40. Peringatan Raka

Galoeh memahami pertimbangan Weda untuk tidak menyentuhnya. Dan, keputusan Weda tidak membuat Galoeh merasa kehilangan keintiman dengan Weda, walau tanpa bersatu raga. Kecupan di kening saat Weda berangkat dan ciuman dalam yang diakhiri pelukan saat mereka akan tidur sudah cukup untuk Galoeh. Mungkin itulah cara Weda menyayanginya. 

Sepertinya Weda tak tanggung-tanggung dengan niatnya mendukung cita-cita Galoeh. Selain tak ingin menghamili Galoeh, Weda bahkan memindahkan beberapa buku diktatnya dari rumah agar bisa dibaca sang istri.  Bila tidak mengajar baca tulis dan berhitung di Setabelan, maka ia akan membaca buku kedokteran dalam bahasa Belanda pada pagi pukul sepuluh setelah ia membereskan rumah. Namun, pagi ini kebiasaannya terdistraksi oleh kedatangan Pandji.

“Mas Raka mau bertemu.” Pandji memberitahu setelah ia duduk di kursi ruang tamu rumah dinas itu.

“Mas Raka?” Mata Galoeh membeliak dengan tarikan bibir lebar. 

Pandji menempelkan telunjuk yang teracung di depan bibir yang mengerucut. Pandangannya mengedar, memastikan tak ada yang mendengar, meski Pandji tahu rumah ini hanya dihuni Galoeh. “Ayo, aku antar ke Kartasoera.”

Dengan bergegas, Galoeh mengembalikan buku ke kamar dan mengikuti Pandji menuju ke tempat persembunyian Raka dengan menggunakan mobil milik Pandji. Laki-laki itu menyetir sendiri kendaraan yang merupakan barang sangat mewah yang bisa dipunyai masyarakat kala itu.

“Mas Raka kapan datang ke sini?” 

“Sudah beberapa hari. Tapi dia masih ada urusan dengan gerakan bawah tanahnya.” Pandji melirik ke arah spion untuk melihat apakah ada yang membuntuti.

“Mas, gerakan bawah tanah ini apakah cukup besar? Di Magelang ada juga yang dikoordinir di bawah Mas Raka. Mas Raka ndak mau bercerita banyak ke saya.”

“Gerakan bawah tanah ini di bawah komando Bung Sjahrir. Raka dan beberapa orang lainnya bertugas mengkoordinir gerakan yang di daerah,” terang Pandji. “Yang jelas, gerakan ini dianggap berbahaya karena Jepang sudah mencurigai pergerakan yang kami lancarkan. Makanya kamu ndak boleh banyak tahu.”

Galoeh mengangguk-angguk paham. Sejak Jepang datang memang Raka enggan bekerja sama dan memilih menjadi ‘pengacau’.

Tak lama kemudian, roda mobil berhenti di sebuah rumah berdinding anyaman bambu. Dari bentuknya, sepertinya rumah ini digunakan untuk warung.

“Ini rumah Mbak Laksita. Suaminya pejuang gerakan bawah tanah yang dieksekusi. Beliau adalah kakak kandung sahabat Mas Raka. Letnan Dewa.” Pandji menerangkan sewaktu mereka masuk ke dalam warung yang ditutup. Mereka sengaja jalan memutar samping rumah dan masuk melalui pintu pawon.

Begitu melihat Galoeh masuk, Raka bangkit dan bergegas menyambutnya. Dia memeluk sang adik sepupu dan memastikan gadis itu dalam kondisi sehat. 

“Kenalkan … ini Laksita.” Raka menggandeng Galoeh menghampiri Laksita. 

Galoeh mengernyit. Wajah perempuan sintal itu tak begitu asing.

“Oh, ini istri Dokter Weda.” Laksita tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Saya Laksita. Pemilik warung di depan markas.”

“Ah ….” Akhirnya ingatan Galoeh tercerahkan. “Saya Galoeh.”

“Mbak Galoeh cantik, persis yang digambarkan Dokter Weda.” Laksita kembali menekuri pekerjaannya menggoreng ubi.

