35. Pilihan Weda
Pada akhirnya Weda bisa membujuk Galoeh kembali, walau gadis itu sempat merajuk. Bukan maksud Weda untuk menggodanya, tapi melihat bibir itu mengerucut pasrah untuk dipagut, ia yakin mereka akan berakhir lama di ranjang hanya untuk bercumbu. Weda harus bersabar. Selama ini ia memang tergoda untuk menjamah tubuh molek sang gadis perawan, karena bagaimanapun ia tetaplah laki-laki normal yang sehat. Tapi sebelum ia yakin dengan perasaannya, ia tak akan menyentuh Galoeh lebih jauh dari pelukan atau ciuman.
Berhubung Pandji dengan baiknya menawari tumpangan, maka mereka bisa tiba di Soerakarta pada pagi hari. Weda langsung kembali ke markas begitu mengantar Galoeh ke rumah. Walau sebenarnya Ibu Lastri melarang karena besok mereka akan melakukan pemberkatan nikah, tetap saja Weda harus membereskan pekerjaannya yang tertunda sehari kemarin karena harus mencari Galoeh.
Setibanya di markas, Weda langsung menemui Gala dan Pantja yang baru saja selesai latihan fisik bersama. Ketika ia menyapa, keduanya sama sekali tak membalas. Alis Weda mengerut. “Kalian kenapa?”
Gala bangkit ketika Weda hendak duduk. “Kita sudah sepakat akan berkumpul dua malam lalu! Tapi kamu ….” Gala menunjuk dengan mata nyalang.
“Maaf, kemarin Galoeh ….”
“Galoeh lagi Galoeh lagi! Kenapa setelah jadi ‘suami’ …” Gala membuat tanda petik dengan kedua jari telunjuk dan tengah pada kata terakhir, “kamu jadi ndak fokus sama perjuangan kita.”
“Bukan begitu! Galoeh pergi karena ndak mau melakukan pemberkatan. Dia ndak mau mengganggu hubunganku dan Harti.” Weda berusaha menjelaskan. Memang ia salah karena begitu mengetahui Galoeh tak di rumah ia melupakan begitu saja janjinya dengan teman-temannya.
“Dok, perjuangan kita masih awal. Kita harus menyingkirkan dulu kepentingan pribadi kita.” Pantja menimpali. Laki-laki yang biasanya tenang itu terlihat kesal.
“Maaf.”
“Maaf? Kamu tahu … kami semua di sini juga berkorban. Pantja … ibunya sakit. Tapi dia tetap bisa datang setelah menjenguknya.” Gala menunjuk ke arah Pantja yang menunduk. “Lalu aku?” Mata Gala membulat. “Kamu pikir aku ndak punya kepentingan lain apa?”
“Gala … aku ….”
“Kalau seperti ini, sebaiknya kamu ndak usah ikut pergerakan sejak awal!” sergah Gala. Dan mereka pun pergi meninggalkan Weda sendiri.
Weda tak menyangka, sahabat-sahabatnya menjauh karena pilihannya mengambil Galoeh sebagai istri. Awalnya Weda berpikir dalam hitungan jam semua akan kembali seperti semula. Nyatanya, benteng tak kasatmata seolah menjadi penghalang Weda dan ketiga teman seperjuangannya.
Weda sempat berpikir apakah pilihannya benar. Memilih Galoeh justru menjauhkannya dari cita-cita berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Namun, berpisah dari Galoeh juga bukan pilihan bagus, mengingat selama ini ia selalu mencemaskan keselamatan Galoeh.
Tak dimungkiri, semua hal yang terjadi membuatnya penat. Sore itu, ia sengaja mampir ke rumah Harti untuk memberitahu kalau ia akan menikahi Galoeh secara resmi, sekaligus mengucapkan terima kasih atas sarannya untuk mencari Pandji.
“Selamat ya, Mas.” Harti tersenyum sendu. “Akhirnya keinginan Ndoro Ayu Soelastri terkabul.”
“Harti, aku benar-benar ingin kita mengakhiri ini baik-baik, karena besok statusku dan Galoeh sudah benar-benar resmi.” Weda kembali merasa bersalah. “Ya sebenarnya sekarang pun kami sudah resmi suami istri.”
“Aku juga berusaha mengakhiri semua dengan baik, Mas. Tapi, aku tetap saja masih cemburu?” Mata Harti berkaca-kaca. “Selama ini … Mas adalah kekasihku. Kita bisa melewati hubungan jarak jauh selama setahun. Dan ketika kita bisa bersama, angan-anganku bahagia bersama Mas terkoyak begitu saja karena Galoeh!” Harti lalu menunduk. Bahunya bergetar hebat. “Apa pernah Mas menyayangiku?”
