4. Terpaksa

“Romo!” Galoeh menegakkan tubuhnya dari posisi berbaring. Napasnya tersengal dengan peluh yang deras menetes di wajah. Otaknya kembali mengingat kepingan perkataan Weda.

“Romo dihukum mati?” Buru-buru Galoeh menurunkan kakinya dari ranjang. Tapi ia urung beranjak, karena teringat apa yang terjadi pada Weda. Kalau dia gegabah, tak hanya kuku yang dilepaskan, tapi bisa nyawa orang-orang di keluarga ini. 

Galoeh lalu bangkit dari duduknya dan keluar untuk mencari Weda. Saat Galoeh membuka pintu, Ibu Lastri ada di sana, menyuapi Weda karena jari-jarinya terbungkus.

“Kamu sudah bangun?” Ibu Lastri menyapa.

“Maaf ….”

“Ndak perlu minta maaf. Yang penting kamu sehat dan selamat dan Weda juga bisa membuktikan kamu dan keluarga ini ndak terlibat,” ujar Ibu Lastri. “Bisa bantu Ibu suapi Weda? Ibu sudah buatkan tim ikan gabus. Ibu mau ke tempat Romo untuk mencari obat. Kasihan Weda kalau harus menunggu Romo pulang.

Galoeh menerima piring berisi tim ikan gabus untuk menu makan siang. Setelah Ibu Lastri keluar, ia lalu duduk di tepian ranjang menghadap Weda.

“Sudah baikan?” tanya Weda.

Seharusnya Galoeh yang bertanya karena jelas-jelas Weda yang terluka. Semua jarinya dibungkus kain ditambah wajah tirusnya terdapat memar dan luka gores di beberapa bagian. Tak menjawab Weda, Galoeh balik bertanya, “Masih sakit?”

“Sakit?” Weda mengerutkan alis. “Kata apa itu?” 

Galoeh terkekeh. Kepribadian Weda susah ditebak. Suatu waktu dia banyak bicara dan bersikap celelekan, tapi di waktu yang lain Weda bisa sangat serius, dan tegas seperti saat menghadapi Kempetai. Namun, tak dimungkiri, Galoeh seperti menemukan sosok Galih, kakaknya, di dalam diri Weda yang selalu membela dan melindunginya.

“Kamu di sini cuma mau diam apa bantu suap aku? Atau mau membuang makanan karena jatuh seperti tadi pagi?” tanya Weda penuh sarkas, menunjukkan kesepuluh jarinya yang terbungkus. Sikapnya begitu santai seolah laki-laki itu tidak pernah mengalami penyiksaan yang brutal. 

Buru-buru Galoeh menyendok tim yang masih menguarkan uap panas dan menyuapkan ke depan mulut Weda yang sudah terbuka. Mulut Galoeh pun refleks membuka lebar saat memasukkan makanan ke mulut laki-laki dewasa yang bertingkah seperti anak-anak. 

"Loeh, timnya masih panas. Kamu mau bakar mulutku?” Weda melengos, menggigit bibirnya yang terkena panas kuah tim dan nasi.

“Maaf.”

Untuk sesaat mereka diam dengan Weda yang memberengut karena bibirnya terbakar. Ia mengamati Galoeh yang sedang meniupkan udara di atas permukaan sendok berisi tim ikan.

“Oh, ya, untuk pernikahan …” Embusan kasar keluar dari mulut Weda yang mengerucut. 

Alis GaIoeh terangkat. Dadanya bergemuruh kencang karena Weda tiba-tiba membahas topik pernikahan. Ia menanti ucapan Weda yang terjeda, tapi tak kunjung berlanjut hingga akhirnya gadis itu menyambung. “Mas Weda ndak usah mumet. Saya akan menyerahkan diri ke Kempetai.”

“Kamu gila? Percuma usaha kami melindungi kamu! Dan, kalau misal kamu tiba-tiba menyerahkan diri, itu artinya keluarga ini dianggap menipu dan melindungi kamu! Ya, walau memang begitu kenyataannya.”

