36. Memberi Hati

Setelah mengurai ganjalan di hati, Galoeh akhirnya memutuskan untuk melakukan pemberkatan pernikahan sehingga status mereka sekarang tak hanya di atas kertas. Beberapa jam lagi ia harus melakoni apa yang digariskan takdir untuknya : menjadi istri Wedatama seutuhnya.

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, hari ini, tepatnya tanggal 2 November 2604 berdasar penanggalan tahun Jepang, Galoeh akan benar-benar menapaki hidup yang baru. Di depan cermin ia menatap bayangan dirinya dalam balutan kebaya putih yang dibuat Ibu Lastri beberapa hari ini. Sanggul kecil di belakang kepalanya dihiasi beberapa bunga melati segar yang dikumpulkan Tika untuk mempercantik tatanan rambutnya. Wajahnya pun dipoles sang sahabat untuk menonjolkan aura kecantikannya. Ia tak percaya, sebentar lagi ia akan benar-benar menjadi istri Weda.

“Ayu, Loeh!” Tika mengerjap, tak percaya dengan hasil polesannya sendiri.

Galoeh pun menyetujui wajahnya tampak manglingi. Ia bahkan tak mengenali penampakan yang tergambar di cermin. “Matur nuwun, Tik.” Galoeh memeluk sahabatnya dengan erat. “Besok gantian aku yang dandani kalau kamu menikah.”

Wajah Tika seketika berubah masam. Ia melerai pelukan Galoeh dengan senyum tipis. “Mau nikah sama siapa?”

“Kamu … betul suka sama Sato Sensei?” Galoeh menatap prihatin pada Tika.

“Ndak usah dibahas.” Tika berbisik laku buru-buru mengubah topik bahasan. “Oh, ya, kemarin kalian lanjut ‘begituan’?” 

Galoeh menepuk lengan Tika. “Opo sih, Tik?”

“Aku yakin kalian belum begituan. Melihat masku masih suka jalan sama Mbak Harti, pasti dia ndak akan sembarang jamah kamu.”

Galoeh menelan ludah kasar. Selalu saja hatinya tercubit mendengar nama Harti. Walaupun Weda mengatakan hal manis, tapi sejujurnya ia takut percaya. Bagaimana kalau ia kembali kecewa dengan pengkhianatan? Pengkhianatan yang dilakukan Mbok Peni memang bukan pengkhianatan asmara, dan pengkhianatan itu dilakukan karena terpaksa. Tapi semua itu membuat Galoeh tak mudah percaya pada orang yang baru datang dalam hidupnya. Hanya pada Tika dan Raka, kepercayaannya masih terpatri. 

“Tik, masmu kok muram ya semalam? Apa dia menyesal mau menikahi aku secara resmi?” Galoeh tak bisa menyingkirkan pikiran yang mengganggunya sepanjang malam.

“Dia mikir … apa malam ini bisa memuaskanmu ….” Sorot Tika jenaka.

“Tika!” Galoeh mencubit Tika yang selalu menggodanya. Namun, gara-gara omongan Tika, Galoeh teringat mulai malam ini ia harus bersedia membuka diri untuk melayani Weda di atas kasur. 

Percakapan mereka harus terjeda ketika mendengar panggilan Ibu Lastri. Galoeh pun kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan pelan saat kaki yang dibalut jarik batik tulis bermotif Sido Mukti itu melangkah menuju omah njero. 

“Ayu!” puji Ibu Lastri ketika menyongsong mantunya masuk ruang tamu. 

Galoeh menunduk, menyembunyikan wajahnya yang panas. Ia melirik Weda yang membalut tubuhnya dengan jas sederhana. 

“Mas, ojo ndlongop (melongo) saja! Ayo, digandeng istrinya,” titah Ibu Lastri.

Weda pun melangkah menghampiri Galoeh. Senyuman yang terbit di wajah tirus itu berhasil mendatangkan gemuruh di dadanya. “Loeh, ayo, kita berangkat.”

Jantung Galoeh semakin berdetak tak terkendali, kala menatap Weda yang tampak gagah. Ketika matanya menumbuk pada bibir merah Weda seketika ia teringat pada kecupan Weda di pipi dan bibirnya. Inikah suaminya? Apakah Weda benar-benar tulus mencintai atau hanya ingin melindunginya karena hutang budi saja setelah Romo Tjokro tidak menyebut keluarga ini? Namun, Galoeh memilih menghapus pemikiran yang kedua dan ikut melangkah dengan Weda yang menggandengnya. 