Jakun Weda naik turun. “Aku nyaman ….”
“Itu bukan sayang, Mas!” Harti memekik hingga beberapa abdi di kediaman menengok ke arah mereka. Harti lalu meremas kain kemeja Weda. Ia mendongak, menatap laki-laki itu sendu. “Aku … ndak bisa membantu Mas lagi. Aku ndak sebaik itu bisa berbahagia melihat Mas tersenyum pada wanita lain.”
Weda tak bisa membantah. Apa yang ia lakukan pada Harti memang kejam. Namun, Weda pikir cerita mereka usai, ketika Harti mengatakan mundur selepas ia mengantongi Soerat Tanda Ningkah. Weda tak pernah berpikir Harti masih berharap. Dan, ketika Weda dengan polosnya mengundang Harti untuk menyaksikan pemberkatannya, ia dihadapkan pada kenyataan Harti yang terluka. Parahnya, gadis lembut itu kini memilih menarik diri, tak ingin membantu perjuangannya. Padahal peran Harti besar di situ.
“Oh, ya … kemarin kami berkumpul dan sepertinya kami sudah mengambil keputusan untuk meminta Mas keluar dari pergerakan ini.”
Jelas saja Weda terkejut mendengar perkataan Harti walau sudsh dikecam Gala sebelumnya. Bagaimana bisa teman-temannya menyingkirkannya? “Kenapa?”
“Pergerakan ini bukan untuk suami yang sibuk mengurus istri manjanya. Jadi, sebaiknya Mas urus baik-baik Galoeh.”
Weda tak bisa menyembunyikan wajah murungnya. Setibanya di rumah, ia langsung mandi dan masuk ke kamarnya untuk mengistirahatkan raga dan pikiran yang lelah.
Weda berbaring dengan mengangkat lengan untuk menutupi matanya. Baru saja ingin terlelap, pintu kamar terbuka dan suara Galoeh memecah sunyi. “Mas, dipanggil Ibu untuk makan.”
Weda membisu. Ia tak ingin melampiaskan kejengkelannya pada Galoeh. Ia merasa rencananya buyar saat Galoeh masuk dalam kehidupannya. Mulai dari ia harus menikahi Galoeh yang tak pernah bermimpi menjadi istri, hingga akhirnya ia terancam dikeluarkan dari tim pergerakan. Di saat ia memperjuangkan keduanya, tiba-tiba gadis itu pergi dan berniat ingin mengembalikannya pada Harti. Namun, bagaimana ia bisa kembali pada Harti ketika Weda menyadari bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Galoeh. Entah sejak kapan, tapi perasaan itu semakin kuat ketika Galoeh berniat menyingkir agar tidak mengucapkan janji di hadapan Tuhan.
Selama ini Weda tak tahu apa itu jatuh cinta. Ia pikir kenyamanannya bersama Harti adalah sebuah bentuk rasa sayang. Tapi, ternyata jatuh cinta itu melebihi rasa nyaman. Ada ketenangan ketika bersama, ada kegelisahan saat berpisah, dan ada kerinduan untuk selalu bertemu. Di dekat Galoeh, jantung Weda berdetak kuat. Di samping Galoeh, Weda yang canggung di depan perempuan, dengan berani bisa merengkuh dan menciumnya. Seiring berjalannya waktu, bibir Galoeh menjadi candu sejak merasakan kelembutannya. Padahal, selama dengan Harti, ia tak pernah melakukannya. Ia hanya bergandengan, berpelukan, dan paling jauh hanya mengecup kening Harti. Galoeh benar-benar bisa membangkitkan naluri alaminya. Galoeh mampu membuat Weda ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Menepis kecanggungannya pada perempuan. Namun, sepertinya memang hanya Weda yang mencintai Galoeh.
“Mas ….” Galoeh mengguncang badan Weda.
Weda menepis tangan itu keras hingga terdengar Galoeh mengaduh. Ia membuka mata dan mendapati Galoeh meringis.
“Maaf, aku ….”
“Mas kenapa? Dari pulang tadi kelihatan kusut.” Galoeh mengusap tangannya.
Weda menatap gadis yang ada di depannya. Ia menegakkan tubuh dan duduk dengan kaki lurus di ranjang, lalu meraih tangan Galoeh. Diamatinya tangan kurus yang kulitnya merah karena terkena tepisan tangannya. “Sakit?” Weda mengecup punggung tangan Galoeh.
