Chapter 13: Persona
BAB 13 PERSONA
"Tak ada manusia yang mampu menampilkan seraut wajah pada dirinya,
dan raut wajah lain kepada orang banyak,
dalam waktu yang sedemikia lama, tanpa
berakhir dalam kebingungan menentukan
yang mana wajah aslinya."
(Nathaniel Hawthorne, The Scarlet Letter)
Prang ...
Rin terkejut ketika merasakan seseorang menabrak bahu kirinya yang menyebabkan nampannya jatuh dan menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Kantin yang semula riuh mendadak menjadi sepi. Pusat perhatian semua orang menuju sumber suara. Rin hanya menatap pasrah pada nampan makan siangnya yang terbalik dengan sempurna. Bahkan kulit ayam tambahan yang ia dapatkan dari ibu kantin tergeletak tidak berdaya di lantai dan juga di atas pangkuan seorang gadis yang menabraknya.
Manik biru kelabu itu menatap lurus. Ia memperhatikan gelagat dari gadis entah bernama siapa di hadapannya yang masih bergeming. Perlahan Rin berjongkok. Gadis itu beringsut menjauhi Rin tanpa mau menatapnya. Rin maju selangkah mendekatinya tetapi gadis itu kembali beringsut menjauh. Kedua tangan gadis itu terkepal menggenggam erat ujung dress biru yang digunakannya.
"Kamu tidak apa?" tanya Rin dengan suara datar khas miliknya. Rin merasakan kejanggalan dari gadis itu, dengan keringat sebanyak itu tidaklah normal ketika cuaca sedang memperlihatkan kilatan-kilatan akibat awan hitam yang membuang elektronnya ke bumi.
Bukannya menjawab, gadis itu malah bergegas berdiri kemudian berlari meninggalkan Rin yang masih mencerna apa yang sedang terjadi dengan gadis itu. Rin yang ditinggalkan hanya melongo memperhatikan punggung itu hingga menghilang di balik pintu kantin.
"Jangan diambil hati, dia memang seperti itu," ucap Priskila ketika melewati Rin yang terpaku.
Rin menatap Priskila yang beranjak mendekati meja. Setelah mengambil nampannya yang menyedihkan, Rin menuju salah satu tempat yang dikhususkan untuk meletakkan nampan kotor. Mengambil makan siang yang baru tanpa tambahan kulit ayam dan bergabung di meja teman-temannya. Pupus sudah harapannya bisa menikmati kulit ayam krispi kesukaannya.
"Menurut kalian mengapa kita harus membawa sendok dan garpu masing-masing? Apakah pihak asrama tidak mampu menyediakan alat makan?" celetuk Tata sambil menyiapkan makanannya.
Teman-temannya yang sudah bersiap menyuapkan makanan serentak berhenti. Ikut berpikir. Walaupun mereka mencoba mencari tahu, tetapi tidak menemukan jawaban yang tepat dan logis. Pada akhirnya tak satu pun memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan asal oleh Tata. Melihat ekspresi teman-temannya, Tata tersenyum.
"Kalian tahu? Kita sudah memecahkan banyak teka-teki semenjak kita sampai di sini. Tetapi, kita tidak tahu alasan dari satu hal sederhana yang setiap hari kita lakukan," ucapnya kemudian menyuapkan satu sendok penuh nasi karinya.
Semuanya yang berada di meja itu mengangguk setuju. Terkecuali Rin yang tidak menanggapi.
"Terkadang hal sederhana akan mudah terlewatkan, manusia cenderung terobsesi dengan sesuatu yang besar. Sepertinya tidak keren saja memikirkan masalah kecil ketika ada masalah yang lebih besar." Ranita mencoba menyampaikan pikirannya.
"Well, otakku memang tidak diprogram untuk hal sederhana seperti itu," celetuk Rin. Gadis itu memang berpikir tidak ada alasan khusus hal itu diterapkan. Mungkin bisa itu menjadi salah satu strategi pihak asrama untuk menghemat pengeluaran. Secara sendok dan garpu adalah benda yang yang paling rentan untuk hilang. Bahkan waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah sendok dalam satu lusin, lebih cepat dibandingan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menunggu padi siap dipanen. Jika dalam sehari pihak asrama harus mengganti sendok dan garpu yang hilang, berapa rupiah biaya yang diperlukan.
Ranita mendengus, "Rin tetaplah Rin. Sikap angkuhmu memang tidak bisa dikurangi."
"Tidak semua hal harus kita pikirkan secara detail. Kamu hanya akan membuang-buang energi saja," jawab Rin tak acuh kemudian meneguk air putihnya.
"Jika Newton tidak memikirkan bagaimana sebuah apel dapat terjatuh dan mengenai kepalanya saat itu, maka tidak akan adanya yang namanya hukum gravitasi. Tidak akan ada lift, tidak akan ada pesawat terbang. Semuanya berawal dari hal kecil.
"Bahkan kamu bisa sebesar sekarang juga berasal dari hal yang kecil. Hanya berasal dari sel telur yang berukuran 25 milimeter yang dibuahi oleh sel sperma berukuran 55mikrometer," jawab Ranita sewot.
