Sapta

Dedicated to veaaprilia

Playlist
Deep Purple || Soldier Of Fortune

"Jo ... Narang itu persis kamu? Sama-sama keras kepalanya."

"Makanya aku kirim dia ke Kali Beber. Biar bisa belajar, bukan hanya ngilmu dunia, tapi akhiratnya juga," ujar Tedjo Rajasa sambil menikmati salah satu camilan khas kota Wonosobo, tempe kemul.

"Apa kamu ndak malu? Sejak dikirim ke sana, sudah berapa kali Narang minggat. Wis, biar dia pindah ke Purwokerto saja. Pasti mau."

Narang terdiam, menguping pembicaraan Tedjo dengan sang Paman dari balik pintu. Dirinya urung masuk, lebih memilih duduk di bawah pohon nangka sambil merenungi nasib.

Dulu, walau ayah dan anak itu tidak cukup dekat, tetapi mereka masih bisa dikatakan cukup akur untuk sekadar duduk bersama sambil menonton televisi, apalagi mereka sama-sama penggemar drama kolosal Angling Dharma.

Narang, si sulung dari tiga bersaudara. Si tengah Nari kelas satu SMA, sementara si bontot Landung kelas enam SD. Sendang kapit pancuran.

Tedjo Rajasa adalah petani yang sukses. Memiliki berhektar-hektar tanah di sekitaran Dieng yang ditanami bermacam sayuran khas daerah dingin, di antaranya wortel, kentang, daun bawang, sampai carica. Selain karena harta warisan, lelaki berkumis tebal itu memang ulet dan pekerja keras.

Narang dan adik-adiknya hidup berkecukupan serta dilimpahi kasih sayang.

Pletak!!

Narang mengelus jidatnya yang tiba-tiba nyeri. Dilihatnya sang Paman yang menyeringai lebar berjalan ke arahnya. "Sendekala. Ndak boleh ngelamun. Nanti kemasukan Jin penunggu pohon nangka."

Narang masih membisu, tatapannya mengawang.

"Walah! Wis kerasukan tenan iki?" lelaki berbaju batik itu menggoncang pundak keponakannya keras. "Narang ... Pak lik tau, kamu ndak mau balik mondok lagi toh?"

Narang mendengarkan, tapi masih tak ada jawaban. Ia memang tidak mau kembali ke Pondok lagi, Tedjo lah yang selalu memaksanya.

Semua berawal sejak kematian Fatimah, ibu kandung Narang, Nari, serta Landung. Makam itu belum kering, belum ada seratus hari ketika dengan alasan bahwa anak-anaknya memerlukan sosok seorang ibu, Tedjo menikah lagi dengan Ismi, seorang janda yang juga beranak tiga.

Pernikahan Tedjo dengan Ismi adalah kesalahan pertama di mata Narang. Kesalahan kedua adalah Tedjo menikah dengan orang yang salah. Tetapi, sekeras apa pun Narang menolak, orang tua selalu dianggap benar, karena mereka orang tua yang harus dihormati dan dituruti.

Bagi Narang, alasan Tedjo itu omong kosong. Ketika ibunya yang sering sakit-sakitan masih hidup, ia dan adik-adiknya lebih sering diasuh oleh Bulik Juliyah. Kenapa Tedjo tidak menikah saja dengan wanita itu.

Narang menjambak rambut ikalnya yang mulai memanjang. Tedjo memang playboy cap tokek, yang telah menghancurkan dunia percintaannya.

"Uwis toh, ndak usah banyak mikir. Kemasi saja barangmu. Habis Isya kita berangkat."

Narang menunduk menekuri kerikil, dan sesekali memainkannya dengan ujung sandal. Mungkin ia harus pergi, jika di rumah sendiri Narang merasa terasing.

**********

Narang membaca sekali lagi surat yang baru saja ditulisnya, lalu memasukkannya ke dalam kotak, bercampur dengan pita biru yang digulung rapi.

Narang tahu, Dhita sangat menyukai biru serta pita. Gadis manis berlesung pipi pujaannya selalu menghiasi rambutnya yang panjang dengan benda tersebut.

Ia menertawakan dirinya sendiri. Konyol. Jarak dari Wonosobo ke Purwokerto hanya dua jam, tapi sudah menyiapkan kado ulang tahun Dhita yang masih dua bulan lagi, seolah-olah hari ini adalah pertemuan terakhir.

Narang memasukkan kotak kecil tersebut ke dalam laci, hendak meninggalkannya saja di sana.

"Apa itu?"

Narang tersentak, Si Tomboy Nari nyelonong masuk ke kamarnya.

"Bukan apa-apa." Narang dengan cepat menutup laci, berbalik dan mulai mengemasi bajunya.

"Itu buat Mbak Dhita 'kan?" Nari mengekori Narang, meminta jawaban. Membuat kakaknya yang mulai risih mendelik tajam. "Mas Narang masih berharap?"

Nari yang kesal tak digubris membuka laci, lalu mengambil kotak kecil milik kakaknya.

"Kamu apa-apan sih? Sini balikin!"

Sebelum Narang merebut kembali kotak itu, Nari naik ke kasur kakaknya, menghindar. "Nari kasih ke Mbak Dhita ya!"

"Awas ya kalau berani!" Narang menarik kaus Nari, lalu memukul lengan adiknya.

Nari membalas pukulan Narang, dan menit berikutnya mereka mulai perang bantal. Tawa menggema di kamar Narang yang lapang.

"Nari juga kecewa sama Bapak, yang buru-buru nikah lagi. Tapi sekarang 'kan sudah kejadian. Masa iya nyuruh mereka pisah?" ujar Nari, yang pada akhirnya mengembalikkan kotak kecil itu pada kakaknya.

"Bapak berpikir ... cinta sejati itu hanya milik orang dewasa," Narang menghela napas, duduk bersila di lantai dengan punggung menyandar di sisi kasur. "Kenapa Bapak ndak peduli sama perasaan anak sendiri?"

Tedjo dan Ismi, di masa mudanya pernah merajut kasih, tetapi saat itu mereka belum berjodoh. Sekian tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan. Janda ketemu duda.

"Kalau jodoh itu ndak bakal kemana. Sekarang, Mas Narang inget aja sama pesen almarhumah Ibu. Belajar yang rajin, ilmu itu investasi buat masa depan." Nari melirik kakaknya, sambil mengeringkan keringat yang masih menetes dari sela-sela poni dengan telapak tangannya.

"Omonganmu itu, Ri. Sok tau!"

"Bukan sok tau, tapi ngasih tau. Mas Narang ini cemen! Biarpun Bapak udah nikah sama Bulik Ismi, dunia belum berakhir coy! Kalian 'kan bukan sodara kandung, ya bukan sepersusuan, jadi...."

Narang diam memikirkan, menatap adiknya saksama. Penuh kepastian.

"Mas Narang, cepet! Udah ditungguin sama Paklik Wowo!"

Teriakkan adik bontotnya -Landung- membuat Narang menghela napas panjang sekali lagi. Ia bangkit, mengambil tas yang teronggok di lantai. Sebelum beranjak, Narang berbalik. "Nari ... tolong kasih kotak itu sama Dhita. Makasih."

#####27Jan'17#####

Ngilmu, ilmu
Sendang kapit pancuran, tiga anak, laki"-perempuan- laki"
Sendekala, waktu antara sebelum dan sesudah Maghrib

Salam,
Ayu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top