42. Sisi Lain Souta

Februari, 1945

Siang ini, seperti dua bulan yang telah berlalu, Galoeh akan pergi ke Setabelan untuk mengajar baca dan tulis Janti, adik Djono. Hari ini ia sengaja naik delman karena merasa badannya tak nyaman akhir-akhir ini. 

Setelah mendengar tujuan Galoeh, Pak Kusir itu mengantar ke rumah yang dulunya dipakai oleh anggota penjaga meriam dari korps artileri legiun Mangkunegaran. Saat ia turun setelah membayar, ia mendapati mobil Kempetai ada di situ. Ia lalu segera berlari ke rumah yang ada di tengah perkampungan untuk memastikan keluarga Djono baik-baik saja. Namun, kekhawatirannya tak terbukti. Yang ia dapati hanyalah Souta yang sedang menggendong bayi Djati yang terlelap. 

Galoeh melongo. Laki-laki itu Jepang itu terlihat penyayang. Lantas, apakah penilaiannya pada manusia selama ini benar? Apakah yang jahat punya sisi baik dan yang baik pun juga punya sisi gelap?

Souta tersenyum melihat Galoeh ada di ambang pintu. Ia lalu mendekat dan mempersilakan masuk seolah rumah sendiri. “Galoeh Sensei kebetulan sekali ke mari?”

“Galoeh Sensei yang mengajari saya baca tulis, Sato-dono.” Janti menimpali.

“Ndak sangka bisa bertemu Sato-Sensei di sini.” Galoeh menerima salam Janti dan kemudian duduk. “Di mana masmu, Nduk?”

“Ke sekolah dan lanjut kerja menanam padi,” jawab Janti.

Galoeh mendekat lalu mengambil alih Djati dari gendongan Souta. “Ternyata Souta-Sensei berhubungan baik dengan keluarga ini toh?”

“Aku mengenal Karman-san. Dan saat anak ini lahir, aku ikut menungguinya.” 

Galoeh mengernyit tak paham.

“Djati-chan lahir bersamaan dengan hari eksekusi ayahnya. Entah kenapa, aku percaya Karman-san terlahir kembali. Jiwanya masuk dalam raga bayi ini.” 

Galoeh melirik Souta yang memangku Janti. Seolah gadis itu lupa bahwa yang menyebabkan ayahnya terbunuh adalah laki-laki itu. Namun, melihat keramahan Souta yang tulus, anak-anak mana yang tidak tertarik? Betul kata Tika seandainya mereka bertemu pada saat yang tepat, mungkin Tika bisa bebas mengekspresi perasaannya pada Souta. 

“Simbokmu mana?” tanya Galoeh mengusir sepi.

“Simbok kerja juga. Sekarang sudah sehat. Berkat dokter Weda dan dokter Harti yang sering ke sini.” Gadis dengan binar mata cemerlang itu menjawab dengan runtut. 

Ternyata tanpa sepengetahuan Galoeh, Weda dan Harti sering bertemu dan bekerja sama. Jelas Weda akan mengajak Harti karena mereka satu profesi. Sedang kemampuan Galoeh tak ada bandingnya dengan Harti.

“Kamu sudah makan?” tanya Galoeh.

“Sudah. Sato-dono memberi kami bento. Isinya nasi jagung dan telur.” Janti melompat dari pangkuan Souta dan berlari ke dalam.

Bila melihat Souta dengan setelah kemeja putih tulang berlengan pendek dan celana kain hitam tanpa sepatu lars, pria itu terlihat lebih ramah. 

“Kamu sekarang mengajar anak-anak di sini?” tanya Souta.

Galoeh tersenyum. “Begitulah. Saya ndak enak keluar masuk sekolah.”

