41. Menembus Kemurnian

Bocil-bocil menjauh yak ... part ini 18++.

***

Setelah mengantar kepulangan teman-teman Weda, Galoeh buru-buru masuk dan membereskan piring-piring yang bertumpuk di atas meja. Ia membawa peralatan makan itu ke dapur yang terdapat kran yang mengalirkan air. Hidup di hunian yang pernah ditempati orang Belanda membuat Galoeh bisa merasakan air yang mengalir dengan mudahnya tanpa harus menimba lebih dulu. 

Bibir Galoeh masih bungkam dan sesekali ia masih menyedot ingusnya karena menangis saat makan pedas tadi. Setidaknya tak ada yang bertanya kenapa matanya memerah karena memang wajar bila seseorang mengucurkan air mata saat kepedasan. 

“Kenapa tadi ndak gabung makan sama-sama?” tanya Weda menyusul ke dapur. 

Galoeh tersenyum miris. “Saya lagi pengin makan sambel bawang dan gereh saja, Mas.”

“Oh, ya sudah.”

Galoeh mengerjap. Ya sudah? Betul-betul Weda tidak peka. Lagipula kenapa Weda lebih memilih masakan Harti? Ya, jelas saja orang normal akan memilih opor dan nasi daripada gereh dan tiwul. Parahnya Weda bisa makan dengan lahap opor cinta Harti di saat Galoeh sudah menyiapkan makan malam dengan susah payah.

Namun, ia memilih membisu. Gemericik air yang menyapu lemak di piring, mengisi kekosongan di antara mereka.

“Kamu makin pinter masak. Tiwulnya kali ini pas.” Suara Weda memecah sunyi. 

Galoeh menoleh mendapati Weda sudah memenuhi piring dengan tiwul dan sisa ikan asin serta sambal. Lelaki itu melahap makanannya seolah ia tak pernah makan beberapa hari ini. 

“Mas Weda sudah makan. Kenapa makan lagi?”

“Aku belum makan. Tadi hanya menemani teman-teman makan. Lebih baik makan masakanmu saja.” Weda mulai kepedasan. Bibirnya semakin memerah dengan peluh yang mulai memenuhi wajahnya. 

Galoeh melongo. Ia menyudahi sejenak cuci piring yang tinggal dua piring yang belum dibilas, lalu duduk berjongkok di sebelah Weda yang duduk di depan dipan pendek tempat Galoeh meletakkan makanan yang ia masak tadi.

“Sambalmu pedas sekali, Loeh. Kamu mau bikin aku sakit perut?” Weda menyeka hidung mancungnya. Buru-buru Galoeh meraih kendi dan mengisinya dengan air bening itu.

“Minum dulu kalau kepedesan.”

Weda menurut dan meminum air itu. Awalnya alis laki-laki itu mengernyit, lalu ia kembali meneguk cairan satu gelas belimbing hingga tandas.

“Kenapa ndak makan opor Mbak Harti?” Galoeh masih berusaha menyelisik sikap Weda setelah Weda terenggah menghabiskan satu gelas air itu hingga mukanya merah.

“Karena tadi aku lihat mukamu pahit. Lebih pahit dari dhong kates ini.” Weda melirik Galoeh. Senyumnya terurai sekilas saat mengunyah makanan.

“Muka saya kenapa?” Galoeh tak mengerti dan menepuk wajahnya.

“Mukamu ndak enak dilihat pas Harti ambil rantang tadi. Kalau aku makan, pasti kamu bisa diamkan aku berhari-hari.”

Mendengar ucapan Weda, bibir Galoeh seketika mengerucut. Ia berusaha menyembunyikan kegirangan yang meluap di dadanya.

“Tapi sebenarnya, Harti yang menyadarkanku. Sejak awal kamu terlihat kesal sehingga dia menyarankan untuk ndak makan opor itu.” Weda menurunkan piring yang sudah tandas karena sudah berpindah di dalam perut yang masih rata karena latihan fisik kemiliteran. “Ah, padahal opornya enak banget.”