Rin terdiam, tetapi mencoba masih menikmati makan siangnya dengan tenang. Energi yang dihasilkan dari makan siang ini akan terbuang percuma jika ia kembali menjawab Ranita, pikirnya.
Tata menyenggol kaki Ranita di bawah meja. Ranita bersikap masa bodoh dan pura-pura tidak tahu dengan peringatan yang diberikan Tata. Sedang yang lain berharap agar mereka bisa menyelesaikan makan siang ini tanpa terkena gangguan pencernaan akibat kesulitan mengunyah dan menelan. Suasana tegang itu bukanlah ide bagus untuk dapat makan siang dengan tenang. Tata sedikit menyesal, mengapa ia menanyakan perihal sendok dan garpu yang menyebabkan mereka mendadak mendapatkan kelas tambahan Biologi dan Fisika.
*******
Kirana menormalkan deru napasnya. Ia mengumpat di dalam hati. Keberadaan Sadina sama sekali tidak dapat diprediksi. Ia telah memeriksa ke kamar dan tak luput lemari yang merupakan tempat favorit Sadina untuk bersembunyi. Tetapi keberadaan gadis itu nihil. Kirana hanya dapat berdoa di dalam hati agar Sadina baik-baik saja.
"Apa yang akan aku katakan pada Deral," lirihnya. Mengingat bagaimana ekspresi kekasihnya saat meminta tolong dan juga berterima kasih padanya karena sudah mau menemani Sadina di asrama membuat dadanya nyeri. Kirana menundukkan dirinya disalah satu kursi taman di samping asrama putri.
"Kehilangan adik ipar kesayanganmu?"
Kirana menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Rey yang berjalan santai ke arahnya. Kedua tangan pemuda itu berada di saku celana bahan hitamnya.
"Bukan urusanmu," jawab Kirana ketus. Ia sama sekali tidak berminat untuk meladeni Rey saat ini. Tidak setelah tadi ia menerima teguran dari Miss Rachmah. Kirana yakin bahwa Rey yang telah mengadu pada pihak asrama mengenai dirinya yang suka melewati jam malam. Jika ia tidak dipanggil ke ruangan Miss Rachmah, ia tidak akan meninggalkan Sadina. Gadis itu pasti masih bersamanya sekarang.
"Aku memang tidak suka ikut campur urusan orang lain." Rey mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan Kirana.
"Tapi, lain urusannya jika itu juga menyangkut diriku."
Kirana tak acuh dengan ucapan ambigu Rey. Ia masih memilih berpikir keras di mana tempat persembunyian Sadina selain lemari pakaian di kamar mereka.
"Aku tahu, kamu pasti menyalahkanku karena dipanggil menghadap oleh Miss Rachmah. Aku merasa tidak memiliki kewajiban untuk mengatur kehidupan semua orang di asrama ini."
Rey mengeluarkan sebuah lolipop dari sakunya kemudian memberikannya kepada Kirana.
"Jadi, bukan aku yang mengadukanmu," lanjut Rey yang kembali menarik tangannya. Kirana sama sekali tidak menyambut uluran lolipopnya.
"Aku tidak perlu penjelasanmu," jawab Kirana ketus.
"Tetapi, perlu untukku. Aku tidak suka ada orang yang mencurigaiku dan menuduhku sembarangaan."
Rey bangkit berdiri dan bermaksud meninggalkan Kirana. Setelah tiga langkah yang ia ambil, pemuda itu kembali berbalik, "Laboratorium," ucapnya singkat kemudian benar-benar beranjak meninggalkan Kirana.
Mendengar hal tersebut Kirana terdiam memikirkan kemungkinan tersebut. Rasanya masuk akal dan gadis itu memacu langkahnya menuju laboratorium, tetapi kemudian langkahnya terhenti.
"Laboratorium yang mana? Biologi, Fisika, Kimia, Komputer atau Bahasa? Sialan kau Rey!" umpat Kirana setelah sadar bahwa asrama itu tidak hanya memiliki satu laboratorium. Sepertinya ia memang harus mengecek satu-satu seluruh laboratorium tersebut.
Sebuah siluet terlihat meringkuk di sudut salah satu laboratorium. Sebagian berkas cahaya matahari dan lampu selasar yang dihidupkan menjadikan ruangan itu remang-remang. Siluet yang terlihat nyata itu adalah Sadina, gadis itu meringkuk dengan menutupi kedua telinganya.
"Beban."
"Manusia lemah yang tidak berguna."
"Cengeng. Hanya bisa bersembunyi."
"Aku tidak mau memiliki adik lemah sepertimu."
Sadina terisak sambil menutup kedua telinganya. Ia menggeleng kuat dengan harapan bisa mengusir suara-suara jahat yang memenuhi kepalanya. Bukannya menghilang, suara-suara itu semakin banyak dan semakin jelas terdengar.
"Lebih baik kamu mati saja!"
"Masih punya nyali untuk hidup?"
"Kamu itu dilahirkan hanya untuk mempermalukan keluargamu."