Janti sudah datang kembali membawa sabaknya. Anak-anak kecil yang lainnya sudah datang dan membawa peralatan mereka. Di rumah ini, selama  dua bulan ini, Galoeh mengajari mereka baca, tulis, dan berhitung. Bermula hanya satu anak saja, sekolah dadakan itu sekarang punya lima murid yang tak bisa mengenyam bangku sekolah karena harus membantu orang tuanya. 

Satu jam pembelajaran tiap dua hari sekali tak pernah terasa menjemukan untuk anak-anak. Sementara bagi Galoeh pun bertemu anak-anak polos itu menjadi sebuah penghiburan tersendiri. Selepas mengajar, Souta yang masih ada di situ, menghampiri Galoeh. “Setelah ini apakah kamu ada kegiatan lain?”

“Saya harus memasak untuk suami.”

Tawa Souta menggelegar. “Ya, ya, ya. Beruntunglah Weda-Sensei yang mempunyai istri cantik, cerdas, dan perhatian.”

Galoeh mengulum senyum. “Sato-Sensei terlalu berlebihan.”

“Mumpung kita ketemu, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar di tempat kemarin?” tanya Souta penuh harap. 

“Tapi ….” 

“Saya ndak menerima penolakan.”

Mau tak mau, Galoeh akhirnya mengikuti Souta masuk ke dalam mobil dinas polisi militer Nippon. Dua puluh menit berselang akhirnya mereka sampai di tepian sungai besar yang alirannya deras. Bengawan Solo melewati pinggiran kota dengan rerimbunan pohon yang menjadi peneduh di sisi kanan kirinya. Galoeh menjadi teringat salah satu lagu keroncong di era tahun 1940 yang judulnya sama dengan nama sungai ini yang diciptakan maestro muda dari kota ini. 

“Untuk apa Tuan mengajak saya ke mari lagi?” tanya Galoeh menikmati arus deras sungai di musim hujan.

Souta justru menunduk, mengambil batu dan melemparkannya ke sungai. Alih-alih tenggelam, batu itu memantul tiga kali dan akhirnya masuk ke dalam sungai jernih yang bisa mengenyangkan masyarakat melalui ikan-ikan yang hidup di dalamnya.

Galoeh teringat beberapa waktu lalu, Souta mengajaknya ke sini. Dan saat itulah anggapan Galoeh tentang Souta sedikit berubah karena laki-laki Jepang itu ternyata yang menyelamatkannya dalam kebakaran dan waktu itu pula Souta yang mengembalikan jam saku milik Romo Tjokro.

“Aku ingin makan siang di sini. Mumpung cuacanya cerah.” Souta mendongak, menatap langit biru yang sedikit berawan.

Galoeh lalu duduk. Kepalanya mulai terasa nyeri seperti ditusuk paku. Mungkin karena semalam ia tak bisa tidur nyenyak. 

“Temani aku makan.” Souta lalu duduk di samping Galoeh. 

Galoeh menggeser duduknya menjauh. 

Souta tersenyum. Bola matanya bergulir ke samping sambil tangannya sibuk mengurai simpul serbet yang membungkus kotak makan merah lalu menyodorkan pada Galoeh. “Untung aku membawa bekal cadangan.”

Galoeh menatap makanan mewah itu. Nasi, terong digoreng tepung, wortel dan parutan jagung rebus yang dibuat untuk salad, serta telur dadar gulung atau tamagoyaki. 

“Makan. Mukamu pucat. Aku yakin kamu bisa pingsan kalau tidak makan.” Souta menyodorkan kotak itu dan meraih tangan Galoeh untuk memegang sumpit. 

“Sato-Sensei, kenapa Tuan bersikap baik dengan saya?” tanya Galoeh masih belum menjamah makanan itu.

Souta tersenyum miring sambil mengurai bekal yang lain. “Aku menyukai kamu. Sejak awal kita bertemu di gudang terbakar itu.”

Galoeh mendengkus. “Apakah laki-laki mudah mengatakan suka pada perempuan?”

