Chapter 2: Labile Girl
Pada pagi nan cerah ini, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gedung yang tampak menjulang tinggi. Meski begitu, Rensi tak mengetahui kira-kira seberapa luas asrama yang ada di hadapannya ini.
Tadi, sebelum Rensi masuk ke sini, ia disambut dengan gapura bertuliskan 'SELAMAT DATANG DI ASRAMA 300 DC'. Gadis itu sudah meniatkan diri untuk menerima undangan tersebut dan datang ke tempat ini, diantar oleh mobil hitam yang menunggunya di depan gang tadi.
Orang yang menyetir mobil hitam itu sempat memberikan arahan pada Rensi ke mana ia akan berjalan masuk ke dalam asrama tersebut. Dalam hati, gadis itu mencebik kesal. Mengapa si sopir tak ikut saja dengannya untuk memberikan pengarahan secara langsung. Bagaimanapun juga, ia takut tersesat nanti.
Saat akan berjalan masuk ke asrama, netra Rensi tak sengaja melihat seorang gadis yang tampak diam saja menatap gedung asrama di hadapannya. Rensi mengira, orang itu pasti sama dengannya, menerima undangan dan diminta untuk datang ke asrama ini. Rensi pun berinisiatif untuk mendatangi gadis tersebut dan mengajaknya berkenalan. Barangkali mereka bisa masuk bersama-sama, sehingga Rensi tak perlu takut tersesat.
"Halo, kamu juga dapat undangan untuk datang ke sini, ya?" Tanpa aba-aba, Rensi langsung menepuk pundak gadis tersebut. Sayangnya, Rensi tak menyadari bahwa efek perbuatannya barusan itu, membuat tubuh gadis tersebut bergetar hebat.
"Namamu siapa? Yuk, kita kenalan. Nanti sekalian kita masuk bareng ke asrama." Tangan Rensi langsung terjulur. Namun, sayang, gadis itu hanya menatapnya sebentar, lalu pergi begitu saja. Tentu Rensi keki setengah mati mendapatkan perlakuan tersebut.
"Ih, kenapa, sih? Sombong banget, diajak kenalan nggak mau. Kayaknya pihak asrama salah, deh, udah ngundang cewek itu," cibir Rensi dengan kesal. Alhasil, ia masuk sendirian ke asrama dan tak memedulikan gadis tersebut.
Rensi tak akan pernah tau, alasan mengapa gadis itu diam saja dan tak menerima ajakannya untuk saling berkenalan.
•••
Beberapa jam yang lalu.
Prang ....
Selepas bunyi nyaring dari botol yang pecah berserakan di atas lantai terdengar, tak lama kemudian, muncul suara langkah kaki. Seorang gadis yang berdiri tak jauh dari pecahan kaca botol itu ketakutan setengah mati saat mendengar derap langkah tersebut yang kian mendekat ke arahnya.
Mendadak saja bola mata gadis itu bergerak secara liar. Dapat ia rasakan, keringat dingin mulai berlomba-lomba berjatuhan melalui pelipis. Ia benar-benar takut. Sangat takut. Sebab, gadis itu tau apa yang akan terjadi setelah ia dengan cerobohnya menjatuhkan botol minuman yang berada di meja.
Sifat manusiawinya yang ingin bertahan hidup mulai meronta-ronta, tetapi kakinya serasa tercekat sesuatu. Gadis itu seolah membeku di tempat.
Sesuai yang ia duga, seorang pria dengan cambang yang nyaris memenuhi setengah wajahnya, mulai mendekati gadis itu dengan raut yang memerah dan sepertinya akan siap meledak.
"Ranita, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menjatuhkan botol birku, hah? Kamu nggak tau kalau aku rela berhutang ke sana-sini demi membeli sebotol bir itu? Anak tak tau diuntung!" Badan Ranita bergetar hebat. Pria yang ada di hadapannya kini marah besar. Tanpa terasa, tak hanya keringat dingin yang mengucur, tetapi air mata pun ikut serta mengalir dan sukses membuat wajah gadis tersebut lembap.
