45. Galoeh Ditangkap

Galoeh terjaga saat guyuran air mengenai wajahnya. Ia gelagapan berusaha meraih udara. Namun, kedua tangan yang dirantai di samping atas badannya, membuat dadanya kesusahan bernapas. Karena selama interogasi ia tak membuka mulut, tentara-tentara itu kemudian membelenggunya hingga hari sudah berganti.

“Sudah bangun rupanya!” Seorang tentara yang ia tahu pangkatnya cukup tinggi mengangkat dagu Galoeh dengan ujung pecut.

Galoeh menelan ludah ngeri. Bola mata bergerak ke kanan kiri berusaha mengingat apa yang terjadi. Sewaktu ia sampai di rumah, Kempetai datang mengambilnya. Setelah itu, ia tak ingat lagi hingga berakhir di sini.

“Kamu keluarga Raka-san. Mestinya kamu tahu apa yang Raka rencanakan!” Dari namanya yang memakai huruf Jepang, Galoeh membaca : Sato Koichi. Itu artinya, orang yang di depannya ini adalah Komandan markas Kempetai yang sangat ditakuti. Ayah kandung Souta Sato. 

Galoeh membisu. Namun, diamnya justru membuat Kempetai itu berang. Ia menangkup pipi Galoeh hingga bibirnya membentuk huruf ‘o’. 

“Kamu pikir kami tidak tahu gerak-gerikmu? Kamu … Galoehasri, anak dan sepupu dari pemberontak!” Kolonel Koichi melempar wajah Galoeh.

“Kalau Tuan tahu, kenapa bertanya? Tidak perlu Tuan menunggu jawaban saya!” Galoeh melirik sengit dengan tarikan bibir miring. 

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Galoeh disertai sumpah serapah dalam bahasa Jepang. Saking kerasnya sudut bibir Galoeh mengeluarkan cairan merah. 

“Kau tidak takut mati rupanya! Kakak sepupumu juga berlaku sama arogannya. Berani-beraninya dia memasok senjata untuk para cecunguk yang ingin berontak itu. Apa yang kamu tahu dari rencana mereka?”

Lirikan sengit tertuju pada tentara paruh baya dengan kumis tipis di bawah hidung. Tawa kolonel itu menggema di bilik kecil yang lembab dan dipenuhi aroma pesing bercampur anyir. Galoeh bisa membayangkan darah segar yang tercecer di ruangan ini saat orang-orang Kate itu melakukan penyiksaan yang di luar perikemanusiaan.

“Seandainya sepupumu tidak nekat melakukan gerakan bawah tanah, kamu akan hidup tenang. Jadi, kalau kamu tak ingin sengsara, sebaiknya kamu bekerja sama!” sergah laki-laki bermata sipit itu. “Atau … apa perlu aku menyeret suami dan keluargamu agar kamu membuka mulut?”

Galoeh membeliak. “Ndak akan! Bunuh saja aku! Jangan libatkan keluarga suamiku!” seru Galoeh menantang kegentarannya.

“Bunuh? Tidak sekarang. Sepertinya aku akan mengambil suamimu!” desis Kolonel Koichi Sato.

Tawa Galoeh menggaung di bilik itu. “Memanggil Wedatama? Dia sedang bersenang-senang dengan kekasihnya di rumah dinas! Dia ndak tahu apa-apa.” Penyangkalan Galoeh membuat hatinya tercabik.

“Kamu pikir kami percaya?”

“Buktikan saja!” pekik Galoeh hingga urat lehernya menonjol.

“Pengawal, dera gadis ini sampai dia mengaku!”

Dan, beberapa detik kemudian cambukan demi cambukan mendarat di tubuh Galoeh. Mengoyak kain dan kulit kuningnya. Galoeh memekik. Rasa nyeri saat sembilu itu mengoyak daging membuat tubuh mungilnya serasa dicabik-cabik. Tapi, ia harus bertahan. Ia tak ingin menjadi pengkhianat seperti yang dituduhkan Weda. Selain itu, Galoeh juga tak ingin Raka tertangkap. Dibanding dirinya, peran sepupunya dalam pergerakan bawah tanah yang mengkoordinasi gerilyawan dan menghimpun semangat antifasis lebih besar, sehingga ia harus menyelamatkan Raka. Lagipula, memang seharusnya dulu ia mendapat perlakuan seperti ini bersama keluarganya. Anggaplah semua ini deraan tertunda yang harus ia lunasi.