"Ibumu meninggal itu karenamu."
"Mengapa kamu bisa lahir di dunia ini?"
"Argh." Sadina tidak mampu lagi menahan segala hal yang kian memenuhi kepalanya. Napasnya memburu dengan air mata yang masih menganak sungai membanjiri kedua pipinya. Suara-suara itu kian memenuhi kepalanya bahkan saling berebut menyerukan lebih nyaring agar dapat didengar oleh Sadina. Gadis itu menjambak kuat rambutnya dengan mata yang terpejam erat. Kegiatannya spontan terhenti ketika merasakan seseorang berhambur memeluknya.
Sadina merasakan napas tersengal yang melewati sisi kiri kepalanya. Rengkuhan erat yang mengurangi getaran hebat tubuhnya.
"I ... ra ...," ucapnya putus-putus setelah berhasil mengenali siapa yang mendekapnya erat.
"Iya, ini aku," jawab Kirana dengan perasaan lega luar biasa setelah berhasil menemukan Sadina. Setelah memeriksa laboratorium Biologi, Kirana bergegas menuju laboratorium Kimia setelah mendengar jeritan Sadina. Walaupun keadaan Sadina jauh dari kata baik-baik saja, setidaknya gadis itu tidak sedang melakukan kegiatan ekstrem seperti yang ia bayangkan.
"Minum ini," ucap Kirana sambil menyerahkan segelas teh hangat yang ia ambil dari kantin. Kirana membawa Sadina ke taman yang berada di samping asrama putri.
Beberapa kawanan burung terlihat melintas di langit jingga senja itu. Kembali menuju sarang setelah seharian berkelana, entah untuk mencari makan ataupun memeriksa lahan baru yang bagus untuk dijadikan pemukiman selanjutnya setelah persediaan makanan telah habis.
Sadina menerima uluran gelas Kirana. Menyesapnya dalam diam walau hatinya masih dipenuhi dengan rasa was-was.
"Diam adalah emas. Kau harus tahu betapa aku sangat tidak setuju akan pribahasa itu," ucap Kirana setelah menyesap teh hangat dari cangkirnya. Sadina hanya diam memperhatikan mega yang berarak. Seperti sebuah iringan yang mengantarkan sang mentari menuju belahan bumi yang lain dan bertukar posisi dengan sang rembulan.
"Jika diam itu emas, aku yakin kamu sekarang adalah orang terkaya di asrama ini. Karena diam itu sepertinya sudah menjadi nama tengahmu."
Kirana hanya tersenyum hambar melihat tidak ada respons sama sekali dari Sadina, padahal ia rela menjadi orang bodoh beberapa saat lalu. Ia tahu bahwa leluconnya tidak lucu, bahkan lelucon tentang jangan sombong kalau jadi atasan. Di pasar, atasan diobral 10 ribu dapat 3, itu terdengar lebih lucu. Tapi, setidaknya ia berharap Sadina bisa menghargai usahanya.
"Ira selalu bahagia ya."
Kirana menoleh menatap Sadina. Setelah lama terdiam, kalimat itu berhasil menarik penuh atensi Kirana. Meneguk habis teh hangatnya yang mulai mendingin, Kirana menarik busur senyumnya tipis. Bahagia. Rasanya Kirana sudah muak dengan satu kata itu.
"Banyak orang yang menganggap diriku seperti yang Nana kira. Kirana adalah orang yang bahagia. Seorang anak Walikota, memiliki paras yang rupawan, cerdas, memiliki kekasih yang tampan, segala kebutuhannya terpenuhi, dan masih banyak lagi. Tapi, Nana tahu apa yang sebenarnya aku rasakan?"
Sadina menggeleng. Segala yang dikatakan Kirana itu terlihat jelas dari awal pertemuan mereka. Ketika Deral mengenalkan Kirana kepadanya. Sadina sendiri bahkan pernah diam-diam meminta kepada Tuhan untuk berganti posisi dengan Kirana, setidaknya untuk satu hari.
"Itu semua adalah penderitaan. Kehidupan kita ini adalah suatu bentuk penderitaan. Orang kaya menderita karena kekayaannya. Orang miskin menderita karena kemiskinannya. Orang yang tidak punya keluarga menderita karena tidak punya keluarga. Orang yang mengejar kenikmatan duniawi akan menderita oleh kenikmatan duniawinya. Ada orang yang tidak mengejar kenikmatan duniawi, tetapi akan menderita oleh tidak mengejar kenikmatan duniawi itu.
"Tetapi, bukan berarti semua penderitaan itu sama. Beberapa penderitaan tentu akan lebih menyakitkan ketimbang penderitaan yang lain. Meskipun demikian kita pasti akan menderita. Kebahagiaan yang dilihat oleh orang lain, mungkin saja bukan kebahagiaan. Bisa jadi itu semua adalah penderitaan yang dipoles sedemikian rupa agar terlihat bahagia dan baik-baik saja."