Galoeh mendengkus, laki-laki yang Ibu Lastri bilang ‘ndak peka’ itu tetap saja tak bisa melihat perubahan mimik wajahnya, dan harus diberitahu agar paham. Mana yang memberitahu Harti pula!

“Siapa yang kesal?” Galoeh bangkit dan berbalik dengan merutuk dalam hati. Tidak seharusnya ia berharap banyak pada Weda. Gadis itu melanjutkan lagi cuci piringnya dengan mulut masih ndremimil meluncurkan rutukan kekesalan tanpa suara. 

Weda kemudian menyusul. Ia meletakkan piring dan mencuci tangannya. Galoeh terpaksa bergeser karena Weda memakan tempat dan ketika laki-laki itu sudah mundur, ia kembali maju untuk melanjutkan pekerjaannya. 

Namun, kali ini tiba-tiba tangan Weda melingkar di perut Galoeh. Gerakan itu membuat Galoeh tersentak dan hampir saja meloloskan piringnya.

“Mas!”

“Sebentar. Aku ingin memelukmu sebentar.” Weda mengeratkan pelukannya dan menumpukan dagunya di bahu kanan Galoeh.

Galoeh tak bisa bergerak leluasa. Embusan udara dari hidung Weda menggelitik kulitnya saat lelaki itu mencium lehernya. Susah payah Galoeh menggigit bibirnya agar tidak terpengaruh godaan Weda. Ia memercikkan air ke wajah Weda seperti memercikkan air suci untuk mengusir setan. 

“Mas, saya masih mencuci piring.”

Namun, Weda tak mendengarkan. Bibirnya masih mengecupi sudut rahang Galoeh hingga embusan napasnya menyeruak masuk di telinga. “Loeh, kita harus menghargai detik demi detik yang berlalu. Kita ndak akan tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi doaku … aku berharap kamu bisa meraih cita-citamu.”

Kuduk Galoeh merinding. Ia terpaksa menghentikan pekerjaannya lalu berbalik menghadap Weda. “Mas Weda pengin banget saya melanjutkan sekolah?”

Weda mengangguk. “Sini … aku perlihatkan sesuatu.”

Weda menarik tangan Galoeh dan membawanya ke kamar. Sementara Galoeh duduk di tepi ranjang, Weda mengambil tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat besar. “Ini. Buat kamu.”

Galoeh mengernyit dan membaca tulisan di bagian depan amplop. “Ini dari Ika Daigaku?”

Weda tersenyum lebar. “Betul! Jawaban sewaktu aku pergi ke Djakarta waktu itu. Ayo, buka.”

Galoeh tak bisa menahan tarikan bibirnya. Ia lalu membuka amplop itu perlahan dengan tangan bergetar dan saat ia membaca isi surat di dalamnya, ia memekik. “Saya … masih diperbolehkan sekolah?”

Weda mengangguk. “Aku berhasil mencari rekomendasi ke beberapa profesor Ika Daigaku sehingga kamu kembali diperbolehkan sekolah.” Laki-laki itu mengelus rambut Galoeh. “Kamu senang?”

Mata Galoeh yang berbinar perlahan berkaca-kaca diliputi air mata bahagia. “Senang! Senang sekali!” Galoeh seketika menghamburkan tubuhnya memeluk Weda dengan erat. “Matur nuwun, Mas.”

“Sudah selayaknya kamu mendapatkannya.” Weda mengecup pelipis Galoeh sambil mengelus kepala belakangnya. Ia kemudian melerai pelukannya dan mendorong pelan tubuh Galoeh. “Sudah, kamu tidur saja. Biar aku bereskan dapur.”

Galoeh menggeleng dan buru-buru menahan tangan Weda saat ia akan beranjak dari duduk. Laki-laki iru menoleh. Alis kanan terangkat seolah bertanya, ‘ada apa”. 

“Saya ndak tahu harus dengan apa membalas semua kebaikan Mas Weda.” Galoeh menunduk. Suaranya bergetar. 

