47. Rasa Bersalah

Weda berhasil bebas setelah semalam ditahan. Saat ia keluar dari markas, ia mendapati keributan baku tembak senjata api di kejauhan. Tak ingin terjebak adu senjata, maka ia memilih jalan memutar dan kembali ke Kediaman Tirtonagoro di Lawejan. 

Sejak malam pertemuannya dengan Galoeh, Weda tak bisa tidur nyenyak. Bayangan Galoeh yang memekik didera tentara Jepang itu mengganggu malamnya. Seiring berjalannya waktu, kegelisahannya makin memuncak sehingga, ia pun memutuskan kembali ke markas Kempetai untuk mengetahui kondisi Galoeh. 

“Apakah Tuan tahu di mana  Galoeh-san?” Raut wajah Weda sudah memucat seolah tak dialiri darah.

“Maaf. Itu rahasia militer,” kata Kimura. 

Jakun Weda naik turun. “Tolong, katakan kondisi Galoeh.”

“Sensei tahu bukan, yang bisa masuk ke markas ini belum tentu bisa keluar bernapas. Apalagi dia seorang  pemberontak. Dan, sepertinya mitos itu benar. Sekuat apapun Sato-Shoi melindunginya, tetap saja ia harus mati.”

Tangan Weda mengepal erat di samping tubuhnya. Saking eratnya lengannya sampai bergetar hebat menyalurkan amarah yang harus ia tahan. “Galoehasri bukan pemberontak. Dia hanya seorang istri.”

“Tetap saja, dia adalah keluarga pemberontak.” Senyum tentara itu terlihat memuakkan saat menepuk bahunya. “Dan sudah takdirnya ia mati. Setidaknya orang-orang kalian yang membunuh Galoeh di kerusuhan itu!”

Mata Weda memelotot. “Mati? Tertembak.”

“Ya. Ada kerusuhan beberapa waktu lalu di depan markas. Sepertinya perempuan itu dikira orang Nippon.”

Weda menggeleng. Telinganya berdenging begitu otaknya mencerna kalimat bahasa Indonesia yang terbata dari tentara itu. Ia tahu kerusuhan itu dan sengaja mencari jalan lain untuk menghindar. Tapi siapa sangka Galoeh terjebak di sana. Saat kepalan tangannya hampir melayang, Gala dan Pantja yang selalu mendampingi, mengingatkannya agar tak gegabah.

“Sialan! Souta sudah janji akan menjamin keselamatan Galoeh!” Weda menyepak udara kosong untuk melampiaskan kekesalannya.

Sementara itu, Gala dan Pantja hanya membisu sambil melempar pandang. Mereka sama terkejutnya dengan Weda. 

“Udah, Wed. Belum tentu omongan orang itu bener.”

“Gimana kalau betul? Gimana kalau Galoeh benar-benar tewas?” Weda malah mendamprat Gala. “Aku sudah menuduhnya gara-gara prasangka kalian!” 

“Dok, maaf. Saya yang harusnya disalahkan karena memberikan informasi ndak pasti itu.” Pantja menggigit bibir, bimbang. 

“Semua gara-gara Irawan!” Gala tak mau disalahkan. 

Hati Weda terbakar amarah atas komentar Gala. Setibanya di markas PETA ia lalu menemui Irawan.  Ia masuk begitu saja ke ruangan komandan daidan dan menyergahnya. “Kamu mengkhianati kami!” 

Irawan mendongak. Menjeda pekerjaannya. “Maaf. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindungi kalian.” Ia mengembuskan napas panjang. “Aku ndak mau kalian … ya, kita terkena imbas … terlebih Harti. Jadi, terpaksa aku melibatkan Mas Raka. Untungnya Mas Raka sudah memindahkan senjata dan radio dari Malangdjiwan dan pergi dari Kartasoera.”

Weda menggebrak permukaan meja dengan mata membeliak. “Kamu tahu akibat perbuatanmu? Galoeh ditangkap!”

“Tapi aku juga ndak mau membiarkan Harti ditangkap! Aku juga ndak mau kehilangan teman seperjuanganku!” Irawan menatap nyalang dengan rahang mengerat. Suaranya seperti desis yang membuat telinganya berdenging.

“Dan kamu mengorbankan Galoeh! Istriku!” Weda mengetuk dadanya dengan keras. Kecemasannya membuatnya tak bisa berpikir jernih. 

“Aku tahu. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Dia dekat dengan Souta bukan?”

