34. Lereng Merapi

Keputusan Galoeh meninggalkan Weda sebelum pemberkatan sudah bulat. Sekarang ia sudah tiba di Stasiun Bojalali yang merupakan stasiun di kota kecil yang masih merupakan wilayah Soerakarta kochi di kaki gunung Merapi dan Merbabu. Kata Raka, bila memungkinkan laki-laki itu bisa bertemu Galoeh. Bila tidak, akan ada teman yang akan menjemputnya. Sahabat Raka itu adalah putra bupati setempat yang dulunya menempuh pendidikan militer di Breda. 

Untuk sesaat Galoeh duduk di kursi kayu yang ada di peron. Seorang laki-laki berperawakan tegap kemudian menyapanya. Namanya Pandji. Dari posturnya, Galoeh menduga laki-laki itu pernah menempuh pendidikan militer. 

“Saya sudah siapkan delman. Untuk sementara Mbak Galoeh akan tinggal di kediaman nenek saya. Tidak jauh dari Kabupaten.” Pandji mengambil alih koper Galoeh.

“Panggil saja Galoeh, Mas.” 

Pandji tersenyum. “Saya dengar-dengar kamu sekolah di Ika Daigaku.” Pandji yang berjalan di sampingnya akhirnya membuka topik pembicaraan.

‘Iya. Dulu.”

“Kenal Dewi Andayu?” tanya Pandji, sambil mengulurkan koper pada kusir. Ia lalu membantu Galoeh naik dan sesudahnya ia sendiri juga naik ke delman.

“Kenal. Mbak Dayu yang aslinya daerah sini bukan?” tanya Galoeh memastikan. 

“Betul!” Mata Pandji berbinar. “Bagaimana kabarnya?”

“Setahu saya, setahun lagi Mbak Dayu lulus. Tahun ini dia bertunangan sama Dokter Yudha. Kakak kelas kami.”

Senyum lebar Pandji perlahan memudar. Sepertinya laki-laki ini tertarik pada kakak tingkatnya di Ika Daigaku. 

“Mbak Dayu teman Mas?” tanya Galoeh basa-basi. 

“Iya. Dulu kakeknya bupati di sini. Karena Romo dan putra-putranya ndak ada yang meneruskan, jadinya romoku yang waktu itu menjadi patih, diangkat menjadi bupati.” 

Galoeh hanya mengangguk-angguk saja. Sepertinya Pandji termasuk orang yang terbuka. Mereka lantas masih bercakap dengan topik yang remeh temeh sambil Galoeh menatap langit biru dengan latar Gunung Merapi dan Merbabu yang menjulang membatasi daerah ini dengan tempat asalnya.

 Pandji meluruskan pandangannya ke depan dan bibirnya kemudian mengurai senyum ketika mereka tiba di rumah joglo memanjang dengan banyak pintu di depan. “Kita sudah sampai.”

Galoeh pun turun tanpa menunggu Pandji mengulurkan tangan. Ia lalu dibawa masuk ke rumah luas yang terlihat kosong. “Rumah ini kosong sejak Eyang Putri sedha. Di sini ada Mbah Panut, yang setia mengabdi menjaga rumah ini. Kalau kamu ada perlu sesuatu, kamu bisa ngomong ke Mbah Panut.”

Galoeh hanya mengangguk dan menurut ketika wanita bertubuh pendek dan bongkok itu membawanya ke ruangan belakang. Walau kosong rumah itu terlihat rapi dan bersih sehingga cukup nyaman ditinggali. Kali ini, ia harus bertahan seorang diri di tempat baru dengan suasana yang baru pula sesuai titah Raka.

***

Hari berganti sangat lambat di tempat itu. Sekuat tenaga Galoeh menyibukkan diri, tetap saja seolah waktu tak merangkak maju. Malam di rumah itu, serasa seabad Galoeh lalui. Semakin dia memejamkan mata, pikirannya akan kembali mengingat sikap  buasnya memangsa Weda yang terlihat ketakutan karena pengaruh ramuan itu. Walau sebenarnya ia malu karena bersikap aneh, tapi anggap saja apa yang dilakukannya itu sebuah ciuman perpisahan. Namun, kenapa Weda menolaknya? Semua laki-laki pasti akan terpancing bila diberi umpan seperti malam kemarin. Apakah Weda tidak menginginkannya? Apa Galoeh tak menarik? Atau … Weda tidak jantan? 

