38-b. Amarah Galoeh

Menikah ternyata bukan akhir dari sebuah perjalanan. Apalagi ia menikah dengan prajurit yang berdedikasi seperti Weda yang sering mendapat tugas dalam jangka waktu tertentu. Seperti sekarang, sudah hari kesepuluh tapi Weda tak kunjung pulang. Malam-malamnya selalu berakhir dengan kesendirian.

Sampai akhirnya penantian panjang Galoeh usai ketika ia akan mencoret angka pada kalender. Malam ini, decit rem sepeda di depan pintu kembali terdengar. Sebagai istri yang baik, ia menyambut Weda dalam penampilan terbaiknya : gaun hijau pastel yang apik membalut kulit kuning dan kepangan rambut rapi yang disampirkan di bahu hingga menjuntai di dadanya. Namun, penampilan rapinya tak dibarengi dengan senyuman manis. Hatinya yang diliputi kejengkelan, tersorot jelas di wajah yang datar. Walau sebenarnya Galoeh ingin bertanya ke mana Weda akhir-akhir ini tapi ia menahan lidahnya dan menelan kembali kalimat tanya yang sudah menyusup di rongga mulut karena Weda terlihat lelah. Ia tak akan mempertanyakan kalau memang Weda tidak bercerita. Dan mungkin ini justru perjuangannya untuk mempercayai suaminya di saat ia melihat dan mendengar hal yang menyakitkan.

"Kamu ... kok diam saja?" tanya Weda saat mereka makan malam dengan sayur pecel serta peyek teri kiriman Ibu Lastri.

"Ndak pa-pa, Mas." Susah payah Galoeh meredam kedongkolannya. Tetap saja nada dingin terlontar dari mulutnya.

"Ehm, sepuluh hari ini aku ada tugas. Jadi, terpaksa ninggal kamu."

Galoeh mengangguk. Dalam hati, ia paham sekali Weda sibuk bersenang-senang dengan Harti.

"Mbak Harti sudah cerita." Suara Galoeh terdengar seperti geraman sinis.

Selanjutnya tak ada percakapan lagi. Weda sepertinya tak menanggapi saat ia menyebut nama Harti dengan nada kesal. Lantas beberapa menit kemudian, suara Weda kembali terdengar. "Ini sambel pecel dan peyeknya Ibu?"

"Sudah tahu kenapa tanya?" Galoeh sekarang ingin mencubit bibirnya karena tak bisa menyembunyikan kejengkelannya.

Mendengar sahutan Galoeh, Weda melongo. "Loeh ...?"

"Oh, ya, Ibu kapan lalu datang, mengantar ramuan baru. Selama ini saya buang sehari satu, biar kesannya Mas pulang dan minum tiap hari." Galoeh sengaja memberi penekanan pada kata 'pulang'. "Njagani kalau tiba-tiba Ibu datang dan ngecek. Jadi, kalau ditanya Ibu, bilang saja sudah diminum." Galoeh lantas bangkit begitu saja lalu membereskan piring yang ada di meja tanpa menatap suaminya.

Selepas mencuci piring bekas makan malam mereka Galoeh bergegas masuk kamar, melepas gaunnya hingga sebatas pinggang, dan membiarkan tubuhnya berbalut kutang untuk mengurangi keringat di tubuhnya. Walau sudah menyeka wajahnya, tetap saja tubuhnya terasa panas karena seharian awan hitam hanya menggantung saja di langit tapi tak kunjung mengucurkan hujan. Ditambah lagi suasana hatinya semakin gerah dengan tingkah Weda yang tidak menjelaskan tugas apa yang harus ia lakukan hingga harus meninggalkannya selama sepuluh hari.

Galoeh lalu duduk di belakang meja dan mengurai kepangannya. Sambil menyisir, ia kembali mengingat kejadian saat Weda menyusulnya ke Bojalali dan bagaimana ucapan manis itu meyakinkan Galoeh, membuatnya benar-benar berakhir menjadi Nyonya Wedatama.

"Berikan cucu untuk Ibu." Pesan Ibu Lastri kembali terngiang. Seketika ia menggeleng berulang untuk menguapkan pikiran anehnya. Ia lalu mengambil kipas untuk membuat udara agar bisa mengurangi penat di hati dan badannya.

Baru saja kesejukan dirasakan tubuhnya, Galoeh kemudian tersentak mendengar derak kasar pintu terbuka. Ia menoleh dan mendapati Weda yang membalut tubuh bawahnya dengan handuk. Ujung rambutnya mengalirkan air dan menetes membasahi dada telanjangnya.