Ucapan Irawan justru memantik kemarahan Weda. Ia meraih kerah baju Irawan dan menarik badan jangkung itu. “Baik-baik saja katamu? Dia … dia ….” Mata Weda yang membeliak memerah, menatap lurus mata Irawan yang memancarkan sorot bersalah. Ia tahu dalam keadaan seperti ini, Irawan terpaksa berkhianat karena adik tiri kesayangannya akan menjadi korban. Tapi, ia tak bisa membayangkan kalau yang akan menjadi tumbal pengkhianatan Irawan adalah Galoeh. 

“Galoeh … tertembak waktu ada kerusuhan di dekat markas.” Weda lalu mendorong raga dengan wajah kusut.

“Kerusuhan?” Jakun Irawan naik turun. “Dua hari lalu?”

“Kenapa? Apa kamu tahu?”

“Itu … serangan yang aku koordinir. Waktu itu, aku mau menargetkan Souta Sato. Sudah banyak teman-teman kita ditangkap dan disiksa. Termasuk kamu.” Suara Irawan bergetar. 

“Apa?” Mata Weda perlahan terasa panas. Hatinya ngilu memdengar pengakuan Irawan.

“Waktu … waktu itu ada perempuan Jepang yang berlari ke arah kami dan kami tembak karena khawatir akan menimbulkan ancaman.”

“Wan, kamu benar-benar …!” Napas Weda kembang kempis dipompa amarah yang meletup-letup. Ia mengacungkan telunjuk di depan muka sahabat yang ternyata menusuknya dari belakang atas nama perjuangan. Atas nama melindungi persahabatan. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Galoeh, aku akan ….” Weda mengerang dan berbalik begitu saja meninggalkan ruangan daidanco.

Tentu saja berita tertangkapnya Galoeh segera didengar Raka selang empat hari kemudian. Weda pun akhirnya mendapat pesan Raka yang dikirimkan melalui Laksita untuk meminta Weda menemuinya di Kartasoera.

“Mas iparku ….” Ucapannya terputus, tak berani menyebut nama Raka. Weda melirik ke kanan kiri, mengedarkan pandangan ke semua sudut warung di depan markas PETA yang terdapat tiga pembeli. “masih di sini?” lanjutnya.

“Masih. Galoeh melarikan diri sewaktu hendak dibawa lari Raka.” Laksita mengaduk kopi hitam dan menyerahkannya pada Weda. Ia lalu duduk di sebelah Weda dengan arah yang berlawanan. “Dia marah sekali sewaktu mendengar Galoeh ditangkap kemarin.”

“Mas Raka tahu dari mana?” tanya Weda.

“Pandji. Tiga hari lalu dia ke rumahmu mau mengambil Galoeh. Tapi Bu Lastri mengatakan kalau Galoeh ditangkap. Waktu Raka mau menyerahkan diri, Pandji melarang. Ada banyak hal yang harus diutamakan.” 

Weda menunduk mengaduk kopi panas yang semakin membuat serbuk kopinya berpusing di dalam air keruh seperti pikiran yang berputar-putar dalam hidupnya yang gelap.

“Dok, saya prihatin dengan apa yang terjadi pada Mbak Galoeh. Jadi, Dokter harus maklum kalau Mas Raka nanti ngamuk. Ibunya masih belum bisa bicara sejak kejadian itu, dan dia masih kepikiran dengan Keinan yang mengandung darah daging Sato. Dan sekarang, adik sepupunya ….” Laksita bangkit dan menepuk bahu Weda.

“Saya ngerti, Mbak,” gumam Weda. 

Setelah menerima pesan Laksita, ia lantas menemui Raka. Begitu ia masuk ke dalam rumah sederhana berdinding anyaman bambu itu, Raka langsung menghadiahinya dengan pukulan hingga tubuhnya terbanting ke lantai tanah. Pandji yang ada di sana segera menahan Raka yang mukanya sudah memerah terbakar kemarahan.

“Aku tahu akan seperti ini jadinya!” Rahang Raka mengetat dengan pembuluh di pelipis berkedut cepat. 

Weda tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa terduduk di lantai dengan satu tangan mengusap sudut mulutnya yang berdarah. “Maaf ….”

“Kata Pantja benar Galoeh tewas tertembak, hah?” Raka menarik kerah Weda.

Lidah Weda kelu tak bisa menjawab hingga memantik kemarahan Raka. Laki-laki itu mendorong Weda hingga ia jatuh terjerembab di lantai tanah. 

“Jawab, Weda!” 

Weda hanya menunduk dengan bahu bergetar hebat. 

“Kamu tahu jasadnya?”

Dia menggeleng. “Waktu itu … aku sudah berjanji dengan Souta untuk melepas Galoeh asal dia selamat. Tapi ternyata … Irawan dan teman-teman ngamuk saat tahu ada banyak teman-teman ditangkap.”

“Sialan!” Raka menendang Weda, tak memedulikan laki-laki itu adalah saudara iparnya.