Pipi Galoeh memerah. Ia mengipas wajahnya yang panas. Bagaimana bisa Galoeh berpikir Weda mengalami kelainan fungsi reproduksinya? 

Keesokan harinya, ia memutuskan  bertransformasi menjadi anak Mbah Panut yang sehari-hari bekerja menggarap sawah untuk mengisi waktu. Padahal sebelumnya Galoeh tak melakukannya. 

“Ndoro, ndak usah ikut menanam. Badan Ndoro ndak akan sanggup.” 

Galoeh enggan diam saja menunggu di gubuk pematang. Kalau diam, bayangan Weda akan menari-nari lagi di kepalanya. “Ndak pa-pa, Mbah. Saya mau coba.” Galoeh mulai turun ke tanah berlumpur yang siap ditanami benih padi.

Mbah Panut akhirnya manut. Ia memberikan batang padi hijau yang siap tanam. “Nanti harus bungkuk terus nggih. Nanamnya mundur.”

Galoeh mengangguk dan akhirnya ikut berbaris bersama beberapa perempuan yang bekerja di tanah lungguh milik keluarga Pandji. Rupanya ide Galoeh cukup jitu membunuh waktu. Tak terasa waktu berjalan cepat hingga langit terik telah meredup dan semua lahan gembur itu telah ditanami padi yang nantinya siap menunggu panen tiba.

Sayangnya, menjelang malam, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya. Ia memutuskan untuk tidur lebih cepat agar kerinduan pada Weda tak menyiksanya. Di saat ia akan naik ke ranjang, suara ketukan menjeda langkahnya. 

“Ndoro Pandji datang, Ndoro.”

Galoeh melirik ke arah jam dinding. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh. Terlalu larut bagi seseorang ingin berkunjung. Maka tidak ingin tamunya menanti dia lalu bergegas menuju omah njero. 

Langkah Galoeh lalu terhenti di ambang pintu menuju rumah utama. Matanya menyipit memastikan yang ia lihat. Tak hanya Pandji yang ada di sana, tapi seseorang yang sudah ia rindukan sejak malam sebelum ia berangkat ke Bojalali.

“Mas Weda?”

Weda menoleh. Senyumnya mengembang. Ia lantas melangkahkan kakinya cepat menghampiri Galoeh. Begitu mendekat, ia tarik tubuh mungil Galoeh dan memeluknya erat. “Kenapa kamu suka datang dan pergi semaumu?”

Galoeh masih bingung. Bagaimana bisa Weda ada di sini? Ia lalu mengurai pelukan Weda dengan linglung.

“Mas … kenapa di sini?”

“Ya mau jemput kamu. Bagaimana bisa melakukan pemberkatan kalau mempelai perempuanku ndak ada?”

“Tapi ….” Galoeh gagu. Ia tetap tak paham kenapa Weda di situ.

“Aku pulang. Mumpung belum jam malam.” Pandji menjeda kebingungan Galoeh. Ia seperti patung pajangan saja di situ.  

“Matur suwun, ya.” Weda tersenyum senang.

Terpaksa Galoeh menahan diri sejenak untuk mengantar kepergian Pandji. Setelah tahu anak bupati itu benar-benar telah berlalu, ia lantas bertanya, “Kenapa bisa datang?”

Masih di ambang pintu, Weda menarik dagu Galoeh. “Sudah aku bilang kamu ndak akan bisa pergi dariku. Aku sudah memberi stempel.” Mata Weda menyipit tajam, menatap Galoeh. “Ah, bukan, bukan! Kamu yang memberi banyak stempel malam itu.” Weda terkekeh. 

Galoeh berdecak. Pipinya memerah saat Weda menggodanya. “Ndak seharusnya Mas di sini.”

“Kenapa?” Alis kanan Weda tertarik ke atas.

“Ada Mbak Harti,” cicit Galoeh dengan batin teriris menyebut nama perempuan. Ia memutar badannya, memunggungi Weda. Gadis itu yakin, Ibu Lastri memaksa Weda untuk mencarinya 

Dengkusan keras terdengar. Weda lalu melingkarkan tangannya di pinggang Galoeh. “Aku ke sini untuk menemui istriku yang suka lari.” Weda mengecup tengkuk Galoeh. Kini udara dingin malam tak gadis itu rasakan karena seketika tubuhnya terasa panas.

