¹⁴ mulai fokus ✍🏻
Geboy mengunci ponselnya setelah mengirim pesan pada Kira. Hanya dua kalimat:
1. Sori, gue minta jangan ke bengkel dan Warung Abah sampai LKS selesai.
2. Kita belum ada ikatan, jadi lo boleh deket sama siapa, begitu juga gue.
Ia semula ragu dan khawatir, takut semisal gadis itu tiba-tiba tersinggung atau bahkan sakit hati. Tapi, enggak bisa dipungkiri kalau Geboy agak terganggu dengan ocehan Randu kemarin. Mau bodo amat pun rasanya janggal. Ia ingin pertarungan mereka berjalan adil tanpa campur tangan perempuan. Tentu Geboy enggak mau menang dengan label menggaet gebetan musuh.
Lelaki yang sudah menanggalkan ikat kepalanya itu lekas mengambil obeng lagi. Ia menyelesaikan kasus motor terakhir dari Pak Bonang sebelum rehat di pojok ruangan--menyantap kue sus dan es kopi susu. Hari ini ia enggak ke kantin karena di-push habis-habisan oleh sang pembimbing. Untunglah Aco sudah mengajarinya ini-itu, jadi saat gurunya mulai fokus ia tinggal menyesuaikan.
"Sudah?"
Geboy buru-buru berdiri dan menyembunyikan makanannya di balik punggung. Ia tersenyum tipis dan mengangguk, berusaha mengunyah secepat kilat lalu menelan bulat-bulat.
"Aman, Pak."
"Nggak apa-apa, sambil makan aja." Pak Bonang lantas mengecek catatannya. "Lumayan ada peningkatan, Boy."
Fewh, thank God. Geboy menghela napas lega. "Makasih, Pak. Terus apa yang perlu saya evaluasi setelah ini?"
"Masih sama kok kayak kemarin. Ditingkatkan lagi, ya. Saya mau ke kantor dulu."
Belum sampai mengiakan, Geboy sudah ditinggal sendirian. Ia sontak berdecak dan memutar bola matanya malas saat keadaan benar-benar sepi. Lagi, feedback yang ia dapat sangat general dan membingungkan. Kalau kurang spesifik begini, ia perlu mencari tahu sendiri dan itu jelas memakan waktu. Hah, Pak Bonang memang lain daripada yang lain.
Lelaki itu pun berjalan menuju tas, mengambil modul dan kisi-kisi yang diberi pihak sekolah. Ia juga mengeluarkan catatan milik Aco yang didapat dengan susah payah--seniornya pelit dan minta Thai Tea gratisan mulu. Ia kemudian memperhatikan setiap highlight yang dibubuhi stabilo agar lebih mudah mengingatnya.
"Boy!" panggil seseorang dari luar.
"Nggak usah sok iye di situ. Masuk aja."
Komal, lelaki yang menyembulkan kepalanya di sela jendela, refleks terkikik. Ia langsung menyelonong ke dalam tanpa mengetuk pintu.
"Nih, gue bawain bakwan kuah kacang."
"Makasih," Geboy menerima kresek yang diberikan dengan senang hati, "minumnya?"
"Udah dikasih hati, jangan minta jantung."
"Becanda, Mal."
Komal mengerucutkan bibir sejenak, lalu sadar maksud kedatangannya ke situ. "Ada chat buat lo. Kayaknya hape lo mati."
Geboy buru-buru merogoh kantong celana dan menyadari ponselnya enggak bernyawa. Mungkin, tombol power-nya tiba-tiba kepencet dan off begitu saja. Ia enggak tahu. Karena saat dinyalakan, semuanya baik-baik saja. Enggak lowbat sama sekali.
"Iya. Dari siapa emang?"
"Randu."
"Ngapain?" Geboy mengerutkan kening.
"Awalnya dia bilang kalau Kira chat macem-macem yang entah apaan, gue nggak ngerti. Terus lima menit lalu dia nge-chat lagi, nantang lo buat adu cepat masang apa gitu. Lo baca sendiri aja, deh."
Untuk masalah pertama, Geboy enggak mau ambil pusing. Ia sudah menuruti apa yang sepupunya itu mau. So, case closed. Tapi, tantangan kedua agaknya bikin penasaran. Ia segera menyerobot ponsel Komal lalu membaca dengan saksama. Sayangnya, isi dari pesan itu masih ambigu. Ia pun menelepon yang bersangkutan agar cepat clear. Enggak perlu waktu lama, panggilan itu diterima.
"Berani?"
Rumus sopan santun Randu selalu berakhir minus. Geboy refleks mengusap wajah, lalu menyalakan speaker agar Komal juga mendengarkan percakapan mereka.
