50. Reuni
Sementara itu, kesibukan Galoeh menjalani hari baru selama satu purnama mampu menyisihkan pikiran wanita itu tentang Weda. Kini tak ada romantisme yang ada di pikiran Galoeh. Ia sendirian, dan ia harus bisa menjaga diri. Bertepatan satu bulan berlalu, Pandji datang ke Sawit setelah menerima kabar dari Laksita.
“Gal—”
Galoeh mengerucutkan bibir dengan menempelkan telunjuknya. “Aku saiki (sekarang) Galih, Mas.”
Pandji terperangah, menatap Daru yang hanya mengangkat bahu. “Jangan salahkan aku! Dia yang minta sendiri.”
“Mas, kalau Mas Raka tahu adiknya jadi ….” Pandji berdecak melempar topinya di atas meja. “Parto tahu?”
“Ndak ada yang tahu. Kecuali aku! Tenang wae.” Daru menyeruput gelas kopinya.
“Parto mana?”
“Dia ke daerah Pengging. Kempetai mau mengambil hasil panenan. Dia mau ambil berasnya.” Daru meletakkan gelas belimbing itu.
Pandji menatap nanar Galoeh yang kini duduk dengan mengangkat kaki di dingklik panjang layaknya laki-laki. “Kenapa kemarin kamu lari? Nyusahke wae! Itu Weda masih mumet nya … arrggh!” Pandji mengerang ketika Galoeh mendepak kakinya.
“Ndak usah nyebut Weda lagi! Galoeh sudah mati. Dan Galih sekarang hidup lagi!” Galoeh menjawab nyalang dengan nada kasar. Tak ada lagi kesan manja dan lembut di wajahmya.
Namun, pembicaraan mereka terjeda ketika seseorang mengantar Parto dalam keadaan bersimbah darah. Ketiga orang di situ bergegas bangkit dan ikut membantu membaringkan Parto di dipan beralas tikar anyaman pandan.
“Ndji, coba kamu cari mantri! Parto harus segera ditolong!” Daru melihat luka yang ditutupi tangan oleh Parto.
Tanpa pikir panjang, Pandji segera memelesat keluar untuk mencari mantri. Sementara itu, Galoeh hanya bisa tertegun melihat Parto yang mengerang kesakitan.
“Kamu masih mau ikut pergerakan?” tanya Daru menghampiri Galoeh yang tubuhnya menegang.
Susah payah Galoeh menelan ludahnya. Ini kali pertama ia melihat luka tembak seperti itu. Dulu luka Daru tak separah itu. Darah yang mengucur deras itu membuat Galoeh mual. Pandangannya berkunang dan ia memilih keluar untuk menguras isi lambungnya.
Saat Galoeh sudah tenang, ia mendapati gadis yang ia kenal sedang melakukan tindakan pada Parto. Ia menghampiri Pandji dan berbisik, “Itu Mbak Dayu?”
Pandji mengangguk, sementara matanya masih tertuju pada gerakan tangan dokter lulusan baru itu.
“Bukannya dia di Soerabaja?” Galoeh mengernyit heran.
“Suaminya membawanya ke sini. Sepertinya keberadaannya bisa dilacak intel Kempetai.” Kali ini Daru yang menjawab.
“Loeh, setelah ini aku harus membawamu ke Mas Raka. Dia pasti akan memarahiku karena sudah …” Pandji berdecak melirik sengit Daru. “berubah.”
Tebakan Pandji tentang reaksi Raka nyatanya terbukti. Ketika mereka tiba di hutan dari daerah Oengaran, Raka membeliak melihat Galoeh yang bertransformasi menjadi Galih.
“Pandji, iki kok … kamu ….” Raka tak bisa merangkai kata. Penampakan Galoeh memang seperti Galih remaja.
“Mas Raka ….” Galoeh menghambur memeluk Raka yang kebingungan. “Ini aku … Galoeh,” bisiknya.
“Lha … kenapa kok pakai baju lanang?” tanya Raka belum membalas pelukan sepupunya.