Entah setelah berapa kali cambukan akhirnya kesadaran menguap. Perih di raganya tak bisa lagi ia tolerir. Hingga kemudian guyuran kembali membuatnya terjaga. Perlahan ia membuka matanya, di antara napas yang tersengal karena kedua tangannya masih dirantai. 

***

Dalam ketidak berdayaan, otak Galoeh memutar lagi ingatannya pagi hari kemarin. Di saat ia sedang membantu Mbok Mi membersihkan rumah, laki-laki berpakaian Nippon datang.

“Mas Raka?” Galoeh membeliak.

“Aku ndak bisa menjangkau orang-orang. Tolong bantu aku memindahkan senjata dari Malangdjiwan. Bahaya kalau sampai Nippon mengetahuinya, karena Irawan ditangkap saat menemuiku.” Raka terlihat gelisah. Beberapa kali ia mengedarkan pandangan ke arah jalan utama. “Aku bisa lepas dan Irawan berhasil ditangkap. Aku yakin orang kaku seperti Irawan itu akan menyerah bila terkena deraan.”

“Apa yang harus aku lakukan?” Galoeh langsung berpikir, bila Irawan menyerah, maka bisa jadi ia akan membocorkan rencana mereka. 

“Pertama, hilangkan bukti dulu. Aku pikir Nippon akan mengorek keluarganya termasuk Harti yang akan melibatkan Weda.” Raka memberi petunjuk. “Ayo, jangan buang waktu.”

Tanpa berpamitan, ia mengikuti Raka yang menyamar sebagai tentara Kempetai. Bersama Pandji yang menunggu di mobil, mereka membawa Galoeh ke Kartasoera, alih-alih Malangdjiwan. 

“Kenapa Mas mencariku? Sepertinya Mas bisa melakukan sendiri.” Galoeh mulai membaui hal yang aneh. Raka ingin menculiknya dan membawanya pergi.

Raka mendengkus. “Kamu terlalu cerdas untuk dikelabui. Memang setelah memastikan senjata aman di tempat Mbak Laksita, aku harus mengamankanmu. Terlalu berbahaya kamu di Lawejan.”

“Ndak, Mas! Aku harus pulang! Aku berjanji ndak akan keluar dan sekarang aku sudah melanggar perintah Mas Weda!” Galoeh bersikukuh.

“Loeh, kamu belum paham kondisinya? Kalau Irawan buka suara, dia tidak akan mengungkap timnya! Itu artinya Weda akan aman! Tapi kamu ….” Raka menoleh ke kabin belakang. “Kamu yang akan celaka karena kamu sepupuku! Kamu bisa disandera untuk memancing aku keluar lagi!”

“Tapi … Mas Weda juga bisa ditangkap! Trus bagaimana dengan Romo, Ibu, dan Tika?” Galoeh meremas pahanya agar tak terpancing emosinya yang ingin meraung karena didera kecemasan.

“Nduk, kamu adikku. Aku harus melindungi kamu!”

“Dan, Mas Weda adalah suamiku!” sergah Galoeh dengan nada tegas. Begitu ia turun dari mobil di depan rumah Laksita, ia lalu berlari kembali ke Soerakarta. Untungnya   lalu lalang banyak orang, membuat Raka tak bisa mengejarnya karena akan menarik perhatian. 

Galoeh akhirnya memilih ke Manahan untuk memberitahu bahwa rencana mereka bocor dan Raka yang menjadi kambing hitamnya. Setibanya di rumah dinas, Galoeh melihat sesuatu yang mengoyak hatinya, yang justru sekarang bisa dijadikan alibi kuat penyangkalannya pada Weda. Lagipula, memang itulah yang seharusnya. Weda pulang disambut oleh istri yang bernama Harti. 

“***

Sementara itu, di tempat lain, Tika datang tergopoh keesokan harinya ke markas PETA di Manahan bertepatan dengan jadwal apel pagi. Setelah menunggu sejenak, akhirnya ia bisa menemui Weda yang membalut dengan seragam lengkap.

