39. Cita-cita Galoeh
Sepuluh hari ini memang Weda terpaksa harus meninggalkan Galoeh untuk pergi ke Djakarta bersama Daru. Tugas ini sengaja diberikan kepada Weda sebagai bukti bahwa ia masih berkomitmen untuk ikut berjuang dalam pergerakan ini. Ia ke Djakarta untuk menemui penyelundup senjata kenalan Raka.
Mengetahui tugas yang berisiko itu, Weda sengaja tidak memberitahu Galoeh dan meminta Harti mengantarkan pesannya. Sepuluh hari tak bertemu, membuat Weda sangat rindu. Ia sebenarnya tak ingin melepaskan Galoeh. Tapi, kalau berlama-lama mencium Galoeh, ia yakin feromon manis yang menguar dari tubuh gadis itu akan membuat nalarnya terkikis. Bagaimanapun Weda adalah laki-laki sehat yang normal. Disuguh bibir merah yang mencebik itu, lama-lama keimanan Weda bisa goyah. Weda hanya takut, ketika pemberontakannya gagal, Galoeh akan bernasib seperti Mbok Panti atau Laksita yang menjadi janda dengan tanggungan anak.
Weda tidak bisa berhenti tersenyum bila mengingat ekspresi marah Galoeh yang menggemaskan. Bibirnya mengucap tak marah, tapi semua kelakuannya justru menyiratkan hal sebaliknya. Walau Weda sering dibilang tidak peka, tapi kelakuan yang ditunjukkan Galoeh benar-benar terlihat jelas.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” Gala yang sudah kembali berhubungan baik seperti semula, menepuk pundak Weda.
Weda mendengkus. Betul kata teman-temannya, Galoeh bisa membuyarkan perhatiannya pada pergerakan karena otak Weda memang selalu dipenuhi bayangan gadis itu. “Senang saja. Akhirnya semua lancar.”
“Tapi kenapa lama sekali kamu ke sananya? Ketemu Tuan Djamal kan hanya beberapa jam?” Gala mengulurkan ubi rebus ke hadapan Weda.
“Aku sengaja ndak pulang dulu. Di Djakarta sedang ramai penangkapan dokter Achmad Mochtar.”
“Ah, ya! Aku baca berita di surat kabar.” Gala menyahut. “Beliau dituduh mensabotage vaksin di Kamp Romusha Klender bukan?”
“Iya. Betul. Lantas aku bertemu Yuuto Kagami Sensei.” Weda menggeleng-geleng prihatin. “Waktu itu dia menentang penangkapan dokter Achmad yang dilakukan ayahnya. Dia yakin Lembaga Eijkman ndak akan melakukan hal sekeji itu karena mereka adalah dokter yang berpegang pada kemanusiaan.”
“Gila! Jepang ini semakin menjadi-jadi edannya!” Gala meremas ubinya hingga peyot. “Aku yakin mereka sedang bereksperimen membuat senjata biologis.”
“Bisa jadi. Yuuto dulu juga bagian unit 731. Tapi dia ndak tahan karena mereka dengan sadisnya melakukan eksperimen dan ayahnya akhirnya menarik dia ke sini,” cerita Weda.
“Kamu terlalu sering bersahabat dengan orang Jepang, Weda.” Gala kembali melahap ubinya.
“Ndak ada salahnya bersahabat. Beberapa orang Jepang itu baik sebenarnya. Seperti Souta dan Yuuto.”
Gala mendengkus, sambil mengunyah makanannya. “Tapi apalah arti segelintir orang baik Nippon! Tetap saja mereka menjajah kita.”
“Kamu tenang saja. Mereka ndak akan lama menguasai negeri ini. Aku percaya ramalan Jayabaya yang mengatakan bila Pulau Jawa tinggal selebar daun kelor, maka akan ada wiring kuning dedege cebol kepalang yang menguasai Pulau Jawa selama seumur jagung.” Weda menepuk pundak Gala. “Jadi, percaya saja. Sebentar lagi mereka akan hengkang.”