Seketika Pandji memeluk Raka, menghalangi amukan Raka. “Mas, sebaiknya kita pulang. Berita masih simpang siur.” Pandji berusaha menenangkan Raka.

“Mereka mau aku! Seharusnya aku menyerahkan diri, sehingga Galoeh akan aman.” Dada Raka kembang kempis dipenuhi amarah. “Keluarga Sato begitu dendam denganku karena putra Tasuku Sato dikirim ke garda depan melawan Amerika! Dia ndak akan membiarkan semua yang berhubungan denganku akan selamat!”

Kuduk Weda merinding. Ia tak bisa membayangkan kejamnya tentara-tentara itu. 

“Aku … aku bersalah! Aku sudah membuat dia ….” Weda terhuyung bangkit. 

“Ya, kamu bersalah! Karena cinta butanya Galoeh, dia mau melakukan semuanya untuk melindungi kamu!“

Weda tergugu, mendengar kata ‘cinta’. Ia tak pernah mendengar Galoeh mengatakannya. “Apapun yang terjadi aku akan memastikan Galoeh selamat!”

Alih-alih semakin terang, kini otak Weda semakin kusut. Ia tak menyangka Galoeh akan diam dan memilih ditangkap untuk melindungi sepupu dan keluarganya. Kata Tika, bila Galoeh tak ditangkap, bisa saja Weda atau Romo Danoe yang diambil. Atau mungkin juga Ibu Lastri dan Tika. 

Sesampainya di Manahan, Weda berlalu begitu saja, saat ia melewati seorang tentara Jepang yang pangkatnya lebih rendah darinya. “Woi! Cudanco! Kau kira sudah naik pangkat kau tak perlu menghormati kami?”

Rahang Weda mengerat. Suara sumbang dengan logat aneh itu membuat gatal telinganya. Ia memilih tak merespon dan kembali mengayunkan langkah. Namun, ketika orang itu menepuk pundaknya, secara refleks ia menangkap tangan itu dan membantingnya sehingga pria berkulit pucat itu jatuh di lantai tegel yang dingin.

“Kamu pikir aku takut dengan kalian!” Weda mendudukinya dan sewaktu akan melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu, tangannya ditahan Gala.

“Cudanco Weda, hentikan!”

Weda menatap nyalang Gala yang tiba-tiba datang menghalanginya. Begitu mengetahui kelengahan Weda, tentara itu lantas membebaskan diri dari kungkungan Weda. Dalam bahasa Jepang, laki-laki itu itu mengumpati Weda dan meludahinya. 

“Kurang ajar!” Weda ingin membalas. Hari ini darahnya cepat mendidih.

“Weda! Sabar!”

Weda menoleh dan memberikan tatapan sengit pada Gala. “Sabar? Setelah apa yang terjadi pada Galoeh, dan kalian meminta aku sabar? Kamu dengar sendiri bukan, istriku mati di tangan teman-temanku.”

Weda bangkit dan berlalu untuk mencuci mukanya karena terkena liur tentara itu. 

“Itu kecelakaan. Siapa yang sangka gadis berkimono itu Galoeh?” ujar Gala yang justru memicu kemarahan Weda.

Weda menarik kerah sahabatnya sejak remaja hingga wajah mereka hanya sejengkal. “Semua gara-gara asumsi konyolmu Gala!” Weda berdesis dengan mata membeliak. “Sekarang, dia membuktikan kalau dia melindungi kita. Dia korbankan nyawanya agar kita selamat. Sebenarnya, bisa saja dia membocorkan rencana besar kita.”

“Ini bisa terjadi kapanpun! Kita sudah memprediksi ini,” balas Gala. “Lagipula Galoeh pasti akan bungkam karena ndak mau kamu atau masnya terluka.”

Weda mendorong kasar tubuh Gala. Ia lalu menunduk untuk mencuci muka. Sayangnya, gemericik air yang membasuh wajah, tak bisa menyejukkan pikiran Weda yang gerah. 

“Kamu tenang saja. Jepang akan hengkang. Aku dengar baru-baru ini Amerika sudah mendarat di Iwojima dan kemarin Manila sudah berhasil direbut Amerika. Jadi, sekarang bukan waktunya ngamuk. Ada banyak hal yang harus dilakukan karena kita harus benar-benar mempersiapkan kemerdekaan untuk Indonesia..”

“Apa? Amerika mendarat di Iwojima?” Weda bangkit, membiarkan wajahnya basah hingga titik-titik air menetes dari ujung dagunya.

“Iya. Aku yakin walau pesawat kamikaze Jepang berhasil menenggelamkan kapal induk USS Bismarck Sea, mereka ndak akan bertahan.”

