8. Lamaran Aneh
Perjalanan takdir manusia memang tak bisa ditebak. Detik ini di atas, tapi bisa jadi detik berikutnya roda kehidupan yang berputar mampu membawa manusia ke titik nadir. Titik paling bawah yang menyesakkan. Seperti Galoeh yang tak menyangka, saat matanya terbuka pagi ini dan telinganya bisa menangkap cuitan burung kenari peliharaan Romo Danoe, hidupnya sebatang kara tanpa keluarga yang selalu menemani. Setelah malam Galoeh menyeka tubuh Weda, ia tak lagi bertemu laki-laki itu. Tepat pukul enam pagi berikutnya, Lik Min mengantar Weda kembali ke markas walau kondisinya menurut Galoeh masih belum terlalu pulih.
Seperti rencana semula, setelah sepuluh hari di rumah dan Galoeh mulai merasa jenuh tak melakukan apapun, akhirnya ia terpaksa menerima tawaran mengajar di Sekolah Rakjat yang awalnya milik Suster Fransiskan dan sempat ditutup. Menurut cerita Kartika, baru pada bulan April 1943 lalu, kegiatan belajar mengajar kembali normal dengan sistem pendidikan yang ditetapkan Dai Nippon. Tidak ada lagi diskriminasi golongan dan memakai pengantar berbahasa Melayu. Sejak dibuka kembali, Kartika mengajar anak-anak usia delapan tahun dengan bekal ilmu yang ia peroleh dari Sekolah Mendoet.
“Di sini ada sejarah Jepang. Nanti Sato Sensei yang akan mengajar. Setiap hari sesuai jadwal kelas.”
“Sato-Sensei? Kempetai itu?” Alis Galoeh mengerut.
“Iya. Dulunya dia mahasiswa jurusan sejarah. Tapi karena perang, dia masuk ke sekolah militer trus dikirim untuk ekspansi ke selatan,” terang Kartika. “Seandainya ndak ada peristiwa kemarin, mungkin ….”
Alis Galoeh mengernyir. “Mungkin apa?”
“Aku sempat menyukai dia. Sebagai Souta Sato yang menjadi pengajar. Bukan intel Kempetai,” kata Kartika sendu
Galoeh terkesiap. “Tik?” Galoeh mengingatkan.
Tika tersenyum tipis. “Apa kami bertemu di waktu yang salah ya?”
Galoeh meneleng. “Tika, dia penjajah lho.”
Kartika mendengkus. “Aku tahu posisiku kok. Kamu tenang saja.”
Beruntung lonceng pada pukul 06.30 berbunyi, sehingga percakapan mereka terjeda. Namun, tetap saja, ucapan Kartika mengganjal batinnya. Delapan tahun ia mengenal sahabatnya. Dulu, mereka sama-sama polos dan naif menghadapi dunia yang penuh gejolak. Namun, semua tragedi di keluarganya telah mengubah pandangan Galoeh. Ia tak lagi sepolos dan senaif dulu ketika berpikir bahwa Jepang datang akan membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme Belanda. Bagi Galoeh, Dai Nippon adalah penjajah yang menghancurkan hidupnya. Namun, bagaimana bisa Tika menyukai Souta?
Tak ingin memikirkan tentara Jepang itu, Galoeh segera bergabung di halaman bersama guru dan murid-murid. Di era pendudukan Dai Nippon, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak dan para guru akan melakukan taiso atau senam yang diiringi musik yang diperdengarkan dari radio NHK di Tokyo. Pemerintah Jepang memang menggalakkan pentingnya pendidikan jasmani dan semangat kemiliteran. Tepat pada pukul 07.00, semua orang melakukan seikerei atau gerakan membungkuk ke arah Tokyo sebagai penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari. Sewaktu di kampus Ika Daigaku, Galoeh tak terlalu mempermasalahkan kebiasaan ini. Tapi, kini hatinya berontak. Dalam hati, ia merutuk karena tak ingin menyembah sesuatu yang telah membawa nasib buruk dalam hidupnya. Nippon, Setan!
