38-a. Amarah Galoeh

Perlakuan Ibu Lastri setelah ia benar-benar menjadi menantu keluarga Tirtonagoro rupanya sungguh membuat Galoeh kehabisan kata-kata. Walau sudah tinggal di rumah dinas, Ibu Lastri masih saja datang untuk memantau perkembangan hubungan anaknya. Seperti sekarang, saat ia kembali dari sekolah, Ibu Lastri sudah menantinya di depan rumah dinas.

“Ibu repot-repot segala mengunjungi kami terus.” Galoeh buru-buru turun dari sepeda dan membukakan pintu untuk mertuanya.

Ibu Lastri menggerakkan kipasnya lalu masuk ke rumah yang udara sejuknya begitu kontras dengan udara siang ini. “Ibu tadi habis dari Pasar Gede. Belanja beberapa kebutuhan, sekalian ke tempat Baba Jie buat membeli ramuan kalian yang sudah mau habis.”

Galoeh tersenyum getir sambil mengangkat kendi untuk mengisi gelas, lalu meneguk airnya. “Ibu ini repot-repot segala.” Pipi Galoeh memerah.

“Nduk, Ibu pengin cepet-cepet nggendong cucu. Kata teman Ibu, anaknya langsung mbobot begitu dikasih ini. Padahal sudah setahun lebih ndak hamil-hamil.” Ibu Lastri mengeluarkan bungkusan kertas dari dalam tas anyaman pandan dan meletakkan ke atas meja. “Pastikan kalian minum teratur.”

Galoeh tersipu. Bahasan itu terdengar memalukan karena menyentuh ranah pribadinya. Bisa jadi nanti Ibu Lastri juga akan menentukan posisi bercinta mereka juga.

“Nduk, kamu yang sabar ya sama Weda. Dia itu terlalu banyak kumpul sama teman-teman laki-lakinya.” Ibu Lastri menggeser duduknya di dekat Galoeh. Ia menarik tangan menantunya dan mengelus punggung tangannya. “Jadi, kamu harus yang lebih aktif. Weda itu persis Romo. Klemar-klemer (Lambat) kalau soal mengerti perempuan. Ndak dosa kok menggoda suamimu!”

Galoeh meringis. Ia justru membayangkan Ibu Lastri yang galak menggoda Romo Danoe. Lantas ia menggeleng menepis pikiran anehnya. 

“Kamu sekarang masa kini dan masa depan Weda. Walau mereka sudah ndak jadi kekasih, tapi kamu jangan mau kalah sama pesona Harti. Dia sekarang hanya jadi teman dan kamu istrinya, jadi, kedudukanmu lebih tinggi. Mengerti?” 

Galoeh menjadi teringat dengan Harti. Gadis itu pasti bersedih karena laki-laki yang ia sayangi menikah dengan gadis yang tiba-tiba datang. Dan, teman-teman Weda yang juga sahabat Harti pasti tidak setuju dengan pilihan Weda karena mereka tak datang di acara pemberkatan kemarin.

Seperti biasa Galoeh hanya mengangguk. Percuma juga berdebat karena Ibu Lastri selalu merasa benar. Dan, sesuai pesan Ibu Lastri sebelum pulang, ia pun menyiapkan ramuan untuk Weda. Sayangnya, yang ditunggu tidak kunjung datang. Padahal guntur mulai bersahut-sahutan, yang menjadi isyarat akan turun hujan. 

Waktu sudah melebihi jam malam. Namun, Weda tak kunjung datang tanpa pemberitahuan. Dan, kini untuk kali pertama setelah kemarau panjang, angkasa menumpahkan airnya dengan dibarengi kilat dan gemuruh guntur yang membuat Galoeh teringat pada malam Galih, sang kakak, meninggal karena kecelakaan. Galoeh hanya bisa berlari ke kamar tak peduli kegelapan yang tiba-tiba menyergap karena pemadaman listrik. Ia memekik saat kepalanya terantuk dinding karena salah mengenali pintu. Sambil tangannya menggapai udara, gadis itu masuk dan segera naik ke ranjang untuk menyelubungi badan di bawah selimut. “Galoeh, jangan takut! Kamu harus kuat!”

Gema guntur yang menggetarkan kaca jendela berhasil membuat Galoeh memekik. Rasa takut benar-benar menyergapnya. Galoeh hanya bisa menutup telinganya dengan bantal berharap badai yang tiba-tiba datang akan berlalu. Untuk kali pertama ia benar-benar ingin Weda ada di sini. Memeluknya dan menepiskan segala gentar yang menyelip di batin.