Kirana mengembuskan napasnya panjang, "Na, ada sebuah premis yang mendasari semua asumsi dan keyakinan kita. Premis itu menyatakan bahwa kebahagiaan itu bersifat algoritmik, dimana kebahagiaan itu bisa diotak-atik, diperoleh, dan dicapai. Jika saya mencapai X, maka saya akan bahagia. Atau jika saya menjadi Y, maka saya akan bahagia. Atau barangkali jika saya menjadi seperti Z, saya yakin saya akan bahagia. Disini kita melupakan satu hal, yang sebenarnya kita lewatkan adalah ketidakpuasan dan kegelisahan yang selalu kita rasakan. Coba sejenak saja kita merasa puas dengan apa yang kita miliki, atau kita belajar menerima keadaan. Mungkin itu bahagia yang sesungguhnya."
Kirana menatap lembut Sadina yang sedari tadi memperhatikannya berbicara. Kirana mencoba tersenyum dengan lembut.
"Tidak hanya bunglon, manusia juga harus bisa melakukan mimikri, Nana."
Jawaban Kirana jauh dari perkiraan Sadina. Gadis itu mengerjap, memperhatikan Kirana yang menatap jauh pergerakan awan. Kilat yang menyambar tadi siang hanyalah gertakan alam saja. Sampai tirai senja diturunkan, tidak ada setitik air pun dimuntahkan awan hitam yang dengan angkuh bergelayut dari pagi buta.
"Kamu tahu, psikologi manusia tidaklah sesederhana itu. Mungkin ia hanya bisa mengatakan bahwa hanya terdapat satu kepribadian di dalam dirinya. Padahal ia tidak sadar bahwa kepribadian itu hanya salah satu dari sekian banyak kepribadian yang ia miliki.
"Seperti tatanan tata surya yang tidak hanya terdiri dari satu planet melainkan terdiri dari beberapa planet dan juga benda langit lainnya. Begitu pula kita. Ada sekumpulan ego dan beberapa kompleks personal lainnya yang bersembunyi di dalam kepribadian kita tanpa kita sadari. Pada dasarnya kita terbentuk dari berbagai potensi sikap dan orientasi divergen."
Kirana mengembuskan napas panjang. Sadina kembali diam mencerna apa yang dikatakan oleh Kirana. Sepertinya Kirana dapat sedikit mengerti dengan masalah yang dimiliki oleh Sadina. Gadis itu masih terikat dengan lingkungan lamanya, di mana ia menjadi korban bullying. Kirana tak menyalahkan sepenuhnya pada Sadina karena pada dasarnya manusia memiliki kepekaan terhadap keadaan dan lingkungan sosial yang berbeda-beda. Sehingga mempengaruhi sikap apa yang akan diambil. Kesalahan Sadina ialah ia tidak menyadari bahwa sikap yang ia ambil itu salah. Ketidaksadaran itu pun terjadi dalam bentuk konsekuensi yang menyerupai takdir. Mirisnya, orang seperti Sadina baru akan menyadarinya setelah menorehkan satu momen tragis kehidupan dengan tangan mereka sendiri. Manusia memang selalu bersembunyi dan menjadikan takdir sebagai kambing hitam ketika sesuatu yang buruk terjadi. Padahal, mungkin saja takdir itu bisa berubah menjadi lebih baik, apabila kita mampu mengambil pilihan yang lebih bijak.
"Bagaimana caranya Ira bisa mimikri?"
Pertanyaan Sadina kembali membuat Kirana tersenyum.
"Kamu hanya perlu memakai topeng, dan taraaaa semuanya akan baik-baik saja," jawab Kirana ringan.
"Berarti semuanya palsu?" tanya Sadina. Entah mengapa topik ini sangat menarik untuknya. Diimingi dengan kebahagiaan yang selalu terpancar dari Kirana membuatnya tergiur.
Kirana memutar duduknya menjadi menghadap Sadina, begitu pula Sadina. Kedua gadis itu duduk berhadapan di kursi taman tanpa menghiraukan gelap yang merayap turun menyelimuti belahan bumi tempat mereka berada.
Kirana kemudian menggeleng, "Tidak. Itu semua kita lakukan sebagai bentuk perlindungan diri. Kamu tahukan bahwa kita tidak selalu bisa memenuhi ekspektasi orang lain? Makanya kita memerlukan topeng itu. Tidak semua orang bisa menerima kita dengan semua sisi yang kita miliki. Terutama sisi terburuk kita. Aku pernah membaca buku, dan setelah aku perhatikan ternyata apa yang tertulis di buku itu semuanya adalah benar. Manusia memiliki sesuatu yang disebut dengan Persona. Persona ini adalah sebuah intelektual kepribadian yang melekat pada kita. Bagaimana ia bisa terbentuk? Persona ini terbentuk dari syarat dan ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat dan tujuan serta aspirasi sosial dari individu itu sendiri. Persona ini yang aku sebut dengan topeng."
"Semua orang, tanpa terkecuali pasti memiliki satu sisi terburuk yang akan ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Ia akan menciptakan topeng yang lain ketika ia perlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Setidaknya, satu orang akan memiliki empat topeng." Kirana mengangkat empat jari kirinya.