Setelah melakukan ritual pagi, semua anak kembali ke kelas. Galoeh mendapat tugas mengajar kelas tiga untuk mengasah kemampuan berhitung, pengetahuan alam, dan pengetahuan umum. Walau terlihat mudah, sepertinya perlu kesabaran ekstra mengingat daya tangkap masing-masing berbeda-beda. Pelajaran sesi pertama bisa Galoeh lalui. Pengalaman pertamanya mengajar sangat menguras energi sehingga istirahat ini ia ingin segera membasahi tenggorokannya dengan segelas air. Namun, saat ia hendak kembali ke ruang guru, seorang anak tampak duduk di mejanya.
“Jono, kamu ndak keluar bermain bersama temanmu?”
Jono menggeleng. “Ndak, Sensei.”
“Kenapa? Kamu sakit?” Galoeh menghampiri anak laki-laki sepuluh tahun itu.
Jono menggeleng. “Saya lapar.”
Galoeh terkekeh. Tadi pagi Mbok Mi membawakan ubi rebus. “Ini. Buat isi perutmu.”
“Tapi, Sensei nanti makan apa?”
“Sensei bisa makan yang lain.” Galoeh tersenyum mengulurkan ubi itu pada Jono.
Jono menerimanya dengan tatapan nanar. “Terima kasih.”
“Makan yang banyak. Biar sehat.”
“Sensei mau makan bersama saya?” tanya Jono saat Galoeh hendak mengayunkan kaki meninggalkan Jono. “Ini terlalu besar.”
Galoeh tersenyum. Salut dengan sifat Jono yang mau berbagi. Ia pun kembali duduk dan menerima separuh ubi dari Jono. “Enak?” tanya Galoeh mendapati lahapnya Jono makan seolah tidak makan selama beberapa hari.
“Enak. Manis.”
“Kapan terakhir kamu makan?” tanya Galoeh tak juga memakan ubi yang ia pegang
“Kemarin pagi.”
Galoeh menatap Jono lekat. “Jono sepertinya Sensei sudah kenyang. Kamu bisa menghabiskan ubi ini.”
“Tapi ….”
“Kamu tenang saja. Suami Sensei itu dokter dan tentara PETA, jadi Sensei ndak akan kekurangan makan.” Galoeh mendengkus. Setidaknya ia mengaku-aku sebagai istri Weda untuk meyakinkan Jono agar tidak merasa bersalah menghabiskan makan.
Mata Jono mengerjap, dan perlahan berkaca. “Kalau begitu, boleh ubi ini saya bawa buat adik saya?”
Galoeh kembali terkesiap. Hatinya pedih. Seharusnya ia tidak perlu meratapi nasib buruknya karena ternyata masih banyak orang-orang yang lebih menderita daripada dirinya. Lalu ia pun tersenyum. “Boleh.” Galoeh mengelus rambut kusut Jono yang tak pernah terkena shampo. Jangankan untuk membeli shampo, membeli bahan makanan pokok saja mereka tidak bisa.
Sehari menjadi guru, Galoeh belajar banyak hal dari muridnya. Tentang semangat dan ketulusan. Dan, Galoeh malu karena ia selama ini menyalahkan keadaan sementara sebenarnya ia masih beruntung karena ada keluarga Tika yang mau menampungnya.
Setibanya Galoeh di rumah, ternyata Weda sudah ada di sana. Jari-jarinya sudah tak lagi dibungkus karena luka yang ia dapat sepuluh hari lalu sudah mengering. Rasanya canggung sekali saat bertemu Weda siang ini di serambi gandok kanan. Mereka sempat bertemu pandang, lalu Galoeh cepat-cepat membuang muka, menyembunyikan pipi merahnya saat teringat tubuh kekar berbulu tipis yang terkadang menghiasi bunga tidurnya di malam hari.
“Loeh,” panggil Weda saat Galoeh akan masuk ke kamarnya. Entah sengaja atau tidak, sepertinya Weda yang duduk di kursi depan serambi sengaja menunggunya
“Nggih, Mas?” Galoeh memutar tubuhnya menghadap Weda. Kini wajah laki-laki itu telah pulih, tak ada lagi memar.
“Besok kita akan ke kantor administrasi. Kita akan mencatatkan pernikahan.”