“Lalu kamu ke mana lagi ke Djakarta? Irawan sempat berpikir kamu mangkir karena ndak pulang-pulang.” Gala menguliti ubi yang masih hangat itu.
“Aku ke Ika Daigaku. Menemui dosen di sana untuk menanyakan proses Galoeh bisa kuliah lagi.”
“Galoeh meneh, Galoeh meneh!” Gala menggeleng heran. “Kamu ini benar-benar kesihir sama Galoeh.”
Weda meringis. “Kamu juga begitu kan, sama adikku? Sudah ditolak mentah-mentah masih saja datang ke rumah.”
“Gala berdecak. “Itu lain. Adikmu ndak nyusahi.”
“Dia suka sama Souta.” Weda mengingatkan.
“Dan Souta suka sama istri kecilmu!” balas Gala.
Batin Weda tercubit. Ia melupakan fakta itu. Namun, ia hanya terkekeh saja mendengar balasan Gala. Ia yakin Galoeh tak akan bermain api di belakangnya.
***
Di sisi lain, Galoeh pikir, hidupnya akan tenang tanpa direcoki Ibu Lastri. Nyatanya, siang ini Ibu Lastri datang lagi bertepatan saat Galoeh tiba di rumah dinas.
“Belum ada kabar baik, Nduk?” Ibu Lastri kembali bertanya untuk kesekian kali.
Galoeh hanya menggeleng. Bagaimana bisa punya anak kalau Weda begitu sopannya. Lelaki itu gemar menciumnya saja, setelah itu mengajak tidur. Hanya tidur!
Ibu Lastri berdecak, sambil berkacak pinggang. Bibirnya memberengut dengan alis mengerut. “Ndak mungkin kalau ramuan Baba Jie gagal! Katanya, selain bisa meningkat gairah dan stamina suami istri, ramuan itu juga meningkatkan kesuburan.” Wanita yang membalut tubuh dengan kebaya kutu baru itu menggeleng. “Galoeh, sebaiknya kita ke Toko Obat Baba Jie. Kita coba tanya-tanya.”
Jelas Galoeh tak bisa menolak saat diseret Ibu Lastri ke Pasar Gede. Sepanjang perjalanan, Galoeh gelisah. Jelas-jelas ramuan itu tak bekerja karena Galoeh membuangnya. Lagipula sepertinya memang Weda tidak berniat menghamilinya sehingga sekeras apapun usaha Ibu Lastri pasti akan gagal karena Weda tak pernah bercocok tanam di lahan suburnya.
“Nanti kamu tanyakan keluhanmu ke Baba Jie atau Koh Lian. Bapak anak itu sangat cermat memberi resep ramuan.” Ibu Lastri bercakap dengan sangat bersemangat. Sementara itu, Galoeh hanya diam dan tersenyum saja.
Tak lama berselang, tibalah mereka di Pasar Gede yang dibangun dengan atap besar sehingga orang-orang menamakannya demikian. Delman yang mereka tumpangi masih menyusuri ruko-ruko di bagian depan yang rata-rata dimiliki orang Tionghoa. Begitu mereka sampai di depan bangunan bernama “Toko Obat Baba Jie”, Pak Kusir langganan Ibu Lastri menarik tali kekang hingga kereta yang ditarik kuda berhenti.
Mereka lalu turun dan dengan segera Ibu Lastri menarik tangan Galoeh sehingga kaki yang awalnya berat itu melangkah memasuki toko yang didominasi aroma dupa. Sapaan ramah menyambut kedatangan mereka dari seorang laki-laki Tionghoa muda berkulit kuning. Tubuh tegapnya dibalut cheongsam putih sederhana. Setelah memperkenalkan Galoeh dengan singkat, Ibu Lastri bercakap dengan laki-laki itu. Sementara itu, Galoeh memilih mengedarkan pandangan berkeliling dan tatapannya tertuju pada laki-laki dengan kemeja putih tulang dan celana hitam.