Mata Weda seketika panas mengingat ucapan Raka tadi pagi. Ia menunduk, memijat pangkal hidungnya. “Justru itu … keluarga Sato pasti ndak akan melepaskan Raka dan adiknya karena membuat Keita Sato yang dikirim ke Iwojima. Keluarga besar Sato akan meremukkan siapa saja keluarga dekat Raka! Termasuk keluargaku!”

***

Sejak Weda merasa dikhianati teman-temannya, semangat perjuangan Weda menyusut. Ia tak tahu apa yang harus diperjuangkan apabila harus mengorbankan orang-orang yang ia cintai. Namun, sebelum Jepang hengkang, ia tetaplah dokter militer yang bertugas di markas PETA sehingga ia harus tetap berangkat walau pikirannya melayang entah ke mana. 

Walau Weda terlihat menyendiri di klinik markas, ia tetap mengikuti perkembangan terkini. Hampir setiap hari Weda membaca surat kabar untuk mencari kabar tentang perkembangan kondisi Pasifik. Tapi yang ia baca hanyalah kabar bahwa Sekutu mendarat di pantai selatan Blitar sehingga beberapa batalyon dan kompi Jepang di daerah sana dikerahkan untuk meredam serangan. 

“Ada berita apa, Dok?” tanya Pantja saat Weda melipat koran dengan wajah kusut.

Weda mengembuskan napas panjang. “Ndak ada yang istimewa. Tapi aku ndak yakin dengan berita ini.” Bibir Weda mengerucut.

“Saya dengar, justru di Blitar meletus pemberontakan.” Pantja berbisik pelan tapi masih bisa ia dengar.

“Pemberontakan di Blitar?”

“Iya. Ketika informasi bocor, semua daidan ditarik dan kabarnya Sudancho Soeprijadi menggagas daidan Blitar tetap melakukan pemberontakan.” 

Weda heran dengan informasi yang didapat Pantja.

“Tapi kenapa ndak masuk berita?” tanya Weda heran.

Pantja mendengkus. “Jelas Nippon takut pemberontakan di Blitar akan memicu daidan lain memberontak. Di sini saja, kita sempat ngamuk.”

Weda mendengkus mengingat kerusuhan yang terjadi dan menjadikan Galoeh sebagai korban. “Serapat-rapatnya bangkai disimpan, tetap akan tercium juga.” Weda menyesap tehnya terlebih dahulu. “Lalu bagaimana dengan nasib teman-teman di sana?” tanyanya lagi.

“Kolonel Katagiri sebenarnya sudah berunding dengan Shodanco Moeradi dan memenuhi empat syarat Bung Moeradi. Tapi, Markas Besar Tentara Keenambelas di Jakarta meminta Kempetai untuk melakukan investigasi terhadap pemberontakan. Dan saya yakin Souta Sato yang dikirim ke Jawa Timur dengan dalih dia dipindah ke Semarang sejak rencana pemberontakan itu bocor.”

Weda mengangguk-angguk, mencermati informasi Pantja. “Berarti mereka ditangkap?”

“Sepertinya. Ada banyak versi terkait jumlah mereka yang diadidli dan dikirim ke Jakarta. Ada yang mengatakan tujuh puluh delapan, enam puluh delapan, maupun lima puluh lima orang.  Tapi yang saya dengar ada yang menyebut lima puluh lima orang diadili dan dikirim ke Jakarta. Dua chudanco.” Jari Pantja membentuk huruf ‘v’, “delapan shodanco, tiga puluh lima budanco, dan dua belas giyuhei. Tapi, di antara mereka ndak ada Shodanco Soeprijadi.”

Weda mengernyit. “Lantas Shodanco Dewandaru dan Djoko?”

“Mereka juga ndak ada. Sepertinya mereka sedang diburu, bersama tentara lain yang bisa melarikan diri.”

Beberapa minggu setelah percakapan itu, akhirnya Weda mendapati kabar hukuman yang dijatuhkan kepada dalang pemberontakan. Beberapa prajurit PETA yang terlibat pemberontakan ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati.  Beberapa yang dipidana mati adalah dr. Ismail, Moeradi, Halir Mangkoedidjojo, Soenanto, dan Soedarmo. Dari yang terhukum tersebut, tetap saja tidak ada nama Soeprijadi. Dan pemberitaan hukuman yang sengaja dibesar-besarkan itu seolah digunakan Dai Nippon untuk memberi efek jera bagi orang-orang yang hendak memberontak. Namun, selain pemberitaan itu yang Weda tunggu. Ia tetap menanti kabar tentang Galoeh, Dewandaroe, dan Djoko. Hidup atau mati.

💕Dee_ane💕

Part panjang yak. Semoga terhibur. Di KK sudah tamat yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top