“Ono opo, Dik?” tanya Weda ketika melihat wajah Tika sepucat mayat.

“Galoeh … dia, dia … semalam ditangkap Kempetai.” Tika tergugu.

“Bagaimana bisa?” Weda membeliak lebar. 

Tika menangkup wajahnya yang menunduk. Weda lalu merangkulnya dan membawanya menepi. “Ada apa, Dik? Ceritakan semuanya ke Mas.” Weda membungkuk dan membuka tangkupan tangan Tika.

“Galoeh … dia ditangkap untuk diinterogasi atas kasus Mas Raka.” 

“Kasus Mas Raka?” Weda mengernyit. Bingung. Kenapa Kempetai justru mencari Galoeh, alih-alih dirinya? Lagipula kalau Galoeh yang membocorkan kenapa ia ditangkap?

Tika mengangguk. “Galoeh dibawa begitu saja,” kata Tika sesenggukan. “Aku takut, Mas.”

Weda menegakkan tubuh dan melayangkan pandang ke segala arah. Alisnya semakin menukik ke pangkal hidung, saat otaknya berusaha mencari solusi.  “Ada Souta kemarin?”

“Ndak ada. Wajahnya asing semua. Lagipula Sato-Sensei sering ada kepentingan dinas di Semarang sejak sepupunya dikirim balik ke Jepang.”

Susah payah Weda menelan ludahnya sendiri. Bila Souta tidak ada, ia tak yakin dengan keselamatan Galoeh. “Kamu pulang,” kata Weda kemudian. “lakukan aktivitasmu seperti biasa.”

“Oh, ya. Galoeh pesan katanya dia cinta sama Mas. Dia ndak akan pernah mengkhianati Mas.”

Weda tertegun. “Cinta? Galoeh?” Bagaimana Weda tak tahu perasaan Galoeh? Selama ini ia menganggap Galoeh bermain api di belakangnya bersama Souta. Ternyata ….

Sepeninggalan Tika, ia menceritakan apa yang terjadi pada Gala dan Pantja. Kedua orang itu hanya bisa terperangah mendengar cerita Weda.

“Galoeh ditangkap? Apa  bukan Galoeh yang membocorkan rencana kita?” tanya Gala.

“Dugaanku … Irawan,” bisik Pantja. 

“Ndak mungkin!” elak Gala.

“Dia membocorkan rencana besar di Tuban. Bukan rencana kita di Soerakarta. Terpaksa dia mengambing hitamkan Letnan Raka yang memasok senjata.” Pantja menerangkan analisanya.

“Untuk apa mengambing hitamkan Mas Raka?” Gala hampir saja menyemburkan nada tingginya.

“Ya untuk melindungi kita!” Weda menyambung, begitu paham penjelasan Pantja. “Dan mau kita atau Mas Raka yang disebut, dalam hal ini Galoeh tetap akan kena!” Hati Weda ngilu. Ia sempat mencurigai Galoeh dan membiarkan gadis itu pergi sendiri karena terlampau marah.

“Maksudmu, Galoeh ditangkap untuk diinterogasi di mana Mas Raka sekaligus memancing Mas Raka keluar?” Gala membeliak.

Jakun Weda naik turun. Matanya perlahan terasa panas. Baru sekali ini ia begitu ketakutan seperti ini. “Seharusnya aku yang ditangkap! Kenapa harus Galoeh?” Suara Weda bergetar. “Sejak awal aku berusaha percaya dia ndak akan mengkhianati kita. Tapi, malam itu … aku mencecarnya.”

Manggala dan Pantja saling melempar pandang. 

“Aku harus ke sana!”

Gala dan Pantja seketika menahan tangannya. “Jangan bergerak dulu! Kita ndak bisa gegabah!”

“Trus aku kudu piye?” tanya Weda dengan mata berkaca-kaca. “Aku ndak mau kehilangan Galoeh!”

💕Dee_ane💕

Terima kasih yang sudah menanti cerita ini. Semoga kalian terhibur. Yang mau baca duluan, silakan mampir di ke KK. Di sana udah tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top