"Satu, yang akan kamu gunakan di saat sendirian." Kirana melipat jari telunjuknya.
"Satu topeng yang lain, kamu gunakan di hadapan keluargamu." Jari tengah Kirana menyusul tertekuk.
"Kamu pasti memiliki setidaknya satu rahasia dari teman-temanmu. Jadi, kamu perlu menggunakan satu topeng lagi." Kirana kembali melipat jari manisnya.
Terakhir, ia kemudian melipat kelingkingnya," Satu topeng yang kamu gunakan saat bertemu orang baru. Setiap orang pasti berusaha menunjukkan kesan pertama yang baik dan spektakuler."
Kirana memperhatikan ekspresi Sadina. Binar antusias terpancar jelas dari manik kecokelatan yang dihiasi oleh bulu mata lentik setengah basah itu. Walaupun ujung hidungnya masih terlihat memerah akibat tangis, setidaknya Kirana bisa menyimpulkan bahwa kondisi Sadina saat itu sudah lebih baik.
"Gampangnya adalah bagaimana sikapmu di hadapan Miss Rachmah akan berbeda dari sikapmu di hadapanku saat ini. Kenapa? Karena kami memiliki ketentuan yang berbeda. Kamu tidak bisa seenaknya dengan Miss Rachmah karena beliau adalah kepala asrama, sedangkan denganku kamu bisa lebih santai karena kita adalah teman."
Teman.
Satu kata itu memberikan dampak tersendiri dan luar biasa bagi Sadina. Kata itu sempat Sadina anggap telah hilang dari kosakata di dunia ini. Teman adalah sesuatu yang mahal dan tidak berani Sadina impikan apalagi dapatkan.
"Kita teman?" tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca.
Kirana menjadi panik melihat ekspresi yang ditampilkan Sadina walaupun pada akhirnya Kirana mengangguk. Ia bahkan mengira bahwa Sadina kembali akan histeris, sampai gadis itu tiba-tiba memeluknya.
"Terima kasih. Terima kasih karena sudah menganggapku sebagai teman," lirihnya dalam pelukan itu.
Kalimat itu sama sekali di luar prediksi Kirana. Teman. Salah satu bagian dari Sadina yang lama hilang. Kini ia kembali menemukannya. Kirana bahagia bahwa dirinya dapat membantu Sadina mengumpulkan kepingan puzzle dirinya yang terhambur dan terselip di segala arah.
Mungkin kepingan puzzle milik Sadina lebih sederhana dari kepingan puzzle Kirana yang sangat kompleks. Puzzle yang paling murni dan paling apa adanya. Saat bermain puzzle, gambar yang lebih rumit akan lebih cepat dikuasai karena setiap kepingnya yang unik sehingga lebih mudah untuk diingat. Tetapi, semakin sederhana gambarnya, maka tingkat kesukarannya akan semakin tinggi. Seperti langit biru atau rerumputan, setiap kepingnya nyaris terlihat sama dan benar sehingga membutuhkan waktu untuk menentukan kepingan mana yang paling tepat. Demikianlah sosok Sadina di mata Kirana. Hal sederhana yang begitu membingungkan.
Kirana tersenyum dan menepuk punggung Sadina dengan lembut. Maniknya menatap langit cerah yang menampilkan ratusan bintang yang berkerlap-kerlip seakan saling berlomba untuk bercahaya yang paling terang. Setidaknya ia sudah melakukan hal yang benar, keadaan seseorang tidak pernah bisa dipaksakan. Menerobos masuk bukanlah tindakan bijaksana. Ketuk dan meminta izinlah dengan sopan, niscaya pintu itu akan terbuka.
Berbanding terbalik dengan suasana haru dan menyenangkan di taman samping asrama, di salah satu kamar asrama suasana terkesan hening dan penuh dengan erangan frustasi. Sebuah kertas terlihat penuh akan coretan.
Kebaikan datang kepadaku melalui kejahatan.
Dengan ketenangan, tanpa mengekang apa-apa, memelihara kepekaan,
Dan menerima kenyataan
-menerima segalanya sebagaimana adanya,
Bukan sebagaimana yang kuinginkan-
Dengan melakukan semuanya,
Telah datang kepadaku suatu pengetahuan luar biasa,
Yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
(Jung, Carl.)
Rey menatap horor kertas di genggamannya. Seharusnya ia mengabaikan clue dari Kirana mengenai aksara sunda. Atau bersikap tidak peduli dengan suratyang tertempel di mading itu. Rasa penyesalan memang datang di akhir perjalanan. Sepertinya ia tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini memikirkan potongan surat yang berhasil ia terjemahkan.
****
Ruangan itu lengang. Hanya terdengar suara tik tik tik yang berasal dari jam dinding analog di sudut ruangan. Ranita memasrahkan dirinya pada sandaran kursi. Ia sama sekali tidak bisa memaksakan otaknya berpikir lebih keras lagi. Ia sudah berfirasat buruk ketika setelah kelas mereka selesai, Rey menyeret mereka menuju perpustakaan.
