² minta dirantai 🔗

Hari ini Geboy pulang lebih lambat dari biasanya. Semua gara-gara mendoan panas Abah yang dijadikan barang taruhan gaple. Terlebih lagi tadi seniornya ikut mengimingi bir pletok yang baru dibawa dari kampung. Jelas ia enggak bisa berkutik. Gorengan yang dicocol petis kental dan minuman rempah super-aromatik sangat sayang kalau dilewatkan. Alhasil, azan sudah berbunyi 15 menit lalu, ia baru masuk garasi dan memarkirkan motor.

Saat melepas helm, Geboy menyadari satu hal yang lebih mematikan dari keterlambatan hari ini: mobil Om Pram terparkir rapi di dalam. Kemungkinan cuma ada dua: mobil rumah mogok dan itu hasil meminjam atau memang beliau lagi berkunjung saja seperti biasa. Kalau yang kedua benar terjadi, matilah Geboy karena masih nangkring di luar dan harus melewati ruang tamu. Berbasa-basi bukanlah style-nya, apalagi kalau harus mendengar pidato kebangsaan dari Abi, papanya.

"Persetan, lah."

Geboy mencoba tak acuh, lalu segera masuk rumah. Benar saja, adik dari ibunya itu sedang ngopi santai sambil menghadap berkas yang berserakan. Tentu, makhluk tengil yang terdiri dari gumpalan daging dan seonggok kepintaran level kayangan itu turut serta, seolah mengerti apa yang para orang tua bicarakan. Idih, batin Geboy saat harus menyapa, menyalami, dan menanyakan kabar kerabatnya itu.

"Lho, Boy, baru pulang?" Om Pram tersenyum dan bersikap ramah seperti biasa.

"Iya, Om. Tadi di warung sama anak-anak Senter."

"Oo, kok Randu nggak ikut?" Kini Abi yang bertanya seraya menatap si empunya nama.

Geboy memutar bola matanya malas. Kayaknya mulut papanya itu bisa kering dan rontok kalau enggak melibatkan Randu sekali saja dalam percakapan mereka. Apa spesialnya bocah nerd itu? Gaya rambut terlalu klimis sampai lalat pun bisa kepleset, kawat gigi hitam belum dilepas dari tahun lalu, kacamata kotak enggak banget, dan baju favorit motif kotak-kotak yang dikancing sampai menutupi leher. Sungguh menurunkan pasar anak Teknik Sepeda Motor, bagi Geboy yang amat stereotip kalau berurusan dengan Randu.

"Tadi gabung kok, Om, tapi balik duluan biar bisa belajar. Soalnya Papa bilang mau ngajak ke sini. Takutnya pas pulang udah males terus ketiduran, jadi nyempetin aja."

Hah, Geboy makin mendengkus. Lutut kanannya menekuk dan ia menggaruk pantat berulang kali. Baru juga ditanyakan, sudah muncul satu hal yang enggak bakal related dengan kamus YOLO Geboy. Sekilas ia melirik dan beradu pandang dengan sepupu seumurannya itu, lalu lekas membuang muka. Lama-lama melihatnya cuma bikin mood berantakan.

"Kalau gitu, aku ke atas dulu ya, Om."

"Oh, iya. Istirahat. Jangan lupa makan."

"Makasih, Om."

Geboy berlari-lari kecil menuju lantai dua tanpa menoleh ke arah Abi sama sekali. Ia langsung ke kamar, melempar tas ke kasur, meraih handuk yang tergantung di kapstok, ke kamar mandi, dan mengumpat panjang lebar di balik derasnya keran shower. Playlist dari The Weeknd lumayan jadi teman galaunya malam ini.

Setelah menghabiskan tujuh lagu, Geboy keluar dengan badan dililit handuk. Sayup-sayup ia bisa mendengar perbincangan papanya di bawah yang sangat menggelegar. Sepertinya sengaja agar ia bisa ikut mendengar. Memang unik sekali cara memotivasi ala Bapak Abi yang terhormat ini.

"Boy kemarin juga ikut sih, Ndu. Cuma ya tetep kamu yang dapet."

Salah satu kalimat yang entah sudah berapa kali mampir di telinga Geboy. Ada ratusan macam versi yang sudah ia telan sejak kecil. Papanya itu terlalu sering memamerkan prestasi Randu sampai-sampai Geboy merasa ia adalah korban bayi yang tertukar, seperti sinetron televisi. Tapi, agaknya mustahil kalau dilihat dari betapa mirip tampangnya dengan sang papa. Dari tebal alis, warna dan ketajaman mata, rahang yang tegas, hidung mancung bak prosotan anak TK, sampai sisi samping setara idol Korea pun plek ketiplek kayak foto copy-an.

