33. Nyaris
Udara di bulan Oktober 1944 memang begitu gerah mengingat musim hujan akan segera datang. Namun, biasanya kegerahan itu akan bisa ditangkis hanya dengan mandi. Sayangnya, walau sudah mandi keramas, tubuh Weda masih saja panas. Sejak minum ramuan yang katanya mujarab itu, tubuh Weda terasa terbakar oleh dorongan asing yang membuatnya gelisah.
Weda keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di bagian bawah tubuh. Ia membiarkan tubuh atasnya yang masih basah karena tetesan air dari ujung dagunya. Begitu masuk ke kamar dan mendapati Galoeh baru saja selesai menyisir rambut, desir di dadanya kembali muncul. Wajah ayu dengan rambut setengah basah itu membangunkan sesuatu di dalam tubuhnya.
Galoeh mengerjap. Buru-buru ia bangkit dan melangkah melaluinya.
“Mau ke mana?” Suara serak Weda semakin serak. Ia menangkap lengan atas gadis yang rambutnya masih tergerai basah itu.
Galoeh menatap Weda sayu. Napas gadis itu memburu. Laki-laki itu merutuki kinerja ramuan yang sepertinya berhasil membuat darah mereka mengalir ke bawah, alih-alih ke otak. Nalar mereka bisa saja terkikis kalau seperti ini.
“Loeh, kamu kena ….”
Belum sempat Weda menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan kecil itu meraih leher Weda. Dengan berjinjit, Galoeh mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya di bibir merah Weda.
Mata Galoeh memejam, Sementara itu, Weda masih saja membeliak lebar. Raganya membeku ketika Galoeh melumat bibir. Ia takut akalnya lenyap digantikan letupan gejolak yang tak pernah ia rasakan. Apalagi pagutan bibir Galoeh begitu menuntut.
Weda berusaha mengurai tubuh Galoeh yang terengah dengan pandangan sayu berkabut hasrat. “Loeh, sadar!” Weda menepuk pipi Galoeh.
Namun, Galoeh seperti macan betina kelaparan. Gadis itu berusaha meraih lehernya. Weda menggeleng. “Loeh, sadar!” Kaki Weda mundur dua langkah. Bagaimana bisa gadis mungil itu berubah menjadi buas setelah meminum ramuan itu?
Galoeh tak mengindahkan sergahan Weda. Ia justru melompat, mengalungkan tangannya di leher Galoeh dan kakinya sudah melingkar di pinggang. “Loeh, sadar to!” Kepala Weda menoleh ke kanan kiri, menghindari serangan Galoeh. Untungnya tadi ia sempat memuntahkan ramuan itu. Kalau tidak mungkin ia akan menyambut perlakuan Galoeh.
Gadis itu seperti menulikan telinganya. Sementara itu, Weda justru terdesak. Kakinya sudah menumbuk ranjang hingga ia terduduk dengan Galoeh di pangkuannya.
Weda merasakan tanda bahaya karena sesuatu di bawah sana sudah waspada saat Galoeh memberikan kecupan di lehernya.
Ndak! Ndak boleh seperti ini!
Saat Weda akan melawan, Galoeh mendorongnya keras hingga laki-laki itu berbaring di kasur. Galoeh kembali mendekatkan wajahnya. Tapi, Weda justru membanting tubuh Galoeh dan membalikkan keadaan. Weda lantas mengangkat tubuh Galoeh di pundaknya, tak menghiraukan gadis itu berontak untuk dibawa ke dalam kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, ia mengambil gayung dan mengguyurkan air dingin di kepala Galoeh, tak memedulikan gadis itu gelagapan.
“Mas, Mas berhenti … berhenti!”
Mengetahui Galoeh sudah kembali sadar, ia menghentikan gerakannya meraup air dari bak mandi. Tubuh gadis itu kini basah kuyup. “Kamu … sudah sadar?”
Galoeh menyeka wajahnya dengan kasar dan menatap Weda intens. Begitu ia sudah bisa mengingat apa yang terjadi, seketika pipinya merona dan gadis itu membalikkan badannya. “Maaf ….”
“Justru aku yang minta maaf karena Ibu sudah membuat kamu seperti ini.” Weda mengusap badannya yang kembali basah. Tadi, ia pun ikut mengguyur tubuhnya yang hampir bereaksi karena sikap Galoeh. “Sebaiknya kamu cepat ganti baju dan keringkan rambutmu. Setelah itu tolong siapkan makan malam. Sepertinya lebih baik aku kembali ke markas.”