"Jawab, Ranita! Kenapa kamu menjatuhkan botol birku? Apa kamu ingin aku sengsara?" Secara tiba-tiba, tangan kanan pria itu mencengkeram erat pundak Ranita yang membuat gadis berusia 17 tahun tersebut meringis pelan. Spontan kepalanya menggeleng secara liar dengan bibir yang mulai bergetar.
"T—tidak, Ayah. Aku tidak sengaja," ujar Ranita dengan sungguh-sungguh. Memang benar, ia tak sengaja melakukannya. Saat itu, Ranita sangat letih. Setelah pulang sekolah, ia melakukan kerja part time di sebuah kafe dan baru pulang saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, wajar jika ia sangat lelah hingga tak sadar telah menyenggol botol bir ayah tirinya.
Perihal kerja part time, gadis itu terpaksa melakukannya, sebab sang ayah sering kali membuatnya harus menunggak SPP. Itu semua terjadi karena hobi ayahnya yang sangat buruk, yaitu berjudi.
Ranita sempat berpikir kalau dia lebih baik pindah bersekolah di SMA Negeri saja supaya tidak perlu membayar SPP. Hanya saja, ia sama sekali tak paham bagaimana prosedur untuk pindah sekolah.
Sayangnya, ada satu hal yang tak pernah gadis itu tau.
Meski ia bersekolah di SMA Negeri nantinya, hal tersebut tak menutup kemungkinan kalau ia murni tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk sekolah. Sebab, sampai saat ini, masih banyak pihak sekolah yang licik melakukan pemungutan liar dengan berbagai macam alibi. Seperti untuk biaya buku pelajaran tambahan—yang kelihatannya hal itu tidak perlu, karena sekolah negeri sudah pasti meminjamkan buku paket kepada siswa dan sepertinya itu sangat cukup—, setelah itu biaya untuk event sekolah, kegiatan di luar sekolah, dan berbagai macam alasan lainnya. Ranita sama sekali tak pernah mengetahui fakta tersebut.
"Hah, bohong! Aku tidak percaya. Selama ini kamu melarangku untuk berjudi dan minum-minum. Pasti kamu memecahkan botol birku itu karena kesal, kan? Iya, kan?" Gadis itu masih menggelengkan kepalanya dengan kuat. Sungguh, meski ia tak suka dengan sikap buruk pria yang ada di hadapannya ini, tetapi Ranita tak pernah berani mencari gara-gara dengan sang ayah.
Tanpa gadis itu duga, wajah pria tersebut yang awalnya merah padam karena menahan kesal, kini tersenyum miring dengan tatapan yang sangat Ranita kenal. Kepala gadis itu menggeleng semakin kuat. Ia paham apa yang akan sang ayah lakukan padanya.
"Tidak, Yah. Aku tidak mau." Seringaian pria itu semakin lebar kala melihat raut anak tirinya semakin pias.
"Kau sangat ceroboh. Tenang saja, aku tidak akan memarahi dan memukulmu lagi, tapi kamu harus menerima hukumanku yang lain." Pria itu mulai menunjukkan wajah yang ganas.
"Aku tidak mau, Yah!" Namun, terlambat. Kedua lengan gadis itu dengan cepat digenggam erat, lalu menariknya kasar menuju sebuah kamar. Selepas itu, tanpa merasa bersalah, tubuh Ranita didorong kuat ke atas kasur.
"Tolong, Yah. Jangan lakukan itu." Seolah tak mendengar semua ucapan anak tirinya itu, pria tersebut semakin mendekat. Karena panik dan terus berontak, Ranita justru tak sengaja menyenggol sebuah botol yang berada di atas nakas, tepat di samping kasur. Wajah pria itu mulai menggelap. Akan tetapi, hal tersebut hanya sesaat, karena ia menyeringai lagi.
"Pecahkan saja semua botolku, karena aku tak peduli. Aku tetap akan melakukannya." Mendadak Ranita menjadi gelap mata. Selama ini ia selalu diperlakukan tidak pantas. Gadis itu tak mau hal tersebut terulang lagi. Dia hanya ingin menjadi gadis yang terhormat.