"Kapan-kapan ke sini lagi, ya. Sendiri aja, nggak usah sama papamu. Temen Om mau ngasih alat-alat baru buat bengkel. Kita bisa main-main."

"Oke, Om, makasih banyak."

Geboy mengusap wajah kasar. Ia enggak tahu apa-apa tentang kabar kiriman barang itu. Kalau kata 'temen', besar kemungkinan rekan papanya yang baru saja mendirikan bengkel di daerah selatan. Tapi, sisanya ia benar-benar baru mendengarnya tadi.

Lelaki yang kini mengenakan kaus hitam oblong dan celana selutut itu beranjak mengambil modul matematika. Ia kembali duduk di depan meja belajar dan menyelesaikan persoalan yang bahkan belum dibahas di kelas. Mau sok pintar dulu, pikirnya. Kalau memang pengin lebih maju dari Randu, sudah seharusnya ia selangkah di depan seperti ini, bukan?

"Aw! Sat!"

Saking semangatnya, Geboy sampai tertusuk pinggiran pensil. Bahan kayu yang kemarin ia kikir menggunakan silet itu seakan tengah membalas dendam. Sensasi perih dari goresan kecil itu makin menjadi sebab tangannya sering lembap. Geboy pun lantas turun, hendak mencari mamanya guna meminta plester luka.

Sayang, di meja makan ada papanya juga.

"Ma, ada plester, nggak?"

"Luka lagi?" tanya Tyas, wanita berambut pendek yang mengenakan daster.

"Iya. Punyaku abis." Geboy menunjuk pelipisnya yang masih ada tambalan gara-gara menabrak pajangan ban.

"Mama ambil dulu. Kamu duduk, gih. Emang udah makan?"

"Masih kenyang."

"Ya udah, tunggu sebentar."

Geboy mengangguk. Kikuk, ia masih mematung di bawah tangga. Selangkah pun ia enggak mendekat. Satu meja makan dengan papanya hanya mengantar ke sesi acara '101 Alasan Randu lebih baik dari Geboy' yang cukup muncul saat sarapan saja. Kalau malam begini, biasanya Geboy meminta mamanya mengantar makanan ke atas--dengan dalih mau fokus belajar--atau membeli saja dari luar sebelum pulang. Misal enggak sempat, lebih baik puasa sampai pagi. Simpel.

"Ini," ucap Tyas sambil memberikan plester yang disimpan di kotak P3K. "Kok kamu masih berdiri aja? Ikut duduk."

"Nggak, Ma. Mau lanjut nugas aja."

"Eh, bentar."

Geboy menelan ludah. Ia menatap lengan kiri yang ditahan mamanya. "Kenapa, Ma?"

"Gimana buat lomba kompetensi-nya? Kamu dipilih, nggak?"

"I-iya."

"Syukurlah. Emang pinter anak Mama."

Satu … dua … tiga ….

"Paling juga kalah. Tadi Randu bilang kalau dia jadi perwakilan SMK Makmur di ajang itu."

Lagu lama, batin Geboy. "Makasih ya, Ma."

"Boy!"

Belum sampai selangkah, anak itu kembali bergeming tanpa membalikkan badan. Geboy menunggu ucapan papanya sebelum naik dan mengunci pintu rapat-rapat.

"Kalau Papa ngomong tuh direspons."

Geboy menarik napas dalam-dalam. "Emang Papa mau aku ngomong apa?"

Abi menelan kunyahannya lalu berdecak. "Nggak jadi. Nggak usah. Lagian nggak ada yang bisa kamu jawab, kan. Papa tinggal nunggu kabar aja kalau Randu jadi ketua gengmu yang baru."

"Mas, jangan doain gitu, ah. Boy udah berusaha banget lho buat jadi pemimpin Senter."

"Nggak apa-apa, Ma." Geboy mengusap lengan mamanya kemudian enyah dari sana.

Sepanjang anak tangga ke kamar, anak semata wayang itu terus mengepalkan tangan hingga kukunya meninggalkan jejak merah yang dalam dan mengerikan. Deru napasnya juga tak karuan sampai keringat dingin bercucuran di sekitar leher dan pelipis. Raut muka Geboy makin kacau saat papanya berteriak 'kabur saja terus' yang terdengar sampai kamar. Semua makin menyebalkan saat ponselnya terus berdering, berisi spam ucapan selamat atas terpilihnya Geboy dan Randu sebagai perwakilan sekolah masing-masing. Bahkan ada yang menyebutkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Geng Senter, perebutan ketua bisa saja kembali terjadi karena kandidat sebelumnya sama-sama berkompetisi lagi di sini.

"Sial! Gue rantai lama-lama tuh anak biar nggak kebanyakan gaya. Heran!"

🔗

DAY 2
5 April 2023

POV: sedang membaduti diri sendiri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top