"Rencana apa lagi lo sekarang? Nggak mungkin tiba-tiba nantangin gini kan kalau enggak ada apa-apanya."
"Nggak ada, gue cuma penasaran udah sejauh mana kesiapan dan kehebatan lo, si ketua Geng Senter kesayangan seluruh umat, termasuk Kira dan papa gue."
Suara Randu lemah di akhir. Geboy tentu menyadarinya. "Gue nggak bego. Lo berani nantang karena lo punya jaminan menang."
"Oo, jadi lo mau kalah duluan, nih?"
Komal langsung geleng-geleng. Ia lekas menepuk bahu Geboy, meminta sahabatnya untuk berpikir dua kali. Ia juga terus mengangguk agar lelaki itu mau menerima tawaran yang sebenarnya agak meragukan.
Alis Geboy makin bertautan. Ia pun mendengkus lalu merespons, "Oke. Di mana dan kapan?"
"Lusa, di tempat Kang Mus. Gue udah minta tolong dia buat siapin kasus. Lo juga boleh minta tolong Bang Aco kalau nggak percaya gue main fair di sini."
"Taruhannya?" Geboy melirik tajam ke arah ponsel. "Jangan bilang jabatan ketua atau Kira. Terlalu konyol dan klasik."
"No. Gue mau yang lebih menggiurkan."
"Apa?" Geboy dan Komal kompak menelan ludah.
"Kalau lo menang, gue bakal share jurnal selama les di tempat bokap. Tapi kalau gue yang menang, Bang Aco mesti resign dari lo dan pindah ngajarin gue."
"Sat! Itu mah enak di lo--"
Komal segera menutup mulut Geboy. Lagi-lagi ia menggeleng, yang kali ini diikuti entakan kecil. Benar-benar gemas. Sebisa mungkin Komal terus memberi tahu untuk menjawab 'iya' saja lalu mengakhiri percakapan.
Geboy enggak habis pikir. Mana mau ia mengambil risiko sebesar itu? Tapi, Komal makin menjadi-jadi dengan mencubit, memukul, bahkan menjambak anak rambutnya sembarangan. Ia pun pasrah dan enggak tahan lagi.
"Oke. Deal."
Setelah itu, Randu enggak berkata apa-apa lagi dan telepon selesai. Geboy lekas bersedekap dan menghadap Komal. Mukanya kini merah padam. Ia menatap sinis, mendengkus, dan mengernyit kesal. Sementara sahabatnya hanya haha-hihi dan mengangkat jempol. Sungguh terlalu.
"Ngomong," ucap Geboy singkat, jelas, padat.
"Manfaatin aja, Boy. Hitung-hitung lo cek ombak dulu."
"Ombak apaan? Nggak jelas. Dia itu tsunami, Mal."
"Justru itu. Sekarang lo punya kesempatan buat siap siaga. Pas adu nanti kan bisa lihat kinerjanya, barangkali skill yang dipake ada yang bisa dipelajari dan lo banyak belajar dari situ. Lumayan, Boy."
"Iya, bener," Geboy mengangguk, "tapi lo denger sendiri taruhannya, kan? Ya kali gue serahin Bang Aco gitu aja. Emangnya barang bisa barter?"
Komal tersenyum remeh. "Ooh, jadi rencananya mau kalah?"
"Kagak, anjir! Gue cuma realistis. Dari update-an terakhir, Randu masih jauh di atas gue. Sadar diri aja."
"Itu kapan? Sebelum lo ada peningkatan, kan?"
Geboy mengingat-ingat. "Kayaknya iya."
"Ya udah berarti pede aja. Optimis bisa. Lagian kalau menang, lo juga bisa dapet jurus jitu keberhasilan praktik dia, Boy."
"Tapi Mal--"
"Boy, kita tuh perlu nge-mindset otak buat berpikir positif biar hasilnya positif juga. Kalau belum-belum udah overthinking, ending-nya entar bisa berantakan. Nggak jauh beda sama yang di batin."
Geboy masih melongo saat mendengar itu. Biasanya Komal memang banyak akal dan super-kreatif. Tapi, jarang-jarang ia memberikan insight bak curhatan Mamah Dedeh begini. Ia lalu mengatupkan bibir dan manggut-manggut. Untuk kali ini, temannya cukup waras dan ia perlu pecutan lagi.
"Kalau entar gagal, si Kunyuk--kambing Komal--bakal gue jadiin sate."
"Jangan, lah." Komal langsung menekuk muka, lalu berubah 180 derajat kembali. "Tapi gue yakin lo berhasil, kok."
"Karena?"
"Gue ada ide."
"Apa?"
Komal menyeringai. "Ada, deh."
✍🏻
DAY 14
17 April 2023
Butuh asupan nutrisi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top