Alhasil, ia langsung menendang selangkangan sang ayah. Tentu saja pria itu mengerang kesakitan dan membuat cengkeramannya di lengan Ranita terlepas. Gadis itu langsung berusaha untuk kabur. Namun, sayang, gerakan ayah tirinya lebih cepat. Bagian belakang kemeja gadis itu langsung saja ditarik oleh sang ayah, sehingga membuat Ranita jatuh terduduk di atas lantai.
"Mau kabur, hm? Nggak akan bisa sebelum kamu memuaskanku malam ini." Ranita menggelengkan kepalanya frustasi. Dia benar-benar muak, gadis itu tak ingin sang ayah memuaskan nafsunya kali ini. Ranita terus mengisut ke belakang untuk menghindari pria tersebut. Entah mengapa, di situasi seperti ini, gadis itu rasanya sangat susah untuk berdiri.
Akan tetapi, kesialan masih saja menghampirinya. Punggung gadis itu kini menabrak nakas. Skakmat, sekarang dia tak bisa kabur, sedangkan pria bejat itu semakin mendekat dengan seringaian kejamnya.
"Kau tidak bisa ke mana-mana, Sayang." Tangan besar pria tersebut langsung membelai lembut rambut anak tirinya dengan tangannya yang lain mencengkeram pundak Ranita yang membuat gadis itu semakin pias. Saat itu pula, netra Ranita tak sengaja melihat pecahan kaca dari botol yang tidak sengaja ia senggol tadi. Melihat hal tersebut, mendadak saja pikirannya menjadi semakin gelap.
Tanpa ia sadari, secara perlahan, tangan pria itu yang awalnya memegang pundak Ranita, kini mulai turun dan melepas kancing atas kemeja anak tirinya. Gadis itu semakin panik. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengambil pecahan kaca yang ada di sampingnya, dan dengan gerakan cepat, Ranita mengayunkan pecahan kaca tersebut ke arah depan untuk menghentikan aksi ayahnya.
Pada saat itu juga, detik seolah terhenti. Pria tersebut mendadak membeku di tempat. Matanya langsung terbelalak lebar. Tetes demi tetes darah dari pria itu mulai mengotori lantai kamar. Hal tersebut terjadi karena perut pria itu ditusuk pecahan kaca dari Ranita tadi.
Tak lama kemudian, tubuh ayah tirinya ambruk ke arah gadis tersebut setelah sebelumnya mengerang sesaat. Gadis itu spontan bergeser. Tak dapat dipungkiri, tubuh Ranita bergetar hebat melihat pemandangan tersebut, terlebih lagi saat melihat tangannya yang kini dipenuhi cairan berwarna merah.
Kepala Ranita menggeleng kuat. Ia mendadak panik akibat perbuatan spontannya yang tanpa pikir panjang. Gadis itu terus memandangi ayah tirinya yang terbaring lemas di atas lantai dengan mengenaskan. Ia mulai beringsut mundur saat melihat ayahnya menggeliat tak karuan. Ranita benar-benar takut jika pria itu masih memiliki tenaga untuk menahannya.
Insting perlindungan dirinya pun hadir. Ranita langsung berlari mengambil pakaian di lemari dengan tangan yang masih bersih, selepas itu berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah merasa yakin tubuhnya sudah bersih, ia meletakkan kemeja yang telah terciprat darah ayahnya tadi di dasar bak tempat pakaian kotor. Ranita sengaja menyembunyikan kemejanya di antara pakaian tersebut. Setelah itu, ia berlari ke kamarnya sendiri untuk mengambil beberapa tabungannya dan langsung berkemas, meletakkan beberapa helai pakaian dan kebutuhan penting lainnya di dalam tas ransel.
Setelah dirasa cukup, Ranita segera keluar dari kamarnya dengan buru-buru. Ketika melewati kamar ayah tirinya, Ranita menghentikan langkah sejenak. Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum miris menatap lantai kamar pria itu yang mulai banjir darah.
"Maaf, Ayah, tapi sepertinya kau pantas mendapatkan ini. Balasan untuk orang yang sudah mengambil harta berhargaku berkali-kali tanpa perasaan."
Selepas itu, Ranita melangkah keluar rumah dengan tergesa-gesa.