“Trus saya harus bagaimana?”

“Terpaksa besok, kalau aku sudah lebih pulih, kita harus mencatatkan pernikahan. Dan, itu artinya kamu resmi menjadi istriku secara hukum  pemerintahan Dai Nippon,” ujar Weda dengan suara rendah.

Galoeh tidak bereaksi. Kepalanya rasanya penuh, tak bisa berpikir. 

"Apa kamu sudah ada kekasih? Sudah dijodohkan?” tanya Weda.

Galoeh menggeleng. 

”Ada yang kamu suka?” tanya Weda lagi.

Bibir tipis itu mengerucut. la bingung menjawab apa. Selama ini ia hanya bergaul dengan perempuan. Saat di lka Daigaku pun ia hanya menganggap teman laki-lakinya sebatas rekan belajar. Kalau ditanya jatuh cinta … jujur Galoeh belum tahu rasanya. Kata Tika yang pernah suka dengan teman Weda, jatuh cinta itu membuat malam terasa panjang karena otak kita terbayang-bayang oleh sosok yang kita cintai. Rasanya selalu rindu dan ingin terus bertemu. Sayangnya, Galoeh tidak pernah merasakannya. 

"Kok diam?” tanya Weda mendistraksi kebisuan Galoeh. "Ada yang kamu suka?”

Galoeh lalu menatap Weda yang masih memandangnya lekat. Bukannya menjawab Weda, ia lalu berkata, “Mas, seandainya Ibu ndak tiba-tiba ngendikan saya istri Mas, apa yang seharusnya terjadi sama saya?”

“Disiksa. Ah, itu masih bagus. Lebih parah, diperkosa sambil disiksa.” 

Kuduk Galoeh seketika bergidik.

“Loeh, aku tahu ini ndak ada dalam rencanamu. Tapi, semua yang terjadi ini di luar kendali kita. Apa kamu mau menyelamatkan keluargaku?” tanya Weda dengan kedua alis terangkat. 

"Apapun akan saya lakukan.” Galoeh mencicit, pasrah. “asal keluarga ini selamat. Lagipula kalau saya ndak ke sini, keluarga ini pasti ndak akan terlibat.”

***

Setelah Galoeh meninggalkan kamar usai menyuapinya, Weda kembali merasakan nyeri yang ia coba tahan dari tadi.  Seandainya ada obat analgesik, tentu ia tak akan menderita seperti ini. Pagi tadi, Romo Danoe baru akan mengambilkan obat anti nyeri yang begitu langka di Rumah Sakit Panti Rogo. Setelah Jepang datang, bidang kesehatan memang tidak terlalu diperhatikan. Beberapa rumah sakit diambil alih untuk kantor militer, dan pasokan obat-obatan mulai dari anti nyeri, antibiotik, hingga obat bius ditujukan untuk pasokan perang di Pasifik. Semisal kalau ada pun, stoknya terbatas. Sehingga bila ada kebutuhan mendesak, biasanya Romo Danoe mendapatkan obat dari pasar gelap yang tentu saja harganya menjadi berlipat-lipat.

Penderitaannya ini pasti tak akan terjadi kalau Souta tak melihat Galoeh. Mengingat penyiksaannya semalam, Weda mengakui profesionalitas Souta Sato. Walau mereka berteman baik, tapi saat menjalankan tugas Souta tetap melakukan standar yang berlaku.

Kepalanya kembali dipenuhi kenangan mengerikan yang terjadi beberapa jam lalu. 

“Weda Sensei, kenapa kamu membela gadis itu? Aku tahu kamu bukan suaminya.” Souta berbisik pelan ketika mereka berdua ada di ruang interogasi di markas Kempetai semalam. 

"Sato-Shoi, dia ndak bersalah! Anda tahu itu! Dia selama ini sekolah di Ika Daigaku, dan datang ke rumah suaminya.”