“Ya, buat nyamar. Dia dibawa Mas Daru ke tempat Parto. Malah diajari macem-macem sama dia.” Pandji terlihat segan dengan Raka yang hanya lulusan CORO karena bagaimanapun Raka yang memimpin pergerakan mereka di daerah itu.
“Daru iki, ngrusak adiknya orang saja!” Raka barulah membalas pelukan Galoeh yang masih menggelendot manja sehingga menarik perhatian anak buahnya karena memeluk laki-laki. Raka lalu melerai pelukannya. “Pandji, antar adikku ke Mertojoedan. Titipkan ke tempat Simboknya Sarjoe.”
“Mas, aku mau sama Mas.” Galoeh merengek.
“Loeh, pertempuran kita bukan mainan!” ujar Raka kesal.
Galoeh mencebik kesal. “Kalau Mas bisa, kenapa aku ndak bisa?”
“Bahaya! Aku ndak mau kamu kenapa-napa? Kamu ditangkap saja aku sudah jantungan.” Raka geregetan dengan adiknya.
“Aku tahu, Mas. Tapi aku sudah siap. Apapun risikonya,” kata Galoeh mantap.
“Baik. Kamu boleh ikut, tapi hanya sebatas ikut di Magelang!” ujar Raka. “Kamu hanya boleh menjadi petugas kesehatan dan ndak boleh angkat senjata. Ngerti?”
Tentu saja Galoeh menyambut tawaran Raka. Setelah semalam di Oengaran, ia lalu diantar salah seorang anak buahnya yang lain ke Magelang, karena Pandji harus bergegas kembali.
Di tempat ini, Galoeh melaksanakan titah Raka. Setiap ada gerilya untuk mengacau tentara Jepang yang berjaga, ia akan berjaga di markas, memberi pertolongan pertama bila ada yang terluka. Semua ini memang ia lakukan untuk mengusir kesedihannya kehilangan semua orang yang ia cintai. Termasuk janin yang tak pernah ia sadari pernah bersemayam di rahimnya.
Tak terasa dua minggu ia di sini, di salah satu rumah joglo sederhana. Subuh tadi Raka datang untuk menengoknya. Setelah membantu Mbok Peni memasak, ia lalu mandi. Di dalam bilik kecil itu Galoeh duduk di depan meja, menyisir rambut pendeknya. Ia menatap bayangan diri yang dadanya terkuak setelah ia melepas kemben jariknya. Jaringan parut yang menjadi jejak keberingasan deraan Dai Nippon tertoreh jelas di dada, bahu, dan perutnya. Ia tak pernah menyangka akan tetap hidup sampai detik ini.
Otaknya kembali mengingat kembali serpihan memori yang sering kali mengganggu malam-malamnya. Dia sering terbangun saat ia bermimpi tentara-tentara itu kembali menderanya. Bahkan suara tangis bayi sejak ia keguguran sering kali memenuhi kepala Galoeh, hingga membuatnya terjaga dan tergugu di malam-malam sepi. Hidup Galoeh benar-benar terempas di titik nadir. Namun, Galoeh harus kuat. Ia harus bertahan. Ia harus menyaksikan Nippon yang membuat hidupnya jungkir balik menerima karmanya dan hengkang dari bumi ini.
“Ndoro, ayo makan dulu kalau sudah mandi.” Suara Mbok Peni membuyarkan lamunannya. Galoeh lalu bangkit dan mengenakan kemeja milik Galih yang diambilkan Mbok Peni dari rumahnya.
Aroma teh melati yang menenangkan menguar di seluruh ruangan, begitu Galoeh keluar kamar. Ia lalu duduk di depan perempuan gempal yang menjadi abdi keluarganya, menatapnya sayu.
“Ndoro harus makan banyak. Ndoro semakin terlihat kurus.” Mbok Peni tak memedulikan raut datar ndoronya yang terlihat datar. “Simbok khawatir sekali.”
“Ndak udah khawatir, Mbok,” sahut Galoeh dengan suara yang dibuat berat karena terbiasa saat dia hidup menjadi laki-laki bersama Daru.