Tenggorokan Galoeh tiba-tiba tercekat. “Heh?” Hanya suara itu yang terdengar dari mulutnya.
“Kita sudah menunda beberapa waktu. Aku sudah mengurus izin kedinasannya.”
Galoeh urung mendorong pintu kamarnya. “Mas, saya ndak bisa merebut Mas dari Mbak Harti. Ini pernikahan lho.”
“Loeh,” Weda bangkit dan berjalan mendekati Galoeh. Tapi gadis itu justru menjauh.
“Ya?” Kedua alis Galoeh terangkat.
“Kamu pernah dengar ungkapan ‘satu kebohongan akan melahirkan kebohongan yang lain’?” Weda semakin mengikis jarak. Kali ini Galoeh tak bisa berkutik karena punggungnya menabrak pintu kamar yang masih tertutup. Gadis itu hanya mengangguk. “Kita harus menutupi kebohongan Ibu demi keselamatan kamu dan keluarga ini.”
“Tapi—” Ucapannya terjeda di udara.
“Kamu pikir aku juga mau terjebak dalam pernikahan ini?” sahut Weda sambil menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Galoeh hingga jarak antara mereka hanya sejengkal. “Ndak, Loeh! Aku juga ndak mau. Tapi, sebagai anak sulung keluarga ini, sudah menjadi kewajibanku melindungi keluarga ini.”
Susah payah Galoeh menelan ludahnya. Ia tahu betul apa yang dikatakan Weda. Namun, apa jadinya sebuah pernikahan bila Galoeh nyata-nyata tahu kalau Weda adalah kekasih Harti?
“A-apa ndak ada cara lain?” Galoeh berusaha memberi solusi.
“Kalau aku ada cara lain, detik ini aku ndak akan berdiri di depanmu!” tandas Weda lalu berbalik meninggalkannya.
“Pernikahan?” gumam Galoeh dengan tatapan nanar. Apakah ia harus mengganti statusnya di kartu pengenal dan mempunyai surat nikah untuk membuktikan kebohongan Ibu? Itu artinya pernikahan ini hanya status dan tak nyata! Tak ada cinta … hanya sebatas sebuah cara untuk menyelamatkan diri dari tuduhan penipuan.
Seketika punggung Galoeh melengkung. Bagaimana bila ternyata ia benar-benar harus menikah? Berarti ia harus membayar kebebasannya dengan mendapat predikat ‘istri’ di usianya yang kedua puluh tahun.
Rahang Galoeh mengatup erat dengan kepalan tangan yang sangat kuat hingga buku jarinya memutih. Bukan ini hidup yang ia impikan! Bukan menjadi istri yang ia inginkan sekarang! Ia ingin menjadi dokter, dan saat umurnya telah matang barulah ia akan menikah dengan laki-laki yang ia cintai dan mencintainya.
Sungguh Dai Nippon telah membuat hidupnya kacau dan memaksanya meletakkan cita-citanya. Dan, semua bencana ini karena orang terdekat Ibu Marti yang menjadi pengkhianat!
Sejak percakapan singkatnya dengan Weda, Galoeh lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Siang ini ia tak bisa lagi ke kamar Weda untuk menghabiskan waktu membaca buku kedokteran karena sang pemilik kamar sudah pulang. Walau ia berusaha mengistirahatkan tubuh lelahnya, otaknya tetap saja diriuhkan penyangkalan dan pemberontakan batin. Apakah ia tak seberdaya itu melawan takdirnya? Apakah ia harus bergantung pada laki-laki yang mencintai wanita lain?
Malam ini saat makan malam, Galoeh terlihat lesu. Ia hanya mengambil sedikit makanan. Menu kali ini adalah sayur daun pepaya yang ditumis dengan udang kering serta telur dadar.
“Nduk, kok cuma makan sayur?” Ibu Lastri memotong telur dadar yang diberi tepung agar mengembang.
Seketika Galoeh mendorong tangan Ibu Lastri, sambil menggeleng. “Mboten, Bu. Saya ndak bisa makan telur.”
“Kenapa?” tanya Ibu Lastri heran.
“Iya, Bu. Galoeh ndak makan telur.” Tika menyahut.