•••
Ranita duduk termenung di sebuah halte. Sudah berjam-jam gadis itu duduk di sana. Ia memang memiliki tabungan, tetapi Ranita sejak tadi belum menemukan tempat untuk dirinya bernaung sementara ini. Selain itu, gara-gara kejadian sebelumnya, ia mendadak parno untuk bertemu siapapun. Saat ini, Ranita tengah memakai masker dan kacamata bulatnya, yang biasa gadis itu pakai saat sekolah. Sengaja, supaya ia bisa menyembunyikan diri.
Mengingat sekolah, Ranita meringis dalam hati. Masa depannya sangat suram. Ia tak tau bagaimana dirinya ke depan nanti. Mahkota berharganya telah direnggut oleh ayah tirinya sendiri, lalu ia sekarang menjadi seorang pembunuh. Gadis itu menangis dalam diam. Ranita berpikir, andai sang ibu tidak bercerai dengan ayahnya, pasti ibunya tak akan menikahi lelaki bejat itu dan Ranita tak akan hidup sengsara seperti ini. Sebab, selepas kepergian sang ibunda dari dunia, ayah tirinya sering melakukan hal yang tidak pantas pada dirinya.
Ia menyesali mengapa itu semua terjadi. Dahulu, Ranita merasa dirinya adalah gadis yang paling bahagia. Kedua orangtuanya sangat menyayangi Ranita. Namun, sayang, semua itu telah berubah.
Ranita bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Apakah ia masih bisa lanjut sekolah? Di mana ia akan tinggal? Lalu, di mana dirinya akan kerja nanti untuk bertahan hidup? Jujur, sebenarnya untuk menampakkan diri di kafe tempatnya bekerja saja, Ranita merasa takut setengah mati. Itu semua lagi-lagi karena teringat kejadian sebelumnya. Pikiran gadis itu menjadi kacau dan gelap.
Ia sempat berpikir untuk bunuh diri saja dengan menabrakkan diri saat mobil lewat. Akhirnya, Ranita bangkit dari posisi duduknya dan berdiri di sisi trotoar. Saat ini mungkin masih sekitar pukul 2 atau 3 dini hari, sehingga mobil masih jarang yang lewat. Jadi, dia terus menunggu di pinggir trotoar.
Tiba-tiba, pundak gadis itu ditabrak oleh seseorang. Namun, Ranita tak memedulikan hal itu, meskipun orang yang menabraknya tadi telah meminta maaf.
"Maaf, Mbak. Ini surat punyanya Mbak? Tadi saya lihat surat ini jatuh waktu saya nggak sengaja nabrak Mbak." Ranita mengerutkan kening, lalu menggeleng.
"Benarkah? Tapi, coba Mbak cek dulu. Barangkali penting." Orang itu langsung meraih tangan Ranita dan meletakkan surat tersebut di atasnya.
Setelah melakukan hal tersebut, orang itu berjalan menuju mobil yang sepertinya baru saja berhenti sekitar 1 meter dari sebelah kiri mereka. Melihat hal itu, Ranita berdecak dalam hati.
"Ish, aku jadi gagal ditabrak mobil, kan! Kalau orang itu nggak ngajak aku ngomong, pasti aku akan lari ke mobil itu," gerutunya sambil menatap mobil tersebut yang mulai menjauh. Awalnya Ranita ingin membuang kertas tak berguna di genggamannya itu. Namun, sekilas, ia melihat ada namanya tercantum di sana. Alhasil, ia menjadi penasaran dan membuka surat tersebut.
—–-–——–-–——–-–——–-–——–-–—
Dear, Ranita Putri Agung.
Kami tau, kau sedang dilimpahi masalah yang sangat besar. Kau menjadi luntang-lantung, kebingungan mencari tempat untuk bernaung. Jadi, kami memutuskan untuk mengundangmu ke Asrama 300 DC.
Di sana, seluruh kebutuhanmu untuk bertahan hidup telah tersedia. Seperti makan, tidur, dan lain sebagainya Tenang saja, semuanya gratis. Asalkan, kau mau mengikuti seluruh tantangan di asrama ini. Tantangannya tidak sulit, kok, asal kau niat.