Galoeh mengurai pelukan Weda dan menghindari kecupan kedua. “Aku akan minta Mbah Panut siapkan makanan. Mas pasti lapar.”

Namun, dengan mudahnya Weda meraih pergelangan tangan Galoeh. “Aku sudah makan.”

Dada Weda bagaikan magnet bagi raga mungil Galoeh. Gadis itu tertarik begitu saja dalam rengkuhan lengan kekar Weda. Tubuh Galoeh bergetar saat melihat sorot Weda yang tak bisa ia artikan. Apakah efek ramuan itu masih ada? 

Belum sempat berpikir, buku jari Weda menyapu pipi Galoeh. “Kenapa kamu selalu membuat aku cemas? Kamu selalu pergi sesukamu.”

Galoeh tak mampu membalas sorot mata Weda yang lurus tertuju kepadanya. Bola matanya bergulir ke kanan kiri dengan gelisah. Isi kepalanya semakin semrawut.

“Jawab aku, Loeh ….”

“Mas jangan jadi pengkhianat. Aku tahu rasanya dikhianati. Jadi, Mas harus kembali ke Mbak Harti,” jawab Galoeh serak. 

“Sejak awal kita menanda tangani surat pernikahan itu, kamu sudah jadi istriku. Kamu tanggung jawabku.” Weda membungkuk, menatap Galoeh dengan sorot sendu.  “Kenapa kamu menyebut Harti terus? Dia justru yang memberi ide agar aku ke tempat Pandji sewaktu Gala cerita masmu ke sini dulu.” Weda lantas mendaratkan bibirnya di kening Galoeh. “Kali ini, jangan pernah pergi lagi.”

Tubuh Galoeh disergap kehangatan walau angin gunung menerpanya. Ia hanya bisa memejamkan mata, meraup semua feromon yang terhidu. Kecupan itu merambat ke kelopak mata, pipi, hidung, dan saat bibir Weda hendak mendarat ke bibirnya, suara Mbah Panut menyudahi ciuman Weda.

“Maaf, Ndoro. Saya cuma mau mengantar minum.” Mbah Panut membuang muka dengan kuluman senyum.

Galoeh seketika menangkup wajahnya yang merona. Bisa-bisanya ia terlena saat Weda menciumnya di luar kamar. Di rumah orang lain pula. Ia lantas berbalik dan berlari ke kamar saking malunya seolah kedapatan berbuat tak senonoh. 

Memang betul kata orang Jawa zaman dahulu. Kalau mau berlaku asmara, harus empan papan. Ingat tempat. Tidak sembarang nyosor seperti angsa saja!

Namun, mengingat Weda tiba-tiba datang, hati Galoeh menghangat. Ia tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tertarik. Galoeh menggeleng. Ia tak boleh semudah itu terlena pada rayuan laki-laki. 

Baru saja ia duduk di tepi ranjang, pintu kamar terbuka. Weda masuk dengan menenteng ranselnya. Bibir yang sedari tadi tertarik ke samping itu seketika kembali mengerucut, menyembunyikan gejolak bahagia. Ia tak ingin Weda tahu, betapa Galoeh sangat senang Weda ada di situ. Seperti dulu … ketika Weda menyusulnya ke Magelang.

“Aku mau mandi dulu.” 

Galoeh hanya mengangguk. Tenggorokannya tercekat dicekik kecanggungan. Ia buru-buru naik ke ranjang dan memosisikan diri berbaring, berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi.

Sejurus kemudian, derik pintu kembali terdengar. Galoeh memejamkan mata erat karena cemas hal seperti tadi  akan terjadi. Ia tak ingin Weda terpaksa melakukannya, demi bisa mengikat Galoeh agar kembali untuk memenuhi permintaan Ibu Lastri. Bukankah, malam itu Weda menolaknya habis-habisan hingga mengguyur badannya samapi basah kuyup? 

Suara langkah halus justru menimbulkan desir karena Galoeh berusaha menebak apa yang terjadi di belakangnya. Selanjutnya derak ranjang yang bergoyang menyusul ketika Weda naik ke tempat tidur dan kemudian menurunkan kelambu. 