Galoeh hanya tersenyum canggung sambil dalam hati bertanya-tanya kenapa pemilik warung di depan markas terlihat sangat akrab dengan sepupu bahkan suaminya. Setelah Galoeh dipersilakan duduk, Raka kemudian membuka topik pembicaraan. Dari sekedar menanyakan kabar sampai akhirnya mengemukakan alasan menemui Galoeh.

“Sebaiknya kamu juga harus bersiap dengan semua kemungkinan terburuk. Pergerakan akan segera dilakukan,” kata  Raka menyudahi basa-basinya.

Hati Galoeh tercubit. Ia paham betul risiko menjadi keluarga aktivitis pergerakan. “Aku ngerti, Mas. Aku juga akan bantu sebisa mungkin.” Galoeh mengambil ubi matang yang ada di atas tampah beralas kertas koran.

“Pergerakan ini terlalu riskan.”  Raka menggeleng sambil mengisap rokoknya hingga asap mengepul dari mulutnya membentuk cincin-cincin cantik seperti yang sering dilakukan romonya dulu. “Kamu akan cukup membantu dengan tidak bertindak gegabah.”

“Maksudnya?” Galoeh mengernyit, tak paham.

“Apapun yang terjadi kamu harus tutup mulut. Kamu tahu kenapa Mbok Peni mengkhianati Paklik Tjokro bukan?” tanya Raka dengan mulut yang masih menjepit batang kretek. 

Galoeh mengangguk, mengingat kembali kenangan lamanya. “Karena Nippon tahu kelemahan kita?” 

“Betul! Dan, Nippon tahu, selain Keinan dan Ibu, kamu adalah kelemahanku dan Weda!”

Pandangan Galoeh tak beralih dari Raka.

“Jadi, kamu harus benar-benar tangguh. Nantinya kamu bisa jadi dihadapkan pada situasi yang sama. Kamu tinggal memilih, membocorkan rahasia pergerakan ini, atau Weda dan aku yang tak selamat. Kalau kamu bungkam, bisa jadi Nippon akan mengancam  Weda dengan nyawamu. Dan aku yakin dia bisa saja mengkhianati teman-temannya.” Raka mengetuk batang rokoknya hingga abunya berhamburan di lantai tanah pawon. “Nippon itu akan selalu mencari tahu setiap kekuatan dan kelemahan musuhnya.”

Susah payah Galoeh menelan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka dirinyalah yang jadi kelemahan Weda dan Raka. Dengan susah payah, Galoeh berusaha mengatur ekspresinya.

“Kamu tahu … kemarin Pantja sempat cerita, kalau kedatanganmu mengubah peta rencana mereka. Harti ndak bisa lagi jadi kekasih Weda. Padahal perannya dalam pergerakan ini cukup besar. Di rumahnya terpasang radio yang bisa menangkap sinyal siaran radio berbahasa Inggris. Anak buah Bung Sjahrir yang memasangnya. Jadi, dengan alasan menjadi kekasih itulah Weda bebas keluar masuk rumah Malangdjiwan walau waktu itu Harti masih sekokah tahun terakhir di Djakarta.” Raka kembali menghisap rokoknya yang tinggal separuh. “Sejak kalian menikah, Harti akhirnya mencari jalan meneruskan informasi yang ia dengar dari radio luar negeri melalui Laksita yang punya warung di depan markas PETA.”

Galoeh termangu. Ia merasa tak berguna. Betul kata Harti, Weda membutuhkannya. Galoeh tak ubahnya seperti anak remaja lemah yang tak tahu apa-apapun. Dan, Weda sama sekali tak memberitahunya. 

“Nanti kalau waktunya sudah dekat dan sepertinya kita terjepit, aku akan bawa kamu pergi. Supaya aman. Dan, kamu juga siap bila harus menyandang predikat janda.” Raka menatapnya tajam tapi dengan sorot sendu.