“Gatal-gatal?” Romo Danoe menyambut dengan pertanyaan seperti kebiasaannya sebagai seorang dokter mengorek riwayat kesehatan pasien.
“Ndak, Mo,” jawab Galoeh.
“Karena Mas Galih meninggal sewaktu membelikan Galoeh kerak telur!” Tika memberondong dengan jawaban yang lebih pasti.
“Tika!” Galoeh menyepak kaki temannya dengan keras hingga gadis di depannya mengaduh. Sementara semua orang di situ menatapnya dengan pandangan iba. Memang benar Galoeh yang membuat Mas Galihnya meninggal karena keinginannya makan kerak telur. Sejak saat itu, Galoeh membenci telur.
“Lha kamu makan apa?” Romo Danoe tampak khawatir.
“Ini saja, Mo.” Galoeh menunjukkan udang pada tumisan daun pepaya.
“Sebaiknya kamu ndak pilih-pilih makanan, Loeh. Sudah baik kita bisa makan telur. Di luar sana, mau makan saja ndak bisa.” Weda menimpali.
“Uwes-uwes!” Ibu Lastri menengahi. “Kalau Galoeh bilang ndak bisa, ya ndak bisa. Jangan dipaksa! Ndak peka banget to anak lanangku siji iki?”
“Bukan begitu, Bu—”
“Mas, kamu harus belajar memahami Galoeh. Dia sebentar lagi jadi istrimu. Ngerti?” tandas Ibu Lastri.
“Bu, uwes to! Memahami orang lain itu juga ndak seketika begitu saja. Mereka perlu proses,” sahut Romo Danoe.
Embusan napas kasar meluncur dari bibir tipis Ibu Lastri. “Ibu tahu, Mo.” Ibu Lastri lalu mengorek ebi yang ada di sayuran, lalu ia berdiri untuk menaruh sedikit lauk di atas piring Galoeh. “Kamu tahu, Loeh? Ibu seneng akhirnya anak laki-laki Ibu akan menikah. Akhirnya mendapat wong Jowo, seiman pula. Tapi ya gitu, Ibu malah kepikiran kamu nantinya. Lha Mas Weda ki pinter, tapi nek urusan memahami perempuan ndak bisa.”
Galoeh mengerti kegelisahan Ibu Lastri. Bagi keluarga pribumi Jawa yang memilih untuk dibaptis, mencari jodoh bukan perkara mudah. Sewaktu Belanda masih berkuasa, masyarakat pribumi yang beragama Katolik dianggap antek Belanda karena memeluk agama yang dibawa penjajah. Sementara bila berada di gereja, mereka terhimpit oleh orang Eropa dan Tionghoa. Mungkin bila Ibu Lastri mau mendapat jodoh orang Eropa atau Indo, gampang urusannya. Tapi mencari pasangan sesama pribumi yang bobot, bibit, bebet, dan keyakinannya sama, rupanya perlu usaha lebih keras karena seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Maka, tak salah bila Weda sampai berumur dua puluh tujuh tahun ini belum bisa menggandeng perempuan sebagai istrinya yang sesuai harapan ibunya.
“Pelan-pelan, Bu. Lha wong sampai sekarang saja Romo masih susah memahami Ibu. Penginnya Ibu dimengerti tapi ndak diomongke. Lha mosok Romo tahu. Memang Romo cenayang apa?”
Semua terkekeh mendengar kelakar Romo Danoe. Bagi Galoeh, Romo Danoe adalah figur laki-laki sempurna. Ketegasan dan ketenangan saat menghadapi masalah membuat seluruh isi rumah menunggu titahnya. Namun, di sisi lain, laki-laki berkumis tipis itu tampak ‘kalah’ di depan istrinya yang cerewet, spontan, dan mbingungi.
Apakah sifat Weda seperti Romo Danoe? Seandainya betul, Galoeh merasa ia akan menjadi gadis yang beruntung. Tapi, Galoeh enggan berharap mengingat pernikahan ini hanya dipaksakan.
💕Dee_ane💕
Deers, makasih sudah baca cerita ini. Nanti bakal ada tokoh dari ceritaku yang lain. Bisa kalian tebak siapa yang bakal nongol lagi di cerita ini?
Jangan lupa jejaknya ya😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top