Spontan Galoeh meninggalkan Ibu Lastri dan bergegas menghampiri Daru yang sedang menikmati kuaci biji semangka. “Mas!” Galoeh menepuk Daru dengan senyum lebar. Ia pernah bertemu Daru sewaktu masih di Ika Daigaku dan syukuran rumah dinasnya.
“Galoeh? Kenapa ada di sini?” Mata Daru membulat. Ia bangkit menyalami Daru.
“Ini … diajak ibu mertuaku.” Pipi Galoeh memerah karena malu bila ketahuan Daru alasan ia ke sini.
Daru melongok sambil mengangguk-angguk.
“Lha kok Mas di sini? Belum berangkat ke Blitar?” tanya Galoeh karena ia sempat menguping pembicaraan mereka.
“Belum.” Daru menggigit ujung kuaci dengan gigi depannya untuk mengeluarkan isinya. “Aku kemarin ke Djakarta bersama Weda untuk mengurus perpindahan. Ini sengaja mampir dulu buat pamitan sama Romo. Nanti malam berangkat.”
Galoeh menarik bibir tipis. Ternyata selama ini Weda pergi bersama Daru. Saat Galoeh akan membuka percakapan lagi, Ibu Lastri menghampiri mereka. “Loeh, Ibu sudah tanya sama Koh Lian. Dia bilang racikannya ndak ada yang salah. Mestinya bisa meningkatkan kesuburan kalian. Coba kamu tanya sama Baba Jie. Siapa tahu ada pantangan makan.”
Rasanya Galoeh ingin diserap bumi saat itu juga. Bagaimana bisa Ibu Lastri menyebut-nyebut kesuburan di depan teman Weda?
“Ah … ya.” Galoeh meringis, melirik Daru yang senyum-senyum sendiri. “Oh, ya, Bu. Kenalkan ini Mas Daru. Teman Mas Weda. Anggota PETA Djakarta yang mau pindah ke Blitar.”
Daru memberi salam dan memperkenalkan diri dengan singkat. “Ah, Loeh, itu Baba Jie.” Laki-laki itu terlihat sekali menahan senyum gelinya.
Setelah berpamitan sejenak dengan Daru, Lian mengantar Galoeh dan Ibu Lastri ke ruangan yang dikhususkan untuk konsultasi.
Galoeh merasa tak enak hati karena diseret Ibu Lastri ke bilik kecil yang ada tempat tidur yang digunakan untuk akupuntur. Setelah Ibu Lastri menjelaskan panjang lebar seolah dialah pasiennya, Baba Jie kemudian membuka suara.
“Jadi, setelah minum racikan ini selama seminggu tidak ada khasiatnya?”
Galoeh menunduk, sambil menggigit bibir. Ia tak ingin berbohong sehingga Galoeh menjawab, “Sebenarnya ramuan itu ndak pernah suami saya minum. Saya minum pun kalau dibuatkan Ibu.”
“Ndak pernah diminum?” Ibu Lastri tampak heran.
“Maaf, Bu. Lagi pula Mas Weda terlalu sibuk, jadi … kami … ndak pernah melakukannya.” Wajah Galoeh terasa panas saat mengungkap kebenaran yang ingin ia tutupi.
“Apa? Kalian selama ini kumpul tapi ndak pernah ….” Dada Ibu Lastri kembang kempis dengan mata membeliak menatap Galoeh yang hanya menunduk. Wanita itu tak bisa melanjutkan ucapannya. “Tunggu … jangan-jangan kamu masih … perawan?”
Galoeh ingin menciut rasanya. Tapi pada akhirnya ia mengangguk saja.
Kemarahan Ibu Lastri meledak. Wajahnya merah padam dengan dada kembang kempis. “Sampaikan ke Weda, Ibu mau bertemu di rumah. Besok!”
***
Galoeh tak berani menampik titah Ibu Lastri. Bagaimanapun Ibu Lastri berhak mendambakan keturunan bagi kelangsungan keluarganya. Galoeh sendiri tak tahu alasan kenapa Weda tak mau menjamahnya. Sehingga malam ini, dengan terpaksa Galoeh harus menyampaikan pesan Ibu Lastri.