Galoeh menunduk menghindari tatapan Raka. Jari-jarinya bertaut gelisah. Pikirannya campur aduk. Perjuangan di depan mata yang belum dijalani terasa berat. Dan parahnya ia jadi mengetahui anggapan teman-teman Weda bahwa dirinyalah yang menjadi kelemahan Weda yang berpeluang besar bisa menggagalkan perjuangan mereka. Seperti Raka yang tertangkap demi melindungi Keinan. 

“Loeh ….” Raka mengambil gelas kopi dan menyesapnya sebentar lalu kembali berkata, “aku ndak ingin kamu bernasib seperti Keinan.”

“Oh, ya … bagaimana kabar Mbak Keinan?”

Raka mendengkus. “Dia hamil. Anak Keita Sato!”

Galoeh mengerjap. “Hamil? A .. aku pikir Mbak Keinan masih menunggu tunangannya ….”

Raka menggeleng. “Hati manusia tidak ada yang tahu. Dan sekarang walau Sato-Shoi sudah pergi, hati Keinan ikut terbawa. Lalu kamu … apa ada kabar baik?”

“Kabar baik?” Galoeh mengernyit.

“Bathi anak.” Laksita menimpali.

Wajah Galoeh terasa panas sambil menggeleng pelan. “Hubungan kami belum seintim itu.”

“Bagus! Yang belum menikah hamil, yang sudah menikah ndak dihamili!” Raka tersenyum kecut. “Ya sudah, sebaiknya kamu pulang. Sampaikan salamku untuk Weda.”

Setelah puas mengobrol dengan Raka, Pandji mengantarnya kembali ke rumah dinas. Di sana sudah ada teman-teman Weda berkumpul mengelilingi meja. Saat Galoeh masuk, Harti muncul dari belakang membawa nampan berisi gelas dan kudapan berupa keripik pisang bersalut gula merah. Galoeh melongo menatap semua orang yang ada di rumahnya bergantian. Begitu pula dengan orang-orang di situ yang menampakkan senyum yang di mata Galoeh penuh kepalsuan.

“Kamu dari mana?” tanya Weda masih duduk di ruang tengah. 

“Saya … ketemu Mas Raka. Tadi dijemput Mas Pandji.” Galoeh masih tak nyaman.

Harti tersenyum, meletakkan nampan di atas meja seolah ialah nyonya rumah yang menjamu tamunya di situ. “Mas Raka sepertinya ndak langsung pulang setelah dari Malangdjiwan.” Lalu wanita itu duduk di sebelah Weda. 

Suasana menjadi kaku begitu Galoeh ada di situ. Ingin rasanya ia bergqbung, tapi sepertinya kehadirannya tidak diperlukan di situ. Maka Galoeh memilih bergegas ke pawon untuk melihat apa yang bisa ia buat.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuat makan malam yang akan disajikan untuk tamu Weda yang tiba-tiba datang. Padahal bila Weda mengundang teman, biasanya laki-laki itu akan memberitahunya. Galoeh melihat sekeliling bahan makanan apa yang datang diolah untuk dimakan enam orang dewasa. Karena hanya ada persediaan tepung gaplek dalam gentong keramik, maka Galoeh pun memutuskan untuk membuat sego tiwul dengan sambal bawang dan rebusan daun kates serta ikan asin. 

Sambil mendengarkan pembicaraan yang samar-samar, Galoeh mengucurkan air ke atas tepung dan mengaduknya dengan gerakan memutar hingga membentuk gerindil kecil. Sayangnya, sampai ia mengukus tepung itu, tetap saja ia tak bisa mendengar jelas apa isi percakapan mereka seolah pembicaraan itu tak boleh didengar. 

Sambil menunggu tiwul matang, ia memasukkan ikan asin dalam minyak yang sudah ia panaskan. Bertepatan dengan desis minyak merendam ikan asin, Weda masuk ke pawon. “Kamu membuat apa, Loeh?”

“Makan malam.”

“Untuk siapa?” tanya Weda.

“Untuk … tamu Mas?” Galoeh meringis dan mengusap lengannya yang terkena cipratan minyak.