“Oh, ya?” Souta mencengkeram wajah Weda. “Jangan memaksaku berbuat sadis, Weda-kun! Lepaskan gadis itu untuk kami. Untuk apa kamu mempertahankannya yang justru akan membuat keluargamu ikut dicurigai? Aku ndak yakin kalian sudah menikah. Bukankah kamu kekasih Soeharti?”

Weda tidak melupakan ia masih kekasih Harti. Hanya saja, ibunya sudah memulai kebohongan. Bila ia menyangkal perkataan Ibu Lastri, masalah akan runyam. Bisa jadi ibunya akan ditangkap karena berusaha menyembunyikan anak pemberontak.

Sial! Untuk kesekian kali Weda merutuk. Mau tak mau, ia harus bersandiwara.

“Dia istriku! Sudah sewajarnya aku membelanya karena memang dia ndak tahu apa yang dikerjakan romonya setelah masuk ke keluarga kami! Lagi pula aku yakin romonya ndak terbukti bersalah!” Weda tak lagi memperhatikan bahasa fornalnya.

Souta justru tertawa. “Sayangnya keyakinanmu salah besar! Pengadilan mengatakan Tjokro Hadinata ber-sa-lah!” Souta sengaja memperjelas kata-katanya. “Malam ini dia akan dihukum mati!” Laki-laki Nippon itu menjambak rambut Weda hingga kepalanya mendongak. “Dengar, Tjokro Hadinata adalah orang berbahaya. Begitu kami mendapatkan kelemahannya, kami akan menyingkirkannya!”

Ternyata semua memang rekayasa. Dai Nippon sengaja mencari celah untuk menyingkirkan romonya Galeh karena Kempetai sudah menandai keluarga Galoeh. “Kamu sudah mendapatkan Raden Tjokro! Jadi bebaskan Galoeh!”

“Tidak bisa! Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Bibit pemberontak harus disingkirkan. Soemarti dan juga para abdi juga akan dihukum mati. Tentu saja Galoehasri akan mengalami nasib yang sama.”

“Souta, dia ndak tahu apa-apa!”

Plak! Sebuah pukulan keras mendarat di pipi Weda. “Kamu lancang, Weda-kun! Seharusnya kamu lepas tangan dari masalah ini!”

“Galoeh … dia ndak bersalah! Lepaskan dia kalau kamu mau membayar hutang budimu karena aku sudah menyelamatkan nyawamu dulu!”

“Kamu tawar-menawar dengan aku? Apa kamu belum kapok dengan kesepuluh kukumu yang aku cabut?” Mata sipit Souta membeliak.

“Kamu boleh siksa aku! Tapi aku yakin kamu ndak akan membiarkan hutang budimu kubawa mati,” desis Weda. Dalam kondisi jari-jarinya berkedut nyeri, ia masih berusaha mengembangkan senyum. “Bagaimana kalau keselamatan Galoeh,” dan juga ibuku, “aku tukar dengan hutang budimu. Bukankah dulu kamu berjanji akan membantuku apa saja begitu lepas dari Malaikat Maut? Jadi kita impas bukan? Setahuku orang Jepang pantang berhutang budi.” 

Souta mendorong Weda hingga kursi yang mengikat tubuhnya terjungkal. Ia menendangi Weda sambil berkata dalam bahasa Jepang yang tak ia pahami. Hingga akhirnya, seorang tentara berpangkat kopral datang memberi tahu ada saksi lain yang menguatkan alibi Weda. 

Harti masuk menatap nanar Weda yang sudah bersimbah darah. “Mas Weda!” Gadis itu berlari mendapati Weda yang terkapar di lantai.

“Harti-san, apakah kamu tahu kekasihmu ini sudah menikah dengan gadis lain?” Suara Souta menggelegar.