Sejurus kemudian derit pintu terbuka memecah hening. Weda keluar dari kamar dengan kemeja putihnya. Ia menghampiri Galoeh sudah duduk di kursi yang mengitari meja makan. Gadis itu terlihat canggung, menghindari tatapannya.
“Hari ini saya memasak lodeh. Tadi Ibu sudah membetulkan rasanya supaya lebih enak.” Galoeh bangkit lalu meraih piring dan mengisinya dengan ubi yang direbus sebagai pengganti nasi.
Weda hanya membisu. Begitu menerima piring itu ia melahap makanannya cepat-cepat dengan kepala menunduk, menekuri makanannya. Tiap mengingat perlakuan Galoeh tadi, badan Weda panas dingin. Ia masih normal, dan serangan Galoeh sebenarnya susah ia tampik. “Loeh, jangan lupa pintu dikunci ya?”
“Mas, maaf ….”
Weda mendengkus. “Ndak perlu minta maaf. Semua ini karena ramuan konyol itu.” Bibir merah Weda memberengut sambil menggaruk tengkuknya.
Galoeh menggigit bibirnya. Ingatannya terlempar saat bibir merahnya menyapu bibr Weda. Seketika ia memalingkan wajahnya, merutuki otaknya yang sudah tak nalar. Gadis itu berusaha tenang, memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
“Aku ndak mau jamah kamu. Apalagi karena pengaruh ramuan konyol ini. Berlaku asmara itu ndak boleh ada pemaksaan. Baik dari pasangan atau orang lain.”
Selepas makan malam, dan sebelum jam malam menjelang, Weda pun berkemas. Ia harus cepat-cepat karena tak mau kejadian sama berulang. Baik atas inisiatif Galoeh atau atas inisiatifnya.
“Tunggu, Mas.” Panggilan Galoeh menjeda langkahnya. “Jangan lupa sapu tangannya.” Galoeh menarik tangan Weda dan meletakkan di telapak tangannya dengan bagian sulaman bunga melati itu berada di atas.
“Kamu sulam ini?” Mata Weda berbinar mengusap sulaman rapi itu.
Galoeh mengangguk. “Iya. Kupikir supaya ndak tertukar atau hilang. Baru saya sulam yang ini tadi siang.”
“Matur nuwun. Apik.”
Senyum simpul Galoeh terurai dengan cuping hidung kembang kempis. Pipi yang semerah tomat itu terlihat menggemaskan.
“Ya wes, aku pergi dulu.”
“Hati-hati, Mas.” Suara Galoeh bergetar.
Weda mengangguk dan memasukkan sapu tangan itu ke dalam saku celana kanannya. Ia menatap Galoeh yang memandangnya sendu. Seolah gadis itu sedang menyembunyikan sesuatu.
“Salaman dulu?”
Galoeh menjabat tangan Weda lalu mencium punggung tangannya sambil memejamkan mata, menghirup wangi sabun yang melekat. Namun, sedetik kemudian tubuh mungilnya tertarik dan mendarat di dada Weda. Lelaki itu merengkuhnya erat dan mencium pucuk kepalanya.
“Mas?” Galoeh terkesiap.
Namun, pelukan Weda makin erat. Lelaki itu menarik sedikit badannya dan mendongakkan kepala Galoeh, lalu dalam hitungan sepersekian detik bibirnya telah mendarat di bibir merah yang sedari tadi mengundang perhatiannya itu. Bibir lembut itu begitu memabukkan mengikis logika sang pria dewasa muda. Ia terlena dengan embusan feromon yang menguar dari tubuh sang gadis muda. Dalam batinnya pemberontakan sengit terjadi antara menyudahi atau membiarkan tubuhnya mengikuti nalurinya.
Namun, Weda enggan memaksakan sesuatu yang bukan dari hati. Maka ia pun mengurai pagutan bibir mereka, dan mengecup kening Galoeh. “Setelah aku keluar, kamu harus mengunci pintu. Paham?”
Napas Galoeh terengah dengan tatapan nanar. Saat Weda melangkahkan kaki, ia menarik ujung kain lengan baju Weda dengan wajah yang menunduk.