"Mas!" Galoeh buru-buru berdiri dan menarik gaunnya ke atas sambil melangkah keluar. "sa ... saya keluar dulu."

Saat akan melangkah dari ambang pintu, tiba-tiba tangan besar memegang bahunya. Galoeh memekik dan seketika menyikut perut orang yang ada di belakangnya. Detik berikutnya gantian Weda yang mengerang karena sikutan Galoeh tepat di ulu hatinya. Laki-laki itu melepas rengkuhannya dan membungkuk, sambil meringis. "Kamu ... kenapa nyikut aku?"

"Lha Mas kenapa tiba-tiba pegang saya? Mana kalau jalan ndak ada suara, macam kucing!" Seperti biasa Galoeh akan selalu menjawab. Ia cepat-cepat memasukkan kedua tangannya ke masih lubang lengan gaun untuk menutupi tubuh atasnya yang masih berbalut kutang. Tapi, melihat wajah Weda yang memerah, ia buru-buru mendekati suaminya. "Mas ndak pa-pa?" Galoeh berusaha membantu Weda menegakkan tubuh.

Weda perlahan bangkit. Dan, ketika Galoeh lengah, ia menarik tubuh mungil istrinya dalam dekapannya. "Menantu keluarga Wedatama itu selalu pengin menang. Persis Nyonya Danoe yang ndak mau kalah."

"Mas, lepas!" Galoeh berusaha mendorong tubuh kekar Weda.

Weda menggeleng. Rengkuhannya semakin kuat. "Loeh ...." Suara Weda terdengar semakin serak. Ia mengangkat dagu gadis itu dan menatapnya dengan sorot lembut. Jantung Galoeh berontak hanya karena ditatap laki-laki dewasa itu. Bola matanya bergulir gelisah, enggan membalas pandangan Weda. "sepuluh hari ini kamu di sini sendirian?"

"Lah memang sama siapa?"

"Kamu marah?" tanya Weda.

Ya, Galoeh ingin meneriaki Weda kalau ia sangat marah. Apalagi Harti yang menyampaikan kabar itu. "Buat apa marah? Mas pasti sibuk. Kalau sudah waktunya pulang, pasti Mas akan pulang." Sebenarnya Galoeh kapok ke markas. Setiap ke sana, Galoeh selalu sakit hati.

"Iya. Aku ada tugas penting dan rahasia."

Dan, serahasia apa tugasnya sampai tidak menjelaskan padanya? Kekesalannya seolah basi begitu saja, ketika hari demi hari berganti. Dan detik ini pun Weda tak berusaha menceritakan apa yang ia lakukan selama ini.

Sementara itu, Galoeh memilih diam. Ia malas mengungkit sakit hatinya karena kalau memang ia berhak tahu, pasti Weda akan memberitahukannya. Namun, akankah Galoeh kuat? Bagaimana bila pondasi kepercayaannya terkikis?

Galoeh membisu. Dalam heningnya, hanya napas yang memburu saja yang tertangkap telinga Galoeh. Kening lali-laki itu menempel di dahi Galoeh dengan mata terpejam. Perlahan bibir Weda mendekat dan mendarat di bibirnya, menghantarkan gelenyar di sekujur tulang belakangnya.

Raga Galoeh semakin tegang. Setelah Weda pergi selama sepuluh hari ini, tiba-tiba laki-laki itu pulang. Setelah perutnya kenyang dan badannya bersih, Weda masuk ke dalam kamar dan menciumnya. Galoeh seketika mendorong dada Weda, agar tidak larut dalam permainan Weda.

"Pakai bajunya, Mas. Nanti masuk angin." Galoeh memalingkan wajahnya, menyembunyikan pipi merah padam.

"Loeh, kamu betulan marah, ya?" Bisa-bisanya Weda memasang tampang memelas. "Sepuluh hari ini aku pengin pulang, tapi aku harus menyelesaikan tugasku dulu."

"Ndak usah dibahas." Galoeh masih membuang muka. Ia merutuki diri karena tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Galoeh memang dididik menjadi perempuan yang selangkah lebih maju dibanding perempuan pada masa itu sehingga ia selalu mengatakan apa yang ia pikirkan. Tapi sekarang, lidahnya kaku. Padahal di otaknya ia ingin mencecar Weda dengan banyak pertanyaan.

Weda lalu membungkuk. Bibirnya kembali mengecup pelipis dan merambat ke telinganya.

"Mas jangan gini ...."

Weda menarik kepalanya dengan alis mengerut. "Katamu kamu ndak mau membahas?"

"Tapi bukan seperti ini juga!" Bibir Galoeh memberengut. "

"Lha kamu maunya apa?"

