48. Kehidupan Kedua
Februari, 1945
Entah berapa lama Galoeh tak sadarkan diri. Ketika bangun, ia mendapati dirinya terbaring di ruangan yang dikelilingi tembok. Alih-alih dekorasi bergaya Jepang, kini ia berada di kamar yang dipenuhi ornamen Tionghoa. Bau dupa samar-samar terhidu di hidungnya dan suara cakap-cakap bahasa Mandarin pun terdengar.
Namun, Galoeh tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku dan perutnya nyeri. Bertepatan saat ia berusaha untuk menegakkan tubuh, laki-laki Tionghoa yang pernah ia kenal masuk ke ruangannya.
“Mbak sudah bangun?” Lian meletakkan mangkoknya terlebih dahulu lalu duduk di bibir ranjang.
“Saya di mana?” Galoeh meringis memijat keningnya.
“Mbak Galoeh ada di rumah kami di Balong.” Balong adalah daerah yang banyak dihuni orang Tionghoa di kota ini.
Galoeh masih berusaha menegakkan tubuh. “Kenapa saya bisa di sini?”
“Tadi pagi pedagang sayur yang mengantar ke toko, menemukan Mbak tergeletak di jalan. Waktu mengetahui Mbak masih bernafas, dia melarikan ke sini.” Lian meraih lagi mangkok dan mengaduk cairan itu. Dari baunya, Galoeh tahu itu adalah ramuan China.
Galoeh belum bisa mencerna ucapan Lian. Fokusnya tertuju pada selang infus menjuntai dari botol infus ke tubuhnya. Melihat ekspresi heran Galoeh, Baba Jie yang masuk saat mendengar suara dari kamar membuka suara. “Ni tenang saja. Anak wo ini dokter lulusan Leiden. Untung saja Lian punya stok obat-obatan.”
“Dokter?” Galoeh mengerjap.
“Dulu.” Lian tersenyum dan menyendokkan ramuan itu untuk menyuapi Galoeh. “Oh, ya, berhubung tadi Mbak mengalami perdarahan hebat, kami belum sempat memberitahu Nyonya Danoe atau Dokter Weda.” Terang saja, Lian dan Baba Jie tahu siapa Ibu Lastri karena wanita itu berceloteh panjang lebar tentang Romo Danoe dan putranya yang menjadi dokter.
Galoeh menyesap cairan pait itu. “Jangan beritahu keluarga saya.”
“Haya, setidaknya suami ni harus dikabari. Apalagi ni tidak juga tertembak tapi juga keguguran.”
“Keguguran?” Galoeh menunduk menatap perut datarnya.
“Iya. Saya terpaksa melakukan kuretase. Terus untuk pelurunya, ternyata mengenai ovarium bagian kanan.” Lian berkata dengan ekspresi keprihatinan yang tulus. “Saya akan memberitahu Dokter Weda hari ini untuk menjemput Mbak.”
Kepala Galoeh menggeleng dengan bahu yang bergetar hebat. Ia masih ingat sensasi perih dan panasnya bola timah itu merobek otot perut bawahnya hingga darah menyembur keluar. Tapi, yang membuat ia merasa bersalah, ia tak pernah tahu kalau dirinya hamil.
“Jangan. Kalau saya kembali, nasib keluarga suami saya akan celaka. Saya … saya ….” Susah payah Galoeh menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
“Baiklah. Tinggal saja di sini,” ujar Baba Jie kemudian setelah mendengar cerita Galoeh. “Ni harus istirahat. Luka di perut ni cukup parah. Ni juga perlu istirahat setelah keguguran.”
Wajah pucat Galoeh semakin memutih. “Lalu apa saya bisa hamil … lagi?”
Lian menunduk. “Ada kemungkinan. Tapi kecil. Semoga indung telur yang satu tak bermasalah.”
Lagi-lagi ayah dan anak itu saling memandang. “Jangan pikirkan yang lain-lain. Sebaiknya Mbak istirahat. Kami akan menampung hingga kondisi aman.”
Sepeninggalan Lian dan Baba Jie, Galoeh merenung seorang diri di dalam kamar itu. Di antara semua anggota tubuh, kenapa harus indung telurnya. Galoeh menunduk, menatap perut yang tertutup baju cheongsam perempuan yang pas di badannya. Setelah badai yang mengerikan itu, ia tetap saja harus dirundung duka. Apa gunanya punya rahim tapi tak bisa menghasilkan telur subur? Lantas bagaimana bisa ia kembali untuk menjadi istri yang bisa melahirkan generasi penerus Weda.
