6. Berkah Untuk Ibu
Di saat Galoeh sedang memikirkan apa yang terjadi pada masa depannya, tiba-tiba Weda berdeham dan membuka suara. "Mo, sebaiknya ndak usah," sahut Weda cepat. "Lagipula Galoeh sudah bebas, buat apa dicatatkan."
"Kalian pasti masih dipantau." Romo Danoe menimpali.
"Saya sudah memberi alasan, kami menikah diam-diam jadi belum didaftarkan secara resmi. Karena Galoeh sudah dibebaskan saya pikir kebohongan ini ndak perlu dilanjutkan." Weda memberi alasan.
Galoeh maklum Weda akan menolak karena pria dewasa itu sudah mempunyai kekasih.
"Mas, kurang opo to Galoeh ini? Ayu, pinter, terampil jahit, ngerajut, resik-resik. Wes lengkaplah pokok'e. Ndak bakal nyesal Mas nikah sama Galoeh," imbuh Tika membela temannya.
"Uwis, Tik!" Harga diri Galoeh terluka. Selama ini ia selalu menolak laki-laki dengan alasan ia ingin sekolah. Tapi sekarang ia ditolak oleh laki-laki yang pernah ia tolak.
"Sudah ayo makan dulu." Romo Danoe menyudahi topik ini.
Galoeh terdiam, menunduk menatap piring yang sudah berisi nasi jagung dan pelengkapnya. Ia menyendok nasi dan menyodorkan ke depan mulut Weda. Mata Weda menjuling. Ia melirik Galoeh, bergantian ke Tika, Ibu Lastri, dan Romo Danoe. Susah payah Galoeh menyembunyikan ekspresi gundahnya agar tak terlihat kecewa.
Dalam hati Galoeh menertawakan perasaannya. Untuk apa ia kecewa? Bukankah ia sudah tahu kenyataan bahwa ia telah menjadi duri dalam hubungan Weda dan Harti? Mungkin Weda telah berubah pikiran setelah bertemu dengan Harti sehingga mengurungkan niatnya untuk mencatatkan pernikahan.
"Makan dulu, Mas." Tangan Galoeh yang memegang sendok bergerak ke atas meminta Weda membuka mulut.
Weda membuka mulut pelan. Seandainya jarinya berfungsi normal, ia akan merebut sendok itu.
"Apa karena Harti, Mas?" tanya Ibu Lastri langsung setelah menyuapkan nasi jagung dengan tangannya.
Weda tak berkomentar dan tetap mengunyah makanannya.
"Sudah Ibu katakan berkali-kali, Ibu ndak setuju." Ibu Lastri mendengkus. "Mo ... panjenengan saja yang langsung ambil keputusan!"
Romo Danoe berdeham setelah menggelontorkan makanannya dengan air putih dalam gelas belimbing. "Menurut Romo pernikahan ini memang harus dicatatkan." Suara dalam Romo Danoe membuat semua yang ada di situ segan.
"Apa susahnya kita menikmati nasi yang sudah jadi bubur?" Ibu Lastri menyahut.
Romo bersedekap, menatap Galoeh. "Nduk, Romo tanya baik-baik, apa kamu mau jadi istri Weda secara hukum? Seperti yang Romo katakan, kamu sudah resmi jadi istri Weda."
Gadis itu gagu. Ia melirik Weda yang hanya sibuk mengunyah. "Mo, saya ndak bisa. Pernikahan itu sesuatu yang sakral di mana dua hati saling berpadu. Saya ndak pengin melukai hati Mas Weda dan Mbak Harti."
"Sudah to, Bu. Galoeh ndak mau. Seperti dulu waktu Galoeh menolak lamaran Romo. Artinya, ndak ada yang perlu dibicarakan. Titik," tandas Weda dengan wajah datar. "Galoeh, kamu juga makan dulu gih. Jangan cuma menyuapi aku. Kamu di sini tamu, bukan istriku," kata Weda setelah mengarahkan tangan Galoeh untuk menerima satu sendok suapan.
Sepertinya Weda memang sudah berubah pikiran. Dan sebaiknya ia tak perlu memikirkan lagi akan terjebak dalam pernikahan aneh seperti ini. Galoeh hanyalah tamu, yang datang dan sebentar lagi akan pergi.
***
Selepas makan malam, Tika kembali menghampirinya. Ia mengambil alih piring seng yang dipegang Galoeh. "Loeh, kamu bantu seka badannya masku gih."