“Loeh, aku ikhlas melakukan semuanya. Kamu istriku. Perempuan yang aku sayangi. Jadi, aku pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk kamu.” Weda melepas tangan Galoeh. 

Namun, Galoeh mencengkeramnya erat seolah takut Weda akan pergi. Gadis itu lalu mendekatkan wajahnya hingga akhirnya bibirnya mendarat di bibir Weda, mengecupnya lembut.

Mata Weda membulat. Ini kali pertama Galoeh berinisiatif lebih dulu. Biasanya gadis itu akan bersikap malu-malu kucing walau tak menampik ciumannya. Kini, Galoeh menyingkirkan malunya. Selama ini ia tak pernah bisa memberi yang terbaik untuk Weda. Setidaknya kecupan ini bisa mewakili rasa terima kasihnya yang tulus.

Weda membalas ciuman Galoeh dan kini tangannya kirinya melingkar di pinggang, menarik tubuh mungil itu mendekat. Sementara tangan yang lain menjelajah di dada yang masih tertutup kain baju Galoeh. Alis Galoeh mengerut, merasa sensasi baru yang menghinggap tubuhnya seolah ada kupu-kupu berterbangan di perut. Ia mengerang tertahan di antara ciuman mereka yang dalam, sambil mencengkeram bahu Weda. Kali ini Galoeh tak melawan. Ia memasrahkan tubuhnya dalam rengkuhan Weda yang menarikan jari-jarinya di atas titik sensitif yang mulai siaga di balik lapisan-lapisan kain.  

Weda menarik wajahnya. Keningnya menyandar di dahi Galoeh yang pipinya sudah seperti kepiting rebus dibakar hasrat yang menggeliat. “Kenapa kamu memulai?”

“Saya rela. Asal orang itu Mas Weda,” cicit Galoeh menyisihkan malu dan meletakkan gengsinya.

Mendengar jawaban Galoeh, Weda tak lagi bisa menahan diri. Ia kembali memagut bibir Galoeh yang dibalas gadis itu dengan sama intensnya. Ini kali pertama tangan Weda menjelajahi tubuh Galoeh setelah tiga bulan mereka menikah. 

Weda kini menguliti pakaian Galoeh hingga tak tersisa benang yang menempel di kulit kuning sang istri. Laki-laki itu mengerjap, mengagumi lekuk tubuh yang menyentil nalurinya dan mengelus kulit halus sang gadis perlahan seolah ia sedang mengusap permukaan guci keramik cina yang langka. 

Galoeh menggigit bibir bawahnya merasakan sentuhan halus Weda. Ia tahu laki-laki itu tak akan menyakitinya. Dalam kepasrahan, Galoeh membiarkan Weda mencecap setiap jengkal kulit mulus di dada. Lidahnya bermain di pucuknya, memanjakan hasrat yang semakin melambung hingga akhirnya madu cinta Galoeh meleleh karena perlakuan nakal Weda. Untuk pertama kalinya Galoeh memekik tertahan ketika gelombang kenikmatan menggulung dan melambungkannya. 

Weda tak berhenti membuat Galoeh kewalahan. Laki-laki itu seperti kerasukan setan berusaha membuat Galoeh tiada henti melontarkan desau seperti bebunyian dedaunan yang dipermainkan angin.

Galoeh hanya bisa mencengkeram sprei ketika jari dan otot pencecap Weda menggelitik simpul saraf di kedalaman ceruk tubuhnya. Kepalanya menggeleng ke kanan kiri karena gerakan itu benar-benar membuat ia kehilangan akal. Galoeh seperti tawanan yang takluk akan strategi Weda yang selalu menyerang titik-titik kelemahannya.

Pada akhirnya hasrat yang Weda tahan sekian lama berhasil membobol benteng kesucian Galoeh. Weda memasuki tubuh Galoeh dan bergerak seperti alu menumbuk lumpang. Guntur yang menggelegar di malam hari kini berlomba dengan pekikan Galoeh saat Weda melambungkan ke surga dunia untuk yang kesekian kali. Hujan yang mengguyur bumi pun tak mampu meredam panasnya pergumulan mereka. Hingga akhirnya Weda ambruk setelah menyemburkan benihnya di dada dan perut sang istri. Berharap tak terjadi pembuahan di dalam sana.