Harti tersentak, menatap Weda dengan pandangan tak percaya. Walau bibir keduanya mengatup, tapi mereka berbicara lewat sorot mata seolah Harti bertanya  tentang apa maksud Souta.

Lidah Weda kaku. Ia berada pada posisi sulit. Di satu sisi, ia harus mengingkari Harti, di sisi lain bila kebohongannya terungkap keluarga akan mendapat masalah. 

“Ta-tahu.” Suara Harti tercekat. Ia meremas lengan Weda.

“Siapa namanya?”

“Saya ndak peduli dengan nama perempuan yang merebut kekasih saya!” tandas Harti keras, meluapkan frustasinya.

Souta menatap Weda dan Harti bergantian, hingga seorang tentara yang lain masuk untuk mengabarkan sesuatu. Souta mendengkus setelah menyuruh anak buahnya keluar. “Aku lepaskan kamu kali ini. Tidak akan ada kesempatan kedua lagi. Jaga baik-baik istrimu!”

Weda mendengkus memandangi jari-jarinya. Situasi kemarin siang benar-benar membuatnya terjepit. Ia tak bisa berkelit saat Ibu Lastri menyatakan kebohongan untuk mengurai kecurigaan Souta, yang membuatnya tiba-tiba menjadi suami. Hatinya juga semakin nyeri saat mendapati Harti ikut menyangkalnya. 

Baru saja Weda akan merebahkan badannya yang nyeri, ketukan terdengar diikuti derik pelan pintu yang terbuka. “Mas, ada Mbak Harti.” Tika mendorong daun pintu hingga menguak sosok perempuan bergaun polos merah bata.

Hati Weda mencelus mendapati dokter perempuan yang bertugas di Panti Rogo—fasilitas kesehatan milik Kasunanan—itu masuk ke kamar. Weda pun kembali menegakkan tubuh. Sementara itu, Harti mempercepat langkah dan duduk di tepi ranjang menghadap Weda. 

“Aku membawa aspirin.”

Mata Weda membulat. “Akhirnya. Kamu memang tahu apa yang aku butuhkan.”

Harti meraih gelas yang ada di atas meja kayu bulat. “Ini diminum dulu.”

Weda menerima pil putih itu, segera memasukkan ke dalam mulutnya dan meneguk air dalam gelas untuk menggelontorkan pil pahit itu. “Kenapa kamu ndak tanya?” Akhirnya Weda membuka topik itu.

“Tika tadi sudah cerita semuanya,” kata Harti lirih.

“Maaf. Aku … juga bingung saat itu.”

Harti mengerutkan alis, menatap Weda, sahabatnya sewaktu sekolah di GHS. “Berarti Mas harus benar-benar mendaftarkan Galoeh sebagai istri Mas?”

“Harti, aku ….”

Harti menelan ludah kasar. Ia menunduk, mencengkeram lengan Weda. Bahunya bergetar kencang. Weda menarik raga langsing Harti, dan saat akan mengecup pucuk kepalanya, di saat yang sama Galoeh membuka pintu. Seketika Harti mengurai rengkuhan Weda.

“Maaf, saya cuma mau membawakan obat.” Galoeh pun meletakkan botol aspirin lalu segera mundur dan menutup kembali pintu kamar.

“Itu … Galoeh,” kata Weda kaku.

“Manis. Masih muda sepertinya,” komentar Harti miris. Weda tahu batin Harti pasti tercabik. Selama ini mereka menjadi kekasih tanpa Weda bisa memberikan kepastian akan masa depan hubungan mereka karena belum mendapatkan restu Ibu Lastri.

“Teman Tika …,” tambah Weda canggung.

Harti hanya mengangguk-angguk. Tak ada lagi percakapan renyah antara mereka. Hingga akhirnya Weda mencari topik untuk memecah kebekuan. “Kenapa bukan Romo Danoe yang bawa obat? Tadi beliau bilang akan pulang lebih awal.”