Jantung Weda bergemuruh. Ia menatap tangan mungil yang menahannya. “Ada apa?”
Perlahan Galoeh melepas kemeja Weda. “Hati-hati.”
***
Sepanjang perjalanan Weda merutuki ramuan yang sangat manjur itu. Semalam sepertinya ia dan Galoeh masih bisa mengendalikan diri karena terlalu lelah setelah semalaman begadang. Tapi rupanya pengaruh ramuan yang dua kali mereka minum itu menumpuk, telah mengikiskan nalar Galoeh. Seandainya ia tak bisa menahan diri, pasti ia sekarang sedang bergulat dengan Galoeh di ranjang. Namun, ia memilih menyingkir agar tidak menodai gadis polos yang hasratnya sedang dipermainkan minuman racikan Baba Jie. Sungguh, Weda tak akan membuat Ibu Lastri senang karena rencananya berhasil dengan mulus.
Memiliki ibu seperti Ibu Lastri, membuat Weda terkadang jengah. Di saat para istri dibungkam tak boleh leluasa berpendapat, tapi Ibu Lastri bisa bebas mengekspresikan apa yang ia mau, sampai-sampai mempengaruhi pilihan hidup Weda dan Tika. Konon katanya, Ibu Lastri terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan dari garwa padmi yang sangat dimanja romo, ibu, dan kakak-kakak kandungnya. Sayangnya, semua berubah ketika romo Ibu Lastri yang juga eyang Weda membawa istri baru. Dari satu menjadi tiga dan kesemuanya tak memiliki hubungan yang bagus dengan Ibu Lastri. Bahkan Ibu Lastri menganggap ibunya meninggal karena romonya tidak bisa membahagiakan ibunya. Sejak saat itu, Ibu Lastri berjanji akan mencari laki-laki setia yang hanya menjadikannya perempuan satu-satunya. Gara-gara itu pula, ia tidak menyukai Harti karena Harti adalah anak gundik. Ibu Lastri sangat membenci perempuan lain dalam pernikahan yang sah dan anak-anak mereka karena pernah merebut kebahagiaannya dan romo yang ia kasihi.
Sekarang Ibu Lastri menggunakan segala cara agar anaknya tak mendapatkan anak gundik. Walau Harti masih keturunan bangsawan Soerakarta, tetap saja Ibu Lastri susah menyukai Harti. Mungkin bagi wanita paruh baya itu, lebih baik mendapatkan anak priyayi kecil seperti Galoeh yang orangtuanya harmonis, daripada anak bangsawan dengan banyak selir dan gundik. Dan, ramuan mujarab ini hampir saja memuluskan jalan Ibu Lastri. Walau ia mau menikahi Galoeh, tapi ia tak ingin mengawininya. Persetubuhan hanya bisa dilakukan bila sudah ada cinta di hati.
Setibanya di markas, Gala keheranan melihat kedatangan Weda Ia yang sedang bercengkerama dengan Pantja hanya mengernyit menatap temannya. “Ada apa?”
“Mau tidur di sini ndak boleh? Aku masih punya kamar!” Weda tak bisa menyembunyikan kesalnya karena dirongrong gejolak. Ia lalu mendorong Gala agar temannya itu mau bergeser. “Sedang bahas apa?”
“Bahas tentang pengiriman senjata.” Pantja menimpali dengan berbisik. “Pengiriman dilakukan beberapa tahap. Yang ke Tuban, diselundupkan melewati perahu nelayan. Yang ke sini melalui truk pengangkut sayur.”
“Tetap jadi disimpan di Malangdjiwan?” tanya Weda.
“Ndak ada tempat lagi,” jawab Pantja.
Pembicaraan serius itu mengalihkan kekesalan Weda. “Untungnya Mas Daru ke sini. Kalau ndak kita ndak bisa menemukan Mas Raka.”
“Betul. Dia kenal sama Adi sehingga bisa melacak ke mana kira-kira Adi bersembunyi untuk menyampaikan pesan kita,” kata Gala.
“Hebat sekali jaringannya Mas Daru. Dari Djakarta, ia membaui pergerakan kita di sini.” Weda berdecak kagum.
“Di sini letak pentingnya jaringan intel dan kurir informasi. Apa kalian pernah mengira Mbak Laksita itu penghubung informasi dari luar?”
“Mbak Laksita?” Gala terperangah.