“Loeh,” Raka mengembuskan napas panjang. “suaramu … biasa saja kenapa?”
Galoeh menunduk. Tangannya yang menumpu di atas paha mengepal erat. “Udah terlanjur terbiasa, Mas,” kata Galoeh lirih dengan bergetar.
Raka tak bisa lagi melarang karena Mbok Peni menepuk lengannya pelan. “Loeh, di zaman perang seperti ini, semua bisa terjadi,” sahut Raka kemudian. “Seperti kamu yang tiba-tiba menjadi istri Weda. Atau kamu yang memilih berkorban demi aku. Dan, di saat batang hidungmu ndak muncul, ndak usah heran kalau Weda berpindah ke Harti. Lagipula selama kamu ndak ada, Harti memang mengurus Weda dengan baik kata Laksita.”
“Mas Raka mau ngomong apa? Terus terang saja.”
“Soal Weda … sebaiknya kamu lupakan dia.”
Wajah Galoeh menegang dengan rahang kurus yang mengatup erat.
“Sudah, sudah. Ayo, makan.” Mbok Peni menyodorkan piring blek berisi nasi tiwul hangat, menjeda percakapan itu.
Untungnya kepulan uap nasi hangat dan belut goreng mampu menstimulasi kelenjar ludah Galoeh sehingga mengalihkan perhatian gadis itu dari perbincangan yang berusaha ia hindari.
“Mas, aku ingin ikut Mas berjuang,” kata Galoeh sambil melahap nasi tiwul dan belut yang rasanya sedikit bisa melenyapkan pahitnya hidup.
“Ndak usah. Perjuangan sekarang lebih berat dan berbahaya. Mas dan teman-teman harus mengawal persiapan kemerdekaan yang dijanjikan Jepang, Loeh. Kamu cukup berjaga di sini saja,” timpal Raka sambil mengunyah makanannya.
“Apa kita akan merdeka, Mas?” tanya Galoeh yang tak mengikuti informasi terkini karena ia terlalu disibukkan dengan latihan fisik seperti saat dia bergabung dengan kelompok Daru.
“Yang aku dengar di radio, Jepang membentuk badan untuk mempersiapkan kemerdekaan. Tapi sepertinya mereka hanya ingin menarik simpati rakyat mengingat tanggal 21 kemarin di Cilacap ada pemberontakan lagi,” terang Raka. “Semoga kita benar-benar bisa merdeka, sehingga kamu bisa sekolah lagi.”
Seketika Galoeh tersedak. Selama ini ia tak pernah berpikir lagi untuk bersekolah. Apakah cita-citanya yang terpendam ini mungkin terjadi mengingat sekarang ia sudah dianggap mati?
***
Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika terjadi kekosongan pemerintahan akibat pengeboman Sekutu di dua wilayah Jepang—Hiroshima dan Nagasaki—akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Gegap gempita kemerdekaan juga dirasakan di desa Martojoedan, tempat Galoeh tinggal beberapa bulan ini. Walau telah terlewati beberapa hari, semangat kemerdekaan terus membara dan tak pernah lekang. Namun, kemerdekaan bagi Galoeh, tak mengubah hidupnya. Ia tetap harus merelakan mimpinya menjadi dokter, karena Jepang masih tidak mau pergi dari muka bumi Indonesia.
Saat Galoeh membantu Mbok Peni menjemur gabah, Raka datang bersama seorang laki-laki yang berjalan di belakangnya. Seketika Galoeh meletakkan garukan padi dari kayu begitu saja dan berlari menyongsong kakak sepupunya.
Galoeh memeluk Raka dengan erat. “Mas Raka kenapa lama ndak datang?” Bibir Galoeh memberengut kesal.
“Kehamilan Keinan makin besar dan mendekati kelahiran. Trus ini malah ada kejutan.” Raka merangkul adiknya dan bergegas menuju rumah Mbok Peni.
“Kejutan apa?” tanya Galoeh antusias.
“Dew, sini!” seru Raka. Galoeh mengernyit, menatap lelaki yang berjalan santai ke arah mereka. “Ini Dewa. Tunangan Keinan yang menghilang.”