Galoeh menunduk, mengelus perutnya. Ia tak menyangka nasib mempermainkannya sedemikian rupa. Raungan yang selama ini ia tahan, akhirnya lolos. Ia tergugu dengan bahu naik turun. Nippon benar-benar merusak hidupnya!
Sesuai dengan saran Lian, ia harus tirah baring untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Setelah hampir seminggu beristirahat, luka-luka cambukan di badan Galoeh sudah kering dan wajahnya juga tak lagi pucat.
“Loeh, kamu yakin tidak mau memberitahu keluarga Dokter Weda?” tanya Lian setelah melepas jahitan di area dada Galoeh. Lelaki Tionghoa itu sudah mengubah panggilannya sejak Galoeh memintanya hanya memanggil nama saja.
Galoeh menegakkan tubuh, sambil menutup lagi bajunya. “Ndak, Ko. Saya ndak bisa membuat keluarga mertua saya dalam bahaya.”
“Tapi jadinya orang lain yang kena imbas ….” Lian menyipitkan mata yang sudah sipit, menggoda Galoeh.
Galoeh meringis. “Maaf.”
Lian mengacak rambut Galoeh. “Tenang saja. Kamu bakal aman di sini.”
Saat Lian akan memberesi alat-alatnya, tiba-tiba Baba Jie masuk dengan tergopoh. “Xiao An, Daru di sini. Dia terluka tembak.”
Lian buru-buru bangkit. Namun, sebelum melangkah, Galoeh menahan tangannya.
“Ada apa, Ko?”
“Daru tertembak.” Lian bergegas keluar meninggalkan Galoeh yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi.
“Mas Daru tertembak?” Alis Galoeh mengerut. “Bukannya Mas Daru ke Blitar untuk membantu pemberontakan? Apa gagal?” Mata Galoeh membulat. “Jangan-jangan rencana mereka gagal?” Susah payah Galoeh turun dari ranjang dan melangkahkan kaki di atas lantai dingin. Sambil meringis, ia berjalan ke luar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Tangan Galoeh bersandar di dinding untuk menyokong tubuhnya saat berjalan menuju ke kamar belakang. Dari ruang yang terbuka separuh itu, terdengar erangan laki-laki. Galoeh mempercepat langkahnya dan menghampiri Daru yang wajahnya sudah pucat.
“Mas Daru, apa yang terjadi?” tanya Galoeh dengan raut cemas.
Daru terengah, meringis memegang pahanya yang bersimbah darah. “Ada … pengkhianat. Sewaktu akan menuju Tuban, kami dipanggil lagi dan sewaktu kembali ke Blitar, kami melakukan rencana cadangan seperti usul Sudancho Suprijadi.”
Galoeh mengernyit. “Berarti pemberontakan meletus di Blitar? Bukan di Tuban?”
Daru menggeleng. “Begitu tahu kami disuruh pulang, kami tetap melaksanakan rencana awal. Sayangnya, kami berhasil dipukul mundur. Sekarang Nippon semakin memperketat pertahanan setelah ada beberapa tentara PETA yang ditangkap. Bisa jadi …” Ia menghela napas sejenak. “Cudanco Weda dan kawan-kawannya juga bakal dipantau.”
Seketika Galoeh lemas seolah kakinya tak bertulang. Ia lalu duduk di kursi di ruangan itu dengan punggung melengkung. Urusan Raka belum selesai, kini Weda bisa jadi ikut terseret lagi.
“Loeh, kenapa kamu di sini?” Lian datang dengan membawa alat yang sudah dicuci.
Galoeh yang sudah bersimbah air mata hanya menoleh menatap Lian. Susah payah ia menelan ludahnya sendiri untuk menggelontorkan rasa nyeri di hati.
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Dentingan bak instrumen yang diletakkan Lian di atas meja memecah sunyi.
“Biarkan saya di sini.”
Galoeh meremas sandaran lengan kursi yang ia duduki ketika melihat langsung bagaimana proses pengambilan peluru yang menancap di paha Daru. Mulut yang disumpal kain itu meredam pekikan kesakitan ketika Lian terpaksa mengambil bola timah yang bersarang di dagingnya tanpa prosedur pembiusan.
Baru kali ini Galoeh mencermati seorang dokter melakukan tindakan secekatan itu. Ia membayangkan Weda juga bergerak segesit itu saat melakukan tindakan dengan dirinya yang akan mendampingi. Sayangnya, itu hanya angan.
