49. Lenyapnya Galoeh

Galoeh memutuskan untuk pergi ke tempat Laksita. Di sana ia akan meminta Laksita untuk memberi kabar kepada Raka melalui Pandji atau siapapun, agar Raka menjemputnya. Dalam keadaan waspada, ia berjalan menyusuri jalanan dengan langkah cepat. 

Langit mendung di bulan Maret seolah paham dengan isi hatinya yang ikut mendung. Melihat Harti yang tersenyum manis saat menyambut Weda pulang, hati Galoeh terasa nyeri. Apakah Weda sama dengan Keinan yang akhirnya berpindah hati? 

Untuk ke sekian kali, Galoeh menyeka pipinya dan berlari menuju ke tempat Laksita tinggal. Seharusnya Galoeh bahagia. Bukankah artinya Weda telah melanjutkan hidup tanpanya. Sepertinya ketiadaannya beberapa waktu ini, telah berhasil mengembalikan keadaan seperti semula. Seperti saat ia belum datang di kehidupan Weda.

Tak lama kemudian, Galoeh tiba di depan rumah anyaman bambu yang masih tegak berdiri sama seperti waktu Galoeh berlari meninggalkan Raka saat menjemputnya. Ia lantas bergegas ke belakang dan mengetuk pintu pawon yang tertutup.

“Siapa?”

“Aku. Galoeh.” Bola mata Galoeh bergulir ke kanan kiri memastikan tak ada yang melihatnya di sana.

Derik pintu terbuka sedikit menguak perempuan dengan kebaya dan rambut yang digelung. “Mbak Galoeh?” Mata Laksita membulat. Janda muda itu segera melebarkan pintu dan sebelum menutupnya, ia memastikan tak ada siapapun yang memantau mereka.

“Gusti! Njenengan selamat to?” Laksita memeluk Galoeh erat. Kedua wanita itu sama-sama tergugu.

Setelah puas berpelukan, Galoeh melerai pelukan mereka. “Mbak, saya minta tolong. Kabari Mas Raka. Suruh dia jemput saya.”

Laksita menggeleng. “Raka sekarang sembunyi. Butuh waktu untuk menghubunginya.” Ia menggigit kuku jempolnya sambil mengernyit. “Kamu sebaiknya balik ke rumah saja. Dokter Weda cari kamu.”

Galoeh menggeleng. “Saya ndak bisa! Saya ndak mau membahayakan Mas Weda dan keluarganya.”

Laksita mengembuskan napas. 

“Biar Galoeh sama aku saja, Mbak. Sementara menunggu Raka menjemput.”

Daru keluar dari ambang pintu rumah utama menuju pawon. Mendengar suara Daru, Galoeh berlari memeluknya, seolah ia bertemu teman lama. 

“Maaf ya, Loeh. Kamu jadi ndak bisa tinggal di rumah Keluarga Yu,” kata Daru.

“Ndak pa-pa, Mas. Mas Daru juga mau melindungi Mbak Dayu.” Galoeh menghapus basah di pipinya.

“Kalau seperti ini kamu mirip laki-laki remaja.” Daru mencubit hidung Galoeh. “Dadamu di mana?”

Galoeh mencubit lengan Daru. “Mas Daru ini loh!” 

Memang Galoeh sengaja membebat dadanya yang menyusut karena lemaknya terkikis sejak ia terluka agar bisa mengelabui Kempetai.

“Ya sudah. Sekalian saja kita berangkat.” Daru mencangklong tas pandannya dan memakai capingnya. 

Tanpa banyak tanya, Galoeh mengikuti Daru dari belakang. Luka di kaki Daru belum sembuh benar sehingga jalannya masih pincang. Dengan menggunakan sepeda, Galoeh dibawa Daru menuju ke tempat yang tak pernah ia sentuh. 

“Selama ini Mas di tempat Mbak Laksita?” tanya Galoeh mengisi kekosongan saat perjalanan. 

“Ndak juga. Tadi aku memang datang untuk mencari tahu kabar terkini. Termasuk tentang Weda yang mencari kamu.” Daru terengah-engah mengayuh sepeda di jalan yang menanjak.

“Mas cerita ketemu saya?”

“Ndak. Tenang saja, aku bisa dipercaya.” 

Galoeh mengangguk dengan mata memerah. Hatinya kembali ngilu mengingat kemesraan Weda dan Harti.  

“Oh, ya, nanti … kalau kita bertemu teman-temanku, kamu kukenalkan sebagai siapa? Sebaiknya selama kamu bersembunyi, tetap saja menyamar sebagai laki-laki supaya teman-temanku ndak sungkan.”

“Katakan saja namaku Galih. Ya … Galih.”

Tak lama kemudian, sebuah desa yang subur dengan banyak mata air yang muncul dari dalam tanah menyambut kedatangan mereka. Galoeh baru tahu di desa bernama Sawit itu ada sekumpulan pemuda yang melakukan pergerakan bawah tanah di bawah pimpinan Pandji. 

Decitan rem akhirnya terdengar dan menghentikan laju sepeda tepat di rumah sederhana berdinding papan. “Kita akan tinggal di sini. Nanti setiap pagi, kita akan latihan menembak di hutan. Sebaiknya kamu ikut.”

Galoeh hanya bisa menurut saja arahan Daru. Ia mengikut laki-laki itu masuk dan bertemu pemilik rumah bernama Parto. 

“Dia masih kecil, Ru,” komentar Parto saat berkenalan dengan Galoeh. Lelaki berkumis tipis itu mengamati Galoeh dari atas ke bawah dan kembali ke atas. 