Sejatinya perpustakaan tidak boleh digunakan untuk berdiskusi, Rey pun tahu itu. Namun, tidak ada tempat yang lebih cocok daripada perpustakaan kosong yang bahkan sang penjaganya saja tidak pernah terlihat.
"Jadi, kamu mendapatkan ini setelah menerjemahkan surat yang tertempel di mading?" tanya Rin sambil kembali mencoba setiap kata dengan teliti.
Rey mengangguk membenarkan. Potongan surat itu mengusiknya semalaman, kantung mata yang terlihat menghitam menjadi bukti konkret jika pemuda jangkung itu kehilangan waktu tidurnya. Rin meletakkan kembali surat itu, ia pun tidak memiliki clue sama sekali. Sepertinya melewatkan sarapan bisa membawa dampak buruk bagi performa otaknya. Erich memaksa keluar sehingga membuat Rin mengurung dirinya di kamar untuk memenangkan perebutan peran dalam dirinya. Membolos sarapan dengan alasan sakit perut ketka Ranita mengajaknya menuju ruang makan.
"Sepertinya aku kenal dengan nama ini," ucap Tata setelah membaca kertas yang di tangannya. Semua perhatian terpusat pada Tata yang berhasil membuat kedua telinga gadis itu memerah.
"Jangan menatapku seperti itu," ucapnya kikuk sambil mengelus tengkuknya. Kemudian gadis itu menunjuk nama yang ia maksud.
"Jung, Carl atau Carl Gustav Jung. Aku tahu dari teori tentang kepribadian yang pernah aku baca. Ada buku Map of the Soul yang ditulis itu Murray Stein. Isi tulisannya adalah menjabarkan tentang Peta Jiwa yang dibuat oleh Carl Jung."
Tata kemudian membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah buku sketsa dan juga sebuah pensil. Ia kemudian membuat sebuah lingkaran.
"Diibaratkan seorang manusia, lingkaran ini adalah kepribadiannya."
Semuanya memperhatikan dengan saksama, termasuk Arsen yang dari awal tidak tertarik ikut memperhatikan penjelasan Tata. Pemuda itu sebenarnya terkesan karena gadis kikuk itu bisa mengetahui perihal Carl Jung. Tidak semua anak seusianya menyukai buku yang berisi teori berat tentang kepribadian.
"Mungkin akan lebih baik kamu menuliskannya di sini," ucap Selena yang ternyata diam-diam menarik sebuah papan tulis kapur beroda mendekat ke arah mereka.
Semuanya terkejut, tidak satu pun menyadari keberadaan papan tulis itu.
"Sebenarnya ini adalah papan tulis yang kubawa dari gudang kemari. Aku sering menggunakannya ketika perlu tempat untuk membantuku menerjemahkan pola rumit yang baru aku ketahui," jelas Selena lirih menjawab kebingungan teman-temannya.
"Terima kasih," ucap Tata sambil tersenyum menerima sekotak kapur yang diulurkan Selena. Merasa ia dapat membantu, Selena tersenyum lebar. Senang rasanya jika ia bisa berguna.
Tata kembali menggambar sebuah lingkaran, kemudian menuliskan kata EGO di tengah lingkaran tersebut.
"Ego yang aku tulis disini mengacu pada pengalaman seseorang atas dirinya sebagai pusat kehendak, keinginan, perenungan, dan tindakan. Gampangnya adalah ego ini bisa disebut kepribadian kita yang terbentuk sepanjang kita hidup. Dipengaruhi oleh berbagai hal sehingga menciptakan kebiasaan yang kita kenal sebagai sifat. Hal yang memengaruhinya banyak, ada keluarga, teman, dan lingkungan. Inilah yang membuat kita memiliki suatu kondisi yang memungkinkan kita dapat mengamati dan memperhatikan apa yang terjadi pada dunia yang disebut dengan kesadaran.
"Ego merupakan pusat energi yang menggerakkan konten kesadaran dan menyusunnya sesuai urutan prioritas dan sebagai lokus; tempat pengambilan keputusan dan kehendak bebas."
Setelah menuliskan kata pusat kesadaran di bawah tulisan Ego, Tata menggambar satu lingkaran lagi dan ia menulis kata Shadow.
"Shadow atau bayangan. Jung mengatakan, ada keadaan yang menyebabkan terbentuknya Shadow atau bayangan dalam diri seseorang. Bagian manapun dari kepribadian yang ketika terintegrasi secara normal merupakan bagian dari ego, tetapi ditekan karena adanya disonansi kognitif dan emosional, akan jatuh ke dalam bayang-bayang. Shadow ini bisa dibilang sisi buruk dari ego, karena ia tercipta dari sisi bawah sadar dari ego dalam berniat, berkehendak, dan mempertahankan diri."
Ada sebuah sengatan halus menyapa Rin dalam dadanya. Perkataan terakhir dari Tata seperti menyentil sisi lain dalam dirinya.
"Apakah mugkin atau adakah kemungkinan bahwa seseorang tidak memiliki bayangan itu?" tanya Priskila. Rasanya penjelasan Tata lebih menarik daripada kelas Sosiologi yang tadi pagi ia dengarkan.