Akhirnya, rombongan pengantin tiba di Gereja Purbayan yang berada di dekat Keraton Kasunanan. Gereja itu berdiri dengan megahnya sejak tahun 1916 dan berhasil mengenalkan agama Katolik di Vorstenlanden Soerakarta, sehingga keluarga Romo Danoe akhirnya dibaptis beserta istri dan anak-anaknya. Di halaman depan bangunan khas Eropa yang dihiasi mozaik kaca itu, beberapa keluarga besar baik dari keluarga Romo Danoe dan Ibu Lastri yang diundang untuk menyaksikan pemberkatan telah menanti pasangan yang akan diberkati. Hanya saja tak terlihat sahabat-sahabat Weda dari PETA di situ.

“Ayo, Loeh!” Weda mengulurkan tangan yang kukunya belum tumbuh sempurna. 

Galoeh mengerjap melihat senyum lebar yang disinari sorot matahari pagi menjelang siang itu. Namun, ia buru-buru menyembunyikan ekspresi keterpesonaannya. Kata Ibu Marti, tidak baik menjadi gadis yang terlalu blak-blakan. Tangan Galoeh lalu menyambut tangan Weda  yang menggenggamnya erat. Ia kemudian berjalan di sebelah Weda menuju altar. 

Siapa sangka Galoeh akan berjalan bersama kangmasnya Tika menuju altar untuk mengucapkan janji suci? Di usianya yang masih dua puluh tahu pula! Namun, kali ini ia sudah ikhlas menerima Weda karena ia pun tak ingin kehilangan sosok yang setia melindunginya. 

Dan ketika momen pengucapan janji setia tiba, dada Galoeh kembang kempis dipenuhi emosi yang berjejalan. Bahagia, syukur, tapi juga terselip kesedihan karena kedua orang tua dan kakaknya tak bisa melihat momen sakral ini.

“Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.” Setiap kata yang meluncur dari bibir merah Weda, membuncahkan rasa bahagia yang tak terperi. Bahkan Galoeh lebih bahagia, dari saat ia mendapat pengumuman diterima menjadi mahasiswa kedokteran.

Namun, Galoeh harus menguasai diri karena ia pun harus bisa mengucapkan kalimat panjang itu dengan tegas dan jelas seperti Weda, hingga akhirnya mereka sah menjadi suami istri hingga maut memisahkan. 

Selepas pemberkatan, Ibu Lastri sengaja mengadakan syukuran kecil-kecilan. Hanya dengan sajian tumpeng nasi jagung, urap, dan telur rebus yang dipotong kecil. Sebenarnya Galoeh ingin Raka bisa hadir dalam peristiwa besar hidupnya. Sayangnya, kakak sepupunya itu masih dalam perburuan dan harus kembali ke Semarang.

Walau sederhana syukuran yang sengaja dilaksanakan tertutup itu berlangsung penuh keakraban. Namun, ternyata menikah tak hanya menggabungkan dua pribadi. Galoeh juga dipaksa bergabung dalam dua keluarga yang bertolak belakang. Romo Danoe dari kalangan priyayi biasa dan Ibu Lastri yang masih kental darah birunya.

“Lastri, kamu ini selalu saja mengambil keputusan berisiko! Dulu, kamu menolak putra patih yang sekarang berjaya menjadi bupati di daerah Jogjakarta dan sekarang kamu menerima putrinya pemberontak untuk dijadikan menantu.” Eyang Kakung Weda yang juga romonya Ibu Lastri bersuara. 

“Masih lebih baik Harti nggih, Mo?” celetuk seorang perempuan berparas ayu tapi judes yang ternyata adalah ibu tiri Ibu Lastri.

Hati Galoeh mencelus. Jelas bila dibandingkan dengan Harti, Galoeh akan kalah jauh. 

“Romo ndak usah cemas. Selama ini bukankah Romo ndak peduli dengan keluarga saya karena pilihan saya. Bahkan selama Romo menampung Tika dan Weda ketika saya harus menemani Kangmas Danoe bertugas, mereka justru terlantar,” ungkap Ibu Lastri tegas dengan sikap yang masih sopan

Rupanya Ibu Lastri mempunyai sisi lain yang baru Galoeh tahu. Selama ini Galoeh tak pernah berpikir ada perselisihan internal di dalam keluarga besar Weda karena pilihan Ibu Lastri. Kalau dulu Ibu Lastri nekat mengikuti kata hatinya, kenapa ia sekarang justru memaksa Weda menikahinya?