***

Weda tersentak ketika mendengar pekikan anak dari rumah sebelah. Mata yang terbuka bergerak ke kanan kiri berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, seketika ia tersenyum saat mendapati Galoeh sedang bergelung menempel di dadanya seperti seorang anak kucing manja.

Weda mengecup pucuk kepala Galoeh, tak mempercayai ia benar-benar telah merenggut kemurnian sang istri. Mimpi indahnya di setiap malam di mana tubuh Galoeh berlenggak-lenggok mengikuti irama tarian yang ia pimpin itu akhirnya benar-benar terjadi.

Galoeh menggeliat merasakan pergerakan Weda. Sepertinya begitu terjaga dan sadar ia ada di pelukan dada telanjangnya, gadis itu kembali ke sifatnya yang semula. Malu-malu yang menggemaskan.

“Loeh, kamu sudah bangun? Tangan kananku kesemutan kamu tindih sejak semalam.” 

Galoeh buru-buru menegakkan tubuh. Punggung mulus dengan torehan luka bakar di punggung sisi kanannya dan jejak cintanya semalam membuat Weda semakin ingat bahwa ia benar-benar kalap. “Maaf.” Galoeh menarik kaki dan sedikit membungkuk agar lututnya yang mengimpit dada bisa menahan ujung selimut sehingga tidak melorot saat ia menggelung rambut.

Weda ikut bangkit dan duduk di belakang Galoeh. Sepertinya sekarang ia mulai kecanduan endorfin yang meledak saat ia berlaku asmara dengan Galoeh. Ia lalu memeluk Galoeh dari belakang.

“Mas ….”

Seperti dugaan Weda, Galoeh akan mengelak. “Sebentar. Aku masih ingin memelukmu.”

Galoeh diam. Sepertinya sejak Weda memberi kejutan dari Ika Daigaku semalam, gadis itu semakin menurut. “Loeh, untuk sementara waktu, kamu jangan pergi-pergi ya. Tinggal tenang di rumah. Apapun yang terjadi, dengar, dan lihat, berpura-puralah ndak tahu.” Weda menyibak anak rambut Galoeh.

“Lha saya apa ndak boleh pergi-pergi Saya bakal mati bosan di sini terus.” Bibir Galoeh mulai memberengut. “Saya kan punya janji akan mengajar Jati baca dan tulis. Sebulan ini sudah dilakukan seperti biasa.” Galoeh memang sudah memutuskan untuk benar-benar keluar dari sekolah karena ia telah mengajukan pengunduran resmi. Kegiatan hariannya hanya di sini dengan belajar buku-buku Kedokteran di bawah arahan Weda dan juga mengajari anak-anak Setabelan.

“Sepertinya kamu sekarang jangan pergi-pergi lagi. Aku pernah bilang bukan, perjuangan kita begitu berat,” terang Weda. Semalam ia ditegur sahabat-sahabatnya karena Galoeh berkeliaran menemui Raka.

“Tapi, kalau saya diam saja, saya justru merasa ndak berguna. Mas Weda juga ndak memperbolehkan saya terlibat.”

Weda memeluk Galoeh. “Aku ndak mau kejadian sepupumu Keinan terjadi pada kamu. Apalagi kamu terkait dengan aku dan Mas Raka.” Suara Weda tercekat. Ia mempererat pelukan saat Galoeh membalas pelukan Weda sama eratnya seolah enggan melepas lelaki itu. Baru kali ini Weda takut mati. Ia khawatir hidup Galoeh akan semakin nestapa bila kejadian buruk menimpa dirinya. Apalagi ia semakin terikat ketika tubuh dan hati mereka telah menyatu.

💕Dee_ane💕

Ada yang komen kangen Galoeh yang menye2😬? Di KK sudah tanat. Yang pengin baca dulu silakan merapat di sana🤭Yang di sini, silakan kasih jejaknya biar aku semangat update

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top