"Loh, bukannya Ibu?"
"Ibu mau bantu Romo siap-siap pakaian buat besok ke luar kota." Tika menarik tumpukan piring itu.
"Tapi, Tik ...," tolak Galoeh. Mana bisa ia menyeka tubuh laki-laki asing.
"Uwes-uwes. Sana!"
Galoeh mengerjap. Melongo. Namun, akhirnya ia menurut dan bergegas ke kamar Weda dengan menbawa handuk karena baskom berisi air hangat sudah tersedia di kamar Weda. Kata Ibu Lastri tadi, kamar ini akan disulap menjadi kamarnya dengan Weda setelah menikah.
Sesampainya di depan kamar, Galoeh berdiri. Ia bimbang haruskah ia melakukan permintaan Tika. Namun, saatnya hendak terayun mengetuk, daun pintu tiba-tiba berderik kasar dan terbuka menguak sosok Weda.
"Kamu sedang apa di depan kamarku?" Alis tebal Weda mengernyit, menatap heran Galoeh yang masih belum lepas dari keterkejutannya.
"Maaf, Mas. Tika minta saya menyeka badan Mas Weda."
"Hah?" Weda melongo.
Galoeh menerobos masuk tanpa diminta sehingga Weda harus menggeser tubuhnya miring. Laki-laki masih kebingungan, seolah tak bisa mencerna ucapan Galoeh.
"Lepas bajunya dulu, Mas. Keburu dingin nanti airnya." Gemericik air menjawab kebisuan Weda saat Galoeh memeras handuk yang sudah dicelupkan ke air. Sambil melakukan pekerjaannya, Galoeh mengedarkan pandangan ke kanan kiri kamar seorang laki-laki perjaka. Yang menjadi perhatiannya adalah buku-buku yang berjajar rapi di rak yang terletak di sisi kanan ia berdiri, tepat di sebelah lemari pakaian berpintu cermin.
Melihat banyaknya buku kedokteran setebal bantal, maka tak heran Weda bisa menuntaskan gelar doktoralnya di Universitas Amsterdam dua tahun lalu. Alih-alih mengikuti jejak seniornya di Lembaga Eijkman Djakarta, Weda justru memilih menjadi dokter di Panti Rogo dan akhirnya menjadi dokter militer PETA. Memang benar kata Tika, Weda selalu mempunyai jalan pikiran yang berbeda. Dan, biasanya berseberangan dengan sang Ibu.
"Aku mau Ibu. Atau ... Tika saja. Kalau mereka sibuk, tolong panggilkan Romo," pinta Weda yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ibu menyuruh Tika. Dan Tika meminta saya menggantikannya. Sementara Romo sedang siap-siap karena akan ke luar kota besok pagi," jawab Galoeh yang sedang memeras handuk kecil.
"Apa ndak bisa nanti saja siap-siapnya?" Rona wajah Weda memudar. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menggeleng.
Galoeh berbalik. Melihat wajah Weda yang pucat seperti melihat hantu, ia pun tak kuasa menahan tawa. "Sios napa mboten (Jadi apa tidak)?"
Ternyata betul yang dikatakan Mbok Mi. Weda memang terlihat kaku di depan perempuan lain selain Ibu, Tika, dan Harti. Jadi, bagaimana bisa menikah kalau Weda tak bisa menerima gadis lain selain Harti. Sementara dirinya juga tidak berpengalaman dengan laki-laki karena otaknya dipenuhi materi-materi kuliah kedokteran.
"Ya, jadi ...." Weda berdecak, memeluk tubuhnya erat. "Aku ndak biasa saja."
Galoeh tak bisa lagi menahan tawanya. "Mas Weda ini loh, kayak mau saya apakan saja? Buruan, airnya ini selak (keburu) dingin." Ia menunjuk kain basah yang sudah ia genggam. "Lagi pula anggap ini balas budi saya karena Mas sudah menyelamatkan saya."
Weda menimbang. Lalu ia pun menurut, dan duduk di tepi ranjang setelah menutup pintu kamar. Galoeh kemudian menunduk dan meraih ujung kaus putih tipis dan mengangkatnya perlahan hingga otot-otot yang terbentuk saat latihan militer PETA terkuak. Ia memalingkan mukanya karena saat itu wajah Galoeh begitu dekat dengan wajahnya
Begitu kain melewati lengannya yang terangkat, Galoeh bisa melihat dada yang dilapisi bulu tipis. Seketika pipinya terasa panas. Ia memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus saat melihat pemandangan yang menyentil naluri kewanitaannya.