Souta melirik. Sumpitnya mulai menjepit tamagoyaki. “Bisa jadi. Kami akan mengatakannya bila punya maksud.”

“Maksudnya apa?” Galoeh lebih tertarik pada pembicaraan itu.

“Ingin memiliki gadis itu.” Souta kemudian memasukkan makanannya. “Ingin menidurinya misalnya.” Souta terbahak.

Galoeh melongo. 

“Tenang. Aku bercanda!”

“Ndak lucu!” Galoeh memberengut.

“Ayo, dimakan. Enak sekali telur ini.” Souta menunjuk ke arah makanan kotak berwarna kuning itu.

Galoeh lalu menjepit telur itu dan memasukkan ke dalam kotak bento Souta.  “Saya ndak makan telur.”

Souta mengerjap. “Lalu kamu makan apa?”

“Apapun. Asal ndak telur.” Galoeh mencoba mencicipi terung goreng yang rasanya bisa diterima lidah.

“Kamu terlihat lesu. Apa ada masalah?”

Galoeh terkekeh pelan sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan yang masih memegang sumpit kayu. “Apa zaman sekarang orang-orang ndak punya masalah? Untuk makan dan berpakaian saja banyak yang kebingungan.”

Souta tak berkomentar. Masih mengunyah dan mengamati Galoeh yang menunduk mengais makanannya. 

“Sato-Sensei, kenapa Tuan bersikap menjadi orang jahat?” tanya Galoeh.

“Jahat? Sepertinya itu relatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Aku mungkin terlihat jahat di mata kalian, tapi aku meyakini bahwa apa yang aku lakukan adalah wujud baktiku pada negara.” Souta mengunyah sambil menatap aliran sungai yang berasal dari Pegunungan Lawu. “Tapi, dari sekian pribumi yang mengatakan aku jahat. Ada tiga orang yang mengatakan aku baik.”

Galoeh mengernyit. 

“Weda-Sensei, Tika-san, dan kamu.” Souta tersenyum lebar. 

“Kenapa Sensei bisa dekat dengan suami saya?”

“Itu …” Souta mengembuskan napas kasar. “Waktu itu aku tertembak dan karena dokter militer kami sedang di luar kota, ayahku memanggil Weda-Sensei. Dia yang merawat aku yang hampir mati. Sejak saat itulah aku berhutang budi dan  berjanji akan membayarnya.”

Galoeh mengangguk-angguk paham. Bibirnya masih mengunyah nasi  dan terung. 

“Kami kemudian bersahabat baik. Hanya saja, setelah kamu datang …” Souta membasahi bibirnya dengan lidah, lalu melanjutkan. “dia menjauh.”

“Kalau kalian sahabat, kenapa Sensei bisa mencabuti kuku Dokter Weda,” tanya Galoeh semakin larut dalam percakapan.

“Karena itulah pekerjaanku. Selain itu, aku kesal kenapa gadis yang aku cari ke mana-mana justru sudah menjadi istri sahabatku. Ditambah, di saat itulah Weda juga menagih hutangku. Tanpa dia tagih pun sebenarnya kamu sudah dinyatakan tak bersalah.” Souta kembali mengangkat kotak bekalnya dan melahap nasi yang sangat bernilai.

Galoeh kemudian membiarkan keheningan di antara mereka hanya diisi dengan gemericik aliran sungai yang cukup deras di awal musim penghujan.

“Ayo, kita pulang! Langit sudah mendung. Pasti sebentar lagi hujan!” Souta mendongak, menatap ke angkasa.

Galoeh pun menyetujui karena ia tak akan nyaman berada di luar rumah ketika hari hujan. Hujan selalu berhasil membuat kenangan menyedihkannya menyembul kembali.

💕Dee_ane💕

Ada yang nungguin Galoeh ga ya? Kuy, kasih absen dulu. Kalau mau baca dulu, bisa meluncur ke KK. Di sana udah tamat😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top