Catur
Dedicated to TiaraWales
Playlist
Amadeus || Confide in me
Naomi duduk bersandar di dalam selnya yang sempit karena dihuni oleh tiga orang. Perpaduan aroma parfum, pengapnya sel tahanan, serta desinfektan membuat kepalanya berdenyut.
Di sebelah Naomi ada Daisy, yang terus menangis sepanjang malam. Maskara remaja itu luntur, meninggalkan jejak kehitaman di pipi tirusnya. Sementara di atas tikar ada Leah, yang bergelung seperti bola dan mengabaikan apa pun.
Sudah hampir delapan belas jam. Namun belum ada satu pun keluarga atau seseorang yang datang untuk membebaskan mereka. Bagi Naomi, ini terasa sangat janggal. Tidak mungkin orang tuanya tak mengetahui anak tunggalnya terkena razia polisi.
Ayahnya -Dino Muljadi- adalah salah satu pengusaha yang mumpuni, dan sering menjadi sumber berita di majalah bisnis ibukota. Tentu berita bahwa sang anak mendekam di balik jeruji besi akan cepat tersebar. Dan akan sampai pula ke telinga ayahnya.
Belum lagi, Volar adalah kelab malam elit. Naomi mengenal Max -sang pemilik- dengan baik. Jika ada sesuatu, Max pasti akan melindunginya. Namun yang terlihat semalam, Max tidak berusaha mencegah atau membela saat mereka bertiga digelandang polisi. Semua kejanggalan itu membuat Naomi semakin bingung.
Naomi memeluk lututnya. Rasa lelah, kesal, dan lapar menjadi satu. Polisi sudah memberikan jatah makan dua kali. Namun begitu, menu untuk pekerja rumah tangga di rumahnya jauh lebih baik, jadi Ia tak menyentuh makanan itu sama sekali. Naomi terdiam, seolah jika bergerak sedikit saja perutnya akan bergoyang, dan rasa lapar akan kembali menyerang.
Sesaat kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat. Tapi bukan polisi. Walau baru semalam, Naomi mengenali derap langkah mereka yang kuat serta berirama. Sementara kali ini terdengar berat dan sedikit terseok. Tebakan Naomi, orang itu gendut dan pemalas.
"Naomi Asmara!"
Naomi terkesiap, kepalanya menoleh dengan cepat. Di luar jeruji kini berdiri seorang pria setengah baya bertubuh gempal, dengan setelan serba hitam. Persis orang yang akan menghadiri pemakaman.
"Om Ridwan!" Naomi berdiri lantas mendekat. Menatap lelaki tersebut dengan mata abu-abu yang berkilat senang. "Om datang mau ngebebasin kita, 'kan?"
Daisy dan Leah yang baru terbangun sama antusiasnya. Mereka ikut mendekat dan berdiri di sisi kanan dan kiri Naomi.
"Tentu. Untuk itulah Om datang," pria berdasi kupu-kupu itu menatap Naomi dan kedua sahabat remaja itu satu persatu. "Tetapi ada syaratnya. Kalian harus menandatangani surat terlebih dahulu," ancamnya kemudian, lalu mengeluarkan map warna kuning dari dalam tas kulitnya yang mengkilap.
Seorang polisi yang masih muda membuka pintu jeruji besi, menggiring ketiganya menuju meja panjang di pojok kiri ruangan.
Ridwan Halim -pengacara keluarga Dino Muljadi- memberikan map kuning tersebut pada Naomi. "Baca dulu dengan pelan, pahami, dan resapi."
Naomi menerimanya dengan setengah hati. Firasatnya tidak baik. Dan benar saja, baru membuka pada halaman pertama alis remaja itu sudah terangkat, serta berdecak tidak suka.
**********
Dengan arsitektur khas Jawa, rumah bercat coklat itu terlihat berbeda dengan hunian lain di sekitarnya. Memiliki garasi yang luas, sehingga mampu menampung beberapa koleksi mobil kuno yang antik.
Di halaman, ada dua pendopo kecil terbuat dari bambu yang di kelilingi dengan tumbuhan apotek hidup. Salah satunya tanaman sambiloto, yang rebusan daunnya berkhasiat menurunkan tekanan darah, karena mengandung senyawa kalium. Tanaman itu menjalar di salah satu pendopo hingga menutupi atapnya yang terbuat dari jerami.
Memasuki rumah yang adem dan begitu asri, langsung tercium aroma manis bercampur segar dari buah lemon. Aroma itu berasal dari dapur. Ada kesibukan di dalam sana.
Dua orang yang tampak sedang saling menggoda menjadi pemandangan yang menjengkelkan, bagi remaja yang baru datang dengan penampilan lusuhnya.
"Oh ... hay, Sayang? Kau sudah pulang?" goda lelaki gagah usia pertengahan empat puluh tahun.
Remaja yang baru datang itu bersungut kesal. Ia mempertanyakan apakah ada orang tua yang terlihat baik-baik saja, ketika anak tunggalnya semalam tak pulang.
"Apa kau akan tetap berdiri di sana? Ayolah, kau pasti kelaparan. Mama sudah buatkan cupcake lemon kesukaanmu," rayu sang ibu.
Remaja cantik itu mengerjap beberapa kali. Lapar, tentu saja. Perutnya belum terisi apa pun dari kemarin. Cupcake lemon itu begitu menggoda, dari aroma yang menguar saja sudah membuat air liurnya meleleh.
Namun ego yang besar melarangnya. Ia mundur dua langkah.
"Sayang, kau masih marah? Maafkan kami. Okey?"
"Ini semua emang rencana kalian, 'kan!"
"Hemm, sebetulnya ... iya," wanita anggun itu melepas celemek birunya. Berjalan mendekati anak semata wayangnya yang sedang emosi. "Naomi Asmara Muljadi. Nanti akan ada saatnya kamu boleh ke Volar, atau kelab malam mana pun. Tapi tidak saat umurmu baru enam belas tahun."
"Kalian kejam!"
#####24Jan'17#####
Salam,
Ayu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top