“Aku sudah bawa makanan kok, Dik. Dua rantang berisi nasi putih dan rantang lainnya opor ayam kesukaan Mas Weda. Sayurnya aku buat sambel goreng jepan.” Harti menyeruak masuk membawa rantang dibantu Weda. 

Galoeh mengerjap. Tenggorokannya seketika kering. Batinnya ngilu. Kenapa Weda tak memberitahunya kalau tahu ia dari tadi menyibukkan diri di pawon?

“Oh, kalau begitu, biar saya makan ini. Terlanjur mau mateng.” Galoeh meringis selebar mungkin berharap matanya bisa tinggal segaris sehingga mampu menyembunyikan mata merahnya.

“Mas, bantu ambil piring ya?” Rupanya Harti tak memedulikannya.

Weda melongo, menatap Harti dan Galoeh bergantian. Lalu ia melangkah cepat ketika Harti meminta tolong sekali lagi. “Ayo, maem dulu. Enak loh buatan Harti.”

Galoeh memutar tubuh, membalik ikan asin yang matang di satu sisi bersamaan dengan setitik air menetes di pipi. Seolah ikan kering itu tahu kesusahan situasi yang dihadapi Galoeh dan gadis itu butuh pelarian.

“Nanti saya nyusul. Mas temani dulu tamu-tamu.” 

Sepeninggalan Weda, Galoeh memilih membuat sambal dengan sisa lima belas lombok yang ia punya. Gadis itu memasukkan semua cabai merah rawit itu dan menumbuknya untuk dijadikan sambal sehingga ia punya alasan untuk menangis dengan dalih kepedasan. Bahkan ia pun merebus daun pepaya tanpa lempung sehingga rasa paitnya masih sangat kuat. Namun, tetap saja rasa pait daun pepaya itu tak terasa seolah lidahnya telah mati rasa oleh kepahitan hidup yang telah ia alami.

Dengan duduk berjongkok di depan tungku, Galoeh melahap segunung tiwul dalam piringnya dengan lauk ikan asin dan sambal. Ia kini bisa meneteskan air mata begitu lidahnya disapa sambal yang begitu panas. Namun, lagi-lagi mulutnya tak bisa merasakan apapun karena justru hatinya yang terbakar api cemburu.

“Loeh, kok makan di sini?” Gala ke belakang beberapa saat kemudian. Ia hendak mengambil gelas yang masih berada di rak piring kayu.

Galoeh menoleh dengan berlinang air mata. Lidahnya kelu karena merasa ditinggalkan. Alih-alih menjawab, bulir bening kembali mengucur. “Ah, saya pengin makan tiwul saja. Sayang. Saya tiwas bikin banyak ”

Gala menatap tiwul yang ada di kukusan, ikan asin yang sedikit gosong, serta daun pepaya rebus di atas cobek.  “Masaknya banyak sekali?”

Galoeh kembali meluruskan badannya, meraih lembaran rebusan daun pepaya yang masih hijau dan mencoleknya di permukaan cobek. Ternyata teman-teman Weda sama tak pekanya dengan Weda. Untuk apa ia berkomentar tentang masakannya? Jelas tak mungkin ia menghabiskannya sendiri  sehingga ia pasti memasaknya untuk orang banyak. Dan siapa lagi orang-orang di situ kalau bukan sahabat Weda yang terdapat Gala di dalamnya?

Seandainya ia tak tahu cerita Raka, bisa Galoeh pastikan ia akan merajuk atau pergi dari rumah itu. Tapi, ia tetap bertahan demi agar teman-teman Weda tak menganggapnya menyulitkan. “Laper banget saya.” Galoeh memberikan cengiran dengan pipi menggelembung penuh makanan.

Gala mengangguk-angguk dan kembali ke dalam setelah mengambil enam gelas.

Pada akhirnya,  Galoehlah yang tersisih. Detik ini, ia merasa tak berguna ….

💕Dee_ane💕

Aku selalu kelupaan update kalau di KK udah tamat😅 Moga kalian masih ada yang betah nungguin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top