Galoeh merasakan sensasi sejuk dari tangan Weda yang lembut membelainya. Kembali laki-laki itu mengecup telinganya hingga Galoeh harus mengeratkan rahang karena diserang gelenyar yang merambat di sekujur tulang belakang. Namun, selanjutnya Weda ikut berbaring, mengangkat kepala Galoeh dan menyusupkan lengannya di bawah lehernya. Ia lalu memeluk Galoeh dari belakang seolah takut Galoeh akan pergi lagi.

Tak lama kemudian, Galoeh ikut terlelap. Ia terbuai dengan belaian lembut Weda di rambutnya. Persis seperti dulu ketika Ibu Marti meninabobokannya. Baru kali ini Galoeh lelap tidurnya.

Saking lelapnya, Galoeh tak sadar matahari sudah akan menyingsing. Bisikan suara serak yang lembut kembali menyapa pendengarannya. “Loeh, ayo bangun. Kita akan berangkat bersama Pandji ke Sala.”

Galoeh menggeliat ketika ia merasakan kehangatan di badannya. Gadis itu membuka mata dan mendapati tubuhnya berimpit dengan tubuh Weda yang memeluknya lekat. Ternyata Weda benar-benar ada di sini dan bukan hanya sebatas bunga penghias tidur saja.

Mendapati tingkah laku Weda yang tak biasa, dada Galoeh kembali bergemuruh. Ia mendorong pelan laki-laki itu dan buru-buru menegakkan tubuh. Ia meraup wajahnya yang memerah sambil mengusapnya kasar. Dan, sepertinya Weda benar-benar berhasil membuat jantungnya bekerja ekstra keras karena tiba-tiba lelaki itu memeluknya dari belakang. “Mas, jangan begini ….” Galoeh berusaha mengurai pelukan Weda.

“Kamu malu? Aku belajar dari kamu.”

Galoeh mengembuskan napas kasar. Sekarang Weda ada bahan candaan yang berhasil membuatnya ingin ditelan bumi. 

“Aku ndak akan lepas kalau kamu ndak ikut aku.”

“Mas, saya ndak bisa begini.” Ia benar-benar tak ingin menjadi pengkhianat bagi siapapun. Melihat sorot mata Harti, Galoeh tahu wanita itu mencintai Weda. Tak ada perempuan yang ingin diduakan dan Galoeh pun tak ingin menjadi yang kedua. Dan Weda pun masih menempel dengan Harti.

“Kamu sudah mencuri hatiku sejak aku melihat fotomu, Galoehasri. Aku berharap dulu kamu menerima lamaranku.” Weda mengecup lehernya sambil berbisik pelan.

Tubuh Galoeh membeku. Ia meremas kuat kain selimutnya karena embusan udara dari hidung Weda ikut menggetarkan nalarnya. 

“Bukannya aku sudah cerita, ketika kamu ndak mau dan Ibu mulai mengenalkanku dengan perempuan lain, aku akhirnya meminta Harti menjadi kekasihku.” Weda menyusupkan wajahnya di leher Galoeh. “Aku ndak menyangka, pada akhirnya kamu datang sendiri dan berakhir menjadi istriku.”

Air mata Galoeh tak kuasa luluh. Hatinya digetarkan oleh ucapan manis yang seperti mimpi. Betul kata Tika, ketika kita jatuh cinta, batin seolah dipenuhi bunga-bunga. Namun, apakah ucapan Weda itu benar? Atau hanya semata untuk merayunya pulang saja?

Weda menarik dagu Galoeh. Ketika Weda menatap wajah gadis itu, entah kenapa Galoeh perlahan memejamkan mata. Jantungnya berdetak kencang, menanti bibir merah Weda memagutnya dengan mesra.

Namun, tak terjadi apapun setelah ia menanti lama. Pelan-pelan ia membuka mata, dan dilihatnya Weda masih memandangnya dengan senyuman jahil.

“Kamu mengharap dicium, ya?” Senyum jail Weda terurai. “Itu matamu ada blobok-nya.” 

Sontak wajah Galoeh merah padam. Ia memalingkan muka dan segera membersihkan sudut-sudut mata dengan bibir mengerucut merutuk Weda yang tertawa seperti kerasukan setan. 

“Mas Weda gendeng!” Galoeh mendorong kesal Weda dengan kuat. 

💕Dee_ane💕

Di KK, Asmaraloka udah tamat. Silakan yang mau maraton baca di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top