura. Target yang harus kita raih adalah 'kebahagiaan' dan petunjuk pertama adalah lukisan yang kalian temukan. Apa kamu masih meragukanku?"

Rensi menunjuk Rin dengan dagu terangkat. "Penjelasanmu masih ada lanjutannya 'kan?"

Rin memutar bola matanya malas. "Aku merasa dimanfaatkan."

"Kamu salah. Ini permohonan, cepat jelaskan lebih rinci!" perintah Rensi tidak mau kalah.

"Urat malumu ternyata sudah putus," gumam Tata seraya melirik Rensi namun gadis itu malah tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.

"Padahal sandi caesar sangat mudah, aku heran kenapa kalian enggak bisa memecahkan sandi itu. Cinta tak tergantikan adalah arti dari bunga Amaranth yang ada dilukisan itu. Nilai seratus buat Renita. "Rin menunjuk Renita.

Renita yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian tersenyum tipis. "Kamu ternyata tahu namaku."

"Aku tahu nama semua anak di sekolah," kata Rin.

"Lalu kenapa Renita bisa tahu kalau harus menggeser tiga huruf ke belakang?" tanya Tata kepada Renita.

"Aku cuma menebak," jawab Renita.

Rin menggelengkan kepalanya pelan. "Kalian ternyata lupa kalau kunci utama adalah angka tiga dari tiga ratus."

Tata kembali melihat bunga Amaranth itu. Memikirkan alasan kepala asrama menerima mereka di tempat seperti ini. Sebelumnya, Tata menduga kalau penghuni asrama adalah anak-anak yang mempunyai masa lalu yang suram. Gadis itu kemudian menatap teman-temannya, Rensi adalah anak yang ceria tapi pandai menyembunyikan sesuatu. Rensi tentu tidak akan mengatakan masa lalu suramnya kepada Tata.

Renita mungkin saja anak yang tertutup dari cara bersikap dan berbicara, Tata bisa menduga kalau Renita berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan masa lalunya. Terakhir si peringkat satu Rin, gadis itu terlalu sempurna untuk disebut sebagai manusia. Sifatnya cenderung arogan dan suka memerintah, namun matanya selalu menyorot curiga seolah-olah melindungi diri dari sesuatu.

"Sudah menemukan jawabannya?" tanya Rin seraya melambaikan tangannya tepat di depan wajah Tata. "Jangan melamun."

"Kamu bilang kita terikat oleh sesuatu, Rin?" tanya Tata.

"Memang."

"Alasan kenapa angka tiga digeser ke belakang adalah kita akan selalu terikat dengan masa lalu. Kita diundang ke asrama bukan karena kita istimewa tetapi karena melarikan diri dari masa lalu. Sedangkan bunga Amaranth artinya cinta yang tak tergantikan. Apa ada cinta yang sanggup mengalahkan masa lalu yang kita tinggalkan?"

Pertanyaan Tata direspon dengan dingin oleh Renita. "Pertanyaanmu itu membuatku berpikir kalau kita sebenarnya adalah pecundang. Pikiranmu sangat naif, kita selamanya enggak bisa lepas dari masa lalu. Kita sudah terikat."

"Jangan bicara lagi, Renita! Kamu sudah keterlaluan!" Rensi berteriak marah, menatap Renita dengan nyalang.

"Sudah Rensi, aku rasa Renita ada benarnya," ucap Tata sedih. Rensi yang melihatnya segera memeluk sang sahabat.

Rin tertawa pelan ketika melihat pertengkaran mereka bertiga. "Renita memang benar tapi dia juga salah."

"Apa maksudmu?" tanya Renita dingin.

"Maksudku, pikiran kalian semua sangat sempit," jawab Rin seraya menunjuk Renita, Rensi, dan Tata. "Jika kalian lupa kunci utama, jangan lupa targetnya. Ada banyak jalan untuk meraih kebahagian, salah satunya yaitu melihat bulan Februari."

"Maksudmu hari Valentine?" tanya Rensi ketus karena tidak menyukai gagasan Rin.

"Kasih sayang juga identik dengan cinta," kata Tata.

"14 Februari. Gimana kalau kita melihat dengan sisi yang berbeda?" pancing Rin.

"Aku buta sejarah," jawab Renita yang diangguki serempak oleh Rensi dan Tata.

"Entah kenapa aku enggak bisa mengabaikan kalian yang kurang pintar," ucap Rin seraya memijit keningnya. Gadis itu merasa pusing karena pancingan itu tidak berefek kepada Tata, Rensi, atau Renita.

"Sialan!" umpat Rensi.

"14 Februari adalah Hari Peringatan Pembela Tanah Air (PETA). Jika dipersempit lagi, kunci huruf (A) dari kata ASRAMA adalah Amarant yang menujuk ke kata cinta dan 14 Februari menunjuk kata bela. Kunci pertama untuk meraih kebahagiaan adalah membela diri kita sendiri, karena yang bisa menyelamatkan kita dari masa lalu adalah kita," jelas Rin.

"Membela ... bukan menyakiti diri sendiri."

Hari itu Tata seakan tertampar dengan kalimat dari Rin. Tata merasa bersyukur karena berada di asrama dan bertemu dengan orang-orang yang ingin sembuh sepertinya. Tata berharap mereka semua bisa menyelesaikan misi dengan baik dan meraih kebahagian.

"Lalu kunci yang lainnya? Kita masih kurang lima kunci yang harus dipecahkan," tanya Rensi.

"Karena kalian sudah pintar, kalian bisa cari sendiri," jawab Rin malas seraya melangkahkan kakinya ke kamarnya. "Semoga berhasil."

Author: FibyRYN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top