Romo Danoe berdeham. “Betul, kata ibunya anak-anak, Eyang. Eyang ndak usah banyak memikirkan mereka. Seperti kami, mereka akan bahagia dengan jalan hidupnya sendiri. Dan, terima kasih Eyang sudah berkenan hadir untuk menuntaskan rasa penasaran Eyang pada Galoeh.”

Ucapan Romo Danoe yang terkesan tenang itu cukup tajam menohok mertuanya. Beberapa keluarga besar Romo Danoe hanya menahan tawa melihat ekspresi Eyang Kakung. Termasuk Galoeh. Ia semakin penasaran dengan sosok Ibu Lastri sebenarnya.

Malam itu, setelah makan malam Ibu Lastri memanggil Galoeh untuk  memberikan lagi ramuan yang direbusnya sendiri. “Ini. Ndang diminum,  Sebagai istri kita harus merawat badan kita luar dalam. Perempuan harus bahagia dan sehat agar bisa melayani keluarga.”

Galoeh tak menolak meminum minuman itu karena bila sesuatu terjadi antara dirinya dan Weda memang sudah sewajarnya. “Omongan Eyang Kakung tadi siang, jangan diambil hati ya?”

Galoeh mengangguk, sambil meneguk cairan hitamnya hingga tandas. Ia tahu malam ini adalah malam penyerahan dirinya seutuhnya untuk Weda.  

Ibu Lastri lantas mengambil alih gelas dengan tarikan bibir puas. “Nduk, matur nuwun sudah menjadi istri bagi putra Ibu. Sejak pertama mengenalmu, Ibu yakin kamu adalah jodohnya Weda.”

Galoeh tersipu. Pertama mengenal Ibu Lastri ketika ia masih remaja dan hanya memikirkan belajar dan belajar saja. Ia tak akan berpikir menikah di usia yang semuda ini. 

“Sana gih, istirahat.” Ibu Lastri menepuk lengan Galoeh. Padahal gadis itu enggan masuk ke kamar yang berada di tengah itu. 

Mengetahui mata Ibu Lastri masih memperhatikannya, maka mau tak mau ia pun masuk ke kamar. Di dalam, Weda sudah duduk berselonjor menyandar kepala dipan dengan sarung dan kaus putihnya. Weda melihat sekilas ketika Galoeh masuk dengan rambut yang bergelung di atas kepala. 

Senyuman Weda membuat Galoeh salah tingkah. Bola mata Galoeh bergulir gelisah. Ia mengambil sisir dan mulai melepas gelungan rambutnya. Gerakan menyisirnya dibuat selambat mungkin sambil sesekali mencuri pandang ke arah Weda.

“Loeh, mau sampai kapan nyisirnya? Kepalamu bakal botak kalau disisir terus.” Weda melirik Galoeh. 

Pipi Galoeh seketika memerah. Bibirnya mengerucut, melempar tatapan sengit. Bukannya semakin tenang, candaan Weda yang menurutnya tak lucu itu semakin membuat Galoeh tegang. 

“Percuma dirapikan. Nanti juga bakal berantakan.” Weda lalu menutup buku dan meletakkannya di atas permukaan meja. Laki-laki itu kemudian merebahkan dirinya berbaring di ranjang.

Galoeh mengernyit. Sepertinya ia terlalu berlebihan. Gadis itu berpikir Weda akan meminta jatah sehingga sejak siang tadi setelah syukuran, Ibu Lastri meminta istri Lik Karyo untuk melakukan serangkaian perawatan badan mulai dari keramas, lulur, dan ratus. Kata Tika supaya bisa menyenangkan Weda saat malam pertama pernikahan.

Namun, sepertinya Weda terlihat lelah. Lelaki itu berbaring lebih dulu, lantas menepuk permukaan kasur bagian dalam di sebelahnya. “Ayo, tidur.”

Galoeh mengangguk dan bergegas naik ke kasur. Ia melangkahi tubuh Weda yang sudah berbaring lebih dulu, lalu membaringkan tubuhnya di sisi Weda. 

Beberapa menit berlalu, tak ada pergerakan dari Weda. Walau mata Galoeh terpejam, tapi ia tetap berjaga. Namun, tetap saja yang terdengar hanya detik jarum jam yang berdetak. Apakah mereka akan melakukannya? Kenapa Weda tiba-tiba hanya diam saja padahal selama ini laki-laki itu suka memagut bibirnya?

Keheningan di antara mereka seolah mencekik Galoeh. Ada apa dengan Weda?

💕Dee_ane💕

Di KK udah tamat. Silakan merapat. Yang di sini, dukung dengan vote n komen yak😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top