Galoeh menggeleng. “Ada apa, Mas? Apa Mas menyesal menjemput saya?”
Weda mengembuskan napas panjang. “Kenapa harus menyesal? Sejak awal aku menyetujui menutupi kebohongan Ibu, aku tahu kamu akan jadi istriku.” Weda menatap Galoeh yang juga memandangnya lalu menyandarkan keningnya di dahi Galoeh. Ia berusaha menghapus kepenatannya karena sikap sahabat-sahabatnya. Ia memang salah pergi begitu saja dan tak sempat memberi kabar. Namun ia tak ingin menyalahkan gadis labil yang masih terombang-ambing gejolak.
“Berjanjilah untuk ndak pergi sesukamu.” Weda memejamkan mata, menghidui feromon manis yang menenangkan. Bibirnya kemudian mengecup lembut bibir Galoeh.
Gadis itu hanya diam. Tak menolak dan menerima setiap pagutannya. Dan, ketika Galoeh mulai membalasnya, suara derik pintu menjeda dan membuat ciuman mereka terjeda.
Weda melirik sengit ke arah Tika. Bisa-bisanya adiknya itu masuk ketika ia mereka saling bercumbu tanpa pengaruh ramuan ajaib itu.
“Dik, kalau mau masuk ketuk pintu dulu kenapa?” Weda tak bisa menyingkirkan kejengkelannya.
“Aku disuruh Ibu panggil kalian. Eh, ternyata kalian sedang asyik sendiri.” Tika melirik Galoeh yang kini sudah berdiri dengan wajah memerah, menghampirinya.
Yang dilirik terlihat salah tingkah dan mendorong Tika. “Ayo, Tik. Mas Weda sepertinya kenyang.” Dalam sekejap kedua gadis bersahabat itu sudah keluar lagi dari kamarnya.
Weda mendengkus kasar sambil membaringkan badannya lagi dengan kasar.
***
Pagi ini, ketika membuka mata, Weda tak mendapati Galoeh berbaring di sampingnya. Ia lalu turun dan bergegas ke luar untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan karena semalam ia melewatkan makan malam. Begitu ia memasuki pawon, Mbok Mi sedang sibuk dengan beberapa tetangga yang diundang rewang untuk acara syukuran yang diadakan khusus untuk keluarga besar dari Klaten yang baru akan datang hari ini dengan kereta api serta keluarga Romo Danoe dari Badran. Pisang rebus yang diberikan Mbok Mi setidaknya bisa mengganjal perutnya.
Weda kemudian bergegas mandi dan bersiap. Ia membalut tubuhnya dengan jas yang sudah disiapkan Ibu Lastri. Saat sedang menata rambutnya, Ibu Lastri masuk setelah mengetuk pintu. Wanita itu mengenakan kebaya kutu baru berwarna biru muda. Kondenya dihiasi roncean melati buatan Ibu Lastri sendiri.
“Ada apa, Bu?”
Ibu Lastri tersenyum lebar, mendekatinya. Akhirnya keinginan sang ibu menikahkan putranya dengan menantu yang dipilih terkabul. “Nggantenge putrane, Ibu.” Ibu Lastri mencubit kedua pipi Weda gemas seperti pada anak balita.
Pujian Ibu Lastri tak pernah berubah sejak ia lahir. Selain ganteng, Ibu Lastri selalu mengatakan ia pintar seperti romonya. “Bu, saya bukan anak kecil lagi.”
Ibu Lastri terkekeh dengan sorot mata berkaca. “Bagi Ibu, kalian … tetap bayi Ibu. Ibu akhirnya bisa lega kamu menikahi Galoeh.”
“Ibu senang?” Weda mengelus pipi ibunya yang di mata Weda selalu terlihat cantik.
“Senang. Senang banget. Terima kasih ya, Mas.” Ibu Lastri memeluk putra sulungnya dengan erat. Tubuh wanita itu kini terlihat kecil di pelukan sang putra yang telah dewasa.
Weda pun membalas pelukan Ibu Lastri dengan hati gundah. Menikahi Galoeh memang menyudahi kekhawatiran Ibu, tapi bagi Weda, menikahi gadis itu justru akan membangun benteng tak kasat mata dengan teman-teman seperjuangannya. Lalu, apa yang harus dia lakukan agar bisa merengkuh keduanya?
💕Dee_ane💕
Cerita ini sudah tamat di KK yak. Yang ngikuti "After 7 years" bisa baca cepet di sana.
Yang di sini, kek biasa ... kasih dukungan dengan vote n komen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top