Seperti biasa begitu pulang pada pukul enam sore, Weda akan mandi. Selama Galoeh menghangatkan nasi dan sayur yang sudah dimasak sore tadi untuk disantap bersama-sama, pikirannya tetap tak tenang. Bagaimana kalau Weda marah karena rahasia rumah tangga mereka terungkap? Saking riuhnya kepala Galoeh, ia tak sadar Weda sudah selesai mandi dan buru-buru Galoeh menyajikan nasi putih, sayur bening bayam, dan ikan asin.
“Loeh, kamu tambah pinter masak.” Weda mengunyah makanannya dengan bersemangat seperti tak makan seharian
Galoeh tersenyum simpul, sambil menyibakkan anak rambutnya ke belakang telinga.
“Setidaknya hari ini sayur beningmu ndak kemanisan. Tapi sedikit asin.” Weda terkekeh.
Galoeh berdecak. Bibirnya merengut. Tetap saja ia belum bisa memasak dengan enak karena walaupun Weda menghabiskan masakannya, laki-laki itu tetap akan mengoreksi rasanya. “Maaf ….”
“Tapi, masih bisa dimakan kok.” Weda bahkan menambahkan satu entong nasi lagi ke piringnya.
Walau sempat terdistraksi dengan percakapan tadi, pikiran Galoeh kembali teringat pada pesan Ibu Lastri. Maka, ia pun menceritakan kejadian tadi siang pada suaminya.
“Jangan dipikirkan. Kalau memang Ibu ingin kita pulang, ya kita pulang saja,” jawab Weda santai.
Alih-alih menenangkan, Galoeh justru bingung dengan sikap Weda. “Mas, kenapa Mas ndak mau …” Galoeh menggigit bibir. Lidahnya kelu ingin melontarkan pertanyaan yang selama ini dipendam.
“Ndak mau menjamah kamu?” tebak Weda jitu yang membuat Galoeh semakin merunduk. Malu.
Galoeh hanya mengangguk.
“Kamu masih muda. Cita-citamu belum tercapai. Aku ndak mau kamu terbebani menjadi istri dan tuntutan Ibu.”
“Kalau saya ndak mau sekolah lagi?”
“Tunggu, cara bicaramu seperti bukan Galoeh yang kukenal.” Alis Weda mengernyit.
“Memang seperti apa saya di mata Mas?” Galoeh terus mendesak dengan pertanyaan.
“Kamu itu punya pandangan luas. Bukannya kamu ingin bisa mengabdikan ilmu yang dipelajari untuk masyarakat luas. Jelas ndak mungkin kamu menolak sekolah.”
Memang menghadapi Weda, Galoeh selalu kelabakan. Ucapan yang terlontar bisa menjadi bumerang karena bisa berbalik menyerangnya. Kalau seperti ini, Galoeh merasa rendah diri. Ia tak pantas bersanding dengan Weda yang pintar hingga mendapat tawaran untuk meraih gelar dokternya di Amsterdam. Seandainya ia bisa bersekolah detik itu juga, ia akan lakukan. Tapi, Galoeh bukanlah Galoehasri yang dulu. Dia sekarang menyandang gelar Nyonya Wedatama.
“Mas ingin sekali saya sekolah lagi?”
Bibir Weda mengerucut, seolah berpikir. “Iya. Aku pengin kamu sekolah dan akhirnya kita menjadi pasangan yang saling bahu-membahu melayani orang sakit yang membutuhkan pertolongan kita.”
Galoeh paham maksudnya. Ketika melihat interaksi Weda dan Harti, Galoeh tahu Harti lebih bisa banyak membantunya dibanding dirinya. “Apa Mas malu menjadi suami saya karena ndak seperti Mbak Harti? Apa Mas mau menjadikan saya pribadi seperti Mbak Harti?”
