5. Merasa Bersalah
Galoeh duduk di tepi sumur sambil menatap baju seragam Weda yang sengaja direndam Mbok Mi. Saat melihat noda merah yang tertoreh di kain kemeja putih, hatinya bergetar karena tak menyangka ada orang lain yang rela membelanya sampai babak belur. Ia tak pernah mengenal Weda dengan cukup dekat, tapi laki-laki itu bahkan rela menjadi tamengnya.
Galoeh menggeleng. Bagaimana bisa ia berpikiran terlalu jauh? Weda melakukannya demi menutupi kebohongan Ibu Lastri. Jelas tak mungkin ia memasang badan untuk perempuan yang hanya berstatus sebagai sahabat sang adik saat laki-laki itu mempunyai kekasih.
"Ndoro Ayu, biar saya cuci bajunya Ndoro Bagus. Ndoro istirahat saja." Suara Mbok Mi memecah lamunan Galoeh. Wanita berkebaya lusuh itu menghampiri Galoeh yang sedang duduk di dingklik kayu.
"Biar saya saja, Mbok." Galoeh meringis dengan mata menyipit menahan silau sinar matahari yang begitu terik siang itu. Pantas saja di beberapa tempat ada kekeringan dan gagal panen karena sepertinya matahari yang dipuja orang Jepang itu seolah ingin membakar bumi ini.
"Ya sudah, biar saya bantu. Saya ambilkan air saja." Mbok Mi mengambil jalan tengah dan berdiri di tepi sumur. Ia mengambil tali timba lalu menurunkan ember ke dasar sumur yang airnya sedikit mengering di bulan Agustus tahun 1944.
"Mbok, Mbak Harti tadi itu memangnya kekasihnya Mas Weda?" Galoeh membuka percakapan. Suaranya berlomba dengan derik katrol yang bekerja mengangkat ember seng yang berisi air.
"Sepertinya begitu. Mereka sudah dua tahun ini menjalin hubungan. Tapi setahu saya, Ndoro Ayu ndak setuju," terang Mbok Mi. "Ndoro Bagus itu memang agak kaku kalau sama perempuan. Cuma Ndoro Harti saja yang bisa nyrateni (memahami)."
Galoeh mengerucutkan bibir sambil mencerna cerita Mbok Mi. Ternyata Weda sudah punya kekasih dan kedatangannya ke simi sudah membuat kehidupan Weda ikut berantakan. Dengan digelanyuti rasa bersalah, Galoeh lalu mengambil kemeja putih yang dipenuhi jejak sepatu. Ia yakin, selama diinterogasi Weda pasti ditendang dan diinjak-injak. Belum lagi noda darah yang tertoreh di kemejanya. Galoeh mengambil sabun berbentuk krim dan mengoleskannya pada noda lalu menguceknya sekuat tenaga, karena ingin menghilangkan noda itu untuk membasuh rasa bersalah di dirinya. Setidaknya, hanya ini yang bisa lakukan untuk membalas budi Weda. Berkat Weda, Galoeh tak perlu mengalami mimpi buruk disiksa, dihukum, atau bahkan digiring ke rumah bordil. Dan sepertinya Galoeh harus membalas dengan cara lain agar hubungan cinta Weda tidak perlu kandas.
"Galoeh! Sini sebentar!" Ibu Lastri berseru dari serambi gandok kiri selepas Galoeh membilas pakaian.
Galoeh bangkit, setelah memasrahkan cuciannya untuk dijemur. Ia lalu berjalan sambil mengelap tangannya yang basah dengan kain gaunnya menghampiri Ibu Lastri. Di samping ibu Weda ada seorang perempuan dengan rambut sebahu yang dikepang satu yang ia lihat di kamar Weda.
"Ini kenalkan. Soeharti." Ibu Lastri mengenalkan gadis sawo matang itu. Kulit eksotisnya tampak berkilau diterpa mentari tropis. Pantas saja Weda menyukai Harti, mengingat Harti terlihat manis dan lembut.
"Galoehasri." Galoeh mengulurkan tangannya sembari tersenyum canggung.
"Ini teman Tika. Calon istri Weda." Ibu Lastri menimpali.
"Ibu!" Wajah Galoeh memerah. Ia tak terbiasa mempunyai status istri' seseorang. Apalagi Ibu Lastri seolah sengaja mengatakannya di depan Harti. Terang saja, wajah Harti seketika mendung walau dicoba ditutupi dengan senyum. "Mbak, maaf. Bukan maksud saya-"
"Saya tahu, Dik Galoeh terpaksa jadi istri Mas Weda secara hukum," sambung Harti.
Tenggorokan Galoeh tercekat. Ia memang tak punya pilihan karena saat itu ia sendiri harus menutup kebohongan Ibu Lastri.