“Betul. Suaminya dulu anggota pergerakan yang sama dengan Mas Raka, tapi berhasil ditangkap dan dieksekusi mati.” Pantja menerangkan dengan sorot berapi-api.
“Berarti dia janda pemberontak?” Weda menyimpulkan.
“Siapa yang sangka? Kelihatannya seperti perempuan biasa bukan? Sebenarnya dia dendam sekali dengan Nippon karena sudah membuat suaminya mati dan adiknya menghilang.”
“Kok bisa dia jadi informanmu?” Weda semakin heran dengan sepak terjang Pantja.
“Salah satu teman, mengetahui Letnan Dewa menghilang dan suami Mbak Laksita dieksekusi dalam waktu yang hampir bersamaan. Maka, ia menawarkan untuk menjadi penampung informasi untuk kami. Pengunjung warung ndak hanya orang kita saja, tapi juga orang Jepang. Dan kemampuan bahasa Jepang Mbak Laksita ndak usah diragukan.”
Mulut Gala dan Weda sama-sama melongo. Namun, Weda kemudian mengernyit mendengar satu nama. “Tunggu, apa hubungan Letnan Dewa dan Mbak Laksita?”
“Mbak Laksita itu mbakyunya Letnan Dewa. Dan dia yang kemudian menghubungi Sodancho Daru saat mendengar kita mulai merencanakan pemberontakan sehingga Sodancho Daru rela datang ke Sala untuk mendengar rencana kita dan mencarikan Mas Raka.”
Weda mengangguk paham. Jaringan bawah tanah sungguh mengerikan dan bergerak bagai angin yang tak kasat mata. “Oh, ya, Mas Raka sudah pulang ini?” tanya Weda karena tadi pagi ia pulang lebih dulu.
“Sudah. Tadi pagi. Dia akan ke Bojalali dulu. Ada urusan di sana trus ke Semarang untuk menghubungi salah satu teman Tionghoanya yang mau membantu pergerakan kita memasok senjata untuk kita,” jawab Gala. “Oh, ya … besok malam kita harus berkumpul lagi.”
“Di sini atau di rumah?” tanya Weda.
“Sebaiknya di sini. Kita ndak bisa terlalu sering keluar markas.” Gala mengingatkan. “Lagipula, ada Galoeh.”
Weda mengangguk paham. “Baik. Aku besok pulang dulu memberitahu Galoeh.”
“Kalian jadi pemberkatan?” tanya Gala lagi.
“Jadi. Kenapa?” Weda meraih kacang rebus yang ada di piring.
“Kalau jadi, kenapa Letnan Raka ndak nunggu sepupunya pemberkatan? Tinggal beberapa hari lagi bukan?” Pertanyaan Pantja membuat Weda tergelitik. Tak hanya Pantja yang heran. Weda pun juga menyayangkan Raka tidak bisa hadir dalam pemberkatan Galoeh mengingat gadis itu hanya mempunyai Raka sebagai keluarganya.
“Dia masih diburu. Bagaimana bisa ia datang?” Hanya itu jawaban terbaiknya.
Namun, sepertinya rencana yang sudah ditata Ibu Lastri tak semulus yang dikira. Saat ia pulang ke rumah dinas, ia tak mendapati Galoeh ada di situ. Awalnya ia mengira gadis itu belum pulang, tapi mengingat waktu sudah hampir menunjukkan hampir jam delapan, firasat Weda tak nyaman. Ia lantas kembali ke kamar dan membuka lemari. Seketika ia tersadar kalau baju Galoeh tak ada lagi di sana. Melihat koper yang biasanya ada di atas lemari juga tak ada, maka Weda semakin yakin Galoeh melarikan diri!
Saat hendak menutup pintu lemari, matanya tertuju pada sepucuk surat di bawah dua tumpuk sapu tangan. Dibukanya kertas itu dengan tangan bergetar hebat.
Saya pergi, Mas. Terima kasih untuk segalanya. Saya ndak bisa menjebak Mas dalam pernikahan di saat hati Mas untuk Mbak Harti. Terima kasih sudah menjaga saya. Semoga bahagia bersama Mbak Harti.
Weda meremas kertas itu dengan rahang mengatup erat.
💕Dee_ane💕
Ada yang nungguin?
Part panjang lagi nih. Selamat membaca dan memberi jejak cinta😘. Oh, ya ... di KK udah tamat loh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top