Melihat ekspresi Galoeh, seketika Weda mencium kedua ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang tak terlalu lebat. "Ba-bau ya badanku?"
"Heh?"
"Itu dari tadi kamu menahan napas. Saking baunya ya?" Weda merasa bersalah.
Kekehan kembali Galoeh mengudara. Ia menahan napas karena berushaa menetralkan detak jantung yang tiba-tiba menggila.
"Iya. Bau kecut." Galoeh menjepit hidungnya sambil mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir debaran yang tak perlu.
"Oh, ya?" Weda kembali menciumnya pangkal lengannya.
Tawa Galoeh semakin keras, untuk menutupi rasa canggungnya. "Ayo, saya seka dulu. Biar wangi."
Galoeh lalu duduk berlutut di depan laki-laki dan mengusap dadanya. Ini kali pertama melihat dada laki-laki yang terlihat seksi. Alih-alih terlihat kotor, bulu-bulu halus itu menambah kesan jantan.
Galoeh menggeleng kepala berulang sambil merutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia memikirkan hal aneh semacam itu? Jantan? Memang Weda hewan yang bertugas membuahi betina? Sekali lagi bola mata Galoeh dengan nakalnya bergulir ke kiri, melirik bulu-bulu yang terlihat indah di matanya. Seolah Weda bertransformasi menjadi merak jantan yang memamerkan bulu warna-warninya untuk menarik perhatian merak betina.
Namun, seketika tangan Weda menangkap pergelangannya. "Galoeh, lama-lama kulitku lecet kamu menyeka di satu tempat saja."
Galoeh terkesiap. Ia menyadari dari tadi ia tak fokus melakukan tugas. "Ma-maaf."
Buru-buru Galoeh berdiri dan berbalik untuk mencelupkan handuk ke baskom, menghindari wajahnya yang merah padam dilihat Weda.
"Kamu mau cuci handuknya? Dari tadi ndak selesai-selesai. Aku bisa masuk angin."
Decakan halus terlontar dari mulut Galoeh. Kenapa Galoeh jadi salah tingkah? Selama ini ia memang tak pernah sedekat itu dengan laki-laki. Apalagi didikan para suster Fransiskan agar menjaga jarak dengan laki-laki selalu terngiang di kepala.
"Saya seka punggungnya dulu." Galoeh segera mencari jalan aman. Begitu Weda memutar badan, ia duduk di belakang Weda untuk mengusap punggung berotot liat. Suasana seketika menjadi sunyi. Hanya detak jarum jam yang berdetik saja yang menguasai keheningan ruangan tiga kali tiga itu.
"Loeh, habis ini sudah. Tolong panggilkan Romo," kata Weda memecah sunyi.
"Tapi belum selesai, Mas." Galoeh berdiri untuk membasahi lagi handuknya.
"Tapi ...."
Galoeh lalu kembali berjongkok dan menarik kaki Weda.
"Loeh kamu sedang apa?" Weda menarik kakinya kembali.
"Mau seka kaki Mas Weda ...."
Weda menepuk dahinya. "Kamu ... mau seka kakiku?"
"Iya. Kena-" Ucapan Galoeh terputus melihat tangan Weda mencengkeram sarung yang ia kenakan di bagian bawah perut. Seketika tubuh Galoeh membeku. Kenapa ia tak berpikir ke sana? Bagaimana bisa ia mengelus kaki yang pangkalnya berujung ke bagian pribadi laki-laki yang punya kekasih?
"Ma-maaf. Saya panggilkan Romo." Buru-buru Galoeh bangkit dan bergegas keluar. Setibanya di luar kamar, ia akhirnya bisa bernapas lega seolah terbebas dari kamar kedap udara yang menyesakkan tubuh. Tanpa sadar, Galoeh menyeka wajah berpeluh tipis dengan kain basah yang masih ia pegang. Begitu mengetahui ia mengelap memakai handuk yang baru saja digunakan untuk mengelap tubuh Weda, kuduknya seketika berdiri. Otaknya berkelana membayangkan hal-hal yang ia baca dalam buku cerita dewasa.
Gusti, kenapa ini otakku? Sepertinya perlu disapu supaya ndak mikir ngeres.
💕Dee_ane💕
Deers, di sini hujan ... gimana tempat kalian?
Sehat-sehat yak.
Jangan lupa jejak cintanya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top