"Cuma ndak nyangka saja Mas Weda mak bendunduk mau punya istri," lanjut Harti dengan sorot mata kecewa yang membuat Galoeh merasa tak nyaman seolah merebut Weda. Sekilas, ia memdapati mata gadis yang terlihat matang itu berkaca-kaca.
"Mbak, saya-"
"Nduk ...." Ibu Lastri menengahi, sambil merangkul Galoeh.
"Bu, kemarin itu kan hanya cara Ibu supaya melindungi saya. Ndak mungkinlah saya sama Mas Weda. Lha wong Mas Weda cinta sama Mbak Harti." Galoeh semakin merasa bersalah. Apalagi melihat sikap Ibu Lastri yang terlihat memanfaatkan peristiwa tak terduga ini. "Mbak tenang saja, saya ini cuma istri-istrinan kok." Kini Galoeh tercekik rasa bersalah.
"Jangan bilang begitu, Nduk. Ibu berharap kamu tetap menjadi istri Weda supaya kami bisa melindungi kamu. Ibu berhutang budi sama romomu, jadi ndak mungkin Ibu membiarkan kamu sengsara." Ibu Lastri menarik tangan Galoeh dan mengelus punggung tangannya.
"Bu, Ibu juga harus pikirkan perasaan Mas Weda. Apa yang dialami Mas Weda sudah lebih dari cukup." Galoeh tersenyum. "Saya ndak pengin menjebak Mas Weda dalam kebohongan yang Ibu buat."
"Ya sudah. Bicaranya nanti saja." Ibu Lastri tampak gusar dan berlalu begitu saja meninggalkan Galoeh dan Harti seorang diri.
Akhirnya Harti dan Galoeh duduk di serambi gandok sambil menatap taman yang ada di depan mereka. Masing-masing merasakan perasaan tak nyaman karena peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah keheningan yang menyergap, Galoeh yang duduk di sebelah Harti memutar badan menghadap gadis yang lebih tua lima tahun itu.
"Mbakyu, maaf. Gara-gara saya, kalian ..." Galoeh menggigit bibir.
"Sudah jangan dipikirkan." Harti terkekeh dengan mata memerah. Buru-buru ia menyeka matanya agar tak menitikkan air mata. "Mas Weda itu .... " Harti mengesah. "Dia juga ndak bisa berbuat apa-apa. Seperti kata Bulik Lastri tadi, dia ingin menyelamatkan kamu dan keluarga ini."
"Tapi, saya yang ndak mau kalau harus menikah Mbak," sanggah Galoeh.
"Kalaupun ndak ada peristiwa ini, saya yakin Ibu pasti akan berusaha menjodohkan kalian."
"Ndak, Mbak!" Galoeh menggeleng. "Kok bisa Mbak ngomong begitu?"
"Mas Weda pernah bercerita, kalau Ibu menyukai putri kepala desa Mertojoedan, sahabat Tika. Jelas ibunya Mas Weda pasti senang ada kejadian ini."
Galoeh tak bisa menampik. la ingat waktu itu Romo Danoe pernah melamarnya. Tapi waktu itu Galoeh menolaknya.
"Bulik Lastri selalu memaksakan kehendaknya kepada putra-putrinya. Mungkin hanya Mas Weda yang berani menentang karena ia ndak mau disetir ibunya dan mau memilih jodohnya sendiri," kata Harti sendu. "Umurku juga sudah dua puluh lima. Tahun ini orang tuaku memaksaku menikah. Kalau kalian mencatatkan pernikahan, jelas nasibku yang akan tersingkir."
***
Galoeh tak pernah berpikir kalau keputusannya datang ke sini akan mematahkan hati seorang perempuan. Memang betul, di zaman ini, usia dua puluh lima sudah dianggap terlalu matang bagi seorang perempuan untuk menikah. Padahal Harti juga terbilang ayu dengan kulit cokelat lembabnya. Tuturnya lembut dan suaranya enak didengar. Bertolak belakang dengan suara cempreng Galoeh yang suka tertawa keras. Dan, jangan lupakan sikap santun dan halus yang menonjolkan darah biru yang mengalir di tubuhnya, sangat serasi bersanding dengan Weda. Galoeh berpikir, pasti Harti menanti Weda untuk mendapatkan restu sang ibu sehingga sampai sekarang masih belum menikah.
Mengingat pelukan Weda tadi, Galoeh harus tahu diri untuk tidak menyusahkan keduanya. Otaknya pun segera mencari cara lain agar pencatatan pernikahan itu tak perlu dilakukan sambil memandang kosong sosok Harti yang duduk di sepeda yang menggelinding di atas tanah berdebu
Melihat Galoeh yang berdiri mematung di depan pintu dengan wajah masam, Tika menghampirinya. "Ada apa, Loeh?" tanya Tika sambil mengurut arah pandangan Galoeh.
Galoeh menggeleng dengan senyum canggung. "Aku kudu piye? (Aku harus bagaimana)?" Sepertinya sudah menjadi kebiasan Galoeh menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Piye kenapa?" tanya Tika lagi.
Galoeh menarik Kartika duduk di kursi ruang tamu. "Tik ..." Galoeh menggigit bibir sejenak. "aku ndak bisa kalau harus jadi istri masmu. Apalagi ini dicatatkan sah secara hukum."
"Karena Mbak Harti?"
"Masmu sayang tenan sama Mbak Harti. Tadi aku lihat mereka pelukan."
Tika tergelak keras yang justru membuat Galoeh gusar. "Tik, aku ngomong serius!"
Tika mengangguk, dan setelah menghela napas panjang, ia berkata, "Loeh, dengar, mereka ndak akan jadi, karena Ibu ndak akan menyetujui," sahut Tika.
"Walau mereka ndak disetujui, tapi mereka saling cinta. Aku ndak mau ngrusak hidup masmu."
"Tapi semua sudah terjadi, Loeh. Kamu ke sini ... ketidak terus teranganmu sudah menjebak keluarga ini."
"Tika, kamu kok ngomong begitu?"
"Maaf. Tapi aku sedikit kecewa karena kamu ndak cerita sama aku." Tika mendengkus lalu memalingkan wajahnya sejenak ke arah pintu depan yang memperlihatkan halaman luas berumput. "Loeh, memang apa salahnya menikah sama Mas Weda? Dia juga terpaksa demi melindungimu." Tika menarik tangan Galoeh dan menepuknya seolah ingin menghilangkan kegelisahan Galoeh. "Nasi sudah jadi bubur. Jadi mau tidak mau kita harus makan bubur itu bukan?"
Galoeh mengembuskan napas kasar. Sekali lagi ia menyesali keputusannya. Seandainya ia tidak ke sini, pasti keluarga ini bisa terbebas dari tudingan berhubungan dengan pemberontak. Kini ia merasa menjebak Weda dalam pernikahan di atas kertas.
***
Menjelang makan malam, Galoeh membantu Mbok Mi dan Tika untuk menyiapkan makanan di meja. Menu hari ini tak banyak berubah : nasi jagung dengan ikan asin dan sayur urap. Sebenarnya Galoeh tak terlalu terbiasa makan olahan jagung parut untuk menggantikan beras. Karena hanya itu satu-satunya pilihan, maka Galoeh pun harus mengisi perutnya dengan apa yang bisa dimakan.
Saat ia membawa satu bakul nasi jagung yang masih mengepulkan uap dari pawon, Weda sudah duduk di kursi yang mengelilingi meja makan panjang yang terbuat dari kayu jati. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi buru-buru Galoeh memalingkan wajahnya, menghindari pandangan tajam laki-laki itu.
"Sudah enak badannya, Mas?" tanya Ibu Lastri.
"Sudah, Bu. Habis makan saya ingin dibasuh badannya. Gerah," kata Weda sambil duduk di salah satu kursi di sebelah tempat ia biasa duduk.
"Iya. Nanti biar Ibu basuh." Ibu Lastri lalu memanggil Mbok Mi, meminta abdinya memasakkan air untuk membasuh badan Weda sehabis makan.
Seperti kebiasaan sebelumnya, Romo Danoe sebagai kepala keluarga dipersilakan mengambil makan terlebih dahulu. Begitu Romo Danoe selesai, Ibu Lastri yang duduk di seberang depan Weda menggeser bakul bambu ke depan sang putra.
Weda bergeming, tak menggerakkan tangannya untuk mengambil nasi. Sepertinya laki-laki itu sengaja menunggu seseorang untuk membantunya menyendokkan nasi. Sementara itu, Tika yang ada di depan Galoeh lalu menyepak kaki sahabat. "Loeh, ambilkan nasinya buat masku!"
Buru-buru Galoeh berdiri dan mengambilkan nasi ke dalam piring Weda. Entah kenapa, wajahnya terasa sangat panas. Tiga pasang mata sibuk mengamati gerak-geriknya. Apalagi Weda yang berada hanya sehasta darinya menatapnya begitu lekat hingga membuat peluh Galoeh merembes keluar dari pori. Sungguh, Galoeh tak terbiasa berada dalam jarak sedekat ini dengan laki-laki yang bukan romo dan kangmasnya.
"Ini cukup, Mas?" tanya Galoeh setelah menyendokkan dua entong nasi jagung.
Weda mendengkus. "Itu nylilit, Loeh. Mana kenyang?"
"Mas, tinggal bilang kurang saja kenapa?" celetuk Ibu Lastri.
Galoeh menambahkan satu entong nasi lagi sambil melirik Weda. "Segini?"
Weda berdeham sambil mengangguk.
"Nduk, sing sabar sama Weda, ya? Dia itu sratenane angel (susah ngurusnya). Dulu kalau ada bukunya yang terlipat, dia pasti marahi temannya. Ndak peduli siapa orangnya, mau Eropa, Tionghoa, Arab, atau bangsawan, bisa diajak berkelahi," kisah Ibu Lastri. "Weda ini juga ndak suka kalau miliknya diambil dan dirusak."
"Bu! Mboten sah (Ndak perlu) bicara macem-macem," sergah Weda.
"Tapi masku ini baik kok. Cuma yo seperti anak kecil kalo kecenthok sesuatu yang ndak pas di hati. Ngrajuknya awet macam ikan asin," tambah Tika sambil menyendok bayam rebus dan kecambah dengan sambal kelapa berempah.
Galoeh melirik Weda yang memelototi adiknya. Melihat interaksi kakak beradik itu, Galoeh menjadi rindu dengan Galih, kakaknya.
"Galoeh, kamu sudah dinyatakan ndak bersalah. Tapi kamu ndak bisa sekolah lagi di Ika Daigaku. Jadi, sebaiknya kamu ikut ngajar sama Tika. Bagaimana?" tanya Romo Danoe membuka topik makan malam kali ini saat Galoeh sudah selesai mengambilkan Weda makanan.
"Biar di rumah saja to, Mo? Ibu kuatir," sela Ibu Lastri.
"Sik to, Bu. Romo nanya Galoeh, kenapa Ibu yang jawab?" Romo menyahut.
Ibu Lastri bungkam dengan mulut mengerucut, menahan gusar.
"Nduk, Galoeh, piye rencanamu?"
Suara berat itu membuat dentum di dada Galoeh. Ia mengerling ke arah laki-laki berkumis tipis yang masih fit badannya walau sudah berusia setengah abad. Susah payah Galoeh menelan ludah sendiri, memikirkan jawaban pertanyaan Romo Danoe. Namun, otaknya buntu. Ia bingung apa yang harus ia lakukan ke depannya.
Galoeh kemudian menghela napas panjang. Ia mendapat ilham untuk menghindari pencatatan pernikahan. "Saya mau mengambil jasad Romo dan Ibu serta para abdi, Mo. Trus pulang ke Mertojoedan."
Empat orang yang ada di situ saling pandang. "Eksekusinya rahasia, Loeh. Kita ndak tahu tempatnya," kata Romo Danoe. "Sebelum kamu memikirkan itu, Romo sudah mencari tahu. Jadi, sebaiknya kamu jangan ke mana-mana."
"Tapi setidaknya saya bisa mencari tahu di mana Romo dikuburkan." Galoeh bersikukuh.
"Selama ini yang aku tahu, romomu ini orang yang diincar pemerintah Dai Nippon karena terkenal sebagai orang yang berani menentang kebijakan pemerintah. Namun karena kepedulian tinggi terhadap orang yang membutuhkan, beliau sangat dicintai rakyat dan teman-temannya, sehingga menjadi pertimbangan eksekusi itu dilakukan secara rahasia dan tertutup," terang Weda.
"Betul, supaya ndak ada yang menggagalkan," imbuh Romo Danoe.
Rahang Galoeh mengerat. Ia meremas kain gaunnya untuk meredam gejolak nyeri yang melanda batinnya.
"Sudah, ndak usah bahas itu lagi. Bagaimana kalau kita bahas pernikahan Weda dan Galoeh saja?" Ibu Lastri menatap semua orang yang mengelilingi meja makan bergantian.
“Oh, ya … masalah pernikahan, sebaiknya kalian segera urus untuk pencatatannya. Kalau sudah berarti kalian nanti resmi jadi suami istri.” Romo Danoe mengusap bibirnya dengan kain di samping piringnya. "Lagipula kamu sudah jadi Cudanco, Mas, jadi sudah boleh menikah. Ndak ada alasan buat mangkir seolah kalian pengin nikah diam-diam.”
Galoeh menelan ludah kasar sambil menundukkan kepala. Ia sama sekali tak pernah menduga akan menikah dengan cara seperti ini. Lalu apa yang akan terjadi pada hidupnya ke depannya?
💕Dee_ane💕
Hallo, Deers, makasih udah ngikutin cerita ini. Tolong kasih komen dan jejaknya dunk biar cerita ini ndak tenggelam😁 Selamat membaca😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top