"Itu mungkin terjadi apabila matahari berada di titik tertingginya," celetuk Rin yang mendapatkan tatapan sinis dari Priskila. Tata hanya pasrah melihat sedikit perdebatan itu.
"Tidak mungkin," jawab Tata cepat sebelum Priskila berhasil mengeluarkan kalimat balasan lain yang lebih pedas.
"Karena dalam beradaptasi dan menghadapi dunia, ego, tanpa disadari akan melakukan sebuah perintah yang membentuk bayang-bayang. Seperti yang tadi kujelaskan di awal, bayang-bayang ini adalah sisi buruk dari ego. Tanpa sepengetahuan ego, kegiatan-kegiatan protektif dan pemuasan diri ini dilakukan dalam kegelapan. Egois, keras kepala, tidak berperasaan, dan haus kendali merupakan sisi kelam dan dingin dari bayang-bayang. Buktinya, tidak semua orang menyadari bahwa dirinya seegois itu, dan ingin terlihat sebagai orang yang tidak pamrih, dapat mengendalikan hasrat dan kesenangannya. Orang-orang cenderung menyembunyikan watak-watak tersebut dari orang lain serta dari dirinya sendiri di balik kerusakan yang menampilkan empati, kejujuran, kepedulian, sikap penuh pertimbangan dan perenungan.
"Ego yang defensif bersikeras untuk merasa benar sendiri, menempatkan dirinya dalam peran korban yang tak bersalah atau hanya sebagai pengamat. Orang lain adalah monster jahat, sementara ego merasa seperti domba yang tak bersalah. Itulah asal usul kambing hitam bisa ditemukan."
Tata menarik napas, memperhatikan ekspresi teman-temannya. Baru kali ini ia berbicara panjang lebar dalam pemecahan misi.
"Apakah penjelasanku terasa membosankan?" tanyanya takut-takut.
"Tidak. Aku bahkan sangat tertarik dengan kelanjutannya," ucap Selena membesarkan hati Tata. Ia tidak bohong, Tata sepertinya berbakat untuk menjadi seorang guru. Ia bisa membangun atmosfer yang menyenangkan ketika ia menjelaskan.
"Jadi, dari penjelasanmu bahwa kutipan surat ini berdasarkan teori dari Carl Jung tentang kepribadian itu?" tanya Rey. Setidaknya ada benang merah yang berhasil ia dapat setelah memperhatikan penjelasan dari Tata.
Tata tersenyum lebar dan mengangguk. Kemudian mengambil kertas yang berisi surat tadi.
"Ini adalah shadow," ucapnya sambil menggaris bawahi kalimat kejahatan.
Ranita mendekat kemudian mengambil pulpen dan menggaris bawahi memelihara kepekaan,
Dan menerima kenyataan, "Dan ini apakah ego?" tanyanya.
"Berdasarkan penjelasannya, iya. Dan pertanyaan sselanjutnya, maksud dari kalimat ini? Apakah ini maksudnya kita menerima ego dan shadow itu? Entah kenapa itu terasa janggal," ucap Arsen sambil menggaris bawahi dan menunjuk kalimat -menerima segalanya sebagaimana adanya, Bukan sebagaimana yang kuinginkan-.
Senyum lebar Tata tidak bisa ia kendalikan. Rasanya senang sekali ketika Arsen menaruh minat pada sesuatu yang ia jelaskan. Jujur saja, dari awal bertemu presensi Arsen membuat Tata salah tingkah. Rasanya mungkin akan sama ketika ia mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan biasnya.
"Ta," bisik Rensi yang membawa Tata kembali ke dunia nyata.
"Ehem, sebenarnya ada satu bagian lagi yang harus aku jelaskan," ucap Tata kemudian membalikkan dirinya untuk menghadap papan tulis kembali. Ia merasa tertolong, setidaknya Arsen tidak akan melihat wajahnya yang ia yakin akan sewarna dengan tomat yang siap untuk dipetik.
Tata menggambarkan satu lingkaran lagi di bawah lingkaran ego dan shadow tetapi bersinggungan sehingga seperti membentuk lambang olimpiade, tetapi hanya berjumlah tiga buah. Kemudian menuliskan Persona di lingkaran tersebut.
"Bagian selanjutnya, Persona. Menurut Jung, persona dibangun dari keping-keping kolektif yang mengalami identifikasi dengan ego dan berfungsi untuk memudahkan adaptasi terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Lingkungan tempat tinggal, pola asuh dan didikan ketika seseorang dibesarkan berperan dalam perkembangan ego dan pastinya diikuti oleh shadow."
Rin termangu. Sekarang ia mengerti mengapa sejak awal penjelasan Tata, seperti ada sesuatu yang menyentak dirinya. Selain memecahkan maksud dari surat yang ditemukan Rey, penjelasan Tata secara tidak langsung menyingkap sedikit demi sedikit kebingungannya atas apa yang menimpa dirinya saat ini.