***

Setelah beberapa hari tak ada kabar dari Weda, akhirnya ia memutuskan untuk menemui Weda ke markas PETA selepas pulang sekolah. Karena seorang petugas mengabarkan Weda tidak di tempat, Galoeh akhirnya memilih menanti di warung di depan markas. Namun, saat akan masuk, ia mendapati Weda dan Harti ada di situ. Mereka terlihat berbincang dengan intim dan saling berbisik seolah tak menghiraukan orang lain yang ada di sana. 

“Sial! Kenapa aku ada di sini?” Galoeh menghentakkan kakinya kesal. Ketika ia berbalik, ia hampir saja menubruk seseorang.

“Galoeh? Kenapa di sini?” Gala mengernyit menatap Galoeh yang matanya memerah. Ia melongok ke arah Weda dan Harti yang memandang ke arah pintu keluar gubuk anyaman bambu.

“Ehm, saya … saya … mau menemui Mas Weda. Tapi sepertinya beliau sibuk.” Galoeh berlalu dari hadapan Gala. Ia berlari tak memedulikan langit mendung yang seolah tahu suasana hatinya. Bertepatan dengan air matanya menetes, air langit pun tercurah seolah ingin membantu mengelabui orang-orang bahwa ada gadis terlantar yang sedang menangis. 

Walau Galoeh tahu ia tak seharusnya melarikan diri, tapi kakinya tak kuasa melangkah menjauh. Ia terbiasa berlari. Lari dari kejaran Dai Nippon dan lari dari kenyataan yang menyesakkan. Galoeh sangat ahli lari dari segala hal yang membuat batin tertekan. Dan, sepertinya Weda memilih bersama Harti karena laki-laki itu tak kunjung pulang. Yang bisa dilakukan Galoeh sekarang, hanya menanti Weda. Tak memedulikan bajunya yang basah dia berdiri di depan pintu sambil menatap jalan masuk ke halaman rumah. Namun, ketika guntur semakin mengamuk, ia memilih masuk kamar dan  duduk berjongkok di lantai sambil menenggelamkan kepalanya di bawah lengan yang terlipat menumpu di atas lutut. 

Bagaimana mengabulkan permintaan Ibu Lastri kalau ternyata Weda masih berhubungan dengan Harti!

Di saat pikirannya kusut, suara langkah terdengar. Yang jelas, bunyi kaki yang menapak itu bukan milik Weda. Galoeh terkesiap. Ia lupa mengunci pintu.  Gadis itu hanya bisa pasrah kalau ada orang yang bermaksud jahat. Hidupnya sudah kacau dan ia yakin hatinya telah mati rasa bila kekacauan kembali datang dalam hidupnya.

“Loeh, kamu ceroboh sekali ndak mengunci pintu!” 

Galoeh mendongak kala mendengar suara Harti. Keterkejutannya bahkan bisa menangkal ketakutannya pada guntur. 

Tak mendapati jawaban dari Galoeh, Harti akhirnya angkat suara. “Mas Weda ndak bisa pulang. Dia … ada tugas. Dan, sebagai istrinya, sebaiknya kamu jangan menyusahkan dia. Dia sekarang ndak ada waktu untuk meladeni rajukanmu!”

Tapi, sepertinya Weda ada waktu untuk menemui dan berbincang intim dari hati ke hati dengan Harti. 

“Oh, ya, satu lagi!” Harti mengacungkan telunjuknya. “Sebaiknya kamu jangan bertingkah supaya ndak merepotkan Weda.” Sesudah berkata demikian, Harti pun berlalu.

Namun, Galoeh tak tinggal diam. Ia bangkit dan menyusul Harti dan meraih tangannya. “Kenapa Mbak yang datang?” 

“Karena Mas Weda …” Harti diam sejenak, tampak berpikir untuk merangkai kata yang tepat. “menyuruhku menyampaikan pesan itu. Jadi, sebaiknya kamu tahu memosisikan diri menjadi istri prajurit yang sedang berjuang!”

Galoeh melongo. Cengkeraman tangannya mengendur dan dengan mudah ditepis Harti. Apakah ia memang dianggap sebagai perusuh bagi kehidupan Weda? Padahal ia ingin sedikit membantu perjuangan suaminya. Dada Galoeh seketika kembang kempis. Apa yang  harus ia lakukan agar bisa menjadi pasangan sepadan untuk Weda?

💕Dee_ane💕

Weda-Galoeh datang lagi. Part kali ini panjang banget. Jadi aku bagi jadi dua part. Yang mau baca dulu, silakan merapat ke lapak sebelah.

Jangan lupa vote n komennya yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top