“Kenapa nyebut Harti? Wes, kita bicarakan besok saja saat pulang. Habiskan makananmu.” Weda menyudahi obralan itu.
Galoeh akhirnya kembali menyantap makanannya yang memang terasa sedikit asin. Padahal ia merasa sudah pas waktu mencicipinya. Galoeh semakin kesal. Bahkan dalam melakukan hal kecil saja, ia tak becus.
Minggu pagi itu, seperti rencana semula, mereka berkunjung ke kediaman Tirtonagoro sesuai perintah Ibu Lastri. Terang saja Ibu Lastri sudah menunggu dengan tidak sabar. Bahkan begitu mereka tiba, Weda dan Galoeh sudah ditarik duduk di ruang tamu bersama Romo Danoe. Wanita itu menggeleng berulang sambil membuang muka bahkan sebelum Weda menyelesaikan alasan kenapa mereka tidak melakukan hal yang lumrah layaknya sepasang suami istri.
“Ngger, Ibu tahu Galoeh bercita-cita jadi dokter. Tapi, itu bukan alasan kamu ndak memberi hak Galoeh.”
Galoeh hanya menunduk sambil meremas kain gaun di pahanya. Wajahnya sudah merah karena malu membicarakan topik ini.
“Bu, seharusnya kita mendukung cita-cita Galoeh,” tandas Weda.
“Itu bagus!” Romo Danoe menyahut. “Memang sebaiknya Galoeh sekolah lagi. Tapi, urusan itu, kenapa ndak dilakukan, Le? Kalian sudah sah. Mosok bojomu masih perawan.”
Galoeh memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Memang menjadi dokter adalah cita-cita Galoeh sejak awal, tapi kenapa hasrat itu memudar. Gejolak dalam hidupnya serta romantika pertama yang ia rasakan telah berhasil mengaburkan niat belajarnya. Betul kata Weda, di mana Galoeh yang dulu?
Selepas percakapan itu, Weda dan Galoeh masuk ke kamar. Untuk beberapa menit, Weda masih membisu dan duduk di depan meja tulis yang ada di kamar itu. Keheningan yang hanya diisi detak detik jarum jam, seolah mencekik Galoeh. Namun, ia merasa bersalah pada Weda yang dicecar habis-habisan orang tuanya sehingga perlahan-lahan Galoeh mendekat.
“Mas, maaf. Ndak seharusnya saya cerita ke Ibu,” kata Galoeh berdiri di sebelahnya.
Weda mendongak, menatap wajah menunduk Galoeh. “Loeh, aku hanya memikirkan kamu. Aku masih laki-laki normal. Dengan atau tanpa ramuan, aku pengin sentuh kamu. Peluk kamu. Tapi, kalau hanya melampiaskan hasrat dan kamu pada akhirnya hamil, lalu … bagaimana dengan cita-citamu?” Weda meraih tangan Galoeh dan mengecup buku jarinya. Kecupan itu berhasil membuat hati Galoeh bergetar. Weda menuntun Galoeh duduk di pahanya. “Dengar, apa kamu benar-benar minta dinafkahi batin hingga mengadu pada Ibu?” Mata Weda menyipit, sambil mengelus pipi Galoeh lembut.
Galoeh menepuk manja dada Weda. Pipi yang merona terlihat merah diterpa sinar matahari dari jendela yang terbuka. “Mas Weda ini kok ngomong begitu?”
Kekehan keras Weda membuat Galoeh sangat malu hingga ia menangkup wajahnya. Tangan besar itu lalu menarik tangan yang menutup muka Galoeh, dan mengecup pipinya. “Kamu menggemaskan sekali, Loeh. Apa kamu ndak tahu tersiksanya aku tidur sama kamu setiap malam?”
💕Dee_ane💕
Long weekend udah berakhir. Besok kembali bekerja. Semoga kalian terhibur dengan cerita ini biar makin semangat.
Oh, ya, di KK udah tamat. Silakan merapat ke sana. Yang di sini, k3k biasa jangan lupa jejak kalian yak ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top