Galoeh mengerjap. Rahangnya membuka lebar. “Yang betul? Ini Mas Dewa?” Mata Galoeh menyipit, menatap wajah yang terlihat sangat kurus dengan rambut berombak sebahu.
“Halo, Loeh.” Dewa mengacak rambut pendek Galoeh.
Mereka akhirnya duduk di ruangan depan rumah, ditemani Galoeh yang menuangkan air kendi ke dalam gelas dan mengulurkannya pada masing-masing pemuda itu. Setelah meneguk air hingga tandas, Raka kembali membuka suara. “Keinan lahiran. Anaknya laki-laki.”
Galoeh tersenyum lebar, dengan mata berbinar. “Sudah diberi nama?”
“Yoshi. Keinaryoshi. Artinya dibuat dengan cinta.”
Galoeh mengernyit. Heran.
“Nama yang aneh kan?” cibir Dewa sambil mengusap bibirnya yang basah.
Galoeh manggut-manggut. Urusan nama saja bisa sedemikian ribet. Seandainya janin Galeh bisa bertahan, pasti dia juga akan memikirkan nama untuk anaknya. Namun, Keinan mendengkus. Hamil? Setelah keguguran dan peluru menyasar ke indung telur kanannya, apakah ia bisa dibuahi hanya mengandalkan satu indung telur? Galoeh sekarang termangu menatap Dewa. Bagaimana perasaan Dewa ketika melihat Keinan berbadan dua dengan orang yang menembaknya?
“Loeh, lihatnya jangan begitu.” Dewa menyeletuk. “Aku baik-baik saja.”
“Apanya yang baik-baik saja? Dia beberapa hari ndak ngajak ngomong aku.” Raka berdecak, melirik Dewa.
“Setidaknya kejengkelanku terurai karena Keita Sato sudah terkubur di Iwojima.” Dewa terkekeh dengan senyuman miring yang tampak jahat.
Punggung Galoeh kini bersandar dengan lemah membayangkan posisi Keinan. Mungkin Weda pun begitu. Menganggap Galoeh mati dan berakhir kembali pada Harti. Dan kini nasibnya seperti Dewa yang hanya bisa gigit jari.
“Oh, ya, Loeh, sebaiknya kamu ndak usah mikir Weda. Lagipula Mbak Laksita cerita kalau Weda semakin dekat dengan Harti. Teman-temannya menyuruh Weda melupakan kamu.” Raka menatap Galoeh yang rambutnya semakin panjang.
Galoeh tersenyum miris. “Aku paham kok, Mas. Mas Weda pasti sudah bahagia sama Mbak Harti.”
“Oh, ya, awal September nanti kita akan ke Sala untuk membantu perencanaan negosiasi pengambilan senjata-senjata di markas Nippon.”
“Kita? Aku ikut?”
“Iyalah. Nanti kamu dibantu Dewa untuk menyiapkan anak-anak di sini siapa yang bisa ikut ke Sala karena Adi akan ikut aku ke Semarang,” kata Raka.
Galoeh menggigit bibir. Tak dimungkiri kota Sala adalah kota yang ingin ia hindari untuk dikunjungi. Walau sebenarnya ia sangat merindukan Weda, di sisi lain ia takut merusak kembali hidup laki-laki itu. Bagaimana bila Weda sudah bahagia bersama Harti dan tiba-tiba Galoeh muncul kembali seperti Dewa?
💕Dee_ane💕
Hulla, Asmaraloka datang lagi. Btw, aku lagi ide buat bikin hisfic baru. Masih memikirkan bakal bikin dengan era yang mana karena selama ini kebanyakan ceritaku era PD II. Kalau kalian sebagai pencinta hisfic, lebih suka era apa? Eh, bahkan ada yang request bikin ceritanya Raka atau Daru sebagai ML cerita.
Oh, ya, di KK udah tamat yak. Yang baca di sini, kaya biasanya kasih taburan bintangnya dan jejaknya. Makasih, Deers🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top