Keesokan harinya, kondisi Galoeh sudah lebih baik dengan rona wajah yang telah kembali segar. Sementara Lian dan Baba Jie pergi ke toko, Galoeh mendapat tugas untuk merawat Daru.
“Kamu … melindungi Raka?” tanya Daru setelah menelan bubur ayam ginseng buatan Lian.
Galoeh mengembuskan napas panjang. “Mau Mas Raka atau Mas Weda, tetap saja saya kena, kan?”
Daru menatap bekas memar di wajah Galoeh yang masih menempel. “Mengerikan sekali Nippon itu! Bagaimana bisa mereka menyiksa gadis sekecil kamu?”
Galoeh tersenyum sambil mengaduk bubur dan menyendok permukaan atasnya. “Semua sudah berlalu. Tapi sekarang saya cemas dengan keselamatan Mas Raka dan Mas Weda. Serta keluarga Tirtonagoro.”
“Kamu tenang saja. Begitu latihan Tuban itu dibatalkan, sepertinya seluruh daidan waspada. Daidan Manahan pasti juga tidak akan ada bergerak. Hanya daidan Blitar saja yang nekat tetap bergerak dan gagal.” Daru membuka mulut menerima suapan dari Galoeh. “Untuk sementara kamu di sini dulu sampai keadaan tenang. Jangan sampai kamu terkena imbasnya untuk kedua kali.”
Galoeh mengangguk pelan. “Iya. Sementara saya berlindung di sini.”
“Melihat kamu seperti ini, sepertinya aku harus cari cara menyelamatkan adikku.”
Dan, beberapa hari kemudian, Daru akhirnya mendapatkan ide. “Loeh, sepertinya aku ada ide!” Daru menjentikkan jari dengan senyum lebar saat Galoeh memperbarui kain pembalut Daru. Luka lelaki itu sudah mengering dan sebentar lagi pasti akan lepas jahitan. Selama di rumah ini, Galoeh banyak belajar dari Lian. Ia membantu dokter itu merawat luka Daru. “Aku bakal titipkan adikku di keluarga ini.”
Galoeh mendengkus sambil memeriksa kembali balutan. “Sepertinya keluarga Yu ini tempatnya penitipan anak terlantar.”
“Justru itu! Aku aman kalau Dayu di sini. Nanti aku akan meminta Lian menikahinya.”
Galoeh melirik Daru yang tersenyum lebar saat idenya tercetus. “Memang, habis ini Mas mau ke mana?”
“Mungkin ke Laksita dulu untuk mengabarkan aku selamat.” Daru meringis saat menggeser kakinya.
“Jangan bilang siapapun dulu aku selamat ya, Mas. Aku takut di antara mereka ada pengkhianat.”
“Aku paham. Kamu tenang saja.”
Malam harinya, saat hendak meninggalkan rumah itu, Daru mengemukakan idenya. Jelas ide Daru itu membuat Lian dan Baba Jie terkejut. Walau awalnya enggan akhirnya Lian menurut hingga memasuki pertengahan bulan Maret Keluarga Yu memutuskan untuk pindah ke Soerabaja bertepatan dengan Lian menjemput Dayu ke Djakarta.
“Maaf, kami tidak bisa menampungmu lebih lama,” kata Lian saat itu. “Kami harus pindah ke Soerabaja. Kamu tahu bukan, Daru yang sedang menjadi buronan meminta tolong agar aku menikahi adiknya.”
Galoeh tersenyum miris. Sepertinya pernikahan bukan lagi sesuatu yang sakral karena hanya digunakan sebagai jalan keluar dari masalah saja.
“Kami bisa mengantarmu ke rumah … suamimu.”
“Ndak perlu, Ko. Saya nanti akan pulang sendiri. Lagipula saya sudah sehat. Terima kasih untuk kebaikannya merawat saya hingga sembuh.”
Atas saran Lian, Galoeh lantas memotong rambutnya. Celana serta kemeja Lian yang dikecilkan membungkus tubuh mungilnya untuk menyamarkan dirinya dari tentara Jepang yang berkeliaran. Awalnya Galoeh memang berencana hendak pulang ke rumah dinas. Tapi, saat ia melihat Weda pulang dan ada seorang perempuan yang tak lain adalah Harti menyambutnya seperti seorang istri, Galoeh tahu kedudukannya di rumah itu telah digantikan.
💕Dee_ane💕
Siapa yang kangen dokter Yu Lian? Buat kalian yang belum kenal tokoh satu ini, silakan mampir ke Peony. Oh, ya, Asmaraloka udah tamat di KK ya. Yang nunggu di sini, pastikan kasih jejak kalian 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top