Galoeh geregetan dengan sikap Weda. Ia sudah tak bisa menahan diri lagi. "Iya, aku marah! Marah karena Mas ninggal aku sepuluh hari! Marah karena Mas sampaikan pesan malah lewat Mbak Harti! Puas? Jadi ndak usah peluk-peluk atau cium-cium." Dada Galoeh kembang kempis. Seperti orang kebelet BAB, akhirnya ia bisa lega mengeluarkan apa yang harus dikeluarkan.

Sementara itu Weda melongo lalu tawanya mengudara dua detik kemudian. "Kamu cemburu?"

Susah payah Galoeh menelan ludahnya sendiri. Mengerjap berulang. "Untuk apa cemburu?" jawabnya ketus. Tak semudah itu ia mengakui apa yang ia rasakan saat mengingat hubungan Weda dan Harti masih saja sangat dekat hingga mereka bisa berbicara dengan intens seperti tak ada penghuni bumi yang lain siang itu.

Weda lalu menarik tubuh mungil ke dadanya yang masih lembab. Sekali lagi ia mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya dan memeluk gemas. Pipi Galoeh terasa panas ketika kulitnya menempel di dada liat itu sehingga matanya bisa memindai lekukan otot dada kanan Weda yang tertutup simbar halus. Jantung Galoeh berdebar tak beraturan. Ia berusaha mengurai rengkuhan Weda.

Namun, Weda justru mempererat rengkuhannya dengan gemas. Ia lalu mengangkat dagu Galoeh dan menatapnya tajam. "Sudah aku bilang jangan merengut seperti itu!"

"Kalau Mas ndak suka, tutup mata saja." Bibir Galoeh makin maju, menantang Weda.

Namun, yang terjadi Weda membungkuk dan bibir mereka kembali bertemu. "Kalau kamu merengut seperti ini, aku jadi pengin cium kamu."

Pipi Galoeh sontak seperti terbakar. Sekarang ia tak bisa melawan karena Weda telah mendorongnya hingga punggung Galoeh menempel cermin di pintu lemari. Kecupan Weda yang intens, tak bisa Galoeh imbangi. Gadis itu hanya bisa mencengkeram lengan Weda hingga kukunya menancap, berharap Weda melepaskan pagutannya.

Weda melepas ciumannya ketika Galoeh sudah kehabisan napas. Ia berbisik lembut di samping telinga Galoeh. "Loeh ...." Embusan udara dari bibirnya membuat kuduk Galoeh meremang. "Maaf aku sudah ninggal kamu sepuluh hari ini. Terima kasih kamu sudah menungguku."

Kata maaf dan terima kasih itu menggetarkan hati Galoeh. Galoeh memukul lemas lengan Weda dan memeluknya dengan berurai air mata. "Jahat! Kenapa harus Mbak Harti yang memberitahu? Kenapa membuat aku terus menunggu Mas?"

Weda menarik wajahnya lalu mengelus pipi Galoeh yang sudah basah oleh bulir bening dengan gerakan lambat. "Maaf." Jakun Weda naik turun. Lelaki itu perlahan mengikis jarak hingga bibir mereka kembali bertemu. Desir itu datang lagi. Galoeh kini hanya pasrah, menerima perlakuan Weda yang sepertinya sudah menghipnotisnya. Mungkin nalarnya sudah terkikis dengan ramuan yang disiapkan ibu mertuanya untuk Galoeh siang tadi.

Pelan tapi pasti, Galoeh mengikuti instingnya. Dan seperti laki-laki yang memimpin dalam dansa, Weda pun memimpin keintiman mereka. Laki-laki itu kemudian memperdalam pagutan bibirnya hingga otot pencecap mereka saling membelit seolah tak ingin melepaskan Galoeh.

Galoeh terengah. Ia membuka mata dan melihat wajah Weda yang menatapnya dengan lembut. Lelaki itu mengecup keningnya seolah ingin menghisap keraguan dalam otaknya. "Loeh, aku ... tresno sama kamu."

Pipi Galoeh memerah. Menatap Weda dengan pandangan berkabut hasrat.

"Ayo kita tidur."

"Ti ... tidur?" gumam Galoeh dengan napas satu-satu didera hasrat yang menggeliat.

"Iya." Weda menggeser badan Galoeh dan membuka lemari untuk mengambil baju.

Ia merutuk sambil memunggungi Weda untuk menetralkan gejolak yang sudah tersentil. Sudah? Hanya ini saja?

💕Dee_ane💕

Galoeh dan Weda datang lagi😬 Semoga kalian terhibur di awal minggu ini. Jangan lupa kasih vote n banyak komen. Kalau di KK, udah tamat yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top