“Beliau sedang cari antibiotik. Ada beberapa kasus hongeroedeem yang terkena infeksi.” 

Weda mendengkus. “Antibiotik? Apa di Panti Rogo kehabisan?”

“Mas tahu sendiri pemerintah Jepang juga mengendalikan obat-obatan. Kami sekarang sangat membutuhkan karena banyaknya kasus infeksi yang harus kami tangani. Menurut laporan yang kami terima, ada lebih dari 2.000 jiwa lebih yang terkena hongeroedeem dan sangat rentan terhadap infeksi.” Embusan napas panjang menyusup dari hidung mungil Harti. “Kita benar-benar mengalami krisis pangan. Tahun ini memang banyak panen yang gagal karena kemarau yang panjang. Petani pun akhirnya nekat ndak mau menyerahkan hasil panennya ke kumiai. Jangankan dijual ke pasar gelap, untuk kebutuhan sendiri saja kurang.” Harti mendengkus dengan wajah masam  Gadis itu kembali menghela napas setelah berbicara panjang lebar dalam satu tarikan napas. Sementara itu, seperti biasa Weda akan selalu menyediakan telinganya untuk gadis itu. “Kamu tahu, Mas, sejak ada berita eksekusi Raden Tjokro, masyarakat jadi ketakutan menyembunyikan ataupun berbagi beras. Bahkan sekarang, ada penggrebekan rumah untuk melihat apakah ada nasi putih yang berlebihan di rumah itu. Kalau ketemu ya bakal dilaporkan ke Kempetai. Aku yakin setelah ini jumlah kasus malnutrisi akan semakin tinggi.”

“Edan, Jepang! Bisa-bisanya kita ndak bisa makan di negeri sendiri.” Weda geram.

“Percuma marah. Kita harus cari cara supaya bisa menekan kasus busung lapar. Walau fujinkai sudah memberikan pelatihan pengolahan makanan alternatif seperti Bubur Asia Raja dan Roti Asia ke setiap tonarigumi (RT), tetap saja ndak bisa menurunkan kasusnya.”

Weda mengerucutkan bibir, menghimpun ilham. “Kalau seperti ini, lama kelamaan penduduk kita habis karena mati kelaparan dan terkena penyakit.” Ucapan Weda terjeda sejenak untuk berpikir. “Ya wes, nanti aku bilang Gala untuk ambil antibiotik. Tapi, aku ndak bisa bantu banyak. Laporan penggunaan obat juga dicek. Lima cukup?”

“Matur nuwun. Aku ke sini malah dapat obat. Ndak sia-sia Mas jadi dokter di PETA.” Harti berusaha ceria, tapi Weda tahu batin gadis itu merintih.

“Harti, soal aku sama Galoeh, aku akan cari cara lain ….”

“Jangan gegabah. Mas mau cari mati? Lihat Mas seperti ini saja hatiku nelangsa apalagi kalau sampai kehilangan Mas. Ndak, aku ndak mau.” Harti mendekap Weda.

“Lha terus kita harus bagaimana?”

💕Dee_ane💕

FYI :
Kumiai adalah koperai model Jepang yang bertindak sebagai unit dasar  untuk memanipulasi seluruh struktur perekonomian yang dikendalikan semasa perang. Ada beberapa jenis koperasi dan yang paling berdampaak keras pada masyarakt pedesaan adalah jenis koperasi pertanian (nogyo kumiai) yang bertugas untuk mengumpulkan hasil pertanian bagi keuntungan pemerintah. Sedangkan untuk distribusinya terdapat organisasi terpisah  yang Haikyu Kumiai. Komoditas yang dibagikan adalah beras, bahan makanan pokok lainnya, tahu, tempe, minyak kelapa, garam, gula, kopi, teh, rokok, bahan sandang, minyak sabun, dsb. (Sumber : Beikoku Kouri kumiai pada masa Pendudukan Jepang di Surakarta Kochi tahun 1942-1945, Iwan Haryanto)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top