Bagaimana? Berminat?
Jika kau mau, cukup tunggu di halte tempat kau bernaung sekarang, lalu akan ada mobil hitam yang menjemputmu.
Semoga kau menerima undangan dari kami.
—–-–——–-–——–-–——–-–——–-–—
•••
Rensi terus berjalan masuk ke asrama. Jujur, mendadak saja ia agak linglung dan takut tersesat. Gadis itu menggerutu kesal saat mengingat gadis sombong yang ia temui tadi. Andai gadis tersebut mau menerima ajakannya untuk saling berkenalan, ia pasti tak akan kebingungan sekarang.
Saat asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba sebuah tepukan keras di kedua pundaknya membuat Rensi terkejut.
"Rensi? Kamu juga ke sini?" Gadis itu menoleh dan semakin terkejut melihat sang sahabat ada di hadapannya.
"Loh, Tata? Kamu kok ke sini? Kamu dapat undangan ke asrama ini juga?" Tata pun mengangguk antusias. Setelah itu, ia terdiam cukup lama. Seperti menyadari sesuatu.
"Oh, jadi surat yang kamu bicarain ke aku waktu itu maksudnya undangan buat ke sini, ya? Hayo, ngaku!" Rensi pun tersenyum malu saat Tata menginterogasinya.
"Udah, deh. Kita langsung masuk bareng aja. Aku dari tadi rasanya kayak mau tersesat," ujar Rensi dengan meringis. Akhirnya, mereka berdua berjalan masuk ke asrama.
"Eh, tau nggak, sih, Ta. Tadi aku ketemu cewek yang sombong banget! Masa, ya, aku sudah berusaha baik dengan ngajak dia kenalan, eh cewek itu malah kabur. Ngeselin, kan?" Secara tiba-tiba, Rensi curhat pada Tata.
"Serius? Ih, sombong banget, tuh, cewek. Dia juga diundang ke sini?" tanya Tata.
"Kayaknya, sih, iya. Tapi, nggak tau lagi. Soalnya dia langsung ngacir, sih."
Tanpa mereka sadari, gadis yang tengah Rensi dan Tata bicarakan kini ada di belakang mereka. Ranita mendengarkan semua yang Tata dan Rensi bicarakan tadi. Sebenarnya, ia masih agak takut untuk berinteraksi dengan banyak orang. Ranita takut, hal buruk yang baru saja menimpanya akan terbongkar. Ia tak ingin semua itu terjadi.
Jujur, keputusannya untuk tinggal di asrama ini tujuannya hanya satu, yakni untuk bertahan hidup. Ranita sudah berpikir lama sejak tadi masih di halte. Sampai akhirnya, saat ada mobil hitam berhenti di depannya, tanpa basa-basi, gadis itu langsung masuk ke mobil tersebut saat orang yang di dalam mobil membuka kaca dan melambaikan tangannya ke arah Ranita. Gadis itu memutuskan untuk menerima undangan yang ia terima tadi. Ranita menyadari, rencananya untuk bunuh diri sebelumnya itu sangat konyol. Pikiran gadis itu benar-benar labil. Ranita rasanya ingin hengkang dari dunia yang penuh fana ini, tapi di sisi lain, ia juga masih ingin hidup.
Ranita sendiri juga tak tau, apakah pihak Asrama 300 DC mengetahui pembunuhan yang baru saja ia lakukan tadi. Jika mereka belum tau, maka Ranita akan berusaha semaksimal mungkin menutup rapat-rapat rahasia tersebut. Jika mereka sudah tau, pertanyaannya adalah ... mengapa mereka mengundang Ranita? Apakah ada sesuatu yang istimewa pada gadis tersebut?
Entahlah, semoga keputusannya sudah benar. Dan semoga semua hal buruk tentangnya tak sampai terbongkar di sini. Asrama 300 DC adalah satu-satunya harapan Ranita.
Semoga saja.
•••
A/n: Perbuatan buruk di part ini bukan untuk ditiru, ya. Melainkan untuk menjadi pelajaran supaya tak mengulangi hal yang sama.
Author: putriaac
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top