"Penyesuaian sosial yang dilakukan demi adaptasi tersebut, maka terciptalah sebuah topeng sosial. Secara praktis, Persona adalah topeng yang ditunjukkan kepada orang lain untuk menutupi shadow yang tersembunyi dalam ego seseorang," tutup Tata menyimpulkan hubungan antara ketiga lingkaran yang ia gambarkan di papan tulis.
"Aku mengerti. Inti dari surat ini adalah penerimaan. Bagaimana kita bisa menerima sisi baik bahkan sisi buruk yang ada di dalam diri, menanggalkan topeng yang selalu kita gunakan untuk menutupi hal buruk itu. Istilahnya...," ucap Ranita terputus akibat gadis itu sedang memikirkan kalimat yang tertinggal.
"Berdamai dengan diri sendiri."
Ranita menjentikkan jarinya dan setuju dengan apa yang dikatakan Selena, "Berdamai dengan diri sendiri. Karena selepas apapun kesalahan itu, Ranita tetaplah Ranita," ucapnya melirih setelah tersadar dengan apa yang telah ia ucapkan.
Rey menarik senyumnya tipis. Asrama ini semakin menarik saja, pikirnya. Tata mengangguk membenarkan kesimpulan dari Ranita.
"Dan kalimat terakhir ini," ucap Arsen menunjuk bagian Dengan melakukan semuanya, Telah datang kepadaku suatu pengetahuan luar biasa, Yang tak pernah kubayangkan sebelumnya dengan pulpen, "Apakah ini kebahagiaan?" tanyanya.
"Itu terdengar masuk akal. Misi dari asrama ini adalah tentang Kebahagiaan," ucap Priskila. Semuanya setuju.
"Baiklah, berarti misi kali ini sudah berhasil terpecahkan. Tetapi, kita mendapatkan masalah baru," ucap Tata dengan waswas. Seluruh temannya serentak menatapnya bingung.
"Aku penasaran dengan apa yang kalian lakukan bergerombol dan mengobrol disini alih-alih kembali ke kelas atau setidaknya ke kantin untuk makan siang."
Semuanya membeku mendengar suara yang berasal dari balik rak buku di belakang mereka. Hanya Tata yang terlihat menelan ludah, karena gadis itu menghadap sang empunya suara.
Semuanya berbalik dengan takut-takut, dan menemukan salah satu staf kembar di asrama ini dengan tatapan dinginnya.
"Sejak kapan kamu berada disana, Kit?" tanya Rey takut-takut. Jujur ia merasa bersalah karena dirinyalah yang membawa teman-temannya kemari.
"Kit?" tanya staf itu sedingin es. Meluruhkan seluruh keberanian yang berhasil dibangun sedikit demi sedikit di dalam diri para remaja itu.
"Well, aku berdiri semenjak lingkaran pertama itu digambarkan oleh guru manis kita hari ini," ucapnya dengan wajah datar.
Itu artinya staf itu sudah berada dis ana sejak penjelasan pertama Tata. Semuanya sedang berspekulasi dalam pikiran masing-masing, hukuman apa yang akan diberikan akibat mereka membolos kelas dan makan siang.
"Berterimakasihlah pada guru manis kalian dan juga teman kalian yang tampan. Karena mereka, kalian tidak akan aku berikan hukuman. Aku menyukai penjelasannya yang lugas dan aku lebih menyukai ada yang bisa mengenaliku tanpa tertukar dengan saudara kembarku," ucap Kit dengan wajah yang lebih ramah.
"Katakan kalian membantuku untuk membersihkan perpustakaan jika ada yang menanyakan tentang kepergian dan perihal acara membolos kalian," lanjutnya kemudian berbalik meninggalkan kelompok remaja yang terlihat bingung dan lega secara bersamaan itu. Setidaknya mereka membolos tidak untuk melakukan sebuah perilaku yang menyimpang, pikirnya.
Tata mendudukkan dirinya di kursi yang berada di sebelahnya. Lega rasanya bisa terbebas dari hukuman.
"Sepertinya kamu tahu banyak tentang ilmu psikologi?" tanya Arsen pada Tata. Penjelasan Tata tadi membuatnya tertarik, darimana gadis itu memiliki pengetahuan itu. Seingatnya anak SMA tidak akan mempelajari hal tersebut.
"Tidak juga. Aku mengetahui teori Jung ini karena salah satu idolaku pernah merekomendasikan bukunya," jawab Tata.
"Idola? Kau penyuka k-pop?" tanya Arsen. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata K-Pop saat ini telah merambah ke dunia psikologi.
"Setidaknya para penggemar K-Pop itu tidak seburuk yang dipikirkan orang-orang. Kami bisa belajar banyak hal."
Arsen mengangguk paham. Semakin lama asrama ini terasa menyenangkan. Banyaknya kepribadian yang ia temui dengan latar cerita masing-masing membuatnya bersemangat. Apakah keputusannya tidak salah ketika menemukan satu alasan lagi yang membuatnya berani menanggalkan topeng yang baru saja ia kenakan?
-Bersambung
Author NingsNingrum
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top