“Sekarang kita butuh tenaga. Banyak anggota kita yang gugur. Jadi, mau ndak mau kita harus rekrut siapapun yang mau.” Daru meletakkan tasnya dan mengambil kendi untuk segera meneguk air yang bisa memuaskan dahaganya.

Parto membungkuk. Menyelisik wajah Galoeh. “Mirip perempuan. Bisa apa dia?”

“Dia bisa semuanya! Kamu tenang saja!”

Dan, untuk menenangkan teman-temannya Daru benar-benar menggemblengnya. Mulai dari latihan fisik, bela diri, hingga menggunakan senjata. Daru benar-benar membentuk pribadi Galih di dalam diri Galoeh, hingga Galoeh sendiri melupakan bahwa ia dilahirkan sebagai seorang perempuan.

***

April, 1945

Di tempat lain, hingga bulan keempat di tahun 1945 datang, Weda tak menemukan berita tentang Galoeh. Bahkan ketika kedua sahabatnya asyik membicarakan topik terhangat tentang pemberontakan PETA Cilacap pada tanggal 21 April 1945 lalu, Weda sama sekali tak tertarik. 

“Weda, kamu kenapa akhir-akhir ini hanya diam?” tanya Gala saat mereka berkumpul di rumah dinas. 

Weda masih mengupas kacangnya, hanya melirik Gala. Setelah Souta tak bertugas lagi di situ, Gala terlihat dekat dengan Tika. 

“Sudah … relakan Mbak Galoeh, Dok. Kalau memang Mbak Gakoeh ditembak, Sato Shoi pasti akan menyelamatkannya.” Pantja berusaha menghibur.

“Wed, kalau Galoeh ditangkap Nippon, terlebih Kempetai dan keluarga Sato, itu artinya tak ada lagi harapan hidup. Kalaupun hidup, mungkin sudah dijadikan budak nafsu Sato-Shoi. Kamu tahu kan nasibnya adiknya Mas Raka.” Alih-alih menenangkan, ucapan Gala justru mendidihkan darah Weda.

“Hush! Jangan begitu.” Harti datang membawa wedang wuh dan disajikan di atas meja. “Pasti Dik Galoeh selamat.”

“Tetap saja kemungkinan buruk bisa terjadi,” celetuk Irawan. “Kalau memang begitu, ya … berarti kamu dan Harti memang jodoh.”

Gala dan Pantja saling pandang. Sejak kejadian pengkhianatan itu, hubungan Irawan dan Weda tidak terlalu bagus. Apalagi Irawan yang mengkoordinir beberapa anak buahnya untuk melakukan kerusuhan dengan target membunuh Souta Sato di depan Gedung Kempetai itu berbuah dengan tertembaknya Galoeh.

“Mas Wawan! Sudah tahu Mas Weda lagi mumet mikir Dik Galoeh, malah ngomong seperti itu?” Harti lalu duduk di sebelah Weda.  

“Selama Galoeh ndak ada, bukannya kamu seperti istri Weda? Datang pagi-pagi bawa makanan dari rumah, setelah dari Panti Rogo masak bahkan mencuci dan terkadang bersih-bersih rumah ini.” Irawan lalu menyesap cairan merah yang terbuat dari rebusan jahe, kayu secang, kayu manis, serai, kapulaga, gula batu, dan cengkeh. 

“Mas ini!” Pipi Harti memerah sambil mencubit lengan kakaknya.

“Jangan kamu lakukan lagi, Ti. Masmu ndak suka.” Weda mengaduk wedang uwuhnya, tanpa melihat ke arah Harti yang senyumnya perlahan memudar. Gara-gara ulah Harti, Weda memutuskan mengembalikan rumah itu sehingga sekarang dipakai Irawan.

“Oh, ya ….” Selalu saja Pantja yang menengahi saat percakapan terkesan kaku. “saya dengar Iwojima berhasil diduduki. Kabarnya pertempuran ini menjadi pertempuran paling sengit dan paling berdarah di Pasifik.” 

“Betul. Kematian tempur Jepang menurut berita diperkirakan tiga kalinya dari Amerika. Itu artinya mereka terdesak dan ini kesempatan kita untuk meraih kemerdekaan kita sendiri!” ucap Gala penuh semangat.

“Kalau pertempuran di Iwojima kalah, berarti Keita bisa saja mati. Dan itu artinya kalau Galoeh masih hidup ….” Weda bergumam sendiri.

“Weda! Jangan begini!” Irawan menggebrak meja hingga permukaan air di beberapa gelas bergolak dan terpercik membasahi permukaan meja. “Kita harus fokus! Lupakan dulu Galoeh! Masih ada banyak hal yang harus kita kerjakan. Kalau dia hidup, pasti dia bakal kembali. Kalau dia ndak balik, ya bisa jadi dia kecanthol sama perwira Setan itu atau ….”

Harti kali ini menyikut kakak tirinya dengan keras untuk membungkam mulut Irawan. Sekali lagi Pantja membuka suara untuk menetralkan kecanggungan. “Daidancho Irawan betul, Dok. Sebaiknya kita harus fokus. Anggap ini cara membalas dendam pada pemerintah Dai Nippon yang sudah menindas kita. Menindas Mbak Galoeh.”

Sepertinya betul kata teman-temannya. Weda harus melanjutkan hidup. Dua bulan menunggu Galoeh hanya seperti pungguk yang merindukan bulan. Kalau memang nyawa Galoeh sudah melayang, asanya untuk bersatu dengan yang ia cinta tak akan terwujud. 

💕Dee_ane💕

Galoeh dan Weda datang lagi. Partnya rada pendek yak. Yang mau baca cepet silakan